#KAYLA
#PART_8
Selama Zein tidak di sampingku, aku sering menghabiskan waktuku dengan Sam. Yaah, walau hanya sekedar makan siang atau makan malam saja, tak lebih. Terkadang kami menghabiskan sore hingga senja untuk sekedar minum kopi di taman kecil restoran barunya. Entah mengapa, tak ada kekhawatiran sedikit pun di hatiku jika suatu saat seseorang melihat kami seperti ini. Bagiku, bersama Sam membuat hari-hariku terasa begitu indah dan membahagiakan. Hingga aku lupa, kalau aku memiliki suami. Zein.
“Apa yang kamu lakukan, Kay?” tanya Zaydan saat dia menemukanku sedang asyik chattingan dengan Sam di samping masjid. Kala itu murid-murid kami tengah istirahat.
Aku yang tengah duduk mendongakkan kepala, menemukan pria itu sedang menatap sinis padaku.
“Memangnya ada apa?” Kumasukkan ponsel ke dalam saku gamis. Lalu berdiri mensejajari pria itu.
“Sudah beberapa hari belakangan aku melihatmu dengan seseorang di restoran SamLa. Siapa dia? Setahuku itu bukan Zein, karena aku kenal baik suamimu.” Ucapan Zaydan membuatku terperangah. Dia melihatku dengan Sam?
Aku diam tak menjawab.
“Kamu selingkuh?” tuduhnya.
Aku masih bergeming.
“Jawab aku, Kayla!” ucapnya setengah membentak.
“Bukan urusanmu!” sahutku ketus.
“Aku temanmu, teman dari kecil, jadi aku berhak menegur temanku jika dia salah dalam melangkah,” timpalnya.
“Dia hanya temanku, Zay.”
“Aku nggak percaya. Bahasa tubuhmu saat berbicara dengannya bukan seperti saat berhadapan denganku yang memang jelas-jelas adalah temanmu.”
Aku menghela napas, menatap tak suka pada pria ini. “Sekali lagi ini bukan urusanmu, Zaydan!”
Kali ini Zaydan terdiam. Aku pun beranjak dari hadapannya.
“Kalau begitu ... hari ini kamu aku pecat. Tidak ada tempat untuk wanita pengkhianat sepertimu di sini. Semua tingkah lakumu di luar sana akan mempengaruhi pendidikan anak-anak.”
Langkahku terhenti. Kembali membalikkan badan. Pria itu tak sedang melihat padaku.
“Maaf, aku hanya menjalankan kewajibanku.” lirih Zaydan.
Aku mengepalkan tangan menahan kesal saat menyadari pria ini mulai ikut campur dalam kehidupanku dan mencampur adukkan urusan pribadi dan pekerjaan.
“Oke, baik. Dengan senang hati aku terima pemecatan ini.” sahutku dengan angkuh. Lalu kembali melangkah, masuk ke dalam ruang guru, mengambil tas dan segera berlalu meninggalkan tempat itu. Semua guru menatap dan bertanya, tapi tak kuacuhkan. Sesampai di luar, aku bertemu dengan Zaydan, ia hanya diam. Kupalingkan wajah, dan benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
Sambil berjalan aku mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang, “Sam, jemput aku. Sekarang!”
***
Memasuki satu minggu Zein ke luar kota, selama itu pula ia tak menghubungiku. Sudah kucoba untuk meneleponnya duluan, akan tetapi ponselnya tidak aktif. Aku mulai bertanya-tanya ke mana dia sesungguhnya. Apa benar dengan perkataan Sam dulu? Bahwa Zein sama seperti pengusaha sukses lainnya, memiliki perempuan lain dalam kehidupannya? Apa lagi selama ini Zein tak pernah mengajakku ke kantornya. Aku hanya diajak ke acara-acara pesta saja.
“Pak Khairul, tolong antar saya ke kantor Pak Zein, ya?” tanyaku saat melihat pria separuh baya itu tengah membersihkan mobil.
“Baik, Bu.” sahutnya.
Aku segera naik ke mobil. Ya, aku ingin melihat kantor Zein, meskipun tahu dia takkan ada di sana karena sedang di luar kota. Hanya ingin memastikan bagaimana keadaan kantornya. Itu saja.
Mobil berhenti di sebuah bangunan berlantai tiga. Aku pun turun. Menghela napas sebentar sebelum melangkah pasti menuju pintu yang terbuat dari kaca itu. Seorang security langsung menyambutku dengan ramah.
“Selamat siang Bu Kayla!” sapanya ramah smbil membukakan pintu. Aku terperanjat. Bagaimana bisa dia mengenalku sedang aku saja baru kali ini datang ke sini?
Aku pun mengangguk dan tersenyum, “siang, Pak.” Tanpa banyak tanya aku langsung masuk.
Tiba-tiba langkahku terhenti, aku tertegun. Mataku membesar, menelan saliva di tenggorokan saja aku hampir tak mampu ketika menemukan kenyataan yang tak pernah terlintas di kepalaku. Sebuah foto pernikahan yang begitu besar terpampang di ruangan itu. Di setiap sudut pun ada foto-foto lainnya seolah memenuhi setiap inci ruangan yang terletak di lantai dasar ini. Ya, itu fotoku bersama Zein.
“Assalaamu’alaykum Bu Kayla.” Beberapa karyawan perempuan mendekati. Hal ini lebih membuatku terpana, seluruh karyawannya mengenakan hijab. Bukan sekadar hijab, tapi lebih menutup aurat, hampir sama dengan penampilanku. Menggunakan gamis dan kerudung yang menutupi dada.
“Wa’alaykumussalaam,” sahutku tak kalah ramah sambil tersenyum, walau mungkin terlihat kikuk.
“Senang melihat Ibu datang. Pak Zein tidak pernah membawa Ibu ke sini sejak menikah.” ucap salah satu dari mereka yang bergantian menyalamiku. Hampir saja aku lupa, tentu saja mereka mengenalku, kan mereka datang ke acara pesta pernikahan kami waktu itu. Aplagi dengan semua foto-foto yang mereka lihat setiap hari di sini. Tak mustahil wajahku terekam jelas di memori mereka.
“Kata Pak Zein, Bu Kayla seorang guru mengaji?”
“Ibu juga hapal Alqur’an ya?”
“Maasyaa Allah, Pak Zein beruntung sekali mendapatkan Ibu.”
“Bapak sangat mencintai Ibu, lihatlah seluruh ruangan ini, tak seinci pun ia biarkan tanpa foto-foto Ibu.”
Ya Allah, lemas lututku mendengar kata-kata mereka.
“Oh ya, ruangan Bapak di mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Di lantai dua, Bu. Mau saya antar?” tawar salah satu dari mereka.
“Tidak usah, biar saya saja.” tolakku halus. Lalu aku melangkah menuju tangga. Hanya ke lantai dua, tak perlulah menggunakan lit.
Aroma wangi buah langsung tercium saat kakiku menginjak lantai dua. Aroma ini adalah favorit Zein. Lagi-lagi aku terkejut saat melihat seluruh karyawan yang ada di ruangan ini adalah laki-laki semua, dan semua pun spontan menoleh padaku. Aku jadi kikuk dibuatnya.
“Bu Kayla?” seseorang mengangkat suara.
Canggung. Aku tersenyum. “Iya, saya mau ke ruangan Bapak. Bisa?”
“Oh iya, Bu. Bisa,bisa, silahkan. Itu ruangan Bapak Bu, langsung masuk saja!” sahutnya sambil menunjuk pintu bercat coklat berukuran besar itu. Sementara yang lain hanya tersenyum sekilas sebelum kembali larut dalam pekerjaan mereka masing-masing.
Kenapa semua karyawan di sini semua laki-laki? Lalu di lantai dasar tadi semua perempuan. Zein memisahkan karyawannya agar tidak bercampur? Maasyaa Allah! Pantas di lantai dua ini tak ada foto kami, karena di sini laki-laki semua.
Perlahan, kubuka pintu itu. Kembali menemukan sebuah ruangan yang cukup besar dan begitu bersih serta wangi.
Lagi, aku terkagum dibuatnya. Setelah menutup pintu, kutemukan kembali foto-foto kami berdua menghias setiap sudut ruangan. Apakah ini sebagai wujud cinta Zein padaku?
Melangkah menuju meja kerja Zein, kutaruh tas di atas kursi. Memandang sebuah pigura berukuran sedang yang terletak di atas meja. Itu fotoku. Entah kapan dia mengambil foto wajahku yang sedang mencibir itu. Tak sadar tertawa sendiri melihatnya.
Lalu mataku tertumbuk pada sebuah buku kecil di samping pigura itu. Bagai sebuah magnet, buku itu seolah menarikku untuk mengambil dan membukanya. Mendaratkan tubuh di kursi kerja berwarna hitam dengan hati-hati, lalu mulai membuka lembar demi lembar buku itu. Aku tersenyum, tertawa bahkan kadang tersipu malu saat membaca untaian kata di dalamnya. Semua adalah tentangku. Ya Allah, Zein sangat mencintaiku.
Sampai di pertengahan, bagai dihantam gelombang dahsyat, kutemukan sesuatu yang membuat jiwaku seakan lepas dari raga. Hanya tulisan pendek, namun mampu merobek jantung.
KAYLA, AKU TETAP MENCINTAIMU, MESKIPUN AKU TAHU PENGKHIANATANMU DENGAN PRIA BERMATA ABU-ABU ITU. AKU BISA SAJA MENGHABISI NYAWANYA, TAPI AKUTAK SANGGUP, KARENA AKU TAKKAN MAU MENGAMBIL BAHAGIAMU. WALAU SEBAGAI SUAMI AKU TAHU KALAU YANG KAMU LAKUKAN ITU DOSA, TAPI BIARLAH, TOH INI SEMUA TANGGUNG JAWABKU YANG SERING MENGABAIKANMU. BIAR AKU YANG MENANGGUNG SEMUA DOSAMU.
Dadaku sesak sekali rasanya, seakan oksigen di ruangan ini begitu hampa. Buku itu terlepas dari tanganku begitu saja. Tanpa diminta, butiran-butiran bening itu berlarian di pipiku. Menangkup wajah dengan kedua tangan, menahan agar tangisan tak terdengar sampai ke luar.
“Bang Zein ... maaf,” lirihku di sela tangis.
“Semua bukan salamu, Kay,” ucap seseorang.
Aku begitu terperanjat. Menurunkan tangan yang menutupi wajah, Zein sudah berdiri di depanku. Entah sejak kapan dia ada di sini. Bukannya dia sedang di luar kota?
“Abang?” lirihku nyaris tanpa suara. Hendak berdiri tapi tangan Zein menahanku. Hingga aku harus tetap duduk di posisi semula. Sejenak, tatapan matanya begitu tajam menghunjam jantung.
“Kenapa tega mengkhianatiku?” tanyanya dingin.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak, aku ... aku hanya ... “
“Sudah diamlah! Tak perlu menjelaskan apa-apa!” potongnya.
Lalu perlahan Zein menjatuhkan tubuhnya, berlutut tepat di hadapanku. Sungguh di luar dugaan, aku kira dia akan membunuhku kali ini.
“Maafkan Abang, Kayla ... “ Zein menangis. Merebahkan kepalanya di pangkuanku. Hingga tak tahu harus berbuat apa padanya.
“Maafkan atas kelalaian Abang menjagamu. Hingga kamu harus mendapatkan sesuatu yang harusnya kamu dapatkan dari Abang, malah kamu dapatkan dari orang lain,” lirihnya. “Seharusnya dari awal, Abang memberimu waktu yang cukup, hingga kamu tak perlu terjerumus sejauh ini. Sekali lagi Abang minta maaf.” Tangis Zein makin menjadi.
Aku hanya bisa bergeming. Kaku. Tak mampu bergerak. Bahkan lidah pun terasa kelu.
***
Bersambung....
No comments:
Post a Comment