365 Hari
Part 11
Hari ini, ada pemandangan lain di ruangan. Selama dua hari aku sengaja bolos kantor karena tidak enak badan. Sopyan duduk di tempat dimana harusnya Tama berada.
"Dia atasan kita sekarang," bisik Tania yang sengaja menghampiriku saat aku baru duduk di kursi.
Secepat itu Sopyan naik jabatan.? Bukankah seharusnya yang lebih berhak mengisi posisi itu Tania karena memang level jabatan lelaki itu ada di bawah Tania.
"Tama?"
"Dia pindah ke HRD,"
Aku terdiam. Jadi, dia lebih memilih menjauh dariku daripada mempertahankan semua ini. Dasar pembohong! Tiga hari yang lalu dia bilang akan menunggu walaupun ratusan hari. Buktinya?! Baru dua hari aku tidak masuk saja dia sudah berubah pikiran.
"Hey kamu! Jangan ngobrol aja! Kerja!" bentak Sopyan.
"Maksud lu siapa Yan? Gue?! " Tania menunjuk wajahnya dengan telunjuknya sendiri.
"Ya emang siapa lagi yang lagi ngobrol. Ya elu lah," sahutnya.
"Liat tuh jam, sekarang baru jam delapan kurang tiga puluh menit Sopyan. Kita tuh masuk kerja jam delapan. Mau lu bayar lembur kita kalau sekarang udah kerja?!" cerocos Tania sewot.
Sopyan kikuk.
"Baru jadi kepala logistik tiga hari aja udah belagu," dumel Tania.
"Ya udahlah Tan, ikuti aja. Balik sana ke meja lu," usirku pelan supaya dia tidak tersinggung.
Rutinitas kerja dimulai. Semua seperti berubah di ruangan ini. Biasanya aku sangat semangat ketika melihat ke meja kepala logistik tapi sekarang justru makin bertambah malas. Orang yang duduk disana sama sekali tidak membangkitkan semangat kerjaku.
"Ihhh gue males banget sama itu orang!"
"Sopyan maksud Lu?"
"Ya iyalah Sopyan, siapa lagi. Belagu banget itu orang baru jadi kepala logistik dua hari aja. Padahal gue yakin itu dia gak bisa kerja. Tapiii…kenapa bisa naik posisi jadi kepala Logistik ya?" Tania heran, seperti dia sedang bicara sendiri saja.
"Iya juga sih. Kenapa si Tama pergi terus dia yang naik jabatan. Harusnya kan elo secara jabatan lu persis di bawah Tama," aku coba berpikir.
"Tama juga, ngapain sih dia pindah. Mending sama dia deh walau jutek tapi bisa kerja. Lah Sopyan?," omel nya lagi. "Apa mungkin ini ada hubungannya sama hubungan lu dan Tama?"
Aku terdiam.
"Sorry ya Lun, gue gak maksud…"
"Ga apa Tan, emang udah faktanya begitu kok. Mau diapain lagi," jawabku pasrah.
"Jadi, gosip di kantor ini kalau lu sama Tama selingkuh itu benar Lun?" tanya Tania dengan penuh hati-hati. Aku mengangguk pelan. "Ya Tuhan... "
"Tapi gue gak mengkhianati Hendra Tan, ada satu hal yang belum lu tahu tentang pernikahan gue sama Hendra yang sebenarnya," jelasku. Terlihat Tania begitu serius mendengarnya. "Lu percaya gue kan Tan... "
"Tentu... Gue tahu gimana elu Lun," ucapnya. Aku memeluk wanita itu haru.
"Eh bentar lagi masuk. Hayu kita ke ruangan, nanti bos baru itu marah-marah lagi. Pusing gue dengar ocehannya,"
Aku melipat mukena yang tadi digunakan, begitu pun Tania. Menyimpannya di rak dan kemudian meninggalkan masjid untuk kembali ke kantor. Kegundahanku sedikit mereda setelah shalat dan sepertinya aku harus berani memceritakan ini semua pada Tama dan Tania.
Ketika masuk lift kami berpapasan dengan Tama. Dia acuh dan seperti tidak mengenal kami, padahal Tania sudah menyapanya. Sapaan itu pun tidak disahuti lelaki itu. Dingin...
"Sabar ya Lun." Tania menggandeng tanganku begitu Tama turun di lantai dua.
Tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulut lelaki itu walau hanya ucapan apa kabar atau aku duluan. Apa itu dilakukannya karena dia ingin menjauhiku. Jika ya, mengapa dia menjauh sedangkan aku saja bisa menentang keinginan Hendra dan Shiren untuk menjauhi dirinya.
"Tama aku mau bicara," sengaja aku menghadang langkah lelaki itu ketika kami bertemu.
"Mau apa lagi Luna. Semuanya sudah berakhir, aku dan kamu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Semua sudah end."
"Apa katamu?! Semuanya berakhir? Kenapa Tama, kenapa secepat itu? Kamu takut, HAH?!"
"Apa yang perlu aku takutkan, seorang Tama tidak akan takut menghadapi apapun!" tangan kekar Tama mencengkram bahuku kuat. Mata yang dulu kukagumi sekarang berubah menakutkan dan senyum yang biasanya terlihat manis berubah menjadi mengerikan.
"Jika kamu tidak takut, mengapa kamu mundur Tama. Kita bisa hadapi berdua kan?"
"Arghhh, sudahlah! Persetan dengan hubungan kita, semua sudah berakhir," cengkraman tadi mengendur dan Tama mendorong kasar tubuhku ke samping kanan. Dia berjalan melewatiku tanpa menghiraukan aku yang masih butuh penjelasan darinya.
Semenjak kejadian itu, Tama benar-benar menjauh dariku. Tak ada tegur sapa, senyum pun enggan rasanya. Parahnya lagi, hari ini aku mendapatkan surat keputusan untuk mutasi ke luar kota.
"Apa-apaan ini?!" Tania menggebrak meja setelah dia membaca surat yang diberikan Sopyan sepuluh menit yang lalu.
Geram Tania menghampiri Sopyan. "Maksud lu apa Hah mindahin teman gue?!"
Wajah Sopyan memucat.
"Jangan mentang-mentang sekarang Lu jadi atasan ya seenaknya mutasiin orang tanpa alasan yang jelas!" protesnya.
"Gu...gue cuma ngikutin perintah atasan Tan. I...ini tuh sudah keputusan rapat dengan pimpinan kemarin bahwa ada beberapa karyawan yang di mutasi karena cabang butuh karyawan senior,"
"Ya tapi kenapa harus temen gue yang lu mutasi,"
"Bu...bukan gue yang pilih Tan. Itu semua keputusan o...orang HRD."
Tama... Ini pasti ulah dia. Aku keluar dari ruangan menuju ruangan HRD di lantai 2. Setengah berlari aku menyusuri koridor dan turun melewati tangga exit. Tanpa megetuknya lagi aku langsung membuka dan mendorong pintu ruang HRD. Semua staff yang ada di dalam melihat kepadaku.
"Tama aku mau bicara sama kamu!"
"Silahkan," sahutnya santai.
"Aku mau kita bicara empat mata Tama, hanya berdua saja," pintaku.
"Maaf... Kita sedang sibuk jadi permintaanmu saya tolak!" lelaki itu memutar tubuhya hendak membelakangiku, sebelum dia memutar aku sudah berhasil menarik kemejanya hingga sekarang posisi kami berhadapan.
"Kenapa kamu mutasikan aku ke luar kota?" tanyaku geram.
"Hanya itu?"
"Apa salahku?"
"Ada lagi?"
"Kamu memuakkan A-dhi-ta-ma!"
Senyum lelaki itu menyeringai. "Sudah?! Silahkan keluar dari ruangan saya," ucapnya tenang dengan telapak tangan menunjuk pada pintu dimana tadi aku masuk.
"Aku akan keluar jika kamu berikan alasan mengapa aku dimitasikan ke luar kota Tama?" tagihku mengingat Tama belum menjawab pertanyaanku diawal tadi.
"Saya rasa atasanmu, Sopyan sudah memberikan penjelasan tentang hal ini. Kantor cabang butuh karyawan senior untuk mereka bisa memberikan contoh bagi para pekerja baru," jelasnya.
"Tapi kenapa harus aku Tama?" protesku.
"Saya rasa perusahaan bebas memilih siapa pun karyawan yang akan dimutasi. Jadi, saya rasa tidak ada yang aneh mengenai hal ini," ungkapnya membela diri.
Untuk beberapa saat kami diam dan hanya saling memandang.
"Saya rasa penjelasannya sudah cukup. Jika memang tidak ada yang ditanyakan lagi…saya rasa anda bisa meninggalkan ruangan ini nyonya Hendra!" tegasnya. "Oh ya satu lagi Nyonya Hendra, jika anda memang tidak ingin dimutasikan, saya rasa ada alternatif lain untuk anda mungkin bisa ambil,"
"Apa itu?" tanyaku.
"Resign," jawabnya singkat.
Aku menatap wajah itu dulu beberapa saat sebelum akhirnya meninggalkan ruangan Tama. Dia bukan lagi orang yang kukenal beberapa waktu yang lalu. Hei Luna, semua sudah berubah. Dia bukan Tamamu lagi, dia oranglain saat ini.
"Apa Ini Hendra!" surat keputusan dari HRD yang disampaikan melalui Sopyan kuletakkan di meja Hendra dengan kasar.
Hendra bingung dan mengambil kertas tersebut dari atas meja. Sesekali dahinya berkerut dan menatap aneh kertas yang tengah dipegangnya.
"Itu kata Sopyan adalah keputusan rapat pimpinan beberapa waktu yang lalu. Kamu juga pimpinan, kan?! "
"Rapat pimpinan? Kapan? Aku tidak pernah membahas masalah mutasi atau pengurangan karyawan?"
"Arrghhh jangan bohong kau Hendra! Dengar ya, aku sudah menuruti semua...semua keinginan kau dan Shiren. Tapi, bukan berarti kamu bisa seenaknya berbuat begini sama aku?! Belum cukupkah kalian menyakiti aku!"
"Tunggu Luna. Saya sungguh-sungguh tidak mengetahui hal ini. Saya akan tanyakan pada Shiren," lelaki itu mengambil gagang telpon dan memencet angka nol dan satu. Dia terdiam seperti tengah mendengar sesuatu.
"Jaringan sibuk. Nanti saya akan membicarakan hal ini pada Shiren," Hendra berjanji.
Aku meninggalkan ruangan Hendra dan kembali ke ruangan kerjaku.
"Gimana?" Tania bertanya ketika aku duduk di kursi.
"Aku mau pulang saja Tan, kepalaku sakit. Orang-orang di kantor ini sakit semua,"
Aku bangkit menyambar tas dan meninggalkan kantor. Tak kupedulikan panggilan Sopyan toh dia bukan atasanku lagi karena mulai besok aku sudah harus angkat kaki dari sini. Pemberitahuan ini sangat mendadak sekali, terkesan terlalu di buru-buru. Alasan cabang butuh karyawan kurasa hanyalah akal-akalan managemen saja.
***
"Aku resign saja Hendra," ucapku ketika Hendra mengatakan semua yang dia dapatkan hasil pertemuan dengan Shiren dan kepala HRD, Tama.
"Oke, begitu lebih baik,"
"Maksudnya?" aku balik bertanya heran.
"Ya...maksudnya kamu tidak perlu meninggalkan kota ini dan berpisah dari ibumu. Itukan alasan kamu kenapa menolak mutasi ini," jawab Hendra.
"Keputusan ini terkesan terlalu buru-buru. Bahkan terkesan dipaksakan," gerutuku kesal.
"Aku sudah berusaha bicara dengan Shiren mengenai hal ini, tapiii...sepertinya Shiren lebih mendengar kata-kata Tama."
"Hah! Tama? Jadi maksud kamu..."
"Ya... Semua ini Tama yang atur, dia yang mengusulkan hingga akhirnya diputuskan seperti ini,"
Entah mengapa tiba-tiba aku meradang mendengar penjelasan Hendra barusan. Tama... Tama... Tama, aku jadi jijik dan muak tiap kali mendengar nama itu. Aku mengambil handphone dan mencari nama Tama pada daftar kontak yang tersimpan. Sial! nomor itu sudah tidak aktif, mungkin dia sengaja mengnonaktifkannya atau mungkin lelaki itu sudah mengganti nomornya.
"Apa kata lu, Tama yang memutuskan ini semua?" Tania membelalakan matanya lebar-lebar ketika aku menceritakan apa yang dikatakan Hendra semalam. "Apa sih mau nya tuh cowok, pertama dia ganggu lu sehingga rumah tangga lu dan Hendra berantakan dan sekarang... "
"Rumah tangga gue sama Hendra gak berantakan Tan, karena memang pernikahan ini hanya pura-pura."
"What!!! Coba ulang sekali lagi Lun, pernikahan ini hanya pura-pura. Kok bisa sih?"
Aku menarik napas berat dan kemudian mulai menceritakan hal gila di luar nalar yang hampir sebelas bulan ini kujalani. Mulai dari interview dengan Shiren, bantuan-bantuan yang diberikan wanita itu hingga penyebab diriku mau tidak mau mengikuti permainan yang dibuat keduanya.
"Ya Allah Luna, berat sekali masalah yang harus kamu hadapi itu," Tania memelukku erat. "Aku minta maaf Luna, semua ini aku yang salah. Andai saja aku tidak memberitahu kamu tentang lowongan pekerjaan tersebut,"
Aku melepaskan pelukan Luna dan mengelap cairan bening yang mulai merembes dari kedua kelopak mataku dengan telapak tangan. "Kamu gak salah Tania, kamu kan juga gak tahu rencana busuk mereka,"
Tania membantu mengelap airmataku yang terus menganak sungai di pipi dengan tisue, "jadi, lowongan sekretaris untuk Hendra itu hanya rekayasa untuk mencari istri kontrak untuk Hendra?" Tania bergumam mengutarakan dugaannya.
"Sepertinya begitu,"
"Lalu, kenapa Hendra harus melakukan rekayasa pernikahan ini. Apa untungnya buat mereka?"
"Shiren itu kekasih Hendra sejak mereka masih sekolah dulu. Keduanya merupakan teman dari kecil karena hidup bertetangga," sahutku memulai cerita lain tentang hubungan Shiren dan Hendra yang kuketahui dari Umi.
"Aku benar-benar gak habis pikir Lun, sebegitu ambisiusnya kah Shiren. Demi keinginannya tersebut dia sampai tega mengorbankan oranglain." Luna menatap iba padaku. "Jadi…desas-desus bahwa mereka ada hubungan dekat yang tercium sejak lama itu benar adanya. Pantas saja karir Hendra cepat sekali melesat, padahal banyak yang lebih lama dan lebih kompeten dari dia," lanjut Tania lagi.
"Hendra itu sebenarnya orang baik, tapi karena cintanya yang begitu besar pada Shiren dia rela menjadi budak wanita itu,"
Bersambung...
No comments:
Post a Comment