#KAYLA
#PART_12
“Sam, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanyaku hati-hati saat melihat pria itu asik dengan laptop dan beberapa berkas yang berserakan di atas meja. Sudah dua hari ini kulihat dia begitu sibuk di sofa yang terletak di sudut ruangan ini.
“Ada apa, Kay?” Ia bertanya kembali tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Aku menghela napas. Kemarin sore selang infus dan oksigenku sudah dilepas, dan itu membuatku sedikit lega dan merasa sedikit lebih baik.
“Ini di mana?”
“Ya di rumah sakitlah, Kay. Kamu ini ada-ada saja!” Sam tertawa sambil melirikku sekilas.
“Bukan, maksudku ... di mana Zein? Apa dia baik-baik saja?”
Sam terdiam, matanya beralih menatapku. Kuberanikan diri membalas tatapannya.
“Kita di rumah sakit kabupaten.” sahutnya singkat. Lalu kembali menekuni pekerjaannya.
“Zein? Apa dia ada juga di sini?” lirihku.
Sam menghela napas. Ia menutup laptopnya, lalu bangkit dan melangkah mendekatiku.
“Kenapa terus menanyakan Zein?” tanyanya datar. Raut tak suka begitu terlukis di wajah tampannya.
“Karena dia suamiku, Sam. Aku sangat khawatir dengannya, apakah dia selamat atau ... .”
“Zein baik-baik saja. Keadaanmu lebih parah dibanding suamimu.” potong Sam.
“Zein? Zein baik-baik saja?” Mataku terasa berkabut, buliran bening itu perlahan berlarian di pipi, ada rasa bahagia bercampur rindu mendengar kabar Zein. “Di mana dia? Antarkan aku padanya!” pintaku sambil menraik-narik kemeja Sam secara tak sadar.
Sam terdiam. Matanya masih menatapku tak berkedip.
“Sam, please ... antarkan aku pada Zein, suamiku,” lirihku memohon.
“Aku membawamu menjauh dari Zein, agar kamu melupakan suamimu itu. Sengaja hanya kamu yang aku selamatkan saat kecelakaan itu, tapi sayangnya ... semua yang kulakukan tak mampu menghapus Zein dari ingatanmu,” ujar Sam dengan nada sedih.
“Bagaimana mungkin aku bisa melupakan suamiku sendiri?”
Pria bule itu tersenyum sinis, membuang pandangan dari wajahku.
“Ya, aku pria bodoh. Berharap pada wanita yang salah, hanya karena cinta yang terlalu dalam untukmu. Maaf, jika aku sempat berharap Zein mati. Ternyata ... Allah masih mentakdirkan dia menemani hidupmu.”
Sulit sekali menelan saliva yang terasa menyekat di tenggorokan mendengar kata-kata Sam.
“Sudahlah! Sekarang kamu istirahat, sudah larut malam.” Sam kembali ke sofa setelah menarik selimut dan menutup tubuhku sampai ke dada.
“Antarkan aku pulang!” Tangisku kembali pecah. “Sam! Kamu mencintaiku, berarti kamu harus membahagiakanku, dan bahagiaku adalah Zein!”
Sam bergeming. Ia kembali tenggelam dengan pekerjaannya tanpa menggubrisku lagi. Seolah tak peduli dengan kata-kata yang kulontarkan. Sementara aku terus saja menangis, hingga lelah rasanya, dan entah mulai kapan akhirnya aku pun tertidur.
***
Mataku perlahan terbuka, saat merasakan usapan lembut di kepala. Sedikit terperanjat dan rasanya bagai mimpi, melihat wajah yang kurindukan tengah tersenyum menatapku. Matanya merah, seperti habis menangis. Aku mengerjapkan mata, berharap kalau pria di hadapanku ini nyata adanya, bukan mimpi.
“Kayla,” lirihnya.
“Bang Zein?” tanyaku tak percaya. Wajahnya banyak luka lecet yang hampir mengering. Pergelangan tangannya pun penuh luka yang masih tertutup perban. Jelas sekali terlihat, sebab ia hanya mengenakan baju kaos lengan pendek.
Zein mengangguk pasti. Lalu aku spontan bangkit dan melingkarkan tangan di lehernya, meraih tubuh Zein dalam pelukan.
“Aku rindu, Abang ke mana saja? Apakah baik-baik saja? Kenapa tak mencariku?” tangisku pecah.
“Abang selalu mencarimu, hanya saja, baru sekarang Allah mempertemukan kita.” sahut Zein lirih. Kedua tangannya begitu erat melingkari tubuh lemahku.
Lama kami berpelukan. Hingga tak lama Zein merenggangkan pelukan, membantuku kembali berbaring. Ia menatap kaki kananku yang diberi penyangga dengan wajah sedih.
“Ada apa dengan kakimu?”
“Kata Dokter, tungkai kakiku mengalami keretakan,” jawabku pelan.
“Astaghfirullaah! Maafkan Abang, Kay. Gara-gara Abang kamu harus mengalami hal ini, kalau saja pagi itu Abang tidak mengantuk, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi.” Zein menangis sambil menghujaniku dengan ciuman.
“Abang, aku baik-baik saja,” ucapku sambil sedikit menjauhkan wajahnya dariku. “Justru aku khawatir denganmu, apa Abang tidak apa-apa?” Kusentuh wajahnya.
Zein menggeleng. “Abang baik-baik saja. Hanya luka-luka tak berarti. Allah masih melindungi Abang. Kalau Abang terluka parah, tak mungkin bisa merawatmu nanti.” jawabnya sambil tersenyum getir. Kembali ia mengecup keningku.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sam. Di mana pria itu? Kulirik sofa yang semalam penuh berkas-berkas berserakan di meja, juga tubuh tegap yang fokus dengan layar laptopnya. Dia tidak ada. Bahkan tak ada tanda-tanda jika semalam meja dan sofa itu dihuni oleh pemilik mata abu-abu itu.
“Kamu kenapa, Kay?” tanya Zein.
“Ah, tidak apa-apa,” sahutku. “Siapa yang memberitahu Abang jika aku ada di sini?” tanyaku penasaran.
“Pihak rumah sakit yang menelepon Abang. Abang sendiri bingung, dari mana mereka tahu nomor ponsel Abang. Tiba-tiba saja, tengah malam mereka memberitahu jika di sini ada kamu. Katanya sudah hampir seminggu kamu dirawat di sini, sejak ada seseorang yang membawamu dalam keadaan kritis. Tapi mereka tidak mau memberitahu siapa orangnya. Mereka bilang, orang itu tak ingin diketahui identitasnya. Bahkan seluruh biaya rumah sakit ini sudah di lunasi.” Jelas Zein panjang lebar.
Sam. Dia melakukan semua dalam sekejap? Bahkan dia menghilangkan diri setelah memberitahu Zein keberadaanku. Terima kasih, Sam. Tapi, apakah nanti kamu akan kembali hadir di antara aku dan Zein? Kuharap tidak.
“Kamu sendiri, kenapa tak meminta pihak rumah sakit untuk menelepon Abang? Kamu hapal bukan nomor ponsel Abang?” Selidik Zein.
Aku terkejut, bagaimana mungkin aku menjawab jujur pertanyaan itu?
“Aku lupa, Bang. Karena setiap mengingat sesuatu, kepalaku langsung sakit.” jawabku berbohong, demi menutupi kesalahan Sam.
“Apa Dokter mengatakan sesuatu tentang luka ini?” Zein menunjuk kening bagian kanan yang masih diperban.
“Tidak, ini baik-baik saja.”
“Alhamdulillaah, syukurlah,” Zein tersenyum sumringah.
“Sudah jam enam pagi, kamu pasti belum salat Subuh kan?” Zein mengingatkan.
“Astaghfirullaah, iya Bang, aku tadi ketiduran.” sesalku.
“Ya sudah, kamu tayamum, lalu salat. Abang mau cari sarapan dulu ya?” Zein mengusap kepalaku.
“Iya, Bang. Oh ya, Ayah dan Ibu kenapa tidak ikut? Mereka tahu kalau kita mengalami musibah?”
Zein mengangguk lemah, seperti ada yang dia sembunyikan.
“Ada apa dengan mereka, Bang? Mereka baik-baik saja bukan?”
“Ya, mereka baik-baik saja. Hanya saja, Ayah jatuh sakit, mendengar kamu menghilang.”
“Ayah sakit?”
“Iya. Tapi sebelum ke sini, Abang sudah mengabari mereka, dan berjanji membawamu pada mereka selepas dari rumah sakit ini.” pungkas Zein.
Aku terdiam. Sekelebat bayangan wajah Ayah dan Ibu membuat rinduku membuncah. Tak sabar ingin segera bertemu mereka. Perjalanan rindu beberapa waktu yang lalu telah membawaku terlempar ke tempat pesakitan ini. Semoga nanti, rindu pada mereka menemukan muaranya.
“Jangan bengong Sayang, Subuhnya udah jauh ketinggalan!” tegur Zein saat melihat istrinya masih bergeming. Lalu pria itu melangkah ke luar dari ruangan, meninggalkanku untuk melaksanakan kewajiban yang tak sengaja telah kulalaikan.
***
“Bu, saya boleh masuk?” Seorang perawat menyembulkan kepala dari balik pintu.
Aku yang baru saja mengakhiri doaku menoleh dan mengangguk. “Silahkan, Suster!”
Bergegas ia masuk dan mendekatiku. “Maaf Bu, tadi malam lelaki yang menolong Ibu menitipkan ini untuk ibu.” Wanita itu menyodorkan satu buket mawar merah. “Ya sudah, saya permisi dulu ya, Bu.” Tanpa menunggu jawabanku, ia bergegas kembali meninggalkan ruangan tempatku di rawat. Menaruh buket mawar itu begitu saja di pangkuanku. Sepertinya ia takut jika Zein melihat. Mungkin juga dia sudah tahu, siapa Sam dan siapa Zein bagiku.
Mawar merah. Hanya bisa kupandangi tanpa tahu harus kuapakan.
“Sayang, sudah selesai salat?” Suara Zein membuatku begitu kaget, lupa menyingkirkan mawar merah ini. Tiba-tiba saja lelakiku sudah masuk dengan dua cup kopi hangat di tangan.
“Sudah lama kita nggak ngopi berdua, di sini dingin sekali.” ujar Zein sambil menaruh kopi itu di meja dekat sofa. Kemudian ia melangkah ke arahku, matanya langsung tertumbuk pada mawar di pangkuan. “Ini … dari siapa?” tanyanya sambil menatapku penuh selidik.
Aku sedikit gugup, lalu mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu, Bang. Barusan ada suster yang ngantar ke sini, katanya dari orang yang membawaku ke rumah sakit ini.”
Zein terdiam. Lalu meraih mawar itu, memandangnya sejenak. Kupikir dia akan memasukkannya ke tong sampah.
“Kamu suka mawar ini?” tanyanya.
Ragu aku mengangguk. Zein menghela napas. “Baiklah. Kalau gitu kita taruh di sini saja.” Zein menaruh mawar itu di atas meja di sisi tempat tidur.
“Ayo, Abang bantu kamu berdiri! Kita duduk di sofa ya?”
Aku mengangguk, bertumpu pada bahu Zein. Sakit sekali rasanya kaki ini digerakkan.
“Sakit, ya?” tanya Zein prihatin.
“Nggak usah nanyaaaaaaa!” Kucubit pipinya dengan keras, hingga membuat pria itu meringis kesakitan.
“Kok malah nyubit sih?”
“Habis, Abang pake nanya sakit apa enggak, ya sakitlah, namanya tulang retak.” omelku.
“Ishhh, udah bisa ngomel, berarti udah sehat. Kita pulang besok ya?” Zein terus membantuku berjalan, merelakan tubuhnya menjadi tumpuan berat badanku hingga aku berhasil mencapai sofa.
“Terserah Abang saja.” sahutku sambil sedikit meringis menahan sakit. “Kenapa nggak gendong aku aja sih, Bang? Kan kakiku sakit!” sungutku.
“Jangan dimanjain kalau kaki begitu, Kay. Harus dilatih terus untuk jalan, biar lekas pulih.”
“Alasan, bilang aja nggak mau gendong aku!”
“Ya Allah, dia suuzon terus sama suaminya,” gumam Zein sembari tertawa kecil. Lalu ia duduk tepat di sebelahku, menyodorkan satu cup kopi untuk dinikmati. Sungguh, aku bahagia sekali pagi ini. Ada Zein di sini. Walau bagaimana pun, aku harus berterima kasih pada Sam atas segala apa yang telah ia lakukan untukku. Terlepas dari kesalahan yang ia perbuat karena telah menculikku dari Zein.
Embusan angin yang masuk melalui jendela ruangan yang sedikit terbuka membuat jantungku berdebar kencang. Ada perpaduan aroma mint dan cokelat masuk menyapa rongga hidung. Aku tahu ini wangi siapa. Apa dia datang lagi? Ah tidak, mungkin aroma parfumnya saja yang tertinggal di sofa ini.
“Kay, kamu kenal siapa yang membawamu ke sini?” tanya Zein tiba-tiba, dan itu hampir membuatku tersedak.
“Pertanyaan konyol apa itu, Bang?” Kubuang pandangan dari tatapan penuh selidik milik Zein. “Bagaimana mungkin aku mengenal orang asing itu.”
Zein terdiam, namun manik matanya masih menatapku tajam.
“Mungkin dia memang orang asing, tapi pasti dia tidak asing di hatimu.”
Deg! Apa-apaan Zein ini? Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Apa dia sudah tahu jika Sam yang telah membawaku ke sini?
***
Bersambung....
No comments:
Post a Comment