Friday, June 12, 2020

KAYLA 10

#KAYLA

#PART_10 

#Ketika Aku Memilih Setia

Aku mengangkat wajahku, menemukan kembali tatapan mata teduh yang pernah melambungkan perasaanku.

Pria itu tersenyum, senyum yang seakan kembali menggetarkan jiwa, “apa kabar, Kay? Aku sangat merindukanmu.” 

Ada debaran yang tak biasa kala kalimat itu terucap dari bibirnya. Kuhela napas demi mengusir sebuah rasa, mencoba menguasai diri agar tak lagi terbuai dengan angan yang pernah membuatku hampir melupakan Zein.

“Maaf, temanku sudah menunggu,” ucapku seraya berlalu begitu saja. Aku tak kuasa jika harus berlama-lama lagi berada di dekatnya. Tak ingin lagi benteng pertahanan ini runtuh apabila mata ini masih bersitatap dengan netra teduh miliknya. 

“Lama banget kamu Kay, aku udah nungguin dari tadi.” omel Sarah begitu aku sampai di meja kami.

“Kita pulang sekarang!” Aku menyambar tas di meja. Tanpa menunggu jawaban Sarah aku pun bergegas meninggalkan tempat itu. Tak lagi peduli pada Sarah yang kesulitan mengejarku setelah membayar semua makanan kami. 

Mengusap sudut mata yang sedikit berembun, menahan sebuah rasa sakit yang kembali mampir di sudut jiwa. Aku terus melangkah tanpa henti hingga tubuhku benar-benar telah berada di dekat mobil Sarah.

_Maafkan aku, Sam!_ batinku. Rongga dada terasa sempit. Nyaris saja pesonanya memudarkan rasa setiaku yang sedang kupupuk untuk Zein. Berharap agar diri ini tak lagi mengulang kesalahan yang sama.

Sarah datang, membuka kunci mobil sambil menatap heran padaku. Aku pun masuk, begitu juga dengan gadis manis itu. 

“Kamu kenapa sih, Kay? Kenapa wajahmu pucat begitu? Apa sesuatu terjadi saat kamu ke toilet tadi?” tanya Sarah. Matanya menatapku penuh selidik. 

Tersenyum lebar sebisa mungkin sembari menggeleng. “Hanya ingin buru-buru pulang, aku merasa tidak enak badan,” sahutku. 

“Serius?” Sarah membesarkan matanya.

“Iya,” jawabku singkat.

“Oke.” 

Lalu wanita itu menyalakan mesin mobil, dan perlahan merangkak meninggalkan pelataran parkir restoran milik Sam. Kuhela napas lega, seolah terlepas dari sebuah belenggu yang membuatku hampir lupa cara menghirup oksigen. 

“Kamu kenal dengan Sam?” Pertanyaan Sarah tiba-tiba menyentak lamunanku. Kulirik gadis yang asyik konsentrasi dengan benda bulat di depannya. 

“Di teman Zein,” jawabku. 

“Bukan temanmu?” 

“Apa maksudmu?” tanyaku dengan dahi berkerut. Pertanyaan Sarah seolah tengah mencoba mengupas sesuatu. 

“Cuma bertanya saja, kenapa kamu kaget begitu?” Sarah terkekeh. 

Mengembuskan napas lega, aku pikir Sarah mencium sesuatu yang aneh dariku. 

_Sam, kenapa kita harus bertemu lagi di saat aku tengah mengeratkan kesetiaanku pada Zein? Tahukah jika kehadiranmu menggoyahkan kembali benteng pertahanan yang susah payah kubangun sejak aku tak lagi peduli dengan rasaku padamu?_ 

*** 

Besok Zein kembali dari luar kota. Semalam dia meneleponku, katanya dia ingin sekali dibuatkan makanan favoritnya. Jadilah siang ini aku meluncur ke swalayan untuk belanja beberapa kebutuhan yang kebetulan sedang habis di rumah. Pak Khairul yang mengantar. 

Bergegas aku memasuki bangunan berlantai dua itu. Mengambil keranjang dorong, lalu meluncur ke tempat lauk pauk beserta sayuran segarnya. Setelah merasa cukup, aku berpindah ke counter kosmetik, kebetulan lipstikku sudah habis. Nanti malam Zein pulang, dan aku ingin selalu tampil memikat di matanya. Tak ingin wanita-wanita di luar sana lebih menggairahkan dan menarik perhatian Zein ketimbang aku. Setelah beberapa hari tidak di rumah, aku ingin memanjakan mata pria tampan itu. Aku ingin selalu menarik baginya. Bukankah berdandan untuk suami pahalanya begitu besar? Dan aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Meraih pahala sebanyak-banyaknya di saat aku mampu. Entah nanti kalau sudah memiliki anak, apakah aku masih bisa seperti ini atau tidak, yang jelas untuk saat ini aku hanya ingin menjaga penglihatan dan juga indera penciumannya saat berada di dekatku. Tampil wangi, bersih dan cantik adalah keutamaanku dalam melayaninya.

Memilih sebuah lipstik berwarna pink muda, warna yang selalu membuat Zein tak henti memuji saat bibirku dihias dengan warna itu. Tiba-tiba aku merasakan pipiku memanas, saat terngiang dan terbayang pujian yang Zein lontarkan untuk istrinya ini. Hanya bisa mengulum senyum, agar Mbak counter-nya tidak melihat ekspresi wajahku. 

Kudorong keranjang belanjaan untuk beranjak ke counter parfum, ingin memanjakan penciuman Zein dengan wangi baru, agar ia tak bosan dan selalu betah berada di dekatku. 

Ketika sedang memilih-milih wangi yang kira-kira Zein sukai, rongga hidungku menangkap sebuah aroma yang sangat kukenal. Perpaduan mint dan cokelat. Aku menoleh ke kanan, dan benar saja! Pemilik wangi itu tengah berdiri sambil tersenyum ke arahku. Ya Tuhan, jantungku kembali berdetak tak karuan. Cepat kubuang pandangan dari tatapan mata abu-abunya, mengambil dua jenis parfum yang sudah kupilih, lalu bergegas meninggalkan pria itu. 

Namun tangan kekarnya menahan keranjang dorongku, sehingga langkah pun ikut terhenti dibuatnya. 

“Maaf, Sam. Bisakah membiarkanku pergi?” tanyaku setengah memohon. Sulit sekali mengontrol irama jantung saat bertemu pria bule ini. 

“Kenapa menghindariku?” Sam menatapku tajam.

“Bukankah sudah kubilang, kalau aku milik Zein, aku sudah tak ingin lagi mengkhianatinya, aku mencintai suamiku.” tegasku pelan. Tak ingin kami menjadi bahan sorotan pengunjung swalayan yang lain. 

“Lalu bagaimana dengan cintaku?” tanyanya datar.

Aku mengerutkan dahi, memberanikan diri menatapnya. 

“Apakah kamu akan mengabaikan cintaku setelah apa yang pernah kamu berikan untukku? Bagaimana dengan rindu yang seringkali kamu ucapkan dulu? Dan apa arti kebersamaan kita selama ini?” 

“Sam, semua sudah berlalu. Aku khilaf. Hubungan kita haram. Aku punya suami.” Berusaha untuk kembali melangkah namun Sam masih menahan keranjang dorongku. 

“Aku tidak peduli!”

“Sam!”

“Aku mencintaimu. Aku meminta pertanggung jawaban atas rasa yang telah kamu tanam di sini!” Sam menunjuk dadanya.

Kuhela napas, saat sesak memenuhi rongga dada. “Maaf Sam, aku tidak bisa, aku tidak mampu meninggalkan Zein. Pria yang sudah begitu ikhlas memaafkan perselingkuhan kita.” tegasku lagi. 

“Lalu bagaimana denganku?” 

“Apa yang kamu inginkan, Sam?”

“Kamu.”

Mataku terbelalak. “Jangan pernah mengharapkan aku, Sam. Banyak gadis-gadis lain yang pantas kamu cintai dan kamu miliki. Jangan aku.”

“Tapi mereka tak sama sepertimu.” tukas Sam.

“Sam, please!” lirihku. 

Sam tertunduk, tangannya tak lagi memegang keranjangku. 

“I love you, Kayla.” bisiknya lirih.

Aku tertegun, mata terasa panas. Satu butiran bening berhasil melompat menuruni pipi. Dengan sigap kuhapus menggunakan punggung tangan. Kata-kata Sam seolah kembali ingin menghipnotis. Kata-kata yang sempat membuatku terbuai angan terlarang. Beristighfar dalam hati, sebelum akhirnya memutuskan meninggalkan pria itu. Kuharap ia tidak mengikutiku kali ini.

Menuju kasir, lalu menelepon Pak Khairul untuk membantuku membawa barang-barang ini. Ada rasa tak sabar saat menunggu Mbak kasirnya menghitung belanjaanku, karena aku merasa ada sesuatu yang hendak melompat turun dari kedua mata. 

Bergegas masuk ke dalam mobil, lalu menumpahkan tangisku di sana. Pak Khairul hanya terdiam sambil sesekali melirik melalui kaca spion. 

“Ibu baik-baik saja?” Akhirnya ia lontarkan juga pertanyan itu. “Apa ada yang mengganggu Ibu sewaktu di swalayan tadi?”

Aku menggeleng sambil menyeka air mata dengan tisu. “Saya baik-baik saja, Pak. Hanya kangen sekali dengan Ayah dan Ibu di kampung. Sejak menikah, saya tak pernah mengunjungi mereka.” sahutku asal-asalan. Akan tetapi aku sedang tidak berbohong, aku memang merindukan mereka. Kesibukan Zein membuat diri ini  tak berani mengungkapkan rasa rindu pada kedua orang tuaku. 

“Kenapa tidak mengajak Bapak ke sana, Bu?”

Aku tertawa kecil, menatap jalanan. “Bapak kan tahu sendiri bagaimana sibuknya suami saya. Saya tak ingin mengganggu waktunya. Nanti saja kalau beliau sudah memiliki waktu luang.” 

“Maaf, Bu. Bukannya saya lancang, akan tetapi segala sesuatunya itu, sebaiknya dibicarakan, jadi nanti pasti ketemu solusinya. Dalam berumah tangga, komunikasi adalah hal paling penting. Karena istri juga punya hak untuk mengunjungi orang tuanya, dan menghormati keluarga istri juga kewajiban suami. Jadi, jika Ibu rindu pada keluarga Ibu, tidak ada salahnya Ibu ungkapkan.” urai Pak Khairul panjang lebar.

Aku terdiam mendengar kata-kata pria separuh baya ini.

“Maaf kalau kata-kata saya salah ya Bu, tapi saya sudah menganggap Ibu dan Pak Zein itu seperti anak saya sendiri.” ucapnya sungkan.

“Nggak apa-apa, Pak. Terima kasih atas sarannya. Bapak benar, saya harus bicarakan ini dengan suami saya. Nanti malam beliau pulang.” pungkasku.

Pak Khairul hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. 

Mungkin dengan mengunjungi Ibu dan Ayah, aku bisa benar-benar melupakan Sam. Sejenak menyegarkan pikiran dan membersihkan hati yang terlanjur dikotori perasaan terlarang. 

*** 

“Ke tempat Ayah?” tanya Zein meyakinkan.

Aku mengangguk pelan, berharap Zein tidak marah. “Aku rindu sekali dengan mereka.” 

“Kapan kamu mau ke sana? Nanti Abang antar.”

Mataku membesar, “beneran, Bang?”

Zein mengangguk sembari tersenyum. “Apa sih yang enggak buat istriku yang cantik ini?” Ia mengusap kepalaku. Lalu membawanya reabah ke bahu kokohnya. 

“Tapi Abang juga harus ikut aku ya? Jangan habis ngantar nanti Abang pergi.” pintaku.

“Boleh, kalau cuma dua atau tiga hari di sana Abang temani, tapi jika kamu masih betah, terpaksa Abang tinggalin kamu di sana. Kamu maklum kan sama pekerjaan suamimu ini?” Zein mencium puncak kepalaku. 

“Iya, Bang. Nggak apa-apa. Sudah mau memenuhi permintaanku saja aku sudah senang sekali.” jawabku.

“Baiklah, kalau begitu, besok pagi kita berangkat.”

Aku terperanjat. Tak menyangka secepat itu dia menyetujui permintaanku. 

“Abang serius?” tanyaku tak percaya sambil menegakkan kepala, menatap dengan mata berbinar.

“Seriuslah, Sayang.” Zein mengacak rambutku.

“Maasyaa Allah, makasiiiiih Abaaaaang.” Kupeluk pria yang sangat kucintai ini dengan erat. 

“Sama-sama. Ya sudah, ayo istirahat, besok selepas salat Subuh kita langsung berangkat.” ucap Zein. Aku mengangguk mengiyakan.

*** 

Masih pagi sekali saat mobil yang dikendarai Zein merangkak meninggalkan halaman rumah kami. Bibirku tak hentinya tersenyum, membayangkan akan segera bertemu Ayah dan Ibu, melepas rindu yang sudah bersemayam di dalam dada. 

Menuju ke kampungku, membutuhkan waktu dua jam. Sehingga tak sadar saat separuh perjalanan aku sudah tertidur. Mungkin karena semalaman Zein ‘mengganggu’ waktu tidurku untuk memadu kasih dengannya, sehingga aku merasa lelah dan mengantuk sekali. Soalnya jam empat subuh aku sudah harus bangun lagi mempersiapkan segala sesuatu yang harus di bawa. 

Sengaja kami tidak memberitahu orang tuaku, agar menjadi sebuah kejutan buat mereka. 

Aku terkejut saat mendengar bunyi sebuah benda besar yang bertabrakan. Di saat yang sama, aku merasakan tubuhku terlempar ke sana ke mari, berputar-putar tak tentu arah. Sakit sekali rasanya. Ingin berteriak pun aku merasa tak sanggup.

_Ya Allah, ada apa ini?_ batinku.

 Ada cairan hangat mengalir mengenai mata dan membasahi wajah, ketika tubuh ini tak lagi merasakan apa-apa. Mencoba membuka mata walau terasa sangat sukar. Yang kutahu, saat ini aku dalam posisi telungkup di atas rerumputan liar.

“Abang ... .“ Hanya kata itu yang sanggup keluar dari bibirku sebelum seluruh kesadaranku terenggut sepenuhnya.

*** 

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER