#KAYLA
#PART_4
#Pesona Sang Master Chef
Sejak Sam melihatku datang ke restoran bersama Zein, aku tak pernah lagi berjumpa dengannya. Takut jika perasaan ini membuatku jatuh ke dalam perselingkuhan. Meskipun tak bisa kupungkiri, Sam mulai menarikku ke dalam sebuah rasa yang tak biasa.
Masih teringat dengan jelas, bagaimana tatapan lelaki itu saat melihat Zein menggandeng tanganku meninggalkan restoran. Mungkin salahku yang tak berterus terang dari awal. Tapi bagaimana mau berterus terang jika aku tak diberi kesempatan untuk menjelaskan?
Zein pun berubah drastis. Ia tak lagi seperti dulu, sekarang ia sering menghabiskan waktu denganku. Sesibuk apa pun, pasti diusahakan untuk makan siang di rumah. Terus terang aku senang, akan tetapi aku juga heran kenapa dia tiba-tiba berubah begitu? Apa yang membuatnya berubah.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku pada Zein saat kami tengah duduk santai di ruang tengah malam itu.
Zein yang asyik menonton acara favoritnya menoleh, tersenyum, dan merangkulkan tangannya ke bahuku. “Ada apa, Kay?” Sebuah kecupan hangat mendarat di dahiku. Semesra ini sikapnya hampir sebulan belakangan.
“Apa alasan Abang memilinhku sebagai istri? Padahal aku bukanlah perempuan yang istimewa. Hanya perempuan biasa dengan pendidikan rendah. Sedangkan Abang sendiri? Seorang pengusaha sukses dan memiliki pendidikan tinggi. Rasanya tak sebanding jika aku yang terpilih menjadi istrimu.”
Zein mematikan televisi, lalu duduk menghadapku. Menatap kedua bola mataku begitu dalam sambil menyuguhkan senyum yang selalu membuatku terpana.
“Kamu bicara apa, Kay? Pertanyaanmu konyol sekali.”
Aku membuang pandangan dari matanya, tapi dengan sigap ia menyentuh daguku hingga kami kembali bersitatap.
“Kay, aku tak pernah memandang latar belakangmu, pendidikanmu atau siapa dirimu. Aku hanya memandang ketaatanmu kepada Allah. Dari dulu aku selalu bermimpi memiliki istri sepertimu,” ujarnya lembut, “kamu tahu kenapa aku bisa jatuh cinta padamu?” Zein bertanya sambil mengulum senyum.
Aku menggeleng pelan.
“Aku jatuh cinta saat melihat caramu menatapku ketika pertama kali kita bertemu di masjid itu,” Zein tertawa kecil.
“Caraku menatap?” Aku memelototkan mata. “Bukannya Abang yang tak berhenti menatapku saat itu?” Kucubit perutnya dengan gemas. Membuat lelaki itu terlonjak dan meringis seraya tertawa.
Ya, aku teringat betapa lelaki itu tak bisa memalingkan wajahnya dariku kala itu. Ketika ia baru saja turun dari mobilnya dan terpaku di tempat saat mata kami saling bertemu pandang. Aku yang menyadari di tatap lelaki yang bukan mahramku langsung memalingkan wajah, sedang lelaki itu tak mau menundukkan pandangannya hingga aku menghilang masuk ke dalam ruangan tempatku mengajar. Beberapa kali aku melihatnya salat di masjid itu, sampai akhirnya ia tiba-tiba datang ke rumah untuk melamarku.
“Kay,”
Suara Zein melemparku ke luar dari lamunan.
“Ya?”
“Kamu mencintaiku?” Zein kembali menatapku.
Kubalas tatapannya lebih dalam, “menurut Abang sendiri?”
“Entahlah, Abang tidak bisa menilaimu, kamu terlalu misterius.”
Aku terbahak. “Misterius?”
“Jangan ketawa begitu, perempuan itu nggak boleh ketawa keras!”
Langsung tawaku terhenti. Mengulum senyum sambil menunduk.
“Jawab, Kay!” desaknya.
Kembali mengangkat wajah, “bagaimana mungkin aku menerima Abang kalau aku tidak memiliki perasaan yang sama denganmu?”
Zein tersenyum sumringah, ia langsung memelukku erat.
“Lepasin Bang, napasku sesak,” pintaku dengan suara tertahan.
Zein langsung melepasku, “maaf,” ucapnya. Sebuah kecupan kecil dan sesaat mendarat di bibirku. Aku terkesiap mendapat perlakuan itu.
“Abang apa-apaan sih? Kalau Mbak Rina lihat kan malu!” Kudorong tubuhnya menjauh dengan wajah bersemu merah sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Takut jika Mbak Rina benar-benar melihat kami. Meskipun kami sudah suami istri, tak pantas juga memperlihatkan kemesaraan di depan orang lain.
“Sudah tengah malam, Mbak Rina pati sudah tidur.” sahutnya tak peduli dan kembali mendekatkan wajahnya padaku. Lalu aku pun menjauhkan tubuhku darinya. Merasa agak kesal, Zein akhirnya bangkit dan mengangkat tubuhku sesuka hatinya, lalu membawaku masuk ke dalam kamar. Tak perlu bertanya apa yang ia lakukan padaku, karena Zein hanya ingin mengulang kembali masa-masa pengantin baru yang sering terlewat begitu saja.
***
Aku sudah melupakan Sam, dan tak pernah kembali lagi ke restoran itu. Bahkan jika Zein mengajakku ke sana, aku akan mencoba mengalihkannya ke tempat lain dengan berbagai alasan. Bersyukur lelaki itu selalu menuruti keinginanku.
“Kay, Abang dapat undangan dari Pak Randy, kamu ingat kan relasi bisnis Abang yang pernah kita undang makan malam di sini?” ungkap Zein saat kami baru saja selesai sarapan pagi.
“Iya, ingat.”
“Ada pesta pernikahan adiknya. Kita pergi ya nanti siang?”
“Jam berapa, Bang? Aku ngajar lho habis Zuhur,” sahutku .
“Kita perginya sebelum Zuhur saja, jam sebelas. Bisa kan?” Zein berdiri di hadapanku, lalu dengan segera kurapikan kembali kerah kemeja dan dasinya.
“Insyaa Allah, bisa dong.”
Zein tersenyum mendengar jawabanku. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirku. Tak lagi terkejut dengan perlakuan manisnya, hanya membalas dengan pukulan kecil di dada bidang miliknya. Membuat pria itu tertawa kecil sembari mengacak rambutku.
“Nanti siang pakai baju terbaikmu, Kay. Aku ingin mengenalkanmu pada seluruh dunia, kalau aku memiliki istri yang begitu sempurna,” ucapnya saat kugamit lengannya menuju pintu ke luar.
“Pamer?” ledekku.
“Boleh kan?”
“Boleh, asal Abang tidak takut jika ada yang tertarik denganku,” sahutku mencoba menggodanya.
Zein menghentikan langkah, lalu menatapku tajam, “jika ada yang tertarik denganmu, mengganggu, mendekati, dan menyentuhmu selain aku, maka dia harus rela kehilangan nyawanya.” ucapnya dengan wajah dingin.
Aku sangat terkejut mendengar pernyataan Zein barusan. Menelan saliva yang terasa menyekat di tenggorokan dengan bola mata yang membesar.
“Pakai pakaian terbaikmu, tanpa make up sedikit pun. Paham ‘kan?” Ia menyentuh lembut pipiku.
Aku terdiam sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Ya sudah, Abang jalan dulu, ya!” Kembali ia tersenyum setelah menyuguhkan wajah dinginnya beberapa saat. Kucium punggung tanganna, dibalasnya dengan mengecup dahiku.
“Hati-hati ya, Bang!” ucapku melepas kepergiannya.
Zein mengangguk. “Assalaamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalaam.” sahutku sambil tetap berdiri di ambang pintu. Tak ikut mengantarnya ke mobil karena aku tidak mengenakan jilbab.
Zein masih tersenyum dan melambaikan tangan saat perlahan mobilnya bergerak meninggalkan halaman. Menutup pintu setelah memastikan mobilnya menjauh dan tak lagi terjangkau oleh pandanganku. Segera kubantu Mbak Rina membereskan meja makan.
Ucapan Zein tadi terngiang-ngiang di telinga. Apakah dia sungguh-sungguh atau hanya bercanda dengan ucapannya? Kalau iya, ngeri juga. Apa cinta harus seperti itu?
***
Pukul setengah sebelas, aku telah siap dengan gamis pestaku. Gamis berbahan brukat mewah berwarna coklat muda dengan jilbab lebar segi empat senada. Kupadukan dengan sepatu pesta berwarna cokelat tua berhias bebatuan swarovski. Sepatu yang Zein beli ketika minggu lalu ia pulang dari Jakarta untuk urusan bisnisnya. Tak lupa kukenakan juga kaos kaki agar auratku tertutup sempurna.
“Aku suka melihatmu dengan warna baju ini. Perfect. Cantik sekali.” Tiba-tiba terngiang ucapan Sam waktu itu. Saat aku datang ke restoran dengan mengenakan baju warna cokelat muda ini. Aku merasa begitu tersipu, karena tak pernah mendengar pujian apa pun dari mulut suamiku sendiri kala itu.
Darahku tiba-tiba berdesir kala mengingat kebersamaan dengannya. Apa kabar pria bule itu sekarang?
“Kay?” Suara Zein melemparkanku ke luar dari lamunan sesaat. Entah sejak kapan ia berdiri di depanku.
“Ngapain senyum-senyum sendiri?” tanyanya dengan dahi berkerut.
“Abang? Ah, enggak, siapa yang senyum-senyum sendiri?” kilahku sambil bangkit dari sofa putih itu. “Kita berangkat sekarang?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Kuraih tas tangan berukuran kecil itu dari meja.
Menyadari jika posisiku sangat dekat dengan Zein, aku pun tak bisa menghindar saat Zein menatapku dari kepala sampai ujung kaki. Tatapan yang sering kudapatkan sejak ia menjemputku ke tempatku mengajar waktu itu.
“Kamu cantik.” pujinya sambil menyentuh pipiku.
“Mau jalan sekarang atau mau ke kamar dulu?” ledekku.
Zein membesarkan matanya, “udah pintar ya kamu sekarang menggoda suamimu.”
Aku tertawa.
Setelah pamit dengan Mbak Rina, Zein menggandengku menuju pintu ke luar. Kami pun berangkat menuju pesta yang aku sendiri tidak tahu di mana lokasinya.
Kalian tahu? Aku saat ini benar-benar merasa menjadi seorang istri bagi Zein. Tidak seperti dulu, saat usia pernikahan kami baru hitungan minggu. Zein saat ini jauh berbeda. Begitu drastis perubahannya. Aku sendiri masih tanda tanya apa yang membuatnya berubah.
Tersentak saat mobil Zein memasuki pelataran parkir restoran tempat Sam bekerja.
“Lho, Bang, kita kok ke restoran?” tanyaku.
“Kita bukan ke restoran, tapi ke hotelnya. Parkiran hotel kayaknya penuh tuh, jadi kita parkir di sini saja.” Jawaban Zein membuatku lega. Aku pikir akan bertemu lagi dengan pria bule itu.
Kami berdua turun. Zein menggandengku masuk ke hotel bintang lima itu. Sungguh pesta pernikahan yang sangat mewah. Pesta yang juga pernah kurasakan saat menikah dengan Zein dulu.
Begitu sampai di dalam, kami disambut begitu hangat oleh keluarga Pak Randi. Zein memperkenalkanku pada beberapa relasi dan teman-temannya. Segelintir mata memandangku sedikit sinis dengan hijab lebar yang kukenakan. Mungkin hanya aku seorang yang berpenampilan seperti ini di sini. Akan tetapi aku berusaha cuek, bukankah aku hanya berpakaian sesuai perintah Tuhanku? Lalu suamiku juga rido, lantas apa yang akan membuatku canggung?
Zein mengajakku makan di salah satu sudut ruangan. Ia yang mengambilkan sendiri makanan untukku. Ah, dia terlalu romantis, membuatku jadi malu saat beberapa pasang mata menatap kami penuh cemburu.
“Jangan hiraukan mereka, Kay. Mereka hanya iri dengan kita.” ucap Zein.
“Isshh, ge-er banget sih!” tukasku sambil tertawa dan kembali menyantap hidangan yang tersaji.
Zein ikut tertawa. Ah, dia benar-benar mempesona, tak salah aku menerimanya sebagai imamku.
“Bang, aku mau ke toilet dulu ya?”
“Mau Abang antar?”
“Nggak usah, Abang makan aja dulu,” tolakku.
“Tahu di mana toiletnya?”
“Ya ampun Bang, cuma nyari toilet doang apa susahnya sih!”
“Ya sudah, cepetan ya, jangan lama-lama! Kalau nyasar Abang nggak tanggung jawab ya?” candanya terkekeh.
“Iyaaa,” sahutku sambil membelalakkan mata dan memberikan tasku padanya.
Sambil mengangkat sedikit gaunku, aku bergegas menuju samping ruangan tempat resepsi pernikahan itu. Menyusuri beberapa lorong hingga aku menemukan tempat yang kucari. Benarkan? Tidak terlalu sulit menemukan tempat menunaikan hajat itu. Beberapa menit kemudian aku ke luar dari tempat itu. Lega rasanya. Bergegas aku kembali melangkah menuju Zein.
“Kayla!”
Sebuah suara mengejutkanku ketika melewati sebuah lorong yang beralaskan karpet merah itu. Di sana hanya ada beberapa orang yang sedang lalu lalang. Sepertinya aku kenal suara itu, aksennya yang begitu kental tak mudah kulupakan.
Aku berhenti dan membalikkan badan. Benar saja, pria itu tengah berdiri menyandarkan tubuhnya di salah satu dinding lorong. Kedua tangannya berada dalam kantong celana. Pria itu hadir dengan tampilan yang berbeda. Sangat rapi sekali. Mengenakan stelan jas yang begitu elegan, serasi dengan sepatu kulitnya yang aku tahu itu bukan sepatu murahan. Berbeda sekali dengan pria yang kukenal beberapa waktu lalu.
“Ternyata memang kamu. Syukurlah kalau aku tidak salah orang. Apa kabar?” Senyumnya mengembang sempurna. Darahku berdesir, jantungku berdetak tak karuan. Ah, rasa itu datang lagi!
“Sam?” Menatap tak percaya pada pria itu.
“Yes, its me.” Sam seolah paham keraguanku. “Kenapa? Aku tampan dengan pakaian ini?” Perlahan ia melangkah mendekatiku.
“Ka-kamu ngapain di sini?” tanyaku gugup.
Sam tertawa kecil. “Kenapa? Apa kamu pikir chef seperti aku tak pantas berada di pesta mewah ini?”
“Bukan begitu, tapi ... “
“Kayla,” Sam memotong kalimatku, “kenapa tak berterus terang padaku?” Ia menatap mataku begitu dalam. Bola mata abu-abu yang seolah kembali menghipnotisku.
“Terus terang tentang apa?”
“Tentang laki-laki yang menggandeng tanganmu.” sahutnya datar.
“Pernahkah memberiku kesempatan untuk menjelaskan?” Aku balik bertanya.
Sam menghela napas dan mengembuskannya. Ia bergerak semakin mendekat, aroma cokelat dan mint yang berpadu tercium dari tubuhnya. Tersadar kalau posisi kami terlalu dekat, aku pun mundur beberapa langkah. Sementara detakan jantungku semakin tak karuan.
“Jangan berbuat macam-macam, Sam!”
Sam mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Bukankah di sini tidak ada orang? Apa yang kamu takutkan?” Ia kembali melangkah mendekatiku.
“Sam, stop it! Atau aku akan berteriak.” Napasku tersengal, mengingat sesuatu hal yang menjijikkan akan dilakukan pria ini. Aku sadar, di sini tak lagi terlihat ada orang lain selain kami berdua.
“Berteriak? Teriak saja jika kamu tidak malu dan suamimu tahu tentang kita.” sahutnya tak peduli.
“Sam,”
“Kenapa? Bukankah kita pernah saling tertarik? Ayolah Kay, jangan munafik. Di sini tidak ada orang, apa yang kamu takutkan? Tidak akan ada yang melihat kita.”
“Kamu salah, Allah melihat kita.” jawabku tegas walau dengan suara bergetar. Sungguh aku sangat takut kali ini melihat kenekatan pria bule ini.
Sam terdiam, ia tak lagi mendekat. Hanya bisa terpaku. Di saat yang sama, aku merasa punya kesempatan untuk pergi, walau kakiku terasa berat untuk melangkah karena masih gemetar. Tak lagi berani menoleh ke belakang hingga aku kembali sampai ke meja di mana Zein masih menunggu dengan setia.
“Kay, kamu baik-baik aja? Kok lama banget?” tanya Zein cemas saat melihat wajah pucatku. Kudaratkan tubuhku di kursi, lalu meraih segelas air mineral dan meneguknya hingga habis.
“Kayla, ada apa?” Ia bangkit dan mendekatiku.
“Nggak apa-apa, Bang. Aku hanya ... “
“Pak Zein!” Belum sempat aku menjawab, Pak Randi hadir di antara kami.
“Ya, Pak?” sahut Zein.
Aku menghela napas, mengembuskannya perlahan. Lega rasanya ketika tehindar dari pertanyaan Zein.
“Mari saya kenalkan dengan pemilik saham terbesar hotel dan restoran ini.” ajaknya.
“Boleh, Pak.” Zein menoleh padaku, mengulurkan tangannya. “Ayo Kay, ikut Abang, kita kenalan dulu dengan seseorang.”
Aku menerima uluran tangan suamiku. Meraih tasku dan berjalan berdampingan dengannya menuju sebuah meja.
“Nah, ini dia orangnya Pak Zein, kenalkan ... “
“Sam?” Zein terbelalak kaget saat menyadari siapa orang yang kini ada di hadapannya. Pria yang tadinya duduk segera berdiri dan menyalami Zein. Ia tersenyum. Aku pun tak kalah terkejut melihat pria itu. Sameer?
“Lho, Pak Zein kenal?” tanya Pak Randi heran.
“Iya, bukankah ... “
“Iya, saya senang memasak, makanya saya juga merangkap sebagai koki di restoran.” Sam memotong ucapan Zein. “Menyalurkan hobi.” Tambahnya.
“Maasyaa Allah.” Zein menjabat erat tangan Sam. “Sungguh pribadi yang luar biasa.” puji Zein.
“Ah, biasa saja Pak Zein.” timpal Sam dengan rendah hati sambil melirikku sejenak.
Sungguh dua pribadi yang terlihat berbeda sekali. Antara Chef Sam dan Sam sebagai seorang pemilik saham terbesar hotel dan restoran ini.
Dengan terpaksa aku harus berada di antara para lelaki ini, mendengarkan obrolan bisnis yang tak kumengerti sama sekali. Aku berusaha bersikap tenang meskipun mata Sam sering bersirobok denganku di sela-sela pembicaraan mereka. Ia sering menatap sinis tangan Zein yang tak melepas genggamannya di jemariku.
“Pak Zein sangat mencintai istri Bapak, ya?” tanya Sam dengan berani saat obrolan bisnis mereka selesai.
Zein menoleh padaku, lalu merangkulkan tangannya ke bahuku. “Tentu saja. Siapa pun pasti akan sangat beruntung memiliki istri seperti Kayla.” jawabnya penuh percaya diri.
Sedangkan aku hanya bisa tertunduk malu diberi pujian begitu.
“Iya, dia perempuan istimewa.” desis Sam sambil melirikku. Meskipun ucapan itu terlontar sangat pelan, namun aku bisa menangkapnya dengan jelas.
“Apa Pak Sam? Anda bicara apa?” tanya Zein yang sepertinya tidak begitu mendengar ucapan Sam.
“Oh tidak, tidak. Hanya merasa iri saja dengan Bapak, karena memiliki istri seperti Bu Kayla.”
Zein tertawa kecil, raut bangga jelas terpeta di wajahnya.
Tidakkah Zein tahu siapa pria yang ada di hadapannya ini? Pria yang nyaris membuat istrinya ini berpaling kalau saja ia tak segera mengubah sikapnya. Pria yang beberapa saat lalu sempat menggodaku di lorong itu. Pria yang saat ini masih memiliki sebuah tempat meski pun hanya sebuah tempat kecil di salah satu sudut hatiku. Tahukah kamu akan hal itu Zein?
***
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment