365 hari
Part 13
Umi tidak dapat membendung airmatanya ketika Hendra bersimpuh di kaki wanita itu. Berkali-kali Umi mengangkat tubuh anaknya agar berdiri tetapi dia tetap saja bertahan sambil memeluk kaki wanita yang telah melahirkannya itu. Pemandangan yang membuatku terharu.
"Sudah Hendra, Umi maafkan kamu. Minta maaf jugalah pada orang-orang yang telah kamu buat rugi dan menderita atas tindakan kalian ini." Umi menatap kearahku, sesungging senyum kuhadiahkan untuk Umi sebagai pertanda aku juga telah memaafkan perbuatan putranya. Umi menarik napas lega, matanya yang semula sudah kering kini harus basah kembali dengan rembesan cairan bening dari kedua kelopaknya.
Hendra berdiri dan memeluk Umi erat-erat, tangisnya pecah. Atika pun ikut memeluk mereka berdua hingga suasana menjadi bertambah haru.
"Maaf kan aku juga Mbak Luna," Atika memelukku.
"Mbak juga minta maaf ya Atika. Sudah membohongi kalian sekeluarga," ucapku menepuk pundak wanita itu.
Kami sengaja menginap di rumah Atika malam ini, bahkan wanita itu menyarankan untuk kami tinggal di rumah itu selamanya sebelum Hendra dapat rumah baru lagi.
"Tinggalkan apapun yang ada hubungannya dengan Shiren, Hendra," tegas Umi berkata sambil membelai rambut Hendra lembut yang tidur diatas pangkuannya.
"Itu berarti aku harus memulainya dari awal, Umi?" tanya Hendra bimbang.
"Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 168 , Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” Umi berkata dengan tenang.
"Bukan hanya itu Hendra, dalam surat al-maidah ayat 88 juga dikatakan bahwa, Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya,"
"Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang dihalalkan bagi kita adalah bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba atau sogokan, korupsi, penipuan,"
Hendra mendengar penjelasan Umi dengan sangat khusu.
"Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah," lanjut Umi lagi.
Aku berdiri, membuatkan teh hangat untuk disuguhkan sambil melanjutkan obrolan santai penuh makna tersebut.
"Kalau Hendra harus memulainya dari awal, apakah Umi masih tetap menyayangi Hendra?" tanya lelaki itu lagi.
Umi tersenyum, "bagi orangtua, bisa menuntun anaknya ke jalan yang benar adalah hal paling indah Hendra. Percayalah, rezeki sedikit tetapi berkah itu bisa lebih menenangkan dari pada banyak tetapi di dapat dari hasil menzolimi oranglain," terang Umi lagi meyakinkan Hendra.
"Umiii...apakah Allah akan menerima tobatku? Mengingat sudah banyak dosa-dosa besar maupun kecil yang sudah aku perbuat dari masih remaja hingga sekarang,"
"Hendra... Kita manusia hanya bisa berusaha dan berdo'a. Allah maha penyayang anakku, segala yang dia takdirkan untuk umatnya jalani adalah yang terbaik. Diampuni atau tidak itu biarlah menjadi urusanNya."
Hendra bangkit dari tidurnya dan kemudian mencium tangan Umi beberapa kali. Tergambar jelas rona kebahagiaan di wajah umi sebagai orang yang tidak pernah lelah untuk mendo'akan keselamatan anaknya.
"Lalu, apa rencanamu ke depannya?" Aku bertanya pada Hendra ketika kami sudah berada di kamar yang disediakan Atika.
"Aku akan ke kantor untuk menyerahkan surat resign,"
"Kapan, besokkah?" tanyaku kemudian.
"Tiga hari lagi," jawabnya mantap.
"Kenapa harus menunggu tiga hari lagi kalau memang sudah mantap?"
"Tiga hari lagi adalah pengumuman dimana Darmono Wijaya akan membagikan perusahaannya pada ketiga istri dan anak-anaknya," jelas Hendra.
"Bukankah itu adalah hari ke 363 perjanjian kontrak kita?"
Hendra mengangguk pelan, "Shiren berencana akan menggugat cerai suaminya setelah dia mendapatkan warisan berupa perusahaan milik Darmono Group," jelas Hendra lagi. "Itulah sebabnya mengapa perjanjian pernikahan kontrak kita di buat selama 365 hari, karena itu berarti Shiren sudah mendapatkan haknya sebagai istri Darmono,"
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Licik, wanita itu benar-benar licik. "Apakah setelah Shiren mendapatkan apa yang dia mau dan kita pun bercerai dia akan hidup bersamamu," tebakku.
"Itu rencana dulu, sebelum ada Tama di perusahaan kita,"
Aku mengernyitkan dahi, "Jadiii, Tama bukanlah bagian dari kelompok kalian?"
Hendra tersenyum, "Aku juga tidak tahu siapa dia. Tiba-tiba saja dia ada karena memang kepala logistik yang lama dipecat karena kasus korupsi,"
Aku terdiam, jadi dugaan aku dan Tania selama ini tentang Tama salah. Dia bukan bagian dari rencana keduanya, justru sepertinya dia datang dan mengacaukan rencana Hendra dan Shiren.
"Lalu, siapa yang memfoto aku dan Tama tempo hari,"
"Sopyan. Dia melakukan hal tersebut atas perintah Shiren,"
"Jadi sebenarnya kamu juga terlibatkan rencana untuk menjebak aku dan Tama,"
Hendra menggeleng, "aku sungguh-sungguh tidak tahu kejadian itu Luna, karena Shiren terkadang sering melakukan hal-hal di luar sepengetahuanku,"
Aku yakin, Hendra sebenarnya orang baik tapi sayang terseret pergaulan yang salah. Rumah Atika lebih tenang ketimbang rumah yang kami tempati.
"Oh ya Luna, barang-barang kita masih ada di rumah lama. Mungkin bisa kamu rapihkan nanti bersamaan aku ke kantor."
"Baiklah. Aku akan merapihkan barang-barang yang akan dibawa selama kamu ke kantor. Lalu, apa yang akan kamu lakukan dengan rumah itu?" tanyaku penasaran.
"Seperti yang Umi katakan tadi, aku akan mengembalikannya pada Shiren karena rumah itu dibeli atas bantuannya,"
Aku memandang kagum pada Hendra, bagaimana dia bisa dengan ikhlas meninggalkan semua kesenangan ini dan memulainya dari nol lagi.
[ kapan balik lagi ke Jakarta?]
[Dua hari lagi Tan, lu ke rumah ya bantu gue beres-beres]
[ Lu udah resmi cerai ya sama Hendra?]
[Belum sih... Gue mau persiapan aja karena kontrak gue kan sebentar lagi mau selesai. Hehe]
[Ihhh senangnya yang mau bebas]
[Hehehe… Gimana kabar Tama?" tiba-tiba aku mengetik nama itu lagi.
[ Udah dari kemarin gue gak liat dia di kantor. Padahal sebentar lagi ada rapat besar disini]
Rapat besar? Mungkin ini yang di maksud Hendra tempo hari. Rapat pembagian perusahaan untuk istri dan anak-anak Darmo Wijaya. Rasanya aku sudah tidak sabar kembali ke rumah Ibu. Yah, walaupun nantinya aku mungkin harus tebal kuping memdengar gunjingan tetangga karena perceraian ini.
Aku masuk kamar karena lelah dan kantuk yang sudah tidak dapat ditahan lagi, sedangkan Hendra memilih untuk tetap duduk di balkon. Rumah Atika ini memang cocok dipilih Hendra untuk menenangkan diri, selain susananya yang adem karena masih ditumbuhi pepohonan juga karena keadaan disini sepi jauh dari jalan serta keramaian.
***
Sejak pagi aku dan Hendra sudah sampai di rumah kembali. Pukul tujuh pagi dia berangkat ke kantor sedangkan aku mulai membereskan pakaian dan barang-barang yang akan kami bawa dari rumah ini. Ditinggal empat hari rumah ini sudah terlihat sekali kotornya. Aku sengaja tidak membersihkannya karena memang tidak ada niatan untuk tinggal disini lagi.
"Haiii... " sapa Tania mengagetkan aku karena tiba-tiba dia sudah ada di kamarku di lantai atas. "Pintunya gak di kunci sih Say, serem banget ih kalau ada maling masuk," protesnya.
"Ya ampuuun aku lupa ngunci tadi," jawabku memeluk Tania. Kangen rasanya empat hari tidak bertemu.
"Libur berapa hari Tan?"
"Empat hari nih, lumayan. Hehe"
"Wahhh asikk banget " seruku senang, padahal bukan aku yang libur.
Karyawan diliburkan karena rapat ini selama dua hari, kebetulan juga setelahnya adah hari sabtu dan minggu.
"Rencana kamu setelah selesai kontrak ini apa Lun?" tanya Tania sambil membantu memasukkan baju-bajuku ke dalam koper.
"Ya paling kembali ke rumah trus cari kerja lagi atau kembali seperti dulu jualan di rumah,"
"Hmmm... Apa kamu tidak melanjutkan saja sandiwara ini menjadi kisah nyata?" tanyanya lagi. Aku menatap kearahnya. "Maksud aku gini Lun, kalian kan sudah terlanjur menikah walaupun ya awalnya pura-pura. Kenapa gak kalian jalanin aja gitu jadi suami dan istri beneran, "
"Kami tidak saling mencintai Tan," sanggahku.
"Cinta kan bisa tumbuh belakangan Lun. Kebersamaan biasanya akan membawa kalian pada cinta,"
Aku tersenyum, "aku gak kepikiran kesitu Tan. Saat ini aku lebih fokus mikirin mau ngapain setelah ini,"
"Kamu masih mikirin Tama ya Lun?" tebak Tania. Aku tak menjawab, dia pasti sudah tahu jawabannya. "Lun, ngapain sih kamu mikirin Tama, dia itu aneh banget. Tiba-tiba dateng dan sekarang tahu-tahu juga gak jelas keberadaannya kemana?"
Aku menatap Tania.
"Dia tuh udah gak masuk kantor selama lima hari ini, gak ada yang tahu dia kemana. Bahkan Shiren juga uring-uringan terus setiap hari. Pokoknya lagi kacau deh Lun keadaan kantor sekarang."
"Kacau gimana maksudnya?"
"Ya kacau, kepala marketingnya gak masuk-masuk, kepala HRDnya juga menghilang dan Kepala Logistiknya ditangkep orang audit,"
"Audit?"
"Iya, ada audit. Sehari setelah Hendra gak masuk, ada beberapa orang yang mengaku utusan Pak Darmo. Katanya sih mereka mau audit data. Lah, besokannya si Sopyan diciduk tuh sama mereka. Pas kejadian itulah si Tama juga ngilang entah kemana,"
"Sopyan kena kasus apa Tan?"
"Gue juga gak ngerti deh, kalau dibilang korupsi ya masa sih? Dia kan baru beberapa bulan nempati posisi itu. Yaa…kalaupun dia korupsi pasti dalam jumlah yang masih kecil,"
Aku menggigit bibir.
"Kenapa Lun?"
Aku tak menjawab pertanyaan Tania. Kenapa sekarang aku jadi khawatir sama Hendra. Apa yang dilakukan Hendra sudah merugikan perusahaan terlalu banyak dan itu juga berarti ada kemungkinan aku akan terseret dalam masalah ini. Pasalnya, ada ratusan juta uang yang masuk ke rekeningku dari Shiren dengan dalil bantuan. Bantuan yang akhirnya menjeratku dalam kontrak yang ruwet ini.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment