Sunday, June 14, 2020

KAYLA 13

#PART_13

“Dia memang orang asing, tapi pasti tidak asing di hatimu.” Ucapan Zein menyentakku. Apa maksudnya? Apa dia mencium sesuatu yang kusembunyikan? 

Kuberanikan diri menatap mata pria yang kucintai ini, “apa maksud Abang?” 

Zein membuang pandangan, menaruh cup kopinya di meja. Begitu pun yang ada di tanganku, ia ambil dan juga menaruhnya di meja. Lalu kembali iris kami saling beradu. Merasa tak sanggup menatap mata teduh itu, aku menunduk di hadapannya. Seperti seorang terdakwa yang akan diadili sebentar lagi. 

Tangan kokohnya meraih jemariku, kehangatan mengalir ke seluruh inci tubuh. Inilah yang membuatku begitu mencintai Zein, meskipun aku pernah menduakannya. 

Zein tersenyum, “Kayla,” ucapnya pelan,”Abang bukan lelaki bodoh. Abang tahu apa yang kamu sembunyikan. Tidak sulit mencari tahu siapa yang membawamu ke sini. Dokter yang menanganimu, adalah teman Abang semasa SMU dulu.”

Aku terbelalak kaget. Berarti Dokter tampan kemarin itu temannya Zein?

“Beliau yang menelepon Abang, dia mengenalmu, walau kamu tidak mengenal dia. Sebab dia hadir di pernikahan kita dan lumayan sering datang ke kantor. Jadi, mustahil jika dia tidak mengingatmu dengan baik. Bukankah di kantor, foto pernikahan kita terpampang begitu besar?” 

Kutelan saliva yang menyekat di tenggorokan. Ada sesak emmenuhi rongga dada. Pasti Zein menduga aku kembali main hati dengan Sam.

“Sameer?” 

Kembali aku tersentak mendengar nama itu disebut oleh pria di depanku. Semakin tak karuan rasanya hatiku. Malu, merasa bersalah dan merasa telah membohongi Zein, bercampur jadi satu. 

“Maafkan aku, Bang,” lirihku, nyaris tanpa suara. Dengan kepala masih menunduk dalam. 

“Maaf untuk apa?” Zein memegang daguku, membawa wajahku menghadap kembali padanya. 

“Sungguh, aku sama sekali tidak mengkhianatimu, aku ... aku hanya tidak tahu harus berbuat apa. Aku ... aku ... .” Air mataku pun mengalir deras. Namun anehnya, Zein malah tersenyum dan membawaku rebah dalam dadanya yang bidang. Pelan ia mengusap-usap kepalaku penuh cinta. 

“Sudahlah! Abang tahu, ini bukan kehendakmu. Hanya saja, belajarlah berkata jujur pada suamimu, sekecil apa pun hal itu. Bagaimana kalau Sam berbuat macam-macam padamu?”

Aku melingkarkan kedua tangan ke tubuh Zein. Erat. Seakan takut membayangkan kemungkinan buruk yang akan dilakukan Sam kemarin. Kugelengkan kepala kuat-kuat.

“Sungguh, Abang tidak akan pernah rela jika itu benar-benar terjadi.” Zein membalas pelukanku. Mencium puncak kepalaku begitu lama. Tangisku semakin menjadi.

Kemudian Zein tak lagi bicara, begitu pun denganku. 

Hening.

Hanya isak tangisku yang terdengar di ruangan itu. Zein membiarkanku melepaskan segala rasa yang menyesak di dada, hingga tangisku reda, dan hanya sesegukan yang tersisa. Lelah, dan tanpa sadar aku tertidur dalam dekapan Zein. Lelaki yang begitu baik dan sering membuatku merasa malu saat ia selalu memaafkan setiap kesalahan yang kuperbuat.

*** 

Kembali terbangun, dan menemukan diriku sudah berada di tempat tidur. Kulihat Zein tertidur di kursi disampingku, dengan posisi kepala menekur dan bertumpu pada tangan kanannya. Sementara tangan satunya masih menggenggam erat jemariku. Aku tersenyum, ada genangan yang siap meluncur dari pelupuk mata. Kuusap kepala pria itu menggunakan tangan kiriku. Ia menggeliat, dan akhirnya terbangun. Sementara jam dinding menunjukkan pukul dua belas siang, hampir memasuki waktu salat Zuhur.

Cepat kuusap air mata yang terlanjur jatuh. 

“Kay,” lirihnya dengan suara serak. Ia masih berusaha membuka matanya yang masih menyipit, mungkin lelakiku ini masih mengantuk. 

“Maaf kalau aku membangunkan Abang. Tidur saja kembali, tapi jangan di sini, nanti pegal badannya.” kataku sambil tersenyum. 

Zein tersenyum, meregangkan kedua tangannya. “Nggak usah Kay, udah mau Zuhur kan?” Ia melirik jam dinding. 

“Iya.” 

“Ya sudah, Abang mau bersih-bersih badan dulu ya?” Zein bangkit dari duduk, melangkah menuju kamar mandi, setelah mengambil handuk dan pakaian ganti dari tas yang ia bawa. Aku hanya mengangguk, mengekorinya dengan tatapan hingga tubuh tegap itu menghilang di balik pintu. Suara gemericik air menandakan pria itu telah memulai aktivitasnya di dalam sana. 

Kuhela napas, pandanganku menerawang menatap langit-langit kamar. Ada bayangan wajah Sam melintas di benakku. Sam dan segala cintanya. Sam dan segala yang pernah ia lakukan untukku. Di mana pria konyol itu? Datang seenaknya, pergi juga seenaknya saja. Dia menghilang setelah menculikku, ah tidak, bukan menculikku, tapi dia menyelamatkan nyawaku. Aku harus berterima kasih padanya, terlepas dari kesalahan yang ia perbuat. 

Terlempar dari lamunan, tatkala seorang perawat masuk membawakan makan siang untukku. Dia perawat yang tadi mengantarkan mawar merah untukku.

“Siang, Bu. Bagaimana kabarnya siang ini? Apakah sudah lebih baik?” sapanya begitu ramah sembari menaruh makanan di meja samping tempatku berbaring, di mana buket mawar merah itu masih tergeletak begitu saja di sana.

“Siang, Sus. Alhamdulillaah sudah lebih baik,” sahutku seraya tersenyum.

“Lho? Ini kenapa sarapan paginya belum disentuh sama sekali, Bu?” tanyanya heran.

“Saya tadi ketiduran Sus, nggak sempat sarapan.” sahutku.

“Ooh, iya, Bu nggak apa-apa. Makan siangnya tolong dihabiskan ya, Bu, Ibu kan harus minum obat,” pesannya seraya hendak berlalu. Dengan sigap kutahan tangannya. 

“Suster!” bisikku, memandang sejenak ke pintu kamar mandi, untuk memastikan bahwa Zein masih berada di dalam.

“Ya, Bu?” 

Aku menempelkan telunjuk di bibir, mengisyaratkan agar ia tak mengeraskan suaranya. Tampaknya ia langsung paham dan mendekat padaku. 

“Suster tahu pria yang menemani saya beberapa hari yang lalu itu?”

“Iya, Bu. dia yang mengaku-ngaku suami Ibu bukan? Ternyata dia hanya teman suami Ibu?” tebaknya. Sedikit terkejut dengan pernyataan itu, namun kuabaikan.

“Iya. Apa dia menitipkan pesan untuk saya?”

Ia menggeleng. “Tidak Bu, dia hanya bergegas pergi sesaat setelah bicara dengan Dokter. Lalu ia kembali untuk menitipkan mawar itu untuk Ibu.” 

Ada sedikit rasa kecewa mendengar jawabannya.

Zein ke luar dari kamar mandi, lalu perawat itu pun minta izin untuk meninggalkan ruangan tempatku dirawat.

 Sambil menyeka rambutnya yang masih basah dengan handuk putih itu, Zein melangkah mendekatiku. Bau wangi sabun dan sampo yang ia gunakan menguar menusuk hidung, membuatku semakin rindu padanya. 

“Mau makan sekarang?” tanyanya sambil melirik makanan di meja. 

“Nanti saja, Abang nggak mau salat jama’ah ke musola rumah sakit?”

“Kamu ditinggal sendiri nggak apa-apa?” 

Aku tergelak. “Nggak usah lebay, Bang!” 

Zein tersenyum. Menatapku begitu intens. 

“Kenapa menatapku seperti itu?” tanyaku risih. Meskipun dia suamiku, jika tatapannya seperti itu tetap saja membuatku grogi. 

“Kamu cantik.”

“Ishhh, jangan ngegombal di sini, ini rumah sakit,” kilahku menyembunyikan rasa malu. Padahal wajahku terasa panas dan mungkin saja sudah memerah. 

Zein mengusap kepalaku sambil tersenyum menggoda, “sama suami sendiri aja masih suka malu-malu gitu,” ujarnya. 

“Aaah, udah sana salat, nanti telat!” kutepis tangannya dengan wajah yang pura-pura cemberut. 

“Oke Sayang, Abang pergi dulu, ya? Mau Abang panggilin Suster buat menemani?”

“Nggak usah, aku bukan ank kecil Bang. Lagian kan aku bisa nunggu Abang kembali dari musola kalau mau apa-apa.” tolakku.

“Baiklah kalau begitu.”

 Zein pun berangkat ke musola, meninggalkanku seorang diri. 

Baru dua menit Zein pergi, tiba-tiba seseorang menerobos masuk ke dalam ruanganku. Aku begitu terkejut, terpaku menatap sosok yang kini tengah berdiri di dekat pintu yang sudah kembali tertutup. Jantungku berdebar begitu kencang demi melihat kenekatan pria itu. 

“Sam, apa yang kamu lakukan di sini?” Spontan aku bangkit meski harus menahan rasa ngilu di kaki. 

Sam tersenyum, “i miss you, Kayla.”

“Sam, sudah kubilang ....”

“Aku hanya ingin melihatmu, sebentar saja, tidak boleh?”  potongnya. Perlahan ia melangkah mendekatiku. Debaran jantungku semakin kencang, aku takut kalau Zein tiba-tiba masuk. 

Lidahku kelu, aku tak tahu harus berkata apa. Kini pria itu sudah berdiri di sisi tempat tidurku, kembali aroma parfumnya menguar menyapa indera penciuman. Aroma yang sangat kusukai. 

Kemeja hitam yang selalu menjadi favoritnya melekat di tubuh tegapnya. Begitu kontras dengan kulitnya yang putih. Ah, Sam, kau menggoda imanku lagi! 

“Izinkan aku melihatmu, untuk yang terakhir kali, karena setelah ini, aku berjanji ... aku akan menjauh dari kehidupanmu,” lirihnya.  Dan kulihat bola matanya berkabut. Sesuatu tergenang di telaga yang meneduhkan itu. 

“Kamu mau ke mana?” Pertanyaan konyol, Kayla! Apa pedulimu? Bukankah seharusnya kau senang? 

Sam tertawa kecil tanpa suara, satu persatu butiran bening meluncur di sudut matanya. 

“Aku akan kembali ke Amerika, di sana aku masih punya ibu.” 

“Amerika?” Mataku membesar, entah kenapa ada rasa takut kehilangan saat ia menyatakan keputusan itu. “Lalu bagaimana dengan restoran, hotel dan ... SamLa-mu?” Ya ampun Kayla, apa yang kau tanyakan itu?

“Semua sudah ada yang menangani.” sahutnya datar. “Aku pergi ... karena aku sadar, aku tak bisa memilikimu. Aku ingin melupakanmu. Sebab jika aku tetap di sini, di kota ini, tak mustahil kita akan tetap bertemu. Aku tak ingin menyakitimu lagi, walau aku sendiri harus tersakiti dengan melupakanmu.” jelasnya setengah berbisik. 

Aku terdiam. Menyaksikan wajah tampan itu basah oleh air mata. Entah apa yang harus kulakukan saat ini. Ada rasa sedih, rasa sakit yang bercampur jadi satu. Aku memang tak ingin terlibat cinta terlarang lagi dengannya, tapi aku juga tak ingin ia pergi sejauh itu. Bagaimana kalau aku rindu? Maksudku, bagaimana kalau aku rindu pada masakan yang ia buat dengan tangannya sendiri? 

“Maafkan atas keegoisanku selama ini. Maafkan atas sikap dan tingkah lakuku yang selalu menyusahkanmu. Setelah ini, kamu bisa hidup tenang bersama Zein ... tanpa gangguanku.” Sam berusaha tersenyum, meski terlihat getir. 

“I always love you, Kayla,” bisiknya. “Bye ... assalaamu’alaykum!” Sam mundur perlahan, menjauhi tempat tidurku. Sedang aku hanya diam terpaku menatap kepergiannya, hingga ia berbalik, dan hanya punggungnya yang terlihat. Bahkan hingga tubuh tegapnya hilang di balik pintu, aku masih saja terpaku.

 Diam. 

Bergeming. 

“Sam,” desisku pelan, saat tubuhnya benar-benar tak lagi dapat terlihat olehku. Lalu kurasakan sesak memenuhi rongga dada. Sesuatu yang panas membuat mataku berkabut. Bahuku berguncang. Tangis pun pecah.

Tak relakah aku akan kepergiannya?

***
Bersambung..

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER