#KAYLA
#PART_6 _7
#Ketika Hati Mulai Tergoda
Pertahananku hancur, aku merasa tak berkutik di hadapan Sameer.
***
Sam membawaku kembali ke cafe, tapi ia tak membawaku ke dalamnya, melainkan ke sebuah bangunan mungil yang terletak di samping cafe.
Aku tertegun di depan pintu bercat coklat tua itu.
“Kayla, ayo masuk!” ajaknya sembari membuka pintu. Aroma segar dari pewangi ruangan langsung menusuk hidung.
“Kenapa harus di sini? Kenapa tidak di cafe saja? Bukankah di sana lebih baik karena kita tak hanya berdua.” saranku dengan jantung yang berdetak sangat kencang.
“Boleh kalau kamu mau, tapi biasanya malam seperti ini teman-teman Zein banyak yang mampir sekedar minum kopi di sana.” Sam seolah menakuti. “Bagaimana?”
Terdiam sejenak, hingga akhirnya aku melangkah perlahan masuk ke dalam bangunan kecil itu. Sam pun terlihat bahagia. Ia kemudian menutup pintu.
Ya Allah, apa yang kulakukan? Apa arti ilmu agama yang telah kugenggam erat sejak kecil? Apa arti hapalan Qur’an yang tersimpan di otakku? Apa arti hijab yang menutupi tubuhku? Ke mana akal sehatku?Tidak, ini tidak benar, aku harus pergi dari sini, aku milik Zein. Sam bukan siapa-siapa bagiku.
Aku membalikkan tubuh, tak menyangka jika akan bertabrakan dengan tubuh Sam yang ternyata sudah berada di belakangku. Aku mundur beberapa langkah.
“Sam, ini tidak benar, aku harus pulang.” lirihku.
“Kenapa? Bukankah kita baru saja memulai? Aku belum membuatkanmu makan malam.” Sam agak membungkukkan badannya untuk dapat menatap lekat mataku.
Aku menggeleng. “Ini salah Sam, ini tidak benar. Ini dosa.” Aku hendak berlalu dari hadapannya, namun cekalan tangan Sam membuatku tak bisa berkutik.
“Kayla, tenanglah!”
Kutepis tangannya, dengan suka rela Sam pun melepaskanku. “Maaf, aku tak bermaksud.” sesalnya.
“Aku berjanji, tidak akan melakukan sesuatu di luar batas. Aku mencintaimu, tidak mungkin aku menyakitimu. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam. Itu saja, tidak lebih.” pungkasnya dengan wajah memelas.
Masih terdiam, berdiri di dekat pintu.
“Percayalah, Kay.”
Kucoba mengatur napas yang sedikit tersengal, sebelum akhirnya kembali melangkah mendekati sebuah meja makan yang hanya terdapat dua kursi di sampingnya. Sam tersenyum, menarik salah satu kursi itu, dan mempersilahkan aku duduk.
“Tunggu di sini, aku akan membuatkan beef steak special kesukaanmu,” ucapnya sebelum berlalu ke dapur kecil yang terletak di ruangan yang sama. Aku tak menjawab, hanya mengikuti gerak-geriknya dengan ekor mata.
Pria itu menyambar celemek hitam yang tergantung di sudut lemari dapur. Lalu ia membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan makanan. Sam menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat cekatan. Aku yang sebagai perempuan saja takkan mampu menandingi ketangkasannya dalam memasak.
Tak sadar aku tersenyum menatapnya.
You know? He is so sexy! Andai Zein juga bisa melakukan itu ...
Hei, Kayla! Apa yang sedang ada di otakmu?
Sam melemparku dari khayalan sesaat, ketika ia meletakkan piring berisi steak ke meja di depanku, lengkap dengan minumannya sekaligus. Ia juga menaruh makanan yang sama di ujung meja satunya. Melepas celemek, lalu mendaratkan tubuhnya di kursi itu.
“Silahkan dinikmati, Kay. Semoga kamu masih suka dengan racikan tanganku.” Sam tersenyum. Ah, perlakuannya begitu romantis. Membuatku hampir tak berdaya.
Aku pun mulai meraih sendok dan pisau kecil itu. Memotong dan memasukkan satu persatu irisan daging ke mulutku. Tak butuh waktu yang lama, hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskannya. Kemudian menyesap orange jus itu dengan cepat hingga habis tak bersisa.
Sam terperangah melihatku. “Are you ok, Kayla? Kenapa makanmu terlalu terburu-buru? Kamu sangat lapar?”
Hanya anggukan yang kuberi sebagai jawaban, sembari menyeka mulutku dengan serbet yang sudah tersedia.
“Sekarang aku sudah selesai makan, jadi aku mau pulang. Kamu tahu, driver taksi online-nya tadi marah-marahin aku lewat sms gara-gara kamu memaksa naik ke mobilmu. Sampai aku lupa untuk membatalkan pesananku.” gerutuku sambil meraih tas dan hendak berdiri.
“Aku akan mengantarmu, bersabarlah. Tunggu aku selesai makan dulu.” pintanya.
“Tidak usah, aku sudah mengirim sms pada Pak Khairul untuk menjemputku ke sini.” tolakku. Sungguh aku tak mau lagi menambah rasa bersalahku jika terus menerus bersamanya.
Sam terdiam. Rautnya terlihat sangat kecewa. Ia menghela napas, lalu bangkit, menyusulku yang sudah hendak membuka pintu. Bergegas ia menahan handle pintu agar tidak terbuka.
“Aku melepasmu pulang, tapi besok aku datang kembali menemuimu,” ucapnya.
“Sam, please. Leave me alone. Jangan ganggu kehidupanku lagi. Kamu tahu betapa tersiksanya aku dengan semua ini? Hari ini aku sudah mengikuti semua kemauanmu, jadi sudahi semua. Lupakan aku, Sam. Masih banyak wanita lain yang pantas kamu cintai. Aku seorang istri, Sam, ingat itu!” Kucoba memberi penjelasan padanya.
“Hanya kamu yang pantas aku cintai, Kay. Tidak ada yang lain.” bantahnya lirih.
“Tapi Sam, aku tidak bisa. Aku milik Zein.”
“Bisa, jika kamu berusaha. Bukankah rasa itu juga kamu miliki?”
Aku terdiam saat iris kami saling beradu, seolah mengutarakan perasaan yang ada di hati masing-masing. Lidahku kelu seketika. Tak mampu menjawab pertanyaan Sam.
“Diammu sudah memberi jawaban untukku. I love you so much, Kayla,” ucap Sam memecah keheningan. Ia tersenyum lebar penuh kemenangan. Lalu membukakan pintu untukku.
“Tidak usah mengantar, nanti Pak Khairul melihat kita.” cegahku saat melihatnya hendak mensejajari langkahku. Sam menurut.
“Baiklah. See you tomorrow, Kayla.” bisiknya.
Kutatap mata bermanik abu-abu milik Sam sejenak, sebelum melangkah ke luar dari bangunan mungil itu. Membawa sebuah debaran tak biasa di relung hati.
Sam, aku takut dengan rasa ini. Aku takut jika rasa ini semakin dalam padamu, sedang aku adalah seorang istri. Aku takut kita melangkah semakin jauh, sedangkan apa yang kita lakukan adalah dosa.
Begitu sampai di dekat parkiran cafe, mobil yang dikendarai Pak Khairul pun datang. Segera aku beranjak pergi, bergegas masuk ke dalam mobil. Sam terlihat masih berdiri di ambang pintu, menatap mobil yang membawaku hingga menghilang di kegelapan malam.
***
Bergegas menuju pelataran parkir masjid. Aku bersyukur tidak menemukan mobil Sam di sana.
Bersyukur? Tidak, maksudku, kenapa dia tidak datang? Bukankah katanya hari ini dia mau menjemputku untuk kembali makan malam? Tapi ke mana dia belum datang juga?
“Assalaamu’alaykum, Kayla!” Sebuah sapaan membuatku benar-benar terlonjak kaget. Kubalikkan tubuhku. Terbelalak saat menemukan Zein sudah berdiri di belakangku.
“Wa’alaykumussalaam ... Abang?”
Zein tersenyum sumringah. “Surprise,” ucapnya sambil tertawa kecil.
“Iiih, kok pulang nggak bilang-bilang sih?” sungutku.
“Sengaja biar jadi kejutan,” jawab Zein sembari merangkul bahuku.
“Katanya mau nginap beberapa hari,”
“Iya, tapi semua di luar dugaan. Pekerjaan Abang selesai lebih cepat. Makanya Abang juga buru-buru pulang biar bisa jemput istriku tercinta ini.” Zein mencubit hidungku.
“Ah, gombal,” ucapku tersipu.
“Ayo kita pulang,” ajaknya, “Abang udah kangen berat,” bisiknya dengan nada menggoda.
“Baru juga dua hari nggak ketemu.” Aku mencibir menutupi rasa maluku atas ucapannya.
“Tapi yang namanya Kayla itu, selalu mampu menghadirkan rindu di sini.” Zein menunjuk dadanya sambil menatapku.
Lagi, dia berhasil membuat wajahku terasa panas. Mengatup bibir, menahan agar rasa grogiku tertutupi.
“Ah, udah ah, ayo pulang, malah ngerayu di sini!” Aku menarik lengan Zein. Membuat ia tertawa sambil mengikutiku. Pria itu mengubah posisi, kini ia berjalan sambil menggandeng tanganku.
‘Sikap manisnya ini, bagaimana mungkin kalau ia memiliki wanita lain di luar sana seperti yang pernah Sam katakan? Tidak mungkin juga dia akan pulang secepat ini menemuiku setelah pekerjaannya selesai.lebih baik dia bersenang-senamg bukan dengan wanita-wanitanya di sana?Ah, Sam memang ingin membuatku membenci Zein.’
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah sedan hitam yang sudah berdiri di pinggir jalan. Sam? Ya Allah, ternyata dia datang juga. Tapi, mana mungkin aku menemuinya sedangkan Zein ada di sini.
Kekhawatiran muncul di hatiku, takut jika Sam bertindak nekat. Takut kalau-kalau lelaki itu menampakkan diri di hadapanku dan Zein dan mengatakan yang tidak-tidak pada suamiku. Ah, tapi Sam takkan segila itu!
Aku salah! Ternyata apa yang kukhawatirkan terjadi juga, jantung seakan berhenti berdetak saat melihat pria berkaca mata hitam itu turun dari mobilnya.
‘Bodoh, apa yang dia coba lakukan?’ umpatku dalam hati.
Aku mulai gelisah saat melihat langkahnya semakin mendekat pada kami. Benar-benar takut jika pria bule itu bertindak nekat. Ya Allah, dia malah tersenyum padaku. Untung Zein tak menyadarinya.
“Pak Zein!” sapanya begitu sampai di dekat kami.
Zein yang hendak membukakan pintu mobil untukku menoleh.
“Lho, Pak Sam? Apa kabar?” Mereka saling berjabat tangan.
“Baik, alhamdulillaah.” sahut Sam penuh wibawa. Aku tahu, dibalik kaca mata hitamnya kini pria itu tengah menatapku lekat.
“Bagaimana bisa di sini Pak Sam?”
“Tidak usah panggil Pak, kita saling panggil nama saja agar lebih akrab dan lebih terasa kekeluargaannya.” timpalnya yang disetujui oleh Zein.
“Baiklah ... Sam.”
Sam tertawa kecil. “Aku ke sini sedang mencari seseorang, kebetulan kami ada janji bertemu di sini.” Pria itu melepas kaca mata hitamnya, lalu melirikku sejenak.
“Oh ya, dengan siapa?” Zein sepertinya begitu penasaran.
“Apa-apaan sih, Bang? Kepo banget deh!” Aku mencubit pinggangnya sambil berbisik. Zein hanya meringis menahan sakit.
“Dengan seorang wanita.” sahutnya datar.
Aku terbelalak, menduga-duga apa yang akan dikatakan pria ini. Coba saja kalau dia nekat, akan kuhabisi dia!
“Wanita? Istrimu?” tebak Zein sok tahu.
Sam tertawa. “Aku belum punya istri. Justru saat ini aku sedang berjanji dengan wanita yang sangat kucintai. Tapi sayangnya ... sepertinya dia sudah pergi, dengan lelaki lain mungkin.” Lagi, Sam melirikku.
“Maksudmu? Dia ... selingkuh?” Zein membesarkan matanya.
Pria bule itu terdiam. “Bukan. Bukan dia yang selingkuh, tapi aku yang mencoba merebutnya dari seseorang.”
“Apa?” Zein tampak terkejut. Apalagi aku.
“Bang, ayo pulang, aku sudah capek banget!” ajakku sambil menarik lengan Zein. Dari pada nanti ujung-ujungnya obrolan ini semakin panas, lebih baik segera kuajak Zein menghindarinya.
“Oh iya, sebentar Sayang. Sam, aku duluan ya, Kayla sudah tidak sabar mau pulang, aku juga baru dari luar kota. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya?”
“Pasti.” sahut Sam. Mereka kembali berjabat tangan sebelum berpisah.
Sam menganggukkan kepala sambil tersenyum padaku, “selamat sore ... Bu Kayla.” Ia menangkup tangan di dada, tatapannya sungguh menusuk jantung. Hanya kubalas dengan senyum tipis sebelum Zein mendorongku masuk ke mobil.
Zein, andai kamu tahu bahwa pria itu yang telah mencuri separuh hati istrimu, tentu kamu takkan beramah tamah lagi dengannya. Atau mungkin, nyawa Sam sudah tak lagi bersama raganya. Seperti yang pernah kamu katakan padaku, bahwa jika ada yang berani mencintaiku selain dirimu, maka orang itu harus siap kehilangan nyawanya.
Mobil yang di kendarai Zein mulai bergerak meninggalkan parkiran masjid. Sedang Sam masih terpaku di sana, menatap kepergianku. Raut cemburu tak mampu ia sembunyikan. Tapi apalah dayamu, Sam. Zein lebih berhak atas diriku.
Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa kasihan pada pria itu.
***
“Kalau Abang lagi nggak di rumah, kamu ngapain aja?” Pertanyaan Zein terdengar penuh selidik di telingaku. Lelaki itu mengganti baju kokonya dengan kaos putih.
“Yaaa, ngapain ya, ya kayak biasa aja sih, cuma di rumah, ngajar ... udah itu aja.” jawabku sekenanya.
“Bener?” Zein menatapku. Aku pun tertegun menatapnya.
“Abang mulai nggak percaya nih?” timpalku sedikit kesal. Bukan kesal sih sebenarnya, tapi takut jika Zein mulai curiga padaku.
Zein mendekatiku yang tengah asyik merapikan ranjang malam itu. Ia lingkarkan kedua tangannya di pinggangku.
“Maaf, bukannya tidak percaya denganmu. Abang hanya takut, jika kamu berpaling karena Abang sering meninggalkanmu,” sahutnya pelan.
Semoga saja Zein yang tengah memelukku dari belakang tak merasakan detakan jantungku yang tiba-tiba begitu cepat iramanya. Kutarik napas dalam, menepis tangannya perlahan, membalikkan badan, lalu mengalungkan kedua tangan ke leher Zein. Iris kami saling beradu.
“Apa aku terlihat seperti pengkhianat?” tanyaku pelan. ‘Pintar sekali kau bersandiwara, Kayla!’ batinku mencibir.
“Abang tidak tahu, karena yang Abang tahu, hanya mencintaimu.” jawabnya tak kalah lembut.
“Begitu pun denganku.” Kuberikan senyum termanis untuknya.
Zein tersenyum. Ia mencium keningku. Lama.
“Tak seorang pun boleh memilikimu selain Abang,” bisiknya kembali.
... dan jantungku berdetak semakin kencang.
‘Ya Allah, ampuni aku!’
***
“Sayang, kita diundang ke acara pesta nanti malam,” ujar Zein saat aku dan Mbak Rina tengah menghidangkan sarapan pagi. Hari ini Zein tidak ke kantor, katanya Sabtu dan Minggu ini dia mau menghabiskan waktunya bersamaku.
“Oh ya? Pesta apa, Bang?” tanyaku sembari menaruh segelas teh manis hangat di depannya.
“Sam membuka restoran baru,” sahutnya tanpa mengalihkan mata dari layar ponsel.
‘BRAAK!’ Mendengar nama itu, aku terkejut sampai-sampai tubuhku menabrak kursi.
“Kayla, kamu hati-hati dong, Sayang!” Zein bergegas mendekatiku. Aku hanya bisa meringis sambil mengelus lutut yang terasa ngilu. Lalu mendaratkan tubuhku di kursi itu dibantu oleh Zein.
“Sakit?” tanya Zein.
“Sedikit,” jawabku.
Zein membantu memijit-mijit lututku dengan jemari kokohnya.
“Sam yang mengundang kita, tadi malam dia menelepon. Barusan dia juga SMS buat memastikan kita bisa atau enggaknya.” Zein menyambung obrolan tadi.
Aku tak menimpali.
“Kok diam? Kamu mau kan menemani Abang?”
‘Ini pasti akal-akalan Sam saja!’ batinku gemas. ‘Pria itu mau membuatku mati berdiri rupanya.’
“Kayla!” Terkejut saat Zein menyentuh lenganku.
“Eh, iya, Bang. Aku pasti maulah, masa iya Abang harus jalan sendiri.” Gugup aku menjawab.
“Baiklah. Nanti siang kita ke butik dulu beli baju.”
“Baju lagi? Bukankah ... “
“Ssst, jangan membantah!” Zein menempel telunjuknya di bibirku.
Terserahlah, Bang! Jangan salahkan aku jika Sam semakin tertarik denganku jika kamu terus saja memberiku gaun-gaun indah itu.
***
Lagi, ini gaun keduaku yang berwarna coklat muda. Entah kenapa aku suka sekali dengan warna ini. Eh, bukan, bukan karena aku suka, tapi aku ingat kalau Sam sangat menyukaiku saat mengenakan gaun warna ini. Ah, sepertinya aku mulai masuk dalam perangkap pria bule itu.
Zein juga tidak keberatan saat aku memilih warna yang sama dengan gaunku sebelumnya meskipun modelnya jauh berbeda. Baginya, aku harus selalu tampil elegan dan berkelas di hadapan teman-temannya, walau pun dia tidak mengizinkanku menggunakan make-up apa pun. Hanya boleh menggunakan sedikit bedak dan pelembab bibir saja.
Zein merangkul pinggangku saat kami sampai di depan sebuah bangunan baru yang lumayan luas. Hmm, Sam begitu sukses di sini.
SamLa.
Sekilas kubaca merek yang terpampang besar di depan pintu masuknya. Ya, itu nama restoran baru milik Sam. Sedikit terdengar aneh, tapi aku tak peduli.
Kali ini Zein tak lagi merangkul pinggangku, tapi menggandeng erat tanganku saat kaki kami sama-sama menginjak porselen putih bersih itu. Dari kejauhan, aku sudah melihat Sam. Pria itu terlihat begitu tampan dengan stelan jas cokelat muda yang ia kenakan, dipadu kemeja putih yang membuat ia semakin terlihat mempesona. Ah, kenapa dia menggunakan warna yang sama denganku?
Menyadari kedatangan kami, ia yang tengah asyik berbincang dengan teman-temannya pun menyambutku dan Zein. Aku bisa melihat kalau pria itu sempat terpaku menatapku sebelum ia beranjak meninggalkan teman-temannya. Ia melangkah mendekati kami seraya mengembangkan senyum.
Zein dan Sam saling berjabat tangan.
“Terima kasih sudah mau datang Zein ... dan juga ... “ Sam melirikku, “Bu Kayla.”
Aku hanya tersenyum tipis dan sekilas meliriknya. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang begitu khas dan sangat aku sukai. Aroma yang selalu membuat jantungku berdetak tak karuan.
“Sama-sama, Sam. Selamat atas dibukanya restoran baru ini. Waah, bisa-bisa Kayla jarang masak nih di rumah karena ada restoranmu,” sahut Zein. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang mulai ramai oleh tamu undangan.
Aku terkesiap mendengar ucapan Zein. Sam yang juga tampak terkejut segera mengalihkan pembicaraan, ia tertawa, “bisa aja kamu, Zein.” katanya dengan ekor mata yang kembali melirikku.
Kemudian Sam mempersilahkan kami menikmati hidangan yang sudah tersedia. Zein meminta Sam ikut menemani kami di meja yang sama. Hal itu membuat selera makanku jadi hilang. Bagaimana tidak? Pria itu duduk persis di depanku, setiap punya kesempatan, mata abu-abu itu selalu berhasil menjangkau irisku.
Aku tak berkutik. Apalagi saat tangan Zein menggenggam jemariku ketika makanannya telah habis. Ini kebiasaan yang sulit ia tinggalkan. Aku tidak akan merasa risih jika bukan Sam yang ada di sini sekarang. Andai Zein tahu, saat ini mata pria di depan kami ini tengah terbakar api cemburu ... entah apa yang akan ia lakukan. Apalagi kalau dia tahu, jika istrinya ini tengah bermain api dengan Sam.
“Bang, aku boleh ke luar sebentar?” tanyaku pada Zein. Aku merasa risih berada di sini terus, apa lagi suasana yang semakin ramai membuat kepalaku sedikit pusing.
“Kamu mau ke mana? Mau Abang temani?” Zein sedikit khawatir melihat wajahku.
“Tidak usah, aku hanya mau cari angin segar sebentar,”
“Yakin sendiri? Nggak takut?”
“Nggak usah lebay, di sini kan ramai, Bang.” timpalku sembari memukul pelan lengannya.
“Di samping restoran ini ada taman kecil, di sana mungkin bisa mencari udara segar kalau Bu Kayla mau. Ada bangku-bangku taman juga untuk melepas penat. Sengaja di design buat mereka yang suka dengan udara bebas.” celetuk Sam saat mendengar pembicaraan kami.
Zein menatapku dengan mengangkat kedua alisnya, “mau ke sana?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Baiklah, hati-hati ya, Abang tunggu kamu kembali lagi ke sini dalam lima belas menit.”
“Oke.”
Aku pun bangkit dan berlalu diiringi tatapan dua lelaki itu.
***
“Kamu suka dengan taman ini?”
Baru lima menit aku mendaratkan tubuhku di bangku putih ini, tiba-tiba saja Sam sudah menyusulku ke sini. Ia berdiri di samping bangku dengan tangan berada di dalam saku celananya. Embusan angin malam membuat aroma parfumnya kembali menusuk rongga hidung, menghadirkan rasa yang tak biasa.
Mengangkat wajah dan memastikan jika itu benar-benar Sam.
“Kamu ngapain ke sini, Sam? Nanti Zein lihat kita!” geramku dengan mata mengawasi keadaan sekeliling.
Sam menghela napas, ia tersenyum, lalu menghempaskan tubuhnya tepat di sebelahku. Hendak berdiri tapi Sam mencegah dengan menarik ujung jilbabku.
“Mau ke mana? Duduk saja!” perintahnya. Bagai terhipnotis, aku mengurungkan niatku untuk berdiri. Suasana di taman ini sepi, mungkin karena tak banyak yang tahu tempat ini.
“Ini bukan taman untuk umum, tapi sengaja aku design ... khusus untukmu.”
“Untukku?” Aku tergelak.
“Aku tidak sedang melucu, Kayla.” Sam menatap tak suka.
“Oh, oke, sorry!” Aku menutup mulut, mengulum senyum.
Tiba-tiba saja diri ini merasa nyaman berada di dekatnya. Sebuah rasa yang hadir, kala raga berdekatan.
***
Sampai di sini dulu ya Mak, gantung dikit.
Bersambung
No comments:
Post a Comment