#KAYLA
#PART_14
#Berhenti Berharap
By : Leny Khan
Sudah dua belas purnama sejak kejadian itu, dan perlahan aku mulai melupakan Sameer. Pria itu pun telah kembali ke negara asalnya. Meninggalkan kenangan manis yang terkadang sering melintas di pelupuk mata. Tatapan matanya, senyumnya, sroma tubuhnya, semua masih melekat erat di ingatan meski aku telah hampir melupakan sosoknya.
Tak banyak yang berubah dengan kehidupanku dan Zein. Dua tahun menikah, kami belum juga dikaruniai buah hati. Terkadang, aku merasa sedih, takut Zein kecewa dan berpaling dariku. Tak jarang aku mengajaknya untuk memeriksakan diri ke dokter yang berkompeten, siapa tahu diantara kami berdua ada yang bermasalah. Namun, Zein selalu menolak, dengan dalih bahwa semua ini adalah kehendak Allah, jadi kami tinggal berdoa, berusaha dan menunggu saja. Sebab katanya dia yakin kalau kami baik-baik saja. Ya sudah, pada akhirnya aku yang mengalah. Zein juga melarangku mengungkit-ungkit masalah anak, dia memintaku untuk fokus saja pada dirinya dan juga tugasku sebagai istri.
Aku jadi curiga, jangan-jangan Zein menyimpan sesuatu dariku. Atau dia sendiri yang bermasalah sehingga ia tak pernah mau kuajak ke Dokter. Ah, sudahlah! Lupakan saja, toh semua atas keinginannya.
Merasa bosan di rumah, saat Zein akan berangkat ke luar kota esok hari, aku meminta untuk ikut kali ini.
“Yakin mau ikut? Nggak takut bosan nungguin Abang ngurus kerjaan nanti?” tanya Zein meyakinkan sembari measang kancing kemejanya pagi ini.
“Aku bosan lho Bang, di rumah terus sendiri.” sahutku sembari membantunya mengikat dasi.
Zein tersenyum, memandang wajahku degan seksama.
“Kenapa senyum-senyum sih istrinya minta ikut?”
“Abang nggak nyangka aja kamu minta ikut, tumben-tumbenan.” Ia mengusap pipiku.
“Jadi nggak boleh nih?” sungutku.
“Idih, ngambek!” Jarinya mendarat di hidungku. Membuat aku meringis dan menepisnya. “Ya udah, kalau memang mau ikut. Tapi janji ya, nggak boleh ganggu kalau Abang sedang meeting, harus menunggu di hotel dengan sabar sampai Abang datang.”
Mataku membulat tak percaya,”aku janji!” ucapku sembari mengacungkan dua ibu jari.
“Okeeee, kalau gitu, nanti malam siapin semua pakaian yang mau dibawa ya?”
“Siap, Bos!”
Zein tertawa, lalu kami pun berjalan ke luar dari kamar untuk menikmati sarapan pagi.
Setelah melepas Zein berangkat kerja, aku kembali melangkah ke kamar. Karena sedang cuti bulanan, aku yang biasanya akan berkutat dengan salat Dhuha, kali ini lebih memilih selonjoran di ranjang sembari mengutak atik ponsel. Sudah lama aku tak berselancar di dunia maya berwarna biru itu. Hampir saja aku lupa password-nya. Setelah mengingat-ingat lumayan keras, dan dua kali salah, akhirnya berhasil juga aku memasuki media sosial yang sudah membuat milyaran manusia sering abai akan dunia nyata mereka. Dan aku dulu adalah salah satu dari manusia itu.
Aiiih, banyak sekali notifikasi yang masuk. Ratusan. Umumnya dari teman-teman alumni SMU-ku. Waah, aku ketinggalan informasi, ternyata bulan lalu mereka mengadakan reuni akbar. Waaah, sayang sekali aku ketinggalan informasi. Apalagi sejak ke luar dari rumah sakit waktu itu, Zein mengganti nomor ponselku dengan nomor baru. Otomatis teman-temanku pun tak tahu keberadaanku.
Kubalas satu persatu komen mereka sambil senyum-senyum sendiri. Membayangkan kehebohan mereka saat bertemu dalam reuni itu. Ya, sejak menikah, aku jarang bertemu mereka. Sebab Zein melarangku, dia tak ingin ada CLBK kalau aku datang ke acara reuni sekolah. Kadang aku tertawa kalau mengingat alasannya itu. Bagaimana tidak? Aku kan nggak punya mantan di sana! Tapi Zein bersikukuh dengan aturannya. Lalu sebagai istri yang baik, aku hanya bisa menurut saja.
Puas membaca komen-komen mereka, aku beralih pada permintaan pertemanan yang juga sudah mencapai ratusan. Kupilih satu persatu untuk dikonfirmasi. Lalu tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah akun. Sebuah akun yang meminta pertemanan denganku. Di mana foto profilnya begitu tak asing. Foto sebuah taman kecil nan indah. Aku tertegun. Perlahan kubuka akun yang menggunakan nama ‘Mahabbah’ itu sebelum kukonfirmasi. Tanganku sedikit gemetar dengan irama jantung yang sedikit berpacu.
“Sameer,” desisku. Lalu tiba-tiba sebuah rindu merayap, menyusup ke dalam jantung. Saat kutemukan foto lelaki itu dengan pose membelakangi kamera. Kemeja hitam, dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Ya, aku tahu itu dia. Secara tak sadar bibirku menyunggingkan senyum. Terus ku-scroll wall-nya. Hingga tiba-tiba senyumku surut, saat menemukan foto lelaki itu tengah memeluk seorang wanita yang mengenakan pakaian pengantin berwarna putih khas pengantin Amerika. Bedanya, wanita cantik itu menutup aurat dan berhijab. Matanya biru, senyumnya indah. Dia cantik sekali, sangat serasi dengan Sam yang begitu tampan dengan tuxedo hitamnya.
Tak ada caption di foto yang diunggah sebulan yang lalu itu. Tak juga berniat membaca komen-komen yang telah mencapai ribuan. Karena aku tahu, isinya hanya sebuah ucapan selamat, dan aku merasa tak sanggup untuk membacanya. Memilih beranjak dari akun itu, tanpa mengkorfirmasi pertemanan dari Sam. Tak kusadari mataku telah basah, ada rasa aneh menjalar ke jantung. Kenapa aku menangis? Harusnya aku bahagia karena Sam telah menemukan pendamping hidupnya. Tapi ... kenapa rasanya sakit? Aku cemburu? Pantaskah?
Kudekap benda pipih itu ke dada, menahan sesak yang memenuhi rongga dada.
“Semoga berbahagia, Sam.” lirihku diantara derai air mata. Sesuatu yang seharusnya tak perlu kutangisi. Sam telah menemukan tambatan hatinya, berarti dia sudah berhasil melupakanku. Bersyukurlah, Kayla!
***
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuatku terkejut. Ternyata aku tertidur dengan ponsel masih di tangan.
“Bu Kayla, ada tamu!” seruk Mbak Rina dari luar.
“Siapa, Mbak?” tanyaku dengan suara serak. Kurasakan mataku berat dan sembab. Mungkin aku menangis terlalu lama. Menangisi Sam yang telah memiliki pendamping hidup.
Membawa tubuhku bangkit, dan beringsut turun dari ranjang. Melangkah gontai menuju pintu, dan membukanya.
“Non Sarah, Bu.” sahut Mbak Rina begitu pintu terbuka. Kulirik jam di dinding. Pukul setengah sebelas. Ada apa dia datang tanpa memberitahuku?
“Suruh tunggu sebentar ya, Mbak. Saya mau cuci muka sebentar!” titahku.
“Baik, Bu.”
Mbak Rina pun berlalu. Dengan malas aku masuk ke kamar mandi, mengambil wudhu, dan mengganti pakaian dengan gamis. Setelah hijab terpasang menutupi rambut, aku pun bergegas menemui Sarah di ruang tamu. Sarah yang tengah asyik membaca majalah islami menggangkat kepala saat menyadari kehadiranku.
“Kay,” sapanya seraya berdiri.
“Sarah,” balasku seraya cipika-cipiki dengannya. Kemudian kami duduk di sofa.
“Jam segini tidur aja Kay,” sindirnya.
“Lagi cuti tau!” balasku.
“Ooh, maaaaf. Tapi aku nggak ganggu kan?”
“Ya nggaklah, tapi kalau mau ke rumah telepon dulu kek!”
“Udah puluhan kali aku telepon kamu, Kay. Tapi nggak diangkat, ya udah aku nyelonong aja ke sini.”
“Iya kah?” Mataku membulat. Mungkin aku tak mendengar raungan ponsel karena tidur terlalu pulas.
“Iyalah, masa aku bohong!”
“Hehehe, sory ya Sar, mungkin aku tidurnya terlalu pulas.”
“Dimaklumi.” Sarah terkekeh. “Eh, matamu sembab Kay, kenapa? kamu habis nangis?”
“Ah, enggak, tadi tidurnya telungkup, jadi bengkak deh ini mata.” kilahku sembari mengusap mata yang masih terasa perih.
Sarah percaya saja dengan ucapanku.
“Oh ya, ada kabar apa, Sar? Kamu mau menikah?” celetukku disambut delikan mata Sarah.
“Bukaaan. Aku mau ngajak kamu jalan siang ini, sekalian makan siang di luar, aku yang traktir.” ujarnya sumringah.
“Waaah, boleh tuh! Tapi aku izin Bang Zein dulu ya?”
“Wajib itu, Kay.”
“Tapi ngomong-ngomong makan di mana kita?” Aku mulai bersemangat.
“SamLa.”
Deg! Tempat itu lagi.
“Nggak ada tempat lain?” tanyaku sambil menatap penuh harap.
“Udah lama banget lho kita nggak ke sana, Kay.” sahutnya dengan mimik memohon.
“Aku kurang suka masakan di sana, Sar.” kilahku memberi alasan.
“Masa sih? Bukannya kamu bilang steak-nya waktu itu enak banget ya?”
Aku terdiam. Ya sudahlah, daripada gadis ini banyak tanya kuikuti saja keinginannya.
“Okelah, apapun buatmu Sar. Aku telepon Bang Zein dulu ya?” ucapku seraya bangkit. Melangkah menuju kamar untuk mengambil ponsel.
“Sekalian ganti bajuuuuu!” teriak Sarah.
“Iya baweeeeeeel!” sahutku.
***
Aku menghela napas, sebelum mengekori Sarah masuk ke restoran itu. Mencoba menahan sebuah rasa perih yang entah dari mana asalnya.
Seperti biasa, kami mengambil duduk dekat jendela kaca yang besar, di mana mata akan dimanjakan oleh sebuah taman kecil yang sangat indah. Tapi alangkah terkejutnya aku, saat tak lagi menemukan taman itu di sana. Taman yang sudah diubah menjadi tempat parkir kendaraan roda dua. Tak ada lagi keindahan yang bisa disaksikan.
Mungkin Sam yang mengubah semua, agar segala kenangan tentang kami benar-benar hilang dari hidupnya.
Aku termenung di meja itu, sembari menunggu Sarah yang baru saja duduk langsung izin ke toilet.
“Bu Kayla?” Sebuah suara menyentakku dari lamunan. Segera kutolehkan kepala. Ternyata seorang pramusaji yang dulu sangat mengenalku. Aku tersenyum.
“Sudah lama tidak melihat Ibu di sini,” ujarnya.
“Iya, saya sdikit sibuk, jadi jarang ke sini.” sahutku asal-asalan. “Pak Sam apa kabar? Dia masih di Amerika?” Entah kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“Beliau sudah kembali minggu lalu ke sini. Ibu ingin bertemu? Beliau ada di hotel, jika Ibu mau saya akan menelepon beliau.” jawabnya antusias.
Deg! Sam di sini?
“Oh, tidak, tidak usah. Biar nanti saya saja yang menghubungi. Terima kasih. Saya mau pesan yang biasa ya, teman saya juga sama.” sahutku mengalihkan pembicaraan.
“Oh, baik, Bu. Pesanan segera datang.” Pramusaji itu pun berlalu.
Kuembuskan napas dengan kuat, melepaskan sebuah rasa yang menyesak saat mendengar Sam kembali ke kota ini.
***
Sedang asik menikmati makanan, seorang pria berbadan tegap memasuki restoran. Jantungku seakan lepas dari tempatnya ketika mata kami beradu pandang. Namun aku begitu terkejut, saat pria itu segera membuang pandangannya dariku, seolah ia tak pernah mengenalku. Ia terus saja berjalan ke arah kasir. Bicara sebentar dengan wanita itu sebelum ia kembali melangkah masuk ke sebuah ruangan yang aku tahu itu adalah ruangan pribadinya. Aku kembali menghela napas, berusaha bersikap biasa di hadapan Sarah, meskipun aku heran dengan sikap pria itu.
Tak lama, seorang wanita cantik berkulit putih pun masuk ke restoran itu. Aku bertambah terkejut, sebab wanita itu yang tadi kulihat di media sosial mengenakan gaun pengantin. Berarti wanita itu istrinya. Aku sempat tertegun dengan kecantikannya. Wanita bule bermata biru, mengenakan hijab yang nyaris sempurna. Pertama kalinya kulihat dalam hidupku. Wanita itu menyapa semua karyawan di sana dengan ramahnya, sebelum ikut masuk ke dalam ruangan pria tadi.
Ah, kenapa tak sanggup lagi rasanya menelan makanan ini?
***
No comments:
Post a Comment