365 Hari (12)
Part 12
Lega rasanya telah menceritakan apa yang selama sebelas bulan ini kupendam sendiri. Hari yang kunanti itu semakin dekat, kurang dari tiga puluh hari lagi. Tania memang teman yang baik, hanya dia yang masih mau berkunjung menemuiku. Berada di rumah ternyata bisa membuatku lebih leluasa untuk bertemu dengan Tania.
"Aku masih gak habis pikir sama Tama deh, kok dia sekarang jadi bisa dekat sekali dengan Shiren ya?"
Aku sebenarnya malas sekali mendengar nama itu lagi.
"Maaf ya Lun, bukan maksud gue ngingetin lu sama orang itu,"
"Iya Tan, gak apa. Gue emang harus sudah mulai melupakan dia," ungkapku, sesungging senyum kuperlihatkan pada Tania agar dia tidak merasa bersalah karena telah menceritakan tentang Tama.
"Tapiii gue penasaran deh. Apa dia juga terkait dengan semua rencana Hendra dan Shiren?"
Aku mengedikkan bahu, "kalau pun dia terlibat, apa perannya?"
Tania berpikir sebentar, "bisa jadi, dia sengaja dihadirkan dalam sandiwara ini sebagai orang ketiga yang mengacaukan rumah tangga kalian berdua,"
"Keuntungannya?" tanyaku.
"Ya ampuuun Luna, masa Lu gak paham juga sih. Perjanjian lu kan tiga ratus enam puluh lima hari, emang lu kira gampang mengajukan permohonan cerai itu kalau tidak ada masalah dalam rumah tangga tersebut,"
"Jadi dalam hal ini, gue yang akan dijadikan Hendra tumbalnya lagi. Perceraian ini di ajukan karena gue kedapatan selingkuh dengan oranglain dan buktinya adalah foto-foto itu,"
Aku menggigit bibir, "kenapa aku tidak terpikirkan sampai kesitu. Bodohnya aku,"
"Yaitu salah satu alasan kenapa Shiren pilih Lu. Selain polos, lu juga maaf ya Luna... Bodoh,"
Menyakitkan memang kata-kata Tania, tapi memang itulah faktanya. Selama ini aku melihat bukti perselingkuhan Hendra dan Shiren di depan mata tapi mengapa tidak ada sedikit pun niat untuk menjadikan itu bukti dan mengancam balik mereka. Selama ini rasa khawatir dan ketakutan yang teramat sangat telah membuat otakku menjadi buntu.
"Tapi, kenapa perjanjian itu harus 365 hari ya?" Tania bertanya sendiri.
"Ya mungkin ada sesuatu di tanggal itu,"
Tania berpikir, tapi sepertinya dia tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Malamnya seseorang yang mengaku karyawan diskotek mengantarkan Hendra pulang. Lelaki itu pulang dengan wajah terlihat kusut dan tercium bau alkohol dari mulutnya. Sepertinya dia mabuk berat, terlihat dari jalannya yang sempoyongan tidak bisa tegap. Beberapa kalo dia jatuh ke lantai kemudian bangkit lagi. Mencoba perpegangan pada dinding tapi akhirnya gagal dan jatuh lagi. Beruntung karyawan tersebut berbaik hati mau mengantarkan.
Setelah memberi sekedar uang untuk ongkos pulang, aku coba membantu Hendra bangkit dan memapahnya hingga mencapai sofa. Berat sekali badan lelaki itu hingga aku pun ikut terjatuh menindih badan Hendra ketika tubuhnya berhasil mencapai sofa.
"Shiren... Kurang ajar kau Shiren..." teriaknya. Aku yakin dia mabuk berat, tidak biasanya Hendra seperti inj. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya.
Aku melepaskan sepatu dan kaos kaki yang masih dikenakan Hendra. Setelah itu beralih ke teras dan halaman rumah yang kotor muntahannya.
"Shirennn... Kurang ajar kau Shiren... Aku sangat mencintaimu tapi kenapa kau menghkhianati aku Shiren," teriak Hendra kemudian tertawa sendiri, "aku memang laki-laki bodoh," teriaknya lagi. Dia terus meracau, tapi tidak terlalu kuhiraukan hingga sebuah nama tersebut dari mulutnya, "Tama...bajingan kau Tama. Kau rebut Shiren dariku... "
Aku terdiam mendengar nama Tama, mungkinkah mabuknya Hendra ini akibat dari perbuatan Tama. Jika memang iya, mengapa dia juga menyebut nama Shiren. Pasti ada sesuatu hal yang terjadi antara Tama dan Shiren hingga Hendra depresi seperti ini. Tiba-tiba cairan bening merembes dari kelopak mataku. Apakah karena alasan ini lelaki itu memindahkan aku ke kantor cabang.
Hendra terus meracau, dia baru berhenti ketika matanya terpejam. Tidak ada kata lain selain makian untuk Tama dan Shiren yang keluar dari mulut lelaki itu.
[Tania...sesuatu yang berat sepertinya sedang dialami Hendra].
Pesan terkirim, hanya centang satu. Wajar kalau handphone Tania mati karena waktu sekarang menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Aku duduk menekuk dan memeluk lutut di pojok ruang tamu sambil memandang Hendra yang sudah tenang.
***
"Makanlah dulu, setelah itu baru minum obatnya. Mungkin itu akan meringankan sedikit sakit kepalamu Hendra," ucapku ketika kulihat lelaki itu sudah terbangun dari tidurnya.
"Aku sudah lebih baik Luna," lelaki itu bangkit dari tidurnya.
"Jangan terlalu dipaksakan jika memang belum pulih benar," aku mengingatkan.
Hendra mengacuhkan peringatanku, dia bangkit dari tidurnya dan berjalan keluar menuju halaman.
[ Gossip lagi santer kalau Hendra dimutasikan ke cabang di Sumatra] pesan dari Tania kuterima barusan.
Aku belum menanyakan kebenaran hal tersebut karena kulihat kondisi Hendra sangat menyedihkan sekali.
"Pohon-pohon mawarnya sudah mulai kering, bisakah kamu panggilkan tukang kebun untuk membabatnya," pinta Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari taman kecil berisikan bunga mawar berbagai warna yang sengaja di buat untuk Shiren.
"Tanaman itu hanya kering saja, hanya perlu diberi pupuk, di buang batang yang kering dan disiram rutin setiap hari pasti akan kembali cantik," jelasku.
"Sudahlah... Bunga mawar cantik tapi menyakitkan jika tertusuk durinya. Cabut saja semuanya sampai ke akar,"
"Baiklah. Nanti akan aku hubungi tukang taman komplek agar datang kesini,"
"Luna, satu minggu lagi kontrak ini akan selesai," gumamnya kemudian. "Maafkan atas kesalahan yang telah aku perbuat selama ini,"
Aku menanarik napas, menghampiri lelaki itu dan duduk disebelahnya. "Aku juga minta maaf jika kesalahan yang mungkin aku perbuat, terima kasih atas bantuanmu,"
Hendra melihatku heran.
"Berkat kamu dan Shiren ibuku sehat kembali. Mungkin pernikahan kontrak ini memang jalan Allah untukku," ucapku membesarkan hati.
"Setelah kontrak ini selesai, mungkin kita tidak akan bertemu lagi Lun," Hendra berhenti sebentar, mengatur napasnya. "Aku juga dimutasi ke cabang di Sumatra," lanjutnya kemudian.
Aku menatap Hendra iba. Sama denganku, mungkin ini pun hal terberat yang harus dia terima sebagai konsekuensi dari pekerjaannya.
"Shiren tidak membelamu," aku memicingkan mata.
Dia menggeleng pelan. "Dia bilang, inilah yang terbaik untukku saat ini,"
"Yaa... Mungkin dia punya pemikiran lain mengapa menyetujui hal tersebut," aku menduga. Hendra menatap kearahku, aku sedikit ngeri karena mata itu memerah "ya aku juga gak tahu alasannya, tapiii setiap keputusan pasti diambil karena ada pemikiran-pemikiran tertentu sebelumnya,"
Dia tersenyum getir, terlihat sekali dari sorot matanya menyiratkan kesedihan yang amat mendalam. Sepertinya Hendra sedang butuh teman ngobrol, mungkin ini saatnya aku bisa mengetahui lebih dalam tentang mereka dan apa yang sebenarnya sedang direncanakan.
"Hendra...apa kamu sangat mencintai Shiren?" tanyaku tiba-tiba. Dia menatap ke arahku sebentar kemudian menarik pandangannya kelangit, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan sesekali memukul pelan jidatnya dengan tinju dari tangannya sendiri.
"Jika aku tidak mencintainya, tidak mungkin aku mau melakukan hal gila ini," jawabnya parau. Hendra seperti mengenang sesuatu. "Aku abaikan keluargaku, aku abaikan harga diriku semuanya hanya untuk dia. Tapi sekarang...dia malah mengabaikan aku dan membuangku seperti sampah"
Aku menarik napas berat, sengaja membiarkan Hendra bercerita tanpa kupotong sedikitpun.
"Aku mencintainya lebih dari apapun, kekaguman ini membuat aku mencintainya. Dia gadis yang baik, periang dan cantik. Tapi, semuanya berubah ketika bencana itu datang. Keluarga Shiren porak poranda karena papinya tertangkap tangan sedang korupsi. Kesalahanku adalah, meninggalkan dia dalam keadaan dia sedang terpuruk dimana seharusnya aku bisa melindunginya."
"Tapi kata Umi... "
"Umi tidak kuceritakan yang sesungguhnya Luna, itu juga pengecutnya diriku. Narkoba itu bukan Shiren yang menjerumuskan, tapi teman-temanku. Mereka takut disalahkan Umi hingga akhirnya mengatakan kalau Shiren lah yang membuatku jadi begitu kacau. Kebetulan saat aku over dosis keadaan Shiren juga sudah kacau"
Jariku memijit-mijit kepala dan sengaja ditekan sedikit. Mengapa kondisinya rumit sekali. Satu cerita dari orang yang berbeda dan kondisi yang berbeda pula.
"Shiren di jual ibunya itu... " dengan penuh hati-hati aku bertanya lagi.
"Itu benar. Ibu Shiren tidak biasa dan tidak bisa hidup dalam kemiskinan. Hingga cara itulah yang dia lakukan untuk bertahan hidup."
"Lalu, bagaimana caranya kamu bisa bertemu lagi dengan Shiren?"
"Aku bertemu dengannya ketika bekerja di Perusahaan ini. Dia adalah orang yang sangat aku cintai Luna, aku tidak akan pernah bisa melupakannnya walau secara fisik dan penampilannya sudah berubah."
"Mau kubuatkan teh manis hangat, Hendra?" tawarku. Dia mengiyakan. Segera kulangkahkan kaki ke dapur membuat secangkir teh manis hangat untuknya.
"Terima kasih," ucapnya ketika secangkir teh manis yang kubuat sudah berpindah ketangannya. Hendra meniupkan cangkir yang masih panas sebelum akhirnya dia menyesap beberapa kali.
"Ketika kamu bertemu Shiren, apakah dia sudah menjadi istri Bpk Darmono?"
"Ya, sudah," jawabnya sedih. "Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa menjadi istri lelaki itu, yang aku tahu dia masih mempunyai cinta yang teramat besar padaku. Akhirnya, cinta itu juga yang membuat dia mau memaafkan kepengecutanku di masa lalu dan kami memutuskan untuk kembali saling mengisi,"
"Kamu nekat bermain api Hendra," gumamku.
"Luna... Cinta yang teramat besar dan tanpa pemikiran matang nyatanya memang bisa membunuh nalar dan kesadaran seseorang." Dia tertawa kecil seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.
"Kalau dia mencintaimu, kenapa sekarang justru malah memindahkanmu ke kota lain,"
"Karena dia ingin aku bisa menjadi direksi di perusahaan Darmono Grup cabang Sumatra. Ambisi Shiren terlalu besar, dia tidak ingin apa yang menimpa keluarganya di masa lalu terjadi juga pada dirinya."
Kami terdiam untuk sesaat, betapa uang memang bisa membuat seseorang hilang akal.
"Pernikahan kita juga dibuat supaya Darmono tidak menceraikannya, dia masih berharap bisa mendapatkan satu anak perusahaan dari lelaki tua itu,"
Dahiku berkerut.
"Aku sudah lelah dengan hal-hal seperti ini Luna. Aku tidak ingin melukai hati banyak orang lagi."
"Semalam kamu terus memaki Tama?"
"Aku benci lelaki itu," matanya memicing seperti Tama sedang berada dihadapannya. "Dia sepertinya ingin merebut Shiren dariku. Aku tahu, pemindahanku ke kota lain hanya akal-akalan mereka saja supaya keduanya bisa bersama,"
Jantungku serasa berhenti. Jika begitu keadaannya, bukan hanya Hendra yang terpukul, aku pun demikian, kecewa dengan Tama yang selama ini kukira bersungguh-sungguh mencintaiku. Ternyata, harta juga bisa membuat janjinya memudar.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanyaku pada Hendra kemudian. Lelaki itu mengedikkan bahunya. "Untuk saat sekarang, aku hanya ingin bertemu Umi, untuk meminta maaf dan membersihkan namamu pada keluargaku,"
Pandangan kami saling bertemu. Terlihat ada kesungguhan di mata tersebut. Hendra tidak sedang berbohong, dia sepertinya memang ingin melakukan hal yang baru saja disebutkan tadi.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment