Tuesday, March 17, 2020

365 hari (14)

365 Hari

Part 14


Tania membatalkan niatnya untuk menemani sampai malam. Dia berpamitan satu jam yang lalu padahal aku masih ingin ngobrol dengannya. Ngobrol dengan Tania memang tidak pernah membosankan walaupun terkadang yang dibicarakan adalah hal yang sama. 

[Luna,  buatkan masakan yang lezat. Sepulang dari sini aku ingin kita makan bersama]

[Jam berapa kamu pulang?]

[Selepas isya]

Beruntung semua pakaian sudah masuk koper. Aku segera menuju dapur berharap masih ada persediaan sayuran dalam kulkas. Ternyata tidak sesuai harapan,  tidak ada satupun sayuran yang bisa dimasak. Hanya deretan telur yang masih berjejer rapih. 

Aku memutuskan berangkat ke supermarket yang letaknya tidak jauh dari komplek. Cuaca sangat mendung hari ini tapi hujan pun sepertinya tidak akan turun. Hembusan angin yang menyapa kulit agak sedikit terasa dingin. Perasaanku pun tidak menentu hari ini,  seperti ada sesutu yang bakal terjadi dan itu adalah suatu keburukan. 

"Hanya perasaan aja itu sih,  gak usah diambil pusing," komentar Tania ketika tadi kuutarakan perasaan yang tidak menentu ini. 

"Tapi jarang-jarang loh Tan aku kaya gini,"

"Jarang-jarang artinya bukan gak pernah kan? Trus ketika kamu begitu apakah pernah terjadi seseuatu sama kamu gitu?"  Tania balik bertanya. 

"Yaa gak pernah sih," 

"Nah itu dia. Berarti itu hanya sekedar perasaan aja,  ya bisa jadi kamu terlalu mengkhawatirkan sesuatu sehingga muncullah perasaan itu tadi."

Susah memang bicara dengan orang yang selalu berpikiran rasional.  Mereka tidak akan mempercayai hal-hal tabu yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. 

Suasana supermarket terbilang agak sepi. Mungkin karena sekarang sudah terhitung akhir bulan. Diawal bulan supermarket ini ramai sekali pengunjungnya bahkan terkadang sampai antre berjam-jam untuk membayar. Maklum,  selain harga murah barang-barang disini juga cukup lengkap. 

Hendra pernah bilang kalau supermarket ini juga masih anak perusahaan dari Darmo group. Lelaki itu memang pembisnis yang hebat dan hampir semua perusahaan yang di pimpinnya sukses. Wajar Shiren mau menjadi istri lelaki itu, bisa mewarisi minimal satu perusahaannya saja sudah bisa memberikan kenyamanan di masa depan. 

Tidak banyak yang kubeli hari ini,  hanya sekedar kebutuhan untuk makan malam nanti karena besok pagi rencananya kami akan keluar dari rumah itu. Tumben juga Hendra meminta aku memasak makan malam hari ini, biasanya dia selalu makan di luar. 

"Tidak usah dibayar Mbak,  ini semua sudah dibayar." Kasir cantik menolak uang yang kusodorkan sesuai dengan jumlah yang tertera di layar.

"Siapa ya Mbak yang bayar?  Saya datang sendirian kesini," ucapku bingung. 

"Tadi ada laki-laki memberikan sejumlah uang Mbak.  Dia bilang untuk membayarkan semua belanjaan si Mbak, ini saya juga malah bingung karena sisanya masih banyak," tutur kasir tersebut. 

Mataku memandang berkeliling supermarket,  berharap orang yang dimaksud si kasir tersebut masih ada di sekitar kami. "Mbak,  saya titip belanjaannya dulu ya. Mau cari orang itu,  barangkali saya kenal dia,"

Kasir tersebut mempersilahkan.

"Oh ya Mbak, bagaimana ciri-ciri orang itu?" tanyaku kemudian. 

Wanita itu coba mengingat, "badannya tinggi dan tegap,  rambut plontos dan kulitnya sawo matang," jelas si Mbaknya. 

"Apakah dia memiliki alis yang tebal?" tanyaku lagi,  wanita itu mengangguk pelan. 

Tama. Mungkinkah itu dia?  Dari penjelasan si mbak tersebut sih ciri-cirinya hampir mendekati Tama. Kalau memang iya,  sedang apa dia disini. Apakah dia bekerja disini atau hanya sekedar berkunjung. Tapi, kalau pun dia bekerja disini pastinya si kasir tersebut kenal dengannya. 

Aku berjalan mengelilingi supermarket, tidak kupedulikan pegal yang sudah menjalar di pangkal paha hingga telapak kaki. Aku harus menemukan lelaki itu,  banyak pertanyaan yang ingin aku ketahui jawabannya dari dia. 

Tiga kali mengelilingi supermarket ternyata tidak membuahkan hasil. Akhirnya aku memutuskan untuk menyerah dan kembali ke meja kasir. 

"Mbak,  ini uang sisanya," kasir itu menyodorkan sisa uang yang diberikan lelaki misterius tersebut. 

"Ambil saja buat Mbak," ucapku menolak uang tersebut. 

Raut bahagia terlihat di wajah wanita itu dan beberapa kali mengucapkan terima kasih. Aku keluar dari supermarket dan mengeluarkan handphone untuk memesan ojek online. 

"Masih suka naik ojek online," tegur seorang pria dari belakang dan jariku sedetik itu pula berhenti mengetik. Tama... Aku tidak perlu menoleh atau pun menggeser posisi berdiri. "Akhirnya aku bisa melihatmu disini," 

Aku diam,  menunduk memandangi ujung kaki yang bearalaskan sandal. 

"Maaf karena membuatmu bingung, Luna. Aku harap kamu tidak salah paham dengan apa yang terjadi saat ini," tuturnya lagi. 

"Sebenarnya siapa kamu?" aku menatap tajam lelaki itu. Ada kebencian sedikit yang muncul ketika tatapan mata kami saling bertemu. 

"Apakah itu penting bagimu, Luna?," jawabnya,  sama sekali tidak kuharapkan pertanyaan itu. 

"Tidak. Terima kasih sudah membayar belanjaanku," ucapku. Aku yakin dialah yang membayar semua ini. Baru satu langkah kaki ini bergerak maju ketika dia menahan badanku dengan tangannya. "Aku mau pulang Tama,  singkirkan tanganmu," pintaku. 

"Baiklah kalau itu mau kamu,  tapi kuharap segera tinggalkan rumah itu Luna," 

Aku menatapnya lagi,  mengapa aku harus pergi. 

"Itu adalah jalan terbaik untukmu dan juga Hendra,"

"Kami akan pergi Tama,  besok. Semua barang-barang yang akan kami bawa pun sudah siap diangkut,"

"Jangan besok Luna,  hari ini juga." Perintahnya sekali lagi. 

"Maaf Tama,  aku harus menunggu Hendra pulang dulu," 

"Luna,  untuk sekali ini dengarkan permintaanku."

"Dari awal kamu sudah berbohong Tama,  bagaimana aku bisa percaya padamu lagi," aku bersikeras. 

"Hari ini kamu harus percaya Luna, aku tidak ingin sesuatu yang buruk akan menimpamu dengan tetap berada di rumah itu."

"Kenapa aku harus pergi dari rumah itu?" tantangku. 

"Hari ini ada pertemuan besar keluarga Darmo, Luna. Saat ini pasti suasana disana memanas karena memang Tuan Darmo memutuskan untuk tidak memberikan apapun kepada Shiren. Aku khawatir dia akan bertindak sesuatu yang akan merugikan orang-orang yang telah dianggap menggagalkan rencananya," 

Aku terdiam,  coba merenungi apa yang telah dikatakan Tama. 

"Shiren wanita yang nekad, Luna. Dia mampu melakukan apapun teemasuk melukai oranglain."

"Terima kasih Tama untuk semua informasi yang kamu berikan. Saya tidak pernah sedikitpun menghalangi Shiren. Rahasianya tetap saya simpan dan tidak terbongkar pada siapapun hingga saat ini,"

"Kamu salah Luna. Justru kamulah orang yang ada dibalik kehancuran Shiren hari ini,"

Aku menatap lelaki itu heran. 

"Obrolanmu dengan Tania menjadi bukti kuat untuk Tuan Darmo memutuskan keputusannya hari ini,"

Aku teringat semua obrolan dengan Tania tempo hari. 

"Terima kasih untuk semua indormasi yang telah kamu berikan, Luna.  Itu sangat membantu tugas kami dalam membongkar kasus ini,"

"Sebenarnya,  siapa kamu?"

"Aku adalah orang yang dibayar khusus untuk menyelidiki semua perusahaan Darmo, karena dia ingin memberikan perusahaan-perusahaannya pada orang yang tepat."

"Kamu?"

"Maaf Luna, aku tidak memberitahukanmu dari awal tentang semua ini," 

Aku tidak menggubrisnya lagi, berlalu meninggalkan lelaki itu dengan menumpang bajaj yang kebetulan lewat. Jelas sudah,  dia hadir dan mendekatiku hanya untuk mencari informasi mengenai Shiren dan Hendra. Mengapa harus aku?  Karena mungkin aku dulu adalah sekretaris Hendra dan besar kemungkinan juga karena statusku sebagai istri Hendra. 

"Tania,  kenapa kamu bocorkan semua rahasia Shiren pada Tama," ucapku kesal ketika telponku tersambung dengannya. 

"Maaf Luna... Itu... E... Siapa yang memberitahumu?" jawabnya gugup. 

"Tama,"

"Kamu bertemu dengannya,  dimana?"

"Barusan,  di supermarket dekat komplek. Kenapa kamu merahasiakan tentang dia padaku, Tania."

"Maaf Luna,  jika aku memberitahukanmu tentang Tama. Apakah kamu akan menceritakan semua itu padaku,"

Aku terdiam sebentar. "Jadi,  kamu sudah tahu tentang dia kan dari awal?" selidikku lagi. 

"Awalnya belum Luna. Aku"

Sambungan telpon langsung kututup sebelum Tania melanjutkan kata-katanya. Tergores kekecewaan kepada dua orang tersebut,  Tama dan Tania. Mereka orang yang paling dekat denganku tetapi tega menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku. Aku yakin,  cinta yang selama ini Tama ungkapkan juga adalah suatu kebohongan. Ada maksud lain dibalik semua itu. Kebohongan tetap kebohongan, apapun itu bentuknya walaupun demi kebaikan mereka telah menjadi pengkhianat untukku. 

[Hendra? Kapan pulang?] tulisku melalui pesan Wa. 

Aku melirik ke jam yang menggantung di dinding, waktu hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Lelaki itu belum pulang juga hingga saat ini. 

Tidak ada balasan. [Apakah meetingnya belum selesai, Hendra]. Tulisku lagi. 

Tetap sama, tidak ada balasan. Sepertinya handphone Hendra mati karena pesan kedua hanya centang satu.  Mataku beralih menatap  meja makan, lauk dan pauk tersebut sudah menunggu sejak tadi. 

Aku terbangun ketika merasakan ada seseorang yang menggoyangkan tubuhku. 

"Hey,  kamu sudah pulang?" tanyaku ketika melihat sosok yang tak asing lagi sudah duduk disampingku,  Hendra. 

"Maaf menunggu lama. Ternyata tidak sesuai perkiraan,  pertemuannya terlalu lama," jelas Hendra bangkit dari duduknya. 

Aku melirik jam yang tergantung pada dinding,  sudah pukul dua pagi. Makan malamnya? Aku segera bangkit dan menghampiri meja makan. "Lauknya masih hangat" gumamku heran. 

"Iya,  tadi aku yang panaskan," sahut Hendra berjalan mendekat meja makan. 

"Maaf Hendra, jadi merepotkan," gumamku lagi. 

"Tak apa. Justru aku yang meminta maaf,  sudah memintamu memasak tapi aku malah pulang terlambat,"

Aku hanya tersenyum. Kesalahan sudah impas dan saling dimaafkan. 

"Ini namanya makan pagi," gumam Hendra diiringi tawa kecil. Aku ikut tertawa,  tak apalah yang penting semua makanan ini akhirnya bisa masuk perut, bukan tong sampah. 

Hendra menyalakan lilin berwarna merah yang dia letakkan di tengah meja dan mematikan sebagian lampu di ruangan sehingga hanya sedikit cahaya yang bersinar. 

"Apa ini kencan?" aku bergumam pelan. 

"Bukan!  Ini perpisahan," sahut Hendra getir. "Ah tapi tak usah dipikirkan,  setiap orang pasti akan berpisahkan?" dia terkekeh. "Oh ya,  aku melupakan sesuatu," serunya kemudian. 

Hendra berjalan meninggalkan meja makan dan beberapa saat kemudian terdengar suara alunan musik yang indah dan lembut. 

"Setiap perpisahan harus menjadi kenangan terindah untuk setiap orang," ucapnya lagi, "Untuk kamu yang sudah aku sakiti." Hendra mengangkat tinggi-tinggi gelasnya, aku mengikutinya. 

Aneh,  tapi tak apalah setidaknya Hendra sudah bermaksud baik. Memberikan kenangan terindah sebelum perpisahan kita nanti. Tiga ratus enam puluh lima hari,  kontrak itu akan segera berakhir. 

Setelah makan pagi semua selesai,  Hendra menggandeng tanganku menuju lantai atas. Mengapa aku tidak menolaknya justru mengikuti langkah lelaki itu menuju kamar kami. Hendra terus melangkah keluar dan menghentikan langkahnya persis di balkon tempat yang paling dia sukai dari rumah ini. 

"Bulannya sedang bersinar terang," ucap Hendra sambil tetap menggenggam jemariku,  bukan hanya satu tapi keduanya. Kami berdiri saling berhadapan. "Aku minta maaf Luna,  untuk semuanya," bisiknya pelan ditelingaku. 

"Sudahlah Hendra,  mau berapa kali kamu meminta maaf dan berapa kali pula aku katakan bahwa aku sudah memaafkanmu," 

Dia tersenyum. Seandainya saja,  ini bukan detik terakhir dimana kita akan berpisah Hendra.  Aku menatap lelaki itu sedih,  mengapa harus timbul rasa sedih ini. 

"Bagaimana dengan masalah di kantor?" tanyaku kemudian. 

"Sttt," dia menempelkan jarinya ke bibirku.  "Ini bukan saatnya membicarakan tentang pekerjaan. Tapi,  ini saatnya membicarakan tentang kita?" lanjutnya. 

"Kita?" tanyaku heran. 

"Ya... Aku dan kamu,"

Malam semakin merayap menuju pagi,  udara dingin mulai menyapa kulit. Kami saling berpandangan,  tanpa suara dan entah siapa yang memulainya hingga bibir kami saling memagut. Getarannya hingga merasuk ke dalam jiwa. Malam yang indah,  setidaknya malam indah pertama yang kulalui bersama Hendra. 

Bersambung...

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER