365 Hari
Part 15
Aku terbangun ketika suara orang menggedor pintu ruang tamu. Tak puas hanya menggedor, bel pun berbunyi tanpa henti. Aku membuka mata dan melirik ke arah jam dinding. Baru pukul tiga pagi ternyata, tapi mengapa aku masih berada di ruang tengah. Hendra, bukankah terakhir kali aku bersamanya di balkon depan kamar kami.
Aku berjalan ke ruang tamu tapi sebelumnya menghampiri meja makan. Kuangkat tudung saji yang menutupi makanan, mengapa masih utuh seperti tidak pernah disentuh siapapun. Bukankah tadi jam dua pagi aku dan Hendra duduk disini menikmati makan pagi dengan di temani lilin, cahaya temaramnya lampu dan musik nan lembut. Ini aneh.
Lamunanku buyar dengan suara gedoran pintu dan bel yang tak putus-putus berbunyi. Kulangkahkan kaki secepat mungkin menuju ruang tamu. Segera kuraih gagang , memutar kuncinya dan membuka pintu yang terbuat dari kayu jati tersebut.
"Kalian siapa?" tanyaku pada dua orang lelaki yang berdiri tegak tepat dihadapanku.
"Kami polisi dan kesini atas perintah Tuan Darmo menangkap Anda karena dugaan korupsi," tuturnya tegas.
Tiba-tiba jantungku berhenti mendengar penjelasan salah satu pria tersebut. "Saya telpon suami dulu," pintaku.
"Tidak bisa Nyonya. Kami buru-buru,"
"Kenapa harus buru-buru?" tanyaku lagi penasaran. "Sebentar saja, saya khawatir suami saya nanti akan mencari jika dia pulang,"
"Tidak Boleh Nyonya. Anda harus ikut dengan kami sekarang?!" bentak salah satu lelaki.
"Siapa kalian sebenarnya?!" aku mulai curiga, segera kututup pintu. Tapi sial tenagaku kalah kuat hingga pintu itu tidak berhasil ditutup.
Keduanya melompat mendekat dan aku coba mencari apapun untuk menghalangi mereka berdua. Tempat sampah, vas bunga, sapu dan bahkan piring berisi lauk pun kulempar dengan asal tapi keduanya terus mendekat hingga aku pun terus berlari. Hingga saat di anak tangga aku harus berhenti berlari ketika kaki kananku tersangkut dan aku terjatuh.
Tangan lelaki itu kuat mencekal bahuku. Tubuhku di gendong paksa menuruni tangga. Aku meronta, tapi tenaga ini seperti tak berarti untuk lelaki itu.
"Tooo... " Tak bisa bersuara lagi karena satu tangan lelaki yang lain menutup mulutku dengan lakban.
Ya Allah, siapa mereka. Aku dalam bahaya saat ini, tolonglah hambaMu. Sekuat tenaga aku berontak, tetapi tenaga mereka lebih kuat hingga perlawananku itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Alphard hitam sudah terparkir di halaman rumah lengkap dengan seorang sopir. Pintu telah terbuka dan lelaki yang menggendongku siap melemparkan tubuh ini ke dalamnya.
Tapi, sesuatu seperti menarikku menjauh dari sana, lelaki bertubuh tegap itu jatuh kebelakang dan aku pun jatuh ke sisi yang lain.
Tamaaa...lelaki jangkung itu langsung menghajar salah seorang dari komplotan tersebut. Pria lain di dalam mobil keluar dan yang tadi terjatuh karena tarikannya pun bangkit. Pertarungan tidak seimbang satu lawan tiga terjadi.
Ketiga orang tersebut terlihat makin bengis ketika Tama coba melawan. Sekuat tenaga Tama melindungi dirinya tetapi dia kalah. Darah segar mulai keluar dari hidung, bibir dan pelipisnya. Badannya terhuyung kemudian jatuh berlutut hingga akhirnya terjerembab ke rumput taman.
Aku tidak mau tinggal diam. Kubuka lakban yang menutupi mulut dengan tangan dan berlari ke jalan. "Tolonggg…Maliiing... Maliiing," teriakku sambil memukul tiang listrik yang tepat berada di depan rumahku.
Suasana menjadi gaduh dan beberapa tetangga kulihat mulai menyalakan lampu. Perkelahian terhenti, tiga orang berperawakan besar terebut seperti menyadari jiwa mereka sedang terancam. Ketiganya masuk ke mobil, dua berhasil tetapi satu orang bernasib sial, Tama berhasil menariknya hingga jatuh.
"Bu Hendra tidak apa-apa?" tanya seorang tetangga, aku menggeleng pelan. Tetangga yang lain menyodorkan segelas air putih dan coba menenangkan aku yang masih syok dengan kejadian ini. Dari kejauhan kulihat Tama menyerahkan salah satu lelaki yang dapat dia ringkus.
"Minumlah, mungkin ini akan membuatmu lebih baik." Tama menyodorkan secangkir teh hangat padaku.
"Terima kasih," ucapku pelan menerima teh hangat tersebut.
Semuanya bagaikan mimpi buruk bagiku. Hampir saja celaka karena ulah ketiga orang tersebut yang ternyata adalah orang suruhan Shiren.
"Maaf aku tidak percaya dengan kata-katamu kemarin siang,"
Tama tersenyum sambil menggesekkan kedua telapak tanggannya kemudian bersidakep karena memang suhu di kantor polisi ini dingin sekali.
"Wajar kalau kamu tidak percaya karena memang aku telah membohongimu kemarin," lelaki itu berkata. Aku menyesap teh dalam cangkir setelah meniupnya terlebih dahulu sebanyak tiga kali.
Pak Rt dan beberapa tetangga serta security komplek kulihat keluar dari ruangan tempat dimana sebelumnya aku diinterogasi. Mereka menghampiriku dan kemudian berpamitan untuk pulang lebih dulu. Sekarang sudah pukul delapan pagi.
"Boleh kupinjam handphonemu?" tanyaku pada Tama karena baru ingat kalau aku lupa membawa handphone.
"Boleh," jawab lelaki itu sambil mengeluarkan handphone miliknya dari saku celana.
Aku coba mengingat dua belas angka yang merupakan nomor telpon Hendra. Tidak ada nada tersambung, sepertinya handphone lelaki itu masih mati sejak semalam.
"Siapa yang kamu hubungi?" tanya Tama ketika beberapa kali kuulang menghubungi nomor telpon tersebut.
Tama menarik napas berat, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Dia langsung mendekapku erat dan menempelkan kepalaku di dadanya. "Hendra tertembak semalam, Luna" bisiknya pelan dan tanpa terasa cairan bening merembes dari kedua kelopak mata bersamaan dengan jatuhnya cangkir yang sedari tadi kupegang.
"Umi minta jangan tinggalkan Hendra, Luna. Apapun yang terjadi," pesan Umi ketika aku baru saja keluar dari ruang ICU tempat Hendra masih di rawat. Aku melirik sekilas kearah Tama yang sedari tadi berada sekilas, wajahnya terlihat murung.
"Umi yang sabar ya...semuanya pasti akan baik-baik saja," ucapku pelan guna menenangkan perempuan tersebut. Tergambar jelas kelelahan di wajah tuanya. "Atika, bawa Umi istirahat. Biar Mbak yang jaga Mas Hendra disini," perintahku pada adik perempuan Hendra. Walaupun sedikit dipaksa, akhirnya Umi mau ikut dengan Atika.
Pandanganku beralih kepada Hendra yang masih tebujur kaku. Grafis pada layar monitor yang menunjukkan kerja organ tubuh Hendra masih bergerak turun naik dan lambat. Selang ventilator yang membantu lelaki itu bernapas saat ini masih terpasang juga dihidungnya. Dokter juga memasang selang infus untuk menyalurkan cairan, nutrisi, serta obat-obatan yang dibutuhkan Hendra.
"Dia tertembak dini hari tadi, pukul tiga pagi. Itu yang kutahui dari staff yang kebetulan berada bersama mereka," jelas Tama tanpa kuminta.Pandanganku masih pada Hendra. Dia terlihat begitu tenang dengan mata terpejam rapat. "Tiga peluru menembus tubuhnya," jelasnya lagi.
Aku menarik napas berat, sesak rasanya dada ini. "Dan pelakunya, Shiren," tebakku.
Tama mengangguk pelan, "Shiren terdesak karena dia sudah tidak bisa berkelit lagi dengan apa yang telah diperbuatnya selama ini. Tembakan itu dilakukan secara membabi buta di ruangan tersebut. Tiga staff terkena peluru nyasar dan korban terparah adalah Hendra."
"Jadi, kejadian itu bersamaan dengan ketiga orang suruhan Shiren datang ke rumah," tiba-tiba saja aku menggigil membayangkan kejadian itu.
"Ya... Begitulah. Sepertinya Shiren berharap bisa menculikmu,"
"Lalu... Kemana Shiren sekarang?" tanyaku lagi.
"Di kantor polisi."
Aku hanya ber o saja mendengar penjelasan Tama. Televisi yang berada di koridor sedang menyiarkan berita penembakan yang terjadi di salah satu perusahaan Darmo group. Di layar kaca tampak wajah Shiren terlihat pucat dan lelah.
****
Hari ke tiga ratus enam puluh lima.
Pemakaman sudah mulai sepi, pelayat sudah pulang hingga menyisakan umi, Atika, aku dan beberapa kerabat dekat Hendra. Tepat pukul satu malam tadi lelaki itu menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit. Dia tidak bisa bertahan lebih lama kendati peluru-peluru tersebut sudah dikeluarkan dari tubuhnya.
Tania masih setia menemaniku dari semalam hingga sekarang ini. Aku masih belum bisa percaya dengan apa yang kualami sendiri, beberapa saat sebelum Hendra tertembak. Bagaimana kenangan terindah yang dia berikan padaku malam itu begitu nyata ternyata hanyalah mimpi. Mungkin, itu cara dia meminta maaf padaku.
Kepalaku merebah pada pundak milik Tania. Seperti semuanya bagai kan mimpi. Tiga ratus enam puluh lima hari aku lalui dengan penuh emosi dan ketidakpastian. Tepat di hari ke tiga ratus enam puluh lima aku dan Hendra benar-benar berpisah dan terpisahkan oleh maut. Kontrak kerja selesai.
Aku meninggalkan pemakaman setelah umi dan keluarganya memutuskan pulang. Desau angin lembut bertiup menggugurkan daun-daun dan bunga kamboja yang tumbuh di sekitar pemakaman. Hendra, beristirahatlah dengan damai disana karena aku telah memaafkanmu.
****
Sudah dua minggu berlalu dari kejadian itu dan aku kembali menjalani rutinitas seperti sebelum bekerja di perusahaan tersebut. Aku kembali ke rumah dan berjualan makanan serta minuman kegemaran anak-anak. Hidupku kembali normal, tidak ada kecemasan seperti ketika aku masih menjalani perjanjian kawin kontrak.
Tania sudah diangkat menjadi seorang kepala logistik, menggantikan posisi Sopyan yang terjerat kasus korupsi. Dia memang pantas menjabat posisi tersebut. Bukan hanya cerdas tetapi dia juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaannya.
Perusahaan tersebut akhirnya jatuh ketangan anak bungsu Pak Darmo. Tania pernah menawarkan aku untuk bekerja kembali dengan bantuannya. Tapi, perusahaan masih harus menyelidiki tentang ratusan juta uang yang masuk ke rekeningku dan memutuskan aku bersalah atau tidak.
Shiren sendiri, kabar terakhir yang kudengar dia mengalami gangguan jiwa karena depresi yang begitu hebat. Di tambah setelah mendengar kabar kematian Hendra, orang yang paling dicintainya.
Tama...
Entahlah dimana lelaki itu berada. Sehari sebelum Hendra meninggal, dia berpamitan untuk pergi ke kota lain demi menjalani tugas dari klien barunya. Kasus yang sama, menyelidiki kasus korupsi yang mulai terendus pemiliknya.
"Datanglah ke airport jika memang kamu mencintaiku? Jika kamu tidak datang, aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku karena cinta itu harus lahir dari hati bukan karena keterpaksaan,"
Aku sebenarnya ingin sekali menemuinya saat itu, mengantarkan Tama sebagai tanda bahwa aku telah memaafkannya dan siap memulai hubungan yang baru dari awal lagi. Sayang, umi selalu memintaku untuk tetap bersama Hendra apapun yang terjadi, walaupun pada akhirnya lelaki itu meninggalkan kami semua.
"Kak Luna ada yang cari tuh," seorang anak kecil bernama Radit memberitahuku.
"Siapa?" tanyaku pada anak tersebut.
Dia mengedikkan bahu, "gak tahu. Liat aja sendiri," jawabnya konyol.
Aku keluar dan mataku terpukau ketika melihat lelaki itu berada tepat dihadapanku, "Tama... " desisku pelan, mungkin hanya aku yang mendengar.
"Hai... Apa kabar?" sapanya dingin.
"Baik," sahutku, pasti dia datang kesini bukan untuk sesuatu yang menyenangkan hati. "Ada apa, Tama?" tanyaku kemudian.
"Aku diperintahkan untuk menangkapmu Luna karena terbukti kamu bersalah dalam kepemilikan uang yang masuk ke rekeningmu,"
Aku terdiam sebentar tapi coba tegar karena semuanya sudah kusiapkan sejak lama. Hal ini pasti akan terjadi padaku dan aku harus siap mempertanggungjawabkannya.
"Bolehkah aku menunggu ibuku pulang?" tanyaku getir.
"Tidak perlu, biar nanti aku yang bicara pada ibumu setelah menagantarkanmu," jelas Tama.
"Sebentar, aku ganti pakaian," pintaku lagi.
"Tidak perlu, karena disana sudah disiapkan pakaian yang akan kamu kenakan,"
Sebegitu terburu-burunyakah? Hingga berganti pakaian pun tidak boleh. Aku menyerah dan berjalan bersisian dengan Tama karena lelaki itu memborhol satu tanganku dengan tangannya. Jalan dari gang ke rumahku memang sempit, hanya orang dan motor yang bisa masuk ke dalamnya. Tak kuhiraukan pandangan para tetangga yang memandangku aneh dan penuh tanya. Di depan gang sudah menunggu sebuah mobil sedan berwarna hitam dengan seorang sopir di dalamnya.
Kami berdua duduk di kursi belakang. Mobil mulai berjalan meninggalkan perkampungan yang padat dimana aku tinggal. Tidak ada kata yang keluar dari mulutku maupun lelaki itu. Pikiranku terbayang bagaimana nanti kehidupanku di penjara. Terbayang juga wajah ibu dan adik-adikku, pasti mereka akan bersedih karenanya. Belum lagi gunjingan para tetangga. Membayangkan semua itu airmataku merembes keluar.
"Apa kamu takut?" pertanyaan pertama keluar dari mulut Tama ketika kami lama saling terdiam.
"Aku manusia biasa Tama, wajar jika memiliki rasa takut," ucapku mengusap airmata dengan tangan kiri.
Tama menyodorkan tisue, tapi kutolak. Bukan itu yang kuharapkan, saat ini suport lebih penting dari apapun. Tapi sayang, hati lelaki itu sudah beku hingga dia tidak ingin berada di pihakku.
Mobil terus bergerak menyalip kendaraan lain. Berkejar-kejaran seperti ingin menjadi yang paling terdepan.
"Lewat jalan itu saja Pak, lebih dekat," perintah Tama pada sopir berperawakan tambun. Jalan raya memang terlihat sangat macet hingga Tama memutuskan potong jalan melalui sebuah komplek perumahan yang asri.
Sekitar lima ratus meter dari pintu masuk komplek, mobil berhenti disebuah rumah mungil berhalaman cukup luas. Tidak seperti rumah disekitarnya yang berukuran besar, rumah bercat hijau muda itu berukuran jauh lebih kecil. Halamannya yang cukup luas banyak ditumbuhi bunga-bunga dan pepohonan menjadikannya lebih asri dan sejuk.
Aku mengikuti langkah Tama keluar dari mobil dan berjalan menuju teras rumah.
"Ini rumah siapa Tama?" tanyaku setelah kami berada di depan pintu masuk.
"Rumahku," sahutnya cepat. Dahiku mengerut."Aku akan penjarakanmu disini Luna, jika kamu bersedia,"
Aku tertegun, coba memahami apa maksud dari ucapan lelaki itu. Tama tersenyum, terdengar alunan musik dari dalam rumah, sepertinya ada seseorang yang menunggu disana.
"Be my wife, lagu ini dinyanyikan Billy Simpson untuk melamar kekasihnya dan sekarang aku menggunakan lagu ini untuk melamarmu, Luna,"
Aku menatap lelaki itu, masih belum percaya dengan apa yang kudengar barusan. Tama mengenggam kedua jemariku ketika posisi kami saling berhadapan. "Luna, maukah kamu menjadi istriku?" tanyanya kemudian dengan lantang.
Aku manarik napas, ada keharuan yang teramat sangat ketika mendengar pertanyaan itu. Aku mengangguk pelan, "Ya... Aku mau Tama. Aku mau menikah denganmu," jawabku kemudian dan kami pun saling berpelukan.
"Yeee... " sorak sorai itu terdengar dari arah dalam. Kurasakan taburan bunga dan kertas warna-warni berjatuhan di kepala kami berdua.
Tania, Atika, Ibu, Umi dan beberapa orang yang tidak kukenal terlihat tersenyum sumringah.
"Kamu jahat Tama," ucapku sambil menghadiahkan cubitan kecil dipinggangnya. Lelaki itu meringis menahan sakit.
"Jadi, kita akan menikah?" Tama bertanya lagi seperti meminta kepastian dariku.
"Ya, aku bersedia. Asal dengan satu syarat, Tama," pintaku.
Tama dan orang disekeliling kami terdiam. "Apa syaratnya?" tanya lelaki itu.
"Kita menikah sungguhan dan bukan kontrak," sahutku tegas dan semua orang termasuk Tama tertawa mendengar syaratku tersebut.
Hendra, semoga kau tenang di alam sana.
The end.
Sampai jumpa di lain waktu dengan cerita yang lain. Thanks untuk semuanya 😘
No comments:
Post a Comment