365 Hari
Part 9
Kehadiran Tama membuat duniaku menjadi berubah. Lelaki itu bagaikan cahaya ditengah kegelapan. Aku sadar masih menjalani kontrak kerja berbalut pernikahan dengan Hendra. Tetapi, ketika hati menemukan sesuatu yang membuatnya lebih bahagia rasanya semua yang menghalangi akan rela kutabrak.
[Pulang bareng ya?]
[Ok. Aku tunggu di tempat biasa]. Balasku sambil melihat ke arah Tama. Segaris senyum melengkung membentuk di bibir lelaki itu.
[Luna, nanti kita pulang bareng ya?] pesan lain masuk melalui WA dan itu dari Hendra.
[Gak bisa Hen... Aku sudah janji mau antar Tania ke mall sepulang kerja] balasku.
[Yah... Kamu gimana sih. Semalam umi tanya sama aku loh, kenapa akhir-akhir ini kita sering pulang sendiri-sendiri?]
Aku berpikir sebentar sebelum menjawab pesan tersebut. [Bilang saja sama Umi kalau aku anter Tania, dia pasti paham]
[Baiklah. Tapi jangan terlalu malam pulangnya ya? Nanti umi pasti tanya-tanya lagi]
[Ok]
Umi?! Entahlah, sekarang aku pun sudah tidak terlalu peduli dengannya. Benar kata orang, cinta itu memang buta. Aku paham mengapa Hendra dan Shiren sanggup bermain api hanya untuk mempertahankan hubungan mereka, karena orang yang saling mencintai itu selalu ingin bersama.
"Aku lebih suka lihat kamu jutek daripada ramah," godaku pada Tama sambil memasukkan sesendok ice cream ke dalam mulutnya.
"Begini," Tama memperlihatkan wajah juteknya,"atau begini," sekarang wajah itu berubah menjadi si buruk rupa dengan memasukkan bibir bagian bawahnya ke dalam mulut.
"Tamaaa… jijik," teriakku manja mengusap wajahnya dengan telapak tangan kanan. Lelaki itu tertawa lepas, memperlihatkan deretan giginya yang kecil-kecil.
"Kamu juga lebih cantik kalau lagi marah," godanya.
"Jadi, apa aku lebih baik marah-marah terus sama kamu," usulku.
"Yaa ga gitu juga sih. Lebih baik kamu ramah, biar keliatan jelek. Hehe,"
Entah hubungan apa yang terjalin antara aku dan Tama. Tidak ada kata atau perjanjian yang mengikat diantara kami. Semua berjalan begitu saja. Ini bukan masalah hati lagi seperti percintaan anak remaja berseragam putih abu-abu, tetapi lebih kepada kenyamanan yang kami dapatkan selama bersama.
Tiga bulan adalah waktu yang tersisa dalam perjanjian antara aku dan Hendra. Rasanya, ingin sekali waktu cepat berlalu ke hari tersebut. Setidaknya aku tidak perlu sembunyi-sembunyi jika ingin bersama Tama.
Handphone berdering, ada panggilan masuk. Aku melihatnya sekilas, Hendra. Kumasukkan kembali benda tersebut ke dalam tas.
"Diangkat aja dulu, mungkin penting," usul Tama. Mengambil es krim dalam genggamanku.
"Ga usahlah. Gak penting," sahutku kemudian mengambil kembali es krim milikku yang tadi direbut Tama.
Setelah mati beberapa detik, handphone berdering kembali.
"Dari siapa sih, Hendra?" tanya Tama.
Aku mengiyakan.
Lelaki itu menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya kembali ke udara. "Resiko bawa istri orang ya begini," gumamnya seperti tengah bicara dengan angin.
Aku hanya menjalani kotrak kerja Tama... Ingin rasanya kuungkapkan pada lelaki itu. Tapi itu hal yang berat. Aku harus bersabar, setidaknya tinggal sembilan puluh hari lagi.
"Hendra sama Shiren itu dekat banget ya, kamu gak cemburu apa kalau ngeliat mereka sedang bersama,"
Untuk apa aku cemburu, aku kan bukan istrinya. "Mereka teman sejak kecil," sahutku cepat. Memasukkan sesendok es krim ke dalam mulut.
"Akrab banget loh mereka, bahkan yang aku dengar cepat melesatnya karir Hendra itu karena Shiren,"
Aku terdiam sebentar, aku juga sempat berpikir seperti itu. "Aku kurang tahu untuk masalah itu karena ketika kenal Hendra dia sudah menjadi manager keuangan,"
Mulut Tama membentuk huruf O, tangannya membuka jaket yang dikenakan dan kemudian memakaikannya padaku. "Dingin ya udaranya," tangan lelaki itu bersedakep.
Wajar saja kalau dingin, karena saat ini kami berada diatas fly over. Memandang indahnya Jakarta di malam hari dengan lampu warna-warni yang menghiasi, menambah cantiknya malam ini. Makan es krim ini juga merupakan ide konyol Tama. Jahil ku masukkan sesendok es krim ke mulutnya. Dia berusaha menolak sendok itu dengan tangannya. Sial, sejumput es krim malah berbalik ke wajahku tepat menempel di pipi sebelah kanan.
"Tamaaa... " jeritku kesal lebih tepatnya pura-pura marah.
Aku Mengambil selembar tisue dan hendak mengelap es krim yang menempel di pipi. Tangannya cepat menahan dan mengambil tisue yang kupegang. "Sini, biar aku yang bersihin," pintanya. Kubiarkan tisue itu berpindah ke tangannya.
"Cara membersihkan es krim yang menempel di wajah itu seperti ini," gumamnya. Kurasakan sesuatu menempel di pipi ini. Itu bukan selembar tisue yang tadi diambilnya tapi bibir milik Tama.
Dia menciumku...
"Tamaaa... " Aku menghindar, menunduk dan menggeser dudukku yang sebelumnya menempel dengan badan lelaki itu sehingga ada ruang kosong beberapa centi diantara kami.
"Maaf... " gumamnya pelan seperti menyadari bahwa yang barusan dia lakukan adalah kesalahan.
"Kita pulang Tama. Hendra pasti sudah menunggu di rumah," pintaku sambil memakai helm.
Ciuman dari Tama nyatanya membuat tidurku malam ini menjadi gelisah, ini adalah my first kiss. Masih terasa detakan jantung yang hampir saja melompat ketika bibirnya menyentuh pipiku. Mengapa perasaan ini jadi tak karuan begini.
Esoknya pun kami hanya saling pandang ketika berpapasan. Tak ada kata yang keluar, semuanya tiba-tiba menjadi kelu. Tumpukan-tumpukan kertas yang menggunung di atas meja kerja seperti tumpukan bunga-bunga yang indah berwarna-warni. Serasa hanya ada aku dan Tama di ruangan ini. Kemana Sopyan, Rian, Tania, Angel dan Dian... Entahlah... semuanya tiba-tiba saja seperti menghilang.
"Aku mau antar Tania ke salon, Hendra" alasanku ketika Hendra mengajak untuk pulang bersamanya.
"Kenapa gak sekalian aja sih ke salonnya kemarin pas kamu nganterin dia ke mall," Hendra memicingkan sebelah matanya.
Mungkinkah dia mulai curiga?
"Ya mana kutahu kenapa Tania kemaren gak ke salon. Kalau kamu gak percaya yaaa silahkan saja tanya Tania," tantangku pada Hendra. Padahal aku juga ngeri kalau sampai Hendra benar-benar bertanya pada Tania. Tapi, tak mungkinlah dia bertanya pada Tania, mereka berdua gak akrab.
"Baiklah, untuk sekali ini aja. Bilang sama Tania, kamu bukan wanita bebas lagi seperti dia." Hendra mengingatkan.
"E... Luna," panggilnya ketika aku sudah hampir mencapai pintu ruangan. Aku membalikkan badan. "Apakah perlu aku tunggu kamu disini saja, biar Umi tidak curiga mengapa akhir-akhir ini kamu sering pulang sendiri," tawar Hendra kemudian.
"Gak usahlah Hen. Kamu pulang aja duluan kalau mau,"
Aku bergegas mempercepat langkah ketika sudah keluar dari ruangan Hendra menuju taman kota yang tidak jauh dari kantor. Tempat pilihan aku dan Tama jika ingin bertemu.
"Lama banget," komentar Tama ketika aku tiba di taman.
"Hendra mulai curiga kayanya."
"Harus lebih hati-hati lagi nih," celetuknya.
Entahlah apa sebenarnya yang diinginkan Hendra. Dia melarangku ini dan itu tetapi dirinya sendiri bertindak egois dengan kesenangannya sendiri. Sampai sekarang aku pun juga heran, apa sebenarnya tujuan dari pernikahan kontrak ini. Selama ini Hendra memang bersikap dan memperlakukanku secara baik tetapi ada kalanya manusia juga ingin berjalan sesuai dengan keinginannya. Aku bosan jika harus pura-pura bersikap seolah pernikahan ini di dasari atas nama cinta.
"Aku sih lihat kalian berdua tuh aneh. Gak tau deh kalau karyawan lain,"
"Aneh bagaimana maksudnya?"
"Kalian di bilang suami istri tapi kok seperti jaga jarak. Yaaa semoga aja sih aku salah," ungkap Tama.
"Jaga jarak gimana maksudnya. Sepertinya kami biasa aja tuh," aku coba mematahkan dugaan Tama.
"Yaa... Kamu lebih memilih makan siang bareng Tania sementara Hendra menemani Shiren. Aku jarang lihat kalian yaaa sekedar gandengan tangan kalau berjalan... Kaku," goda Tama.
Aku diam. Mendongakkan kepala ke atas langit yang bertaburan bintang. Haruskah aku menceritakan pada Tama yang sebenarnya terjadi antara aku dan Hendra?
"Hendra dan Shiren itu sahabat dari kecil, ya mungkin jadi seperti saudara hingga akhirnya tidak bisa dipisahkan," ungkapku asal dan sekenanya.
"Maksudnya tidak bisa dipisahkan?" mata Tama memicing.
"E.... Itu... Gini loh Tama. Mereka kan temenan dari masih kecil tuh. Jadiii yaaa …."
"Sudahlah tidak usah diceritakan jika memang teorinya susah untuk dijelaskan," potong Tama. Aku lega, memang sulit menjelaskan kebohongan ini. "Tapi, ya aku salut aja sama kamu. Bisa gitu ya kamu tuh biarin suami lebih mentingin oranglain ketimbang istrinya sendiri. Hmmm... Sebenarnya kalian itu menikah atas dasar cinta atau... " Tama seperti sedang memikirkan kata yang tepat setelah itu, mungkin dia khawatir aku tersinggung.
"Maaf kalau aku terlalu membahas masalah pribadimu dengan Hendra. Tapi, aku melihat ada hal yang sebenarnya sedang ditutupi dari khalayak umum dan sepertinyaaa... " Tama menggantung kata-katanya, lelaki itu mendekatkan mulutnya ketelingaku, "kamu adalah seseorang yang dirugikan dalam hal ini," bisiknya kemudian.
Aku menatap wajah Tama, menatap lekat-lekat dua bola matanya yamg berwarna hitam.
"Bicaralah... Apapun itu jika bisa menenangkan hatimu Luna," pinta Tama menggenggam jemariku erat.
"Apapun itu... Apakah kamu akan mendengarkannya?" tanyaku.
Tama menganggukkan kepalanya, "apapun itu...aku akan selalu mau mendengarnya," Tama meyakinkan.
Aku berpikir sebentar, memikirkan resiko-resiko yang mungkin akan terjadi jika rahasia ini bocor. Ancaman Shiren terlalu berat, tuduhan korupsi itu pasti akan membawaku ke penjara. Penjara...hal yang paling aku takutkan.
"Tama... Kita pulang saja," pintaku.
"Kamu tersinggung kah?"
Aku menggeleng pelan, aku masih mau bersama kamu tapi aku takut nanti salah bicara dan membuat masalah baru. Waktuku sebentar lagi tinggal enam puluh hari saja.
"Sudah malam Tama, aku takut besok kesiangan dan telat datang ke kantor,"
"Baiklah..." Tama membuang napasnya, berat. "Jika ada hal yang memang ingin kamu ceritakan, aku selalu ada untuk kamu Luna," suara Tama terdengar lembut. Tangannya membelai rambutku yang tergerai.
Mata itu, semakin menatapnya aku semakin tidak bisa mengendalikan emosi yang muncul dengan sendirinya begitu saja. Untuk beberapa saat kami saling memandang hingga akhirnya aku kalah dan memeluk tubuh Tama dengan erat, erat sekali dan berharap tidak ada yang melepaskan aku dari pelukannya.
Angin berhembus pelan, nyanyian surga menyapa gendang telingaku, membawa kabar berita bahwa bahagia itu akan datang sebentar lagi. Tama... Dia bisa membuatku bahagia. Aku yakin itu.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment