#KAYLA
#PART_11
#Katanya, Cinta Itu Buta ...
Perlahan, kucoba membuka mata yang begitu berat. Merasakan sekujur tubuh begitu ngilu. Berulang kali mencoba, barulah mata ini bisa terbuka dengan sempurna. Ruangan serba putih. Selang oksigen yang menempel di hidung, serta selang infus yang menusuk tangan kiri masih menyisakan rasa sakit. Sunyi. Seperti tak ada siapa pun di sini.
Kuangkat tangan kanan untuk meraba bagian kepala yang terasa sakit dan perih. Benar saja, ada onggokan perban menempel di sana. Sedikit meringis namun tertahan. Kaki kananku pun sangat sakit sekali, bahkan untuk digerakkan saja aku tak mampu saking sakitnya.
“Astaghfirullaah!” lirihku tertahan.
Tenggorokanku terasa begitu kering, haus sekali. Kutolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, memang tak ada siapa pun. Sepertinya ini ruangan khusus, dan hanya aku seorang diri saja di sini.
_Apa yang telah terjadi?_ batinku. Mencoba mengingat apa yang telah menimpaku, namun begitu sulit, yang kuingat hanya kala itu aku tertidur, lalu mendengar bunyi hantaman keras dan aku terombang ambing di dalam mobil, lalu ...
“Kayla?” Suara itu membuat ingatanku buyar seketika. Ternyata di sudut sana, di sofa itu ada orang lain selain aku. Sepertinya tadi ia tertidur di sana, pantas aku tidak melihatnya.
“S-S-Sam?” ucapku terbata, dengan suara yang sulit untuk dikeluarkan. Sungguh terkejut melihat kehadiran pria bule itu di sini. Bagaimana mungkin dia yang menjagaku? Ke mana orang tuaku? Apa mereka tidak tahu kalau aku ...
“Kamu sudah siuman? Syukurlah, aku sangat khawatir melihatmu.” ujarnya seraya melangkah mendekatiku. Perlahan tangannya meraih gelas berisi air mineral, menyendoknya lalu menyodorkannya ke mulutku. Kugelengkan kepala sambil tetap mengatup mulut.
“Minumlah sedikit, aku tahu kamu pasti haus,” perintahnya. Aku bergeming, masih dengan seribu pertanyaan di benakku. Di mana akhirnya aku mengalah, membuka mulut dan menerima beberapa sendok air mineral dari Sam. Sedikit membasahi tenggorokan dan dahagaku hilang seketika.
“Tunggu sebentar, aku akan memanggil Dokter untukmu.”
Sam hendak melangkah pergi, namun terhenti saat mendengar pertanyaanku. “Mana suamiku? Mana Zein? Apakah dia baik-baik saja?” tanyaku antusias.
Pria bermata abu-abu itu memandangku lama, lalu ada senyuman yang tak mampu kuartikan terlukis di wajahnya. Ia tak menjawab, tapi melenggang pergi begitu saja dari hadapanku.
“Sam!”
Terlambat, tubuhnya benar-benar sudah menghilang di balik pintu.
_Ada apa ini ya Allah? Apa yang terjadi pada suamiku?_
Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak, sesuatu pasti terjadi dengan Zein. Lalu Ayah dan Ibu di mana? Kenapa di sini hanya ada Sam?
Kembali pikiranku buyar saat seorang Dokter muda dan asistennya masuk ke ruangan. Bergegas mereka mendekatiku, melakukan beberapa pemeriksaan. Lalu mengajukan sekelumit pertanyaan ringan.
“Syukurlah, keadaan ibu sudah jauh membaik setelah dua hari tidak sadarkan diri. Hanya saja, ibu mengalami keretakan tulang pada bagian tungkai kaki sebelah kanan. Tapi insyaa Allah dengan asupan makanan yang benar, terutama yang mengandung vitamin D dan kalsium, itu akan membantu proses pemulihan dengan cepat. Jadi ibu tak perlu khawatir. Untuk sementara waktu, ibu harus menggunakan alat bantu dulu untuk berjalan,” jelas Dokter berwajah tampan itu sambil tersenyum. “Oh ya, nanti juga harus rajin kontrol untuk meninjau sejauh mana perkembangan tulang yang retak itu.” Tambahnya.
Aku hanya mengangguk-angguk lemah, pasrah dengan kondisiku.
“Dokter, bagaimana keadaan suami saya?” tanyaku memberanikan diri setelah mereka selesai memeriksa dan memberi penjelasan yang aku sendiri tak begitu mendengarkan dengan seksama.
“Suami? Bukankah suami ibu baik-baik saja? Dia yang tadi memanggil saya ke ruangan saya,” sahutnya lugas sedikit heran.
Aku mengerutkan dahi, sebelum paham maksud perkataan sang Dokter. “Bu-bukan Dokter, dia bukan suami saya, dia ....” Kutahan ucapanku saat melihat Sam masuk.
“Nah, itu beliau!” seru Dokter itu. Aku terdiam.
“Baiklah, Bu Naura, kami permisi dulu. Semoga lekas sehat ya?”
_Apa? Naura? Hei, sejak kapan namaku berubah?_
Mereka yang berseragam putih itu pun ke luar. Kembali hanya ada aku dan Sam di ruangan ini.
Sam tersenyum, mendekatiku.
“Tolong jelaskan padaku, ada apa ini Sam?” tanyaku lirih.
“Jangan berpikir macam-macam, Kay! Pikirkan saja kesehatanmu. Aku ingin melihatmu sembuh seperti semula. Itu saja.”
“Tapi Sam, aku butuh penjelasan. Mana Zein? Mana orang tuaku? Kenapa tak satu pun keluargaku ada di sini?”
“Karena memang mereka tidak tahu Kay!”
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Sssttt! Sudahlah Kayla, sekarang kamu istirahat saja. Ada aku di sini yang menemani. Tenang saja, aku tidak akan melakukan kebodohan apa pun.”
“Aku mau Zein!” Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir.
Sam menatapku iba. Namun sepertinya air mataku tak mampu membuka tabir rahasia yang sedang ia simpan rapat-rapat. Ia mengalihkan pandangan. Lalu tangannya menarik selimut dan menutupi tubuhku sampai dada. Aku bersyukur, di saat seperti ini auratku tetap terjaga. Jilbabku masih terpasang.
“Sudah malam, Sayang. Tidurlah!”
Ah, muak sekali rasanya mendengar Sam memanggilku ‘sayang’. Rasanya tidak pantas dia memanggilku seperti memanggil istrinya. Padahal dia bukan siapa-siapa. Dia hanya sebuah kesalahan yang berani kuciptakan di belakang Zein. Ya Allah, ujian seperti apa lagi ini?
“Sam, please ....” ucapku terisak, “tolong beritahu aku tentang Zein,” pintaku dengan nada memelas dan memohon.
Wajah Sam berubah, rahangnya terlihat mengeras.
“Setidaknya beritahu Ayah dan Ibuku kalau aku sedang sakit. Mereka berhak tahu, Sam. Apakah kamu tidak kasihan padaku?”
“Kayla, berhentilah memohon, aku benci melihatmu memohon seperti itu!” hardik Sam tertahan sambil menatapku tajam.
Aku tersentak kaget. Terpaku melihat reaksinya yang tiba-tiba saja seperti itu.
“Istirahatlah, agar kita bisa segera pulang!” Sam membalikkan tubuh menuju sofa di sudut ruangan. Lalu membaringkan tubuhnya di sana. Aku tahu, dia lelah. Bahkan penampilannya tak lagi ia perhatikan saat ini. Kemeja birunya yang terlihat kusut dan sudah tak lagi rapi melekat di tubuhnya.
Sam, seorang pemilik saham terbesar di hotel dan restoran itu, kini tengah bertindak bodoh hanya karena aku. Seorang wanita yang dulu juga tak kalah bodohnya dibanding dia. Apa yang tengah direncanakan pria ini padaku? Apa dia ingin memisahkan aku dengan suamiku? Ah, entahlah! Biarlah Allah yang mengatur segalanya, sebab hendak memberontak pun saat ini aku tak berdaya.
Kulirik jam dinding. Sudah pukul sebelas malam. Aku teringat salat. Masih ada waktu untuk salat Isya. Aku bertayamum dengan menempelkan kedua tanganku ke atas kasur, lalu mengusap wajah dan kedua tanganku. Kemudian aku melaksanakan kewajibanku sebagai hamba Allah yang penuh dengan dosa. Berharap dengan apa yang kualami ini, sebagai penggugur dosa yang selama ini telah kulakukan.
Selesai salat, aku terkejut melihat Sam yang sudah duduk di kursi di dekatku berbaring.
“Kamu sedang apa tadi? Salat kah?”
Hanya anggukan yang kuberikan. “Kamu sendiri, sudah salat?”
Sam menggeleng, tak berani menatapku.
“Sejak kapan kamu meninggalkan salat?”
“Sejak aku tak lagi menemukanmu.”
“Jadi salatmu hanya karena aku? Bukan karena Allah dan kewajiban sebagai muslim?”
Sam tampak salah tingkah.
“Sam ....”
“Aku wudhu’ dulu,” potongnya cepat seraya berdiri dan bergegas menuju kamar mandi.
Tanpa sadar, bibirku menyunggingkan senyum melihat tingkahnya. Meski pun jauh di lubuk hati, aku sungguh tak suka dengan perbuatannya padaku.
Kutatap langit-langit ruangan. Ada sesak memenuhi rongga dada, kala sebuah rindu hinggap di sana. Rindu pada lelaki yang sangat mencintaiku. Lelaki yang telah berbesar hati menerima perselingkuhan istri yang tak tahu diri ini.
“Bang, kamu di mana? Aku rindu,” bisikku.
Lalu sudut mataku kembali basah.
Bersambung
No comments:
Post a Comment