#KAYLA
#PART_3
#Pesona Sang Master Chef
(Flash Back)
“Abang mau ke mana? Bukankah ini hari Minggu?” tanyaku saat melihat Zein mengenakan pakaian kerjanya. Waktu baru saja menunjukkan pukul enam pagi.
Zein tak menoleh, ia bergegas memasang jas coklat mudanya.
“Ya kerjalah Kay, aku ada meeting pagi ini di Padang, dan aku tidak mau terlambat.” jawabnya datar.
“Tapi ini kan hari Minggu!” bantahku.
“Untuk seorang pekerja keras tak ada kata hari Minggu atau hari libur.”
Aku menghela napas yang terasa sesak.
“Kapan punya waktu untukku?”
Zein terdiam sejenak, lalu ia mendekat. “Aku bekerja untukmu, untuk masa depan kita. Jadi, kamu harus bersabar.” Pria itu mengecup keningku sebelum melangkah ke luar dari kamar.
‘Tapi bukan itu yang kumau, Zein!’ teriakku dalam hati.
Kuikuti Zein yang bergegas menuju pintu ke luar. Ia tak lagi menoleh ke belakang, bahkan hingga mobil yang membawanya bergerak perlahan meninggalkan halaman yang terbilang cukup luas ini. Hanya bisa terpaku di ambang pintu, menyeka butiran bening yang mulai jatuh satu persatu.
Entahlah, rasanya aku terjebak di sebuah sangkar emas. Zein memberiku segalanya, tapi tidak memberiku waktu dan cinta yang cukup. Dia hanya peduli pada pekerjaannya. Dia tak peduli dengan perasaanku.
Aku menutup pintu. Kembali masuk ke dalam rumah, menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu. Berusaha meyakinkan diri, bahwa inilah kenyataan yang harus kuhadapi.
“Non Kayla, Non baik-baik saja?” Suara Mbak Rina, sang asisten rumah tangga membuatku buru-buru menghapus pipi yang masih basah.
“Eh, iya, saya baik-baik saja.” sahutku seraya bangkit.
“Sarapan sudah saya siapkan, Non.” ujarnya lagi.
“Terima kasih, Mbak, tapi saya belum lapar. Nanti saja.” sahutku seraya berlalu menuju kamar. Mbak Rina hanya bisa menatapku. Mungkin lebih tepatnya menatap penuh kasihan.
Kulepaskan tangisku dikamar, agar rasa sesak yang menyiksa di rongga dada sedikit berkurang. Menatap foto pengantin aku dan Zein yang terpampang di atas nakas.
“Pernikahan seperti apa yang kau berikan padaku, ha?” tanyaku seolah bicara pada Zein. “Aku tak butuh hartamu, aku butuh kamu, aku butuh waktumu, aku butuh perhatianmu. Bukan uangmu!” lirihku sambil terus menangis. Hingga tak sadar, aku pun tertidur.
***
Mematut diri di depan cermin, setelah mengenakan gamis biru muda dengan jilbab segi empat senada. Teringat akan undangan Sam kemarin, aku memutuskan untuk kembali makan siang di sana. Meminta Pak Khairul mengantarku lagi.
Kenapa aku mau memenuhi undangannya? Bukankah kami baru saja mengenal? Ah, itu tidak penting! Yang jelas, hari Minggu ini aku tidak kesepian, meskipun tanpa Zein. Kuhela napas, mencoba tersenyum meski terasa pahit. Ya, aku juga berhak bahagia, dan mencari bahagiaku sendiri.
Aku pun turun dari mobil. Melangkah dengan penuh percaya diri menuju restoran itu. Suara sepatu dengan tumit lima senti yang kukenakan sedikit menggema di lantai ruangan yang masih sepi itu. Hanya beberapa orang saja yang terlihat tengah menikmati makan siangnya di sini.
Duduk di meja nomor dua, sama seperti kemarin.
"Selamat siang Nona, mau dibuatkan menu apa hari ini?"
Itu suara Sam. Senyuman khas yang menampakkan lesung pipi di sebelah kiri embuatku kembali terpana dengan mata abu-abunya.
Wajahku bersemu merah, ketika merasa menerima perlakuan spesial dari lelaki yang sangat jago memasak ini. Dia membuatku lupa, jika aku adalah milik Zein Arifin, lelaki yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.
“Kamu tahu saja aku sudah datang.” ucapku.
“Tidak ada yang bisa menolak undangan Sameer, master chef terbaik di kota ini.” Sam menepuk dada. Membuatku tertawa melihat ekspresi sombong yang dibuat-buat.
“Hari ini mau dibuatkan apa?”
“Bukankah kamu berjanji ingin membuatkanku spageti spesialmu?” Kuberanikan diri menatap matanya.
Sam tersenyum, membalas tatapanku. Sedikit desir aneh menari di sudut hati.
“Baiklah, tunggu sebentar.” Sam berlalu. Meninggalkanku yang berusaha menepis sebuah rasa yang muncul perlahan, rasa yang tak diundang.
Ini bukan pertama atau kedua kalinya aku datang ke sini, setidaknya dua hari sekali aku akan makan siang di sini sebelum berangkat mengajar mengaji. Perlakuan Sam membuatku begitu nyaman, membuat hari-hariku terasa berarti. Apalagi Sam sangat tahu bagaimana cara memperlakukan wanita. Perlakuan yang tak pernah kudapatkan dari Zein, suamiku sendiri. Tak jarang Sam ikut makan bersamaku. Kami bercerita apa saja. Akan tetapi, ia tak pernah bertanya padaku, apakah aku sudah menikah atau belum, dan aku juga tak pernah bercerita tentang siapa aku sebenarnya. Yang jelas, dia menyenangkan, dan aku suka.
“Minggu depan aku cuti, kita jalan?” tanya Sam saat mengantarku ke luar dari restoran. Kali ini aku tak meminta Pak Khairul mengantar, memutuskan naik taksi online saja. Aku takut Pak Khairul curiga denganku dan menyampaikan yang tidak-tidak pada Zein.
“Jalan?” Menatap tak percaya dengan ajakannya. Hampir tiga minggu kedekatan kami, membuat Sam sudah berani mengajakku.
“Iya, jalan. Kamu keberatan?”
“Tidak, tapi aku ... “
“Kayla, aku tidak mau ditolak kali ini.” potongnya.
Aku terdiam, berpikir sejenak. Minggu depan, bagaimana kalau Zein sedang ada di rumah?
“Sam, kamu harus tahu kalau aku sebenarnya ... “
“Kayla, please!” Sam menangkup kedua tangan di dada dengan wajah memelas.
Kuhela napas, ada rasa tak kuasa menolak permintaan pria bule ini. Bukan, bukan karena ketampanannya, tapi karena ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman bersamanya. Berdosakah aku? Tentu saja! Tapi kutepis, demi membuat hatiku bahagia. Astaghfirullah!
“Oke.” sahutku akhirnya yang disambut wajah sumringah dari Sam.
“Thanks Kayla, thank you sooooo much!” Ia tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya atas persetujuanku. “Aku akan menjemputmu nanti, berikan alamat rumahmu!” Sam mengeluarkan ponselnya untuk mencatat alamatku.
Aku terkesiap, mana mungkin aku akan memberikan alamatku. Aku tak segila itu!
“Jangan, kita ketemu di luar saja. Kamu sebutkan saja di mana kita bertemu nanti, bukankah nomor ponselku sudah kamu simpan?”
“Oh iya, begitu ya. Oke, deal!” Kembali senyum menghias wajahnya.
Tak lama taksi yang kupesan pun datang. Sam bergegas membukakan pintu mobil itu untukku. Merasa sangat tersanjung sekali dengan perlakuan romantis pria ini. Bahkan saat taksi melaju perlahan, Sam masih menatapku, tatapan yang tak mampu kumaknai sendiri. Ia melambaikan tangan, membuat jantungku berdetak tak karuan. Perasaan seperti apa ini, ya Allah? Kenapa detakan ini terasa menyakitkan? Kenapa dia begitu membahagiakan untukku? Apa aku mulai ... ah, tidak, tidak! Tidak mungkin!
***
Entah bagaimana awalnya, yang jelas saat ini aku dan Sam tengah berada di tempat ini. Sebuah cafe yang terletak di sudut kota. Perkenalan yang baru berjalan hampir tiga minggu, tapi seakan kami sudah saling mengenal sejak lama. Bersamanya, membuatku lupa kalau aku adalah milik Zein. Lelaki yang telah menghalalkanku beberapa waktu yang lalu.
“Kay, aku ... bolehkah bicara sesuatu?” Wajah Sam tampak serius.
“Dari tadi bukannya bicara?” Aku tertawa, tapi tidak dengan Sam, ia malah menatapku lekat.
“Aku seirus, Kayla.”
“Oke, sorry. Bicaralah!” Kuteguk capucino hangat itu. Gerimis yang turun membuat cuaca kota Bukittinggi semakin dingin.
“I love you, Kayla.”
Pernyataan Sam membuat cangkir yang kupegang hampir terlepas dari tangan. Kutaruh cangkir itu kembali ke tempatnya. Berusaha meyakinkan diri jika ucapan Sam hanyalah mimpi.
“Aku tahu ini terlalu cepat, tapi sejak pertama kali melihatmu di restoran, aku merasakan sesuatu yang lain. Aku mengagumimu. Aku pikir itu memang sebatas rasa kagum, tapi ... semakin aku dekat denganmu, aku baru sadar kalau aku ... mencintaimu.”
Aku masih terperangah, masih tak percaya dengan ucapan Sam.
“Kay, ... ”
“Sam,” potongku, “maafkan aku, aku tidak bisa.”
“Kenapa?” Kejarnya.
“Aku tidak bisa.”
“Tidak bisa kenapa? Bukankah kamu juga terlihat nyaman denganku?”
“Ya, aku memang nyaman denganmu, dan aku merasa bahagia denganmu, tapi ... “
“But what?”
Aku terdiam. Jujur, aku pun mulai memiliki rasa yang sama denganmu Sam, tapi itu tak mungkin, aku milik Zein.
***
(Flash back off)
“Selamat malam, Pak Zein dan ibu ... “ seorang lelaki berseragam chef hadir di hadapan kami, ucapannya terputus saat mataku dan matanya saling beradu. ... dan rasa sesak itu kian memenuhi rongga dada, hingga aku merasa kesulitan untuk bernapas.
“Oh iya, selamat malam.” Zein menyahut sambil tersenyum.
Sam melirik genggaman tangan Zein padaku. Jelas terpampang wajah cemburunya.
Aku hanya bisa tertunduk sembari menetralkan perasaan.
“Bapak dan ibu ingin pesan apa?” Sam tampak berusaha bersikap tenang.
“Kamu mau apa, Sayang?” tanya Zein padaku.
“Apa saja,” sahutku pelan.
“Oke, kami pesan beef steak spesial dua ya, soalnya itu makanan favorit istri saya.” ucapan Zein membuatku terkejut, dari mana dia tahu aku suka makanan itu?
“Baiklah, segera tersaji.”
“Oh ya, jangan lupa, minumannya ,”
“Orange jus kan, Pak?” tebak Sam sambil melirikku.
“Ah iya, kamu tahu saja,” Zein tertawa.
Sam berlalu setelah ia melirikku tajam.
“Aku lumayan serimng makan di sini, makanya chef itu kenal denganku.” Zein menjelaskan tanpa kutanya.
Hanya tersenyum kecut sambil mengangguk. Zein tak tahu jika jantung istrinya saat ini hampir lepas dari tempatnya.
“Aku juga tahu dari Pak Khairul, kalau kamu akhir-akhir ini sering makan di sini sendirian.”
Deg! Aku terperanjat, apakah Zein mencium sesuatu yang mencurigakan dariku?
“Maafkan aku, jika tak pernah memberi waktu yang cukup untukmu. Aku janji, mulai malam ini akan meluangkan lebih banyak waktu bersamamu.” janjinya sambil menatapku begitu intens.
Tapi sepertinya kamu terlambat Zein, seseorang hampir saja mencuriku darimu. Apa kamu tidak sadar?
***
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment