Tuesday, March 17, 2020

365 hari (10)

365 Hari

Part 10


Lampu ruang tamu masih menyala ketika aku menginjakkan kaki di halaman. Aku sengaja turun di gerbang masuk komplek walaupun Tama berniat mengantarkan sampai rumah. Bukan karena aku takut dengan Hendra,  tapi masalahnya ada hati lain yang harus dihargai dan dihormati yaitu Umi. Tidak bisa dibayangkan jika wanita itu melihat aku pulang dengan diantar laki-laki lain. Dia adalah orang yang paling bahagia dengan pernikahan kami. 

"Pergi dengan siapa kamu?" pertanyaan itu menyambut kedatanganku. 

"Dengan Tania," jawabku pasti. 

Pandangan Hendra sinis menatapku. "Kamu bohong!  Tadi Tania datang mengantarkan handphonemu yang tertinggal di kantor," 

Deg! Detak jantungku serasa berhenti, aku melewati lelaki itu menuju ke tangga.

"Tania... Tania... " panggilnya,  aku tetap berjalan menaiki tangga tidak menghiraukannya. Bukan aku takut,  tapi lebih kepada menjaga perasaan Umi jika nanti dia mendengar kami ribut. 

"Kamu takut, tidak menjawab dan malah menghindar!"

"Aku tidak menghindar darimu Hendra,  aku tidak takut tapi aku tidak mau Umi mendengar pertengkaran kita," sanggahku. 

Pintu kamar kututup setelah Hendra masuk. Mungkin itu bisa meredam suara kami agar tidak sampai ke lantai dasar. 

"Tidak usah khawatirkan Umi.  Dia sudah pergi ke rumah Atika."

Aku terdiam. Menatap Hendra yang sedang kesal,  terlihat wajah itu memerah. Napasnya memburu naik turun. Aku jatuh terduduk di atas sofa. 

"Kamu pikir enak apa di tanya Umi ini dan itu, aku harus ikutan juga berbohong tiap dia tanya ada apa dengan kalian." Protes Hendra. 

Aku jadi ikut meradang mendengar protesnya tersebut. "Itulah yang kualami selama ini,  kamu pikir hanya kamu yang berbohong karena kontrak kerja gila ini, HaH! Aku korban dari kamu dan Shiren Hendra,  jadi kenapa kamu protes sekarang."

"Kamu!" bentaknya dengan mata melotot seperti buaya hendak menerkam mangsa. 

"Kenapa... Kenapa dengan aku?! Benar kan yang aku katakan,  semua ini ulah kamu dan Shiren. Kalian renggut kebebasanku dengan status gila menjadi istri kamu, itulah yang aku rasakan selama sepuluh bulan ini." Ocehku membela diri. 

"Ingat Luna, kontrak kamu dengan kami masih dua bulan lagi. Jadi jangan macam-macam atau... " ancamnya. 

"Atau apa Hendra. Penjara?! Itukan maksud kamu?  Aku tidak takut Hendra,  karena status aku sekarang adalah istri sah kamu. Jika aku sampai masuk penjara,  maka... " aku melirik lelaki itu. 

"Maka apa?"

"Maka kamu pasti juga akan diselidiki karena dulu aku juga adalah sekretaris pribadimu," aku tertawa lebih tepatnya menertawai kebodohan Hendra dan Shiren. 

"Aaghhh," Hendra kesal melayangkan tinjunya ke udara. Dia keluar dari kamar dengan amarahnya hingga menutup pintu dengan kasar. 

Keesokan paginya aku dan Hendra izin tidak masuk kantor,  kami berangkat menuju rumah Atika untuk menemui Umi. 

[ada masalah apa?] tanya Tama membalas pesanku. 

[Aku dan Hendra ke rumah Umi]

[sesuatu yang rumitkah?]

[Iya... Kemarin Tania ke rumah sedangkan aku bilang ke Hendra dan Umi kalau aku pergi mengantarnya ke salon]

[Apa kamu bilang pergi dengan siapa?]

[Gak Tama... Aku belum bilang kalau aku pergi sama kamu semalam]

[Syukurlah kalau begitu... Semoga masalahmu cepat selesai Sayang]

Aku memasukkan handphone ke tas yang sedari tadi ada diatas pangkuan,  kepalaku bersandar pada sandaran kursi. Sepanjang perjalanan aku dan Hendra berkutat pada pikiran masing-masing. Waktu kebebasan itu semakin dekat,  rasanya sudah tidak sabar keluar dari rumah itu dan menghirup udara bebas bersama Tama tentunya. 

"Maaf kan saya Umi,  tidak ada maksud untuk membohongi Umi," tuturku pelan dengan posisi kepala sengaja kurebahkan di kedua paha wanita itu. "Luna berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu," 

Terdengar tarikan napas berat Umi. "Jadi benar apa yang Umi dengar dari mulut tetangga sekitar,"  desis Umi.

Kepala yang sejak tadi berada di pangkuan Umi kutarik dengan perlahan,  jelas sekali terlihat wajah yang biasanya ramah itu menjadi dingin. 

"Apa yang dikatakan tetangga Umi?" tanyaku dengan berani. 

"Kalau setiap malam kamu pulang dengan diantar oleh seorang laki-laki."

Aku menatap Umi kemudian Hendra. Keduanya menatap sinis kearahku seperti hakim yang hendak mengadili seorang narapidana. 

"Saya... Saya... " 

"Umi tidak menyangka Luna, dibalik kepolosanmu ternyata kamu tidak lebih dari seorang penghianat. Kamu tega berselingkuh di belakang Hendra,  suamimu sendiri," 

"Umi... "

"Jadi?  Siapa yang mengantarkan mu Luna?!" Hendra membentakku kasar. Kurasa dia sengaja memotong kata-kataku agar tiada kesempatan untukku mengatakan yang sebenarnya terjadi. 

"Sudah. Pulanglah kalian,  Umi tidak mau melihat muka pengkhianat ada di rumah ini!" usir Umi, bangkit dari duduknya dan meninggalkan kami berdua. 

"Banyak yang Umi tidak ketahui tentang pernikahan ini Umi kalau …."

"Sudah Luna. Ayo kita pulang. Selesaikan di rumah, jangan libatkan Umi dalam masalah kita," Hendra memotong.

"Umi harus tahu Hendra,  bukan aku saja yang salah dalam hal ini. Aku adalah korban dari kejahatan anaknya,"

"Kamu ngomong apa sih!" Hendra marah dan satu tamparan tepat mengenai pipiku. 

Aku terus meracau,  membela diri bahwa aku tidak salah dalam hal ini. Tapi,  siapa yang mau percaya, aku berada di lingkungan dimana semua orang mendukung Hendra. Nikah kontrak itu dianggap keluarga Hendra sebagai akal-akalanku saja. Bahkan,  mereka menganggap aku sudah sinting,  terlalu berhalusinasi. 

"Nikah kontrak itu cuma ada dalam cerita sinetron," ketus Atika mematahkan penjelasanku. 

"Hendra memang punya masa lalu yang kelam,  tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menjadikan dia kambing hitam dari semua perbuatan bejatmu itu," tuduh saudara Hendra yang lain. 

Mereka tidak percaya... 

Mereka semua memposisikan aku sebagai yang salah hanya karena bukti mengenai perselingkuhan Hendra tidak bisa aku buktikan di depan mereka. 

"Memangnya kau kira keluarga Hendra bisa dengan mudah percaya padamu Luna," ucap Shiren penuh kemenangan ketika aku dan Hendra sudah kembali ke rumah. 

Perempuan itu sudah berada di rumah kami ketika aku dan Hendra menemui Umi. 

"Siapa lelaki itu?" tanya Hendra kesal,  ini sudah kesekian kalinya dia bertanya. Aku diam,  tidak akan kukatakan perihal Tama.

"Sayanggg…gak perlu ditanya siapa lelaki itu karena aku sudah tahu jawabannya," 

Aku mengadahkan kepala menatap Shiren. Tangan wanita itu merogoh amplop berwarna coklat dan melemparkannya ke hadapanku. Foto-foto itu bertebaran di lantai. Ketika aku memeluk Tama,  ketika Tama mencium pipiku karena cipratan es krim dan masih banyak lagi. 

"Ingat Luna,  kalau kamu masih membeberkan sandiwara ini ke oranglain. Aku pastikan foto-foto itu akan sampai ke tangan Umi dan Ibumu," ancam Shiren diiringi dengan tawa jahatnya. 

Umi? Ibu?  Aku tidak mau mereka melihat foto-foto itu. Siapa orang yang telah melakukan ini pada kami,  mengapa dia bisa menunjukkan bukti sampai sedetail ini. 

*** 

Gosip perselingkuhanku dengan Tama menjadi trending topic di kantor. Kabar tersebut cepat sekali merebak padahal kejadiannya baru tiga hari yang lalu. Rasanya tak bisa aku mendongakkan kepala ini setiap kali bertemu oranglain.  Tatapan mereka sinis dan seperti memandang rendah padaku. 

"Padahal jabatan suaminya lebih tinggi loh dari selingkuhannya," beberapa orang kudengar sedang berbincang di depan washtafel ketika aku berada di dalam salah satu kubikal toilet. 

"Mungkin kurang puas kali,  badan Hendra kan lebih kecil dari Tama," sahut suara yang lain. 

"Hmmm... Padahal tampangnya polos ya, ga nyangka nafsunya gede." Komentar yang lain dan ketiganya pun tertawa. 

Aku berdehem, membuat ketiga wanita yang kukenal baik tersebut langsung terdiam. Raut muka mereka berubah pucat. Aku melewati ketiganya dengan santai,  tak kutunjukkan wajah sedih maupun risih. 

"Aku tak bersalah,  tunggu saja waktunya tiba. Kalian pasti akan malu telah mengatakan ini." Tegasku sambil berlalu,  sengaja kututup pintu sekeras mungkin agar mereka tahu aku bukanlah wanita yang lemah dan pantas mereka perolok. Itu hanya di depan mereka karena setelah di luar toilet airmata merebes dari dua kelopak mataku. 

Aku terus berjalan sambil menundukkan kepala menyusuri koridor lantai tiga. Langkahku terhenti ketika seseorang menarik tanganku masuk ke dalam pantry dan mendekapku erat. Tama, aku tahu itu dia tanpa perlu melihatnya lagi. Tangisku pecah di dadanya,  membasahi kemeja warna biru yang dia kenakan.

"Siapa yang memberikan foto-foto itu pada Shiren," gumamku.

"Entahlah... " Tama menyahut pelan. 

Angin bertiup pelan, menggerakkan poniku ke kiri dan kekanan. Sengaja aku dan Tama kabur dari kantor sebelum jam kerja kami selesai. Melanggar peraturan yang telah dibuat sendiri oleh Tama untuk para bawahannya. 

"Mencintai istri orang itu memang rumit,  terlebih lagi istri orang yang mempunyai posisi dan jabatan lebih tinggi," ujar Tama lagi.

"Kenapa kamu bilang begitu?" protesku. 

Tama menarik napas berat, "tadi aku dipanggil ke ruangan Direksi,  ada suamimu juga,"

"Lalu?" 

"Dia memintaku menjauhi kamu. Aku baru menyadari dan melihat ada seorang suami yang begitu mencintai istrinya hingga dia rela menawarkan posisi yang lebih tinggi hanya dengan satu permintaan,  aku menjauhi orang yang dia sayangi."

"Tama...bukan seperti itu ceritanya," sanggahku. "Hendra tidak pernah mencintaiku, kami berdua hanyaaa... " aku meragu mengatakan yang tengah terjadi saat ini. 

"Hanya apa?"

"Tamaa... Apakah kamu benar-benar mencintaiku?" aku mengalihkan pembicaraan kami. 

"Ya…aku mencintaimu Luna," jawabnya tegas. 

Aku menghela napas lega. "Bisa kah kamu menunggu dua bulan lagi?" 

"Jangankan dua bulan Luna,  ratusan tahun pun tak apa," 

Sekali lagi aku menghela napas lega. 

"Kenapa dengan dua bulan itu?" tiba-tiba Tama bertanya.

"Karena... Dua bulan lagi kontrakku berakhir." akhirnya kata-kata itu meluncur dengan mulusnya dari mulutku. 

"Kontrak?" Dahi Tama berkerut.

Aku berpikir sebentar hingga akhirnya memutuskan untuk tidak menceritakan semua ini karena  tiba-tiba saja bayangan wajah Ibu melintas begitu saja. Penjara,  kegelapan,  kesengsaraan Ibu. Aku mengatakan tidak takut pada semua itu di depan Hendra dan Shiren,  tetapi pada faktanya nyaliku tak sebesar itu. 

"Oh ya... Tadi kamu bilang dipanggil ke ruangan Shiren. Mengenai masalah apa?"

"Tadi kamu mengatakan masalah kontrak,  kontrak apa?" 

"Ah, bukan apa-apa," jawabku cepat supaya Tama tidak curiga. "Masalah dipanggil ke ruangan Shiren?" 

Tama melempar pandangannya ke depan, menatap kolam yang berada tepat dihadapan kami. Bunga-bunga teratai yang bermekaran menambah cantik pemandangan di taman ini. Jatuhan air mancur yang terletak di tengah kolam pun menjadikan suasana disini lebih sejuk, walaupun berada di tengah keramaian dan kebisingan ibukota.

"Dia menawari aku pindah ke posisi HRD,"

"Wow, posisi yang bagus.  Dan kamu mau?"

Tama memgedikkan bahu, "entahlah," sahutnya lagi. "Karena konsekuensinya adalah aku harus menjauhi kamu," lanjutnya lagi. 

Aku terdiam. Sebegitu pentingnya kah aku untuk Shiren dan Hendra hingga apa yang kulakukan menjadi momok ketakutan yang begitu besar buat mereka. 

Bersambung...

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER