#KAYLA
#PART_5
#Pesona Sang Master Chef
Aku tengah asyik menyimak bacaan salah seorang muridku saat seseorang mengetuk pintu yang dibiarkan terbuka. Ternyata Zaydan, teman seprofesi sekaligus pimpinan di tempatku mengajar.
“Kay, ada yang nyariin tuh!” katanya sambil melangkah masuk.
“Siapa?” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Nggak tahu, laki-laki,” sahutnya cuek. Zaydan memang tipe yang tidak banyak bicara, kadang aku suka kesal dengan sikapnya.
“Dia di mana? Di kantor?”
Ia menggeleng. “Di luar, di depan kelas dua nungguin.”
Siapa ya? Kalau Zein kan nggak mungkin, bukankah belum waktunya menjemput?
“Ya Allah dia malah bengong, sana temui dulu tamunya. Hormati tamu. Biar aku yang gantiin kamu sementara,” perintahnya.
“Oke.”
Aku langsung bangkit sebelum mendapat perintah dua kali. Bergegas ke luar ruangan. Menyusuri teras menuju kelas dua yang terletak di ujung bangunan. Berbelok ke arah kiri, hingga dari kejauhan aku bisa melihat seorang pria tengah duduk sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Jantungku seakan berhenti berdetak ketika aku mengenali siapa pria itu. Ya, pria yang memiliki rambut ikal berwarna coklat dan kulit yang putih. Pria yang memiliki manik mata abu-abu yang mampu menghipnotisku.
“Sam,” desisku. Memutuskan hendak kembali ke kelas kalau saja pria itu tidak menyadari kehadiranku.
“Kayla!” panggilnya.
Langkahku terhenti. Saat membalikkan badan, ternyata pria itu telah berjalan mendekatiku. Mencoba mengatur napas dan detakan jantung yang semakin kencang iramanya. Inilah yang selalu kurasakan jika bertemu pria ini. Dia terlihat begitu tampan dengan kemeja hitam yang lengannya ia gulung hingga ke siku. Ya Allah, cobaan apa lagi ini?
“Kenapa harus menghindar?” tanyanya saat telah berada di hadapanku. Aroma parfumnya yang khas kembali menyeruak ke rongga hidung.
“Ada apa mencariku? Bagaimana bisa tahu kalau aku di sini?” Aku balik bertanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dahulu. Kubuang pandangan dari tatapannya.
Sam tertawa kecil. “Apa susahnya mencarimu di kota kecil ini?”
Aku mendengkus. Jujur, bukannya aku tak suka kehadirannya di sini, tapi aku hanya tak ingin tergoda lagi dengan pesonanya. Karena aku adalah milik Zein sepenuhnya.
“Kay,”
“Pergilah Sam, jangan temui aku lagi, aku wanita yang sudah menikah,” tegasku sambil mengangkat tangan kiri yang menampakkan betapa indahnya cincin emas permata biru itu melingkar di jari manisku.
Sam tertegun memandangnya, namun hanya beberapa saat sebelum ia kembali tersenyum. “I don’t care, Kayla!”
Aku terkejut.
“Kamu datang tiba-tiba saja dalam kehidupanku, lalu aku akan melepasmu begitu saja?” Ia tersenyum sinis. “Tidak Kayla, tidak semudah itu. Kedekatan kita beberapa saat yang lalu membuatku tak mampu melupakanmu. Kamu perempuan istimewa yang pernah kutemui. Aku mencintaimu, Kay. Sangat mencintaimu,” tuturnya.
Rasa sesak di dada membuatku sedikit kesulitan bernapas. Penuturannya membuat sebuah rasa yang telah susah payah kukubur kembali bangkit perlahan.
“Sam, tolong mengertilah. Apa yang sudah kita lakukan dulu hanyalah sebuah kesalahan. Aku tak ingin terlalu larut dalam rasa ini. Aku milik Zein, aku istri sahnya. Haram bagiku menjalin hubungan dengan lelaki lain,” uraiku. Mencoba memberi pemahaman pada lelaki di depanku.
“Apa aku hanya sebuah pelarian saat suamimu tidak memiliki waktu yang cukup untukmu?” Sam menatap sinis.
“Sam!” hardikku tertahan.
“Kamu yang memulai semua ini Kay, dan aku tidak mau ini berakhir begitu saja.”
“Tidak, bagaimana mungkin aku mengkhianati pria setia sepertinya?”
Sam tertawa. “Setia? Kamu yakin dia pria yang setia?”
“Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Kayla ... Kayla, kamu pikir, seorang pemilik perusahaan seperti suamimu itu tidak memiliki gadis-gadis cantik di sampingnya?”
Dahiku berkerut, mencoba mencerna arah pembicaraan Sam.
“Jangan bodoh Kayla! Suamimu jarang di rumah, bukan hanya mengurusi pekerjaan saja. Kamu tahu? Banyak gadis lain yang lebih menarik darimu di luar sana, yang lebih cantik, seksi dan ... “
“Cukup, Sam!” bentakku tertahan. Aku tak suka dia membicarakan hal buruk tentang Zein. “Jangan pernah mengatakan hal yang tidak-tidak tentang suamiku! Sekarang pergilah! Hanya buang waktu saja bicara denganmu.” Aku membalikkan badan, melangkah meninggalkannya.
“Kita akan lihat, seberapa kuat pertahananmu untuk menjauh dariku,” ucapnya seakan mengancam.
Tak lagi kupedulikan.
Sam benar-benar keterlaluan, berani-beraninya dia menuduh Zein suka main perempuan. Zein itu lelaki soleh, dia setia, dia mencintaiku. Tak mungkin dia mengkhianatiku. Kuusap sudut mata yang sedikit basah.
[Kay, maafkan Abang, sore ini kamu pulang sendiri ya? Abang tidak sempat menjemput. Ada proyek yang harus Abang tangani di Padang dan mungkin Abang harus menginap beberapa hari di sana. Jangan marah ya, i love you]
Sebuah pesan masuk ke ponselku ketika aku baru saja selesai salat Asar. Kuhela napas panjang. Ada sedikit kecewa singgah di hati. Apa Zein akan mulai sibuk lagi seperti dulu? Atau apakah perkataan Sam tadi itu benar? Bahwa Zein ... ah, tidak, tidak! Aku tidak boleh suuzon. Zein tidak mungkin memiliki wanita lain. Dia lelaki pekerja keras, takkan punya waktu untuk melakukan hal yang sia-sia. Tapi ... bagaimana jika itu benar? Aaarrrggghh! Sam, dia membuat perasaanku jadi kacau dan berpikiran buruk pada suamiku sendiri.
“Sejak kapan punya teman bule?” celetuk Zaydan saat ia berjalan di belakangku menuju kantor guru. Zaydan juga merupakan sahabatku sejak SD. Sudah menikah dan memiliki seorang putra yang berusia satu tahun.
“Emangnya kenapa?”
“Hati-hati saja, Kay. Kamu sudah menikah, tidak baik memiliki teman laki-laki yang begitu akrab.” sahutnya seraya berjalan mendahuluiku.
Aku tak menyahut, hanya memperlambat irama langkahku. Membiarkan Zaydan menjauh.
“Woi, malah ngelamun. Buruan, waktu kita tidak banyak!” serunya. Aku tergagap, tak menyadari kalau ternyata pria itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
Dasar Zaydan, dia tidak pernah bicara dengan baik padaku. Tak peduli di depan anak didikku sekali pun, atau di depan teman-teman sesama guru yang lain. Entah kenapa, aku sendiri tak mengerti. Padahal kalau dilihat, caranya bicara dengan yang lain tak seperti bicara padaku. Entah punya dendam kesumat apa dia padaku.
***
Sebuah sedan hitam keluaran terbaru berhenti tepat di depanku. Saat itu aku tengah menunggu taksi online di pinggir jalan raya dekat masjid. Harusnya aku bisa jalan kaki saja, karena hanya butuh sepuluh menit untuk sampai ke rumah. Akan tetapi rasanya tubuhku lelah sekali hari ini.
Pemilik mobil turun.
Alangkah terkejutnya aku, saat melihat siapa pemilik sedan tersebut. Pria yang terlihat gagah dengan kacamata hitamnya mendekat.
“Sudah mau pulang?” tanyanya.
Aku membuang pandangan. Kenapa dia datang lagi sih?
“Zein ke luar kota kan?” tebaknya. “Jadi, aku bisa mengantarmu pulang.”
Dari mana dia tahu?
“Ayolah, Kay. Jangan tolak kebaikan seorang Sameer ini.”
“Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak mau lagi diganggu olehmu. Aku ... “
“Aku tidak suka penolakan, Kay,” ancamnya, “ayo masuk! Atau kamu mau aku bikin malu di sini?” Sam membuka pintu mobil bagian depan.
“Sam, aku ... ”
“Masuk, Kayla!”
Entah hipnotis apa yang ia gunakan, hingga kali ini aku tak mampu menolak perintahnya. Bukan itu sebenarnya, mungkin hatiku yang lemah, tak mampu menolak pesonanya, hingga aku tak bisa berpikir waras. Aku tak ingin dia berbuat nekat di sini, bisa hancur reputasiku sebagai guru mengaji jika ia melakukan sesuatu di luar nalar.
Guru mengaji? Masih pantaskah dirimu disebut guru dengan tingkah laku tak beraakhlak seperti ini, Kayla?
Dengan ragu aku masuk ke dalam sedan hitam itu. Sam menutup pintu. Lalu ia pun masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi. Begitu mobil bergerak perlahan, aku sempat melihat Zaydan dengan tatapan kecewanya. Ah, peduli apa dengan lelaki itu!
Hening.
Tak ada yang memulai pembicaraan. Kulirik pria yang masih mengenakan kemeja hitamnya itu. Ah, dia memang begitu mempesona.
“Kenapa lihat-lihat? Baru sadar kalau ternyata si tukang masak ini begitu mempesona?” celetuknya penuh percaya diri sambil tertawa kecil.
Aku tak menjawab, mengedarkan pandanganku ke luar jendela mobil. Suasana sore ini begitu hangat, sudah hampir pukul setengah enam, tapi cahaya matahari masih saja setia menghias langit yang berangsur jingga.
“Maaf, jika aku membuatmu seperti ini.”
Masih tak kutanggapi ucapannya.
“Kayla, please jangan marah. Aku hanya melakukan apa yang ada dalam pikiranku. Kehadiranmu membawa perubahan besar dalam hidupku, Kay.”
Kubiarkan lelaki itu terus bicara tanpa berusaha menimpali.
“Kamu tahu Kay, melihatmu dan kesederhanaanmu dalam berpenampilan, membuatku sadar bahwa wanita sesungguhnya harus sepertimu. Menutup aurat dengan sempurna, tanpa menunjukkan kecantikan di depan umum. Kamu benar-benar wanita solihah yang pernah kutemui.“
“Bagaimana aku bisa disebut solihah jika saat ini aku tengah berdua dengan lelaki yang bukan mahramku?” tampikku ketus.
Sam terdiam.
“Lebih baik turunkan aku di sini sekarang!”
“Tidak mau.”
“Aku harus pulang, Sam. Aku seorang istri. Aku punya Zein, lelaki itu suamiku.” pintaku.
Sadar kalau ini bukanlah jalan menuju rumahku. Entah ke mana pria ini hendak membawaku. Yang kutahu sejak tadi kami hanya berputar-putar saja mengelilingi kota kecil ini.
“Aku tahu, tapi aku juga berhak mencintaimu, Kay. Aku juga berhak memiliki waktumu jika Zein tidak di rumah.”
“Kamu bicara apa, Sam? Kamu mengajakku mengkhianati Zein?”
“Bukan aku. Tapi kamu yang memulainya. Jadi jangan salahkan Sameer.” sahutnya begitu tenang.
Geram sekali aku menghadapi pria ini.
Dia bilang ini salahku? Ya, bisa jadi. Andai saja waktu itu aku tidak datang memenuhi undangannya, tentu tidak akan selarut ini keadaannya. Tidak, ini juga salah Zein, dia yang waktu itu tak pernah memperhatikanku dan sering membiarkanku sendiri. Jadi, ini salah Zein, bukan aku. Dia yang memberiku peluang untuk dekat dengan Sam.
Mencoba menyatukan dua sisi hati yang berlawanan, membuatku pasrah kali ini, ketika sedan yang dikendarai Sam memasuki sebuah area parkiran cafe di pinggiran kota.
“Kenapa ke sini?”
“Tenang saja, aku hanya ingin mengajakmu makan malam. Ini cafe milikku, jadi jangan khawatir, takkan ada yang akan mengenalimu di sini, karena aku punya ruangan khusus untuk kita berdua.”
Jantungku kembali berdegup kencang, apa maksud pria ini dengan ruangan khususnya?
Azan maghrib berkumandang memecah suasana senja yang mulai temaram saat mobil Sam berhenti di tempat parkiran khusus.
“Sudah azan, aku mau salat. Bisa antar aku ke masjid terdekat?” pintaku datar. Aku tak tahu, bagaimana aku bisa dengan mudahnya mengikuti permintaan pria bule ini, hingga tak sadar dengan apa yang sudah kulakukan ini adalah salah besar. Aku berduaan dengan lelaki lain saat Zein pergi ke luar kota.
“Dengan senang hati, aku juga mau salat.” sahutnya. Kembali ia menyalakan mesin mobil, dan membawaku ke sebuah masjid terdekat dengan cafe miliknya.
Zein, maafkan aku.
***
Bersambung......
No comments:
Post a Comment