#KAYLA
#PART_9
#Cinta Zein
Hening. Sedang aku terpaku di tempat, melihat Zein yang masih berlutut di depanku.
“Jika kamu tidak bahagia menjadi istriku ... aku rela melepasmu.” lirihnya sembari berusaha bangkit, hingga kini ia berdiri di depanku sembari menghapus pipinya yang basah. Aku yang terkejut mendengar ucapannya sontak berdiri dan menghambur ke dalam pelukan pria itu. Aku menangis tersedu.
“Jangan berkata seperti itu! Aku tidak mau pergi darimu, Bang.”
Zein yang awalnya tak merespon pelukanku, kini perlahan tangannya mulai melingkari tubuhku. Erat.
“Maafkan aku, maafkan wanita tak tahu diri ini. Maafkan semua tingkah lakuku. Maaf karena sudah mengkhianatimu. Aku ... aku janji, aku janji akan mengubah semuanya, aku janji akan menjauhi Sam. Aku akan melakukan apa saja asal jangan minta aku pergi darimu, aku ... “
“Sssstttt!” Sam merenggangkan pelukannya. “Sudah diamlah, kamu terlalu banyak bicara, Abang sampai pusing mendengarkannya.” Zein tertawa kecil. Bisa-bisanya dia melakukan itu dalam situasi seperti ini. Tak nampak sedikit pun raut marah atau kecewa di wajahnya.
Zein menatapku, lalu menghela napas. Sedang aku masih menangis sesegukan di depannya.
“Jangan menangis lagi, ayo kita pulang!” Zein menyeka air mata di pipiku.
“Tidak, aku tidak mau pulang, aku malu,” lirihku.
“Malu pada siapa? Pada Abang?” Zein membulatkan matanya.
Aku mengangguk pelan.
“Kenapa malunya sama Abang? Bukankah harusnya kamu malu pada Allah?”
Jleb! Bagai di tusuk anak panah hati ini mendengar pertanyaan Zein.
“Maaf, jika kata-kata Abang terlalu kasar,” sesalnya sambil merengkuhku ke dalam pelukannya. Namun segera kutepis, menjauh darinya. Zein terkejut. Alisnya bertaut memandangku.
“Kalau Abang mencintaiku, menyayangiku, kenapa membiarkan ada lelaki lain mendekatiku? Kenapa membiarkan lelaki lain mengisi hatiku? Kenapa membiarkanku terjerumus sejauh ini? Apa itu yang dinamakan sayang?” Suaraku sedikit meninggi.
Zein terdiam, manik matanya masih menatapku.
“Abang tahu semua tentang Sam, tapi seolah menutup mata dengan semua yang kulakukan bersamanya. Tahukah jika apa yang kulakukan itu juga membuat Abang ikut menanggung dosaku?”
Zein mengangguk pelan. “Iya, Abang tahu.”
“Lalu kenapa membiarkanku? Bagaimana kalau aku dan Sam ... sampai melakukan hal di luar batas? Apa Abang akan tetap seperti ini?”
“Abang tahu kamu tidak akan bertindak sejauh itu.” sahutnya datar. “Abang hanya ingin tahu kebahagiaan seperti apa yang Sam tawarkan padamu. Walau tak bisa Abang pungkiri, melihatmu sering bersamanya, membuat Abang ingin sekali membunuh pria itu, tapi saat melihat senyummu di sampingnya, Abang tidak tega. Kamu tak pernah tersenyum seperti itu jika bersama Abang. Jadi pantas saja kamu berpaling dari Abang, lelaki yang sering mengabaikan waktunya untukmu.” Zein melangkah perlahan mendekatiku. “Sekali lagi, maafkan Abang.”
Aku terdiam. Entah apa yang harus kulakukan.
“Bisakah kita mulai dari awal lagi?” Zein meraih kedua jemariku, menggenggamnya dengan erat sambil menatapku.
“Bang ... ”
“Sudah, ayo pulang, Abang rindu sekali denganmu,” bisiknya di telingaku.
Zein menarikku ke luar dari ruangan. Mengajakku meninggalkan kantornya.
Aku tak paham jalan pikiran Zein. Semudah itu dia memaafkan perselingkuhanku dengan Sam. Aku pikir dia akan membunuhku jika mengetahui hal itu, akan tetapi malah sebaliknya, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini.
Sam, apakah aku harus menjauhi pria itu demi Zein? Sedang rasa ini baru saja tumbuh, di sisi lain aku juga tidak ingin kehilangan Zein. Lalu aku harus bagaimana?
***
Kutatap pria yang keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk itu. Aku tak percaya, jika dia baru saja bermesraan denganku setelah apa yang terjadi. Dia sama sekali tidak marah dengan istrinya ini.
“Bang ... ”
“Ya?” Zein yang tengah memasang bajunya menoleh. “Ada apa, Kay?”
Aku bangkit dan duduk di pinggir ranjang.
Zein pun mendekat, mengambil duduk tepat di sampingku. Wangi sabun yang melekat di tubuhnya menusuk rongga hidung. Segar sekali. Rambutnya yang basah membuat pria itu terlihat begitu tampan di mataku.
“Bagaimana kalau ... .” Ragu untuk melanjutkan.
“Kalau apa?”
“Kalau aku ... tidak bisa melupakan Sam?”
Zein tersenyum, “itu urusanmu dengan Allah.” sahutnya tenang.
Aku bergeming sambil menahan sebuah rasa sakit yang kuciptakan sendiri di hatiku.
***
Sam, apa kabar pria itu sekarang? Sejak kemarin aku tak berkomunikasi dengannya. Dia pun tak berusaha menghubungiku. Apa dia tahu kalau Zein mengetahui hubungan kami? Atau ...
“Kay, kamu nggak ngajar?” tegur Zein saat melihatku masih termenung di depan televisi siang itu. Sementara jam sudah menunjukkan hampir pukul dua.
Aku menggeleng, “aku sudah tidak mengajar lagi.”
“Kenapa?” Pria itu mendaratkan tubuhnya di sampingku.
“Aku mengundurkan diri,” sahutku berbohong.
“Alasannya?”
Aku tak menjawab.
“Dulu kamu sendiri yang nggak mau berhenti saat Abang minta, kenapa sekarang malah mengundurkan diri tanpa sebab?”
“Aku hanya ingin jadi ibu rumah tangga saja, boleh ‘kan?”
Zein tertawa kecil sambil mengacak rambutku, “ya bolehlah Kay, Abang senang banget malah dengarnya.”
“Terima kasih,” ucapku sembari merebahkan diri ke bahunya.
Sejenak pikiranku kembali melayang pada Sam. Kenapa sulit sekali melupakannya? Haruskah rasa yang baru saja tumbuh ini kukubur dengan paksa? Aku mencintai Zein, tapi di sisi lain aku tak ingin kehilangan Sam. Akan tetapi, aku sudah tak ingin bermain api lagi, meskipun melupakan Sam, mencipta sebuah luka di relung hati.
... dan aku membiarkan semua berjalan apa adanya. Seperti air yang mengalir. Memutuskan untuk mencoba melupakan Sam dan kembali mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta. Mungkin semua terjadi karena aku mulai menjauh dari-Nya. Aku yang perlahan melepaskan genggaman syariat, aku yang secara tak sadar telah termakan bujuk rayu syaithan.
Hari-hari kembali kuisi dengan kegiatan yang selama ini telah kutinggalkan. Aku mendatangi majelis-majelis ilmu, lebih sering berkhalwat dengan Alqur’an. Terkadang walau Zein harus meninggalkanku ke luar kota, aku tak berusaha membuka celah untuk kembali menghubungi Sam. Kartu selulerku sudah diganti dengan yang baru. Bukan permintaan Zein, tapi atas inisiatifku sendiri. Karena semua aku yang memulai, dan aku sendiri yang harus memperbaikinya.
Seperti siang ini, aku baru saja ke luar dari masjid usai menghadiri kajian Aqidah bersama Sarah sahabatku. Pagi tadi, dia yang datang ke rumah menjemput.
“Kay, kita makan siang dulu, yuk!” ajak Sarah saat mobil yang ia kendarai mulai melaju meninggalkan halaman masjid.
“Boleh,” sahutku sembari memasukkan mushaf ke dalam tas, “mau makan di mana?”
“Hmm, aku punya tempat yang bagus, kamu pasti suka deh!”
“Oke. Awas kalau nggak enak!” ancamku.
Sarah hanya terkekeh.
Mobil putih itu terus melaju membelah jalanan. Sementara gerimis mulai turun perlahan menggantikan sinar matahari yang mulai meredup tertutup awan hitam. Ponselku berbunyi, ternyata ada pesan dari Zein. Senyum pun menghias wajah. Akhir-akhir ini komunikasi kami tak pernah putus. Meski hanya menanyakan hal-hal kecil, perhatian Zein semakin hari semakin meningkat padaku.
Saking asyiknya chattingan dengan Zein hingga tak sadar Sarah sudah memakirkan mobilnya di sebuah tempat.
“Ayo, Kay! Kita sudah sampai,” ujarnya sembari membuka pintu mobil.
“Oke, tunggu bentar!” sahutku tanpa mengalihkan pandangan dari layar benda pipih itu.
Segera kuakhiri percakapan dengan Zein. Lalu memasukkan kembali ponselku ke dalam tas. Bersiap turun, dan ... aku terkejut saat menyadari di mana posisi kami saat ini. Aku mengucek mata, berharap kalau Sarah tidak benar-benar membawaku ke tempat ini.
SamLa. Ya, Sarah membawaku ke tempat di mana aku pernah mengukir lembaran hitam bersama seseorang. Sudah lama sekali, dan hari ini takdir membawaku kembali ke sini.
“Kayla, ayo buruan, aku sudah lapar!” Suara Sarah membuyarkan lamunanku. Dengan perasan tak menentu aku terpaksa turun.
“Bisakah kita cari restoran lain, Sar?” tanyaku saat tubuhku benar-benar sudah berada di luar mobil.
“Tidak bisa. Aku suka di sini. Ini tempat favoritku. Lagian, pemiliknya ganteng banget,” bisiknya sembari terkekeh. Gadis yang seumuran denganku ini memang belum menikah.
Aku terdiam. Tak menanggapi kata-kata Sarah. Pasti yang dia maksud adalah Sameer.
“Udah ah, kebanyakan bengong, ayo!” Sarah menarik paksa tanganku menuju pintu masuk, dan aku hanya bisa pasrah mengikuti.
Sarah mengajakku duduk di dekat jendela kaca yang begitu besar, hingga kami bisa dengan leluasa menatap indahnya bunga-bunga di taman kecil itu. Seolah terlempar ke masa lalu, semua bayangan itu kembali melintas di mataku. Di mana kala itu aku dan Sam sering menghabiskan waktu di sana.
Aku menghela napas. Sesak memenuhi rongga dada. Kucoba menyembunyikan agar tak terlihat aneh di mata Sarah.
“Kamu mau makan apa, Kay?” tanya Sarah menyentakku dari lamunan. Tak sadar jika seorang pramusaji sudah berdiri di dekat kami.
“Lho? Mbak Kayla? Sudah lama tidak ke sini.” Ya ampun! Pramusaji ini mengenalku.
Aku mencoba tersenyum, “iya.” sahutku singkat.
“Pak Sam ... “
“Oh iya, saya mau pesan yang biasa saja.” potongku cepat, tak ingin gadis itu terlalu banyak bicara di depan Sarah.
“Baik, Mbak Kayla. Mohon menunggu sebentar, pesanan akan segera datang.”
Gadis itu pun berlalu. Sarah menatapku penuh selidik.
“Kamu sering ke sini?”
“Dulu. Sudah beberapa bulan yang lalu. Aku sering ke sini sama Zein.” sahutku berbohong. Lagi, aku melakukan dosa itu.
“Ooh.” Hanya itu tanggapan Sarah. Bersyukur dia tak menanyaiku macam-macam.
Hingga makanan kami habis, aku tak melihat pria bule itu di sini. Ke mana dia? Mungkin dia sedang di hotel atau di restoran lamanya. Ah, kenapa aku begitu penasaran, bukankah aku sudah melupakannya? Ya sudahlah!
“Sar, aku ke toilet dulu ya sebentar,” ujarku setelah meneguk separuh air mineral di depanku.
Sarah hanya mengangguk dan mengacungkan jempol karena mulutnya sedang berisi makanan. Aku pun melangkah menuju salah satu sudut di mana toilet berada. Tak lama aku pun ke luar, dan gadis pramusaji tadi sudah berdiri di depan pintu toilet. Seolah dia sedang menungguku.
“Mbak Kayla,”
“Ya, ada apa Mbak?” tanyaku sambil melebarkan senyum.
“Sudah lama sekali Mbak tidak ke sini.”
“Iya, saya hanya sedang sibuk saja,” sahutku asal-asalan.
“Pak Sam setiap hari menunggu kedatangan Mbak.” ungkapnya.
Pernyataan gadis bernama Nina (kubaca di name tag-nya) itu membuatku kaget. Kutatap wajah polos itu dengan seksama, meyakinkan diri kalau gadis itu tidak sedang bermain-main dengan ucapannya.
“Setiap saat, dia selalu bertanya pada saya apakah Mbak sudah datang ke sini atau belum.” Lanjutnya.
Kutelan saliva yang terasa menyekat di tenggorokan. “Menunggu saya?”
Nina mengangguk yakin.
“Lalu sekarang Sam di mana?” Ah, kenapa pertanyaan bodoh itu kulontarkan?
“Beliau sedang meluncur ke sini, saat saya beritahu kedatangan Mbak.”
“APA?” Mataku terbelalak.
“Ma-maf Mbak, saya hanya menjalankan perintah saja.” Nina menunduk.
Tak kupedulikan gadis itu. Bergegas menuju meja tempat Sarah berada, aku harus segera pergi dari sini sebelum sesuatu terjadi lagi dengan hati ini. Tiba-tiba sesosok tubuh tegap menghadang langkahku. Aroma parfum yang sangat familiar menusuk rongga hidung. Tanpa melihatnya pun aku sudah tahu siapa yang kini tengah berdiri di depanku.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment