365 Hari
Part 8
Sekotak coklat dan bunga lily putih menjadi pemandangan lain pagi ini. Sebuah kartu yang bertuliskan ucapan terima kasih tanpa nama diletakkan di bawah kotak coklat.
"Romantis sekali Hendra," komentar Tania, aku cuma nyengir. Aku yakin ini bukan dari orang yang baru saja di sebut Tania. "Hmmm kapan yaaa ada yang kirimi aku bunga dan coklat kaya gini," celetuknya lagi sambil mencium bunga lily.
"Lu gak lagi ulang tahun kan Lun?" tanya Tania lagi. Semenjak tadi memang dia yang paling heboh mengenai dua benda ini, yang lain sih pada cuek aja. "Ini coklatnya enak loh Lun, import dari luar negri. Coba satu ya," ijinnya sambil membuka penutup toples.
"Jangan dimakan!" aku memukul tangan Tania yang sudah siap memasukkan coklat tersebut ke dalam mulutnya. Coklat berbentuk bulat tersebut jatuh ke lantai dan menggelinding ke bawah meja.
"Yah Luna... Sayang tau coklatnya jatuh gitu," sesal Tania. "Dasar pelit," ucapnya kesal meninggalkan meja kerjaku dan kembali ke meja kerjanya.
Aku duduk memandangi bunga dan sekotak coklat tersebut. Siapa kira-kira pengirimnya, apa mungkin Tama? Satu-satunya orang yang belum lama ini patut mengucapkan terima kasih ya hanya lelaki itu. Peristiwa dua hari yang lalu kasusnya, ketika dia pingsan sehingga aku dan Sopyan melarikannya ke rumah sakit. Tapi, untuk apa dia lakukan hal ini, bukankah apa yang kulakukan itu adalah hal yang biasa saja.
"Si boss dateng tuh," Rian yang baru saja masuk memberitahu kami, dia tidak jadi cuti selama satu minggu karena memang tidak ada yang bisa menggantikan pekerjaannya. Ya, lebih tepatnya sih tidak ada yang mau. Hehe
"Pagi semua," sapa Tama ketika memasuki ruangan.
"Pagi," jawab kami kompak. Tumben juga sih dia menyapa, biasanya disapa pun tidak menjawab.
Satu persatu semua karyawan dihampiri dan menanyakan kabar serta disempatkan olehnya berjabatan tangan. Yang paling heboh tentu saja Tania, terlihat sekali dari raut mukanya yang tiba-tiba merona.
"Jangan Ge er ya, itu hanya ucapan terima kasih. Tidak lebih," tegas Tama ketika sampai di mejaku. Suaranya setengah berbisik, mungkin takut terdengar karyawan lain.
"Kalau gak niat gak usah kasih," sahutku setengah berbisik juga sambil mengencangkan jabatan tangan kami. Tama meringis dan sesungging senyum kuhadiahkan padanya.
"Oke Guys, saya harap tidak masalah di kantor ini selama dua hari saya tinggalkan," serunya kencang kepada semua karyawan di ruangan ini.
[Mending dia sakit aja ya yang lama]
[Huss gak boleh begitu … dosa kamu nyumpahin orang] . Aku membalas pesan Tania.
Aku melirik kearahnya dan dia terlihat cemberut padahal baru beberapa menit yang lalu kulihat wajah itu merona karena bahagia mendapat jabatan tangan dari Tama.
Ruangan kembali tegang lagi sekembalinya Tama yang dua hari absen karena sakit. Semua bekerja dengan serius, tidak seperti kemarin riuh dan lebih bercanda terus sehingga banyak kerjaan tertunda.
"Masih mau nunggu Hendra?" tanya Tama ketika aku masih terduduk di pantry.
"Lama kayanya," sahutku.
"Sepertinya sih gitu," duga Tama sambil mengisi air ke gelas yang dipegangnya.
Sedari tadi aku sebenarnya mau pulang duluan, tapi Hendra memintaku menunggu karena ada meeting dengan pemilik perusahaan ini, suaminya Shiren. Aku yakin, wanita itu juga pasti ada disana mengingat dia Direksi disini. Istri kedua suaminya pun pasti ada karena memang wanita itu adalah komisaris di perusahaan ini. Tidak bisa terbayangkan, mereka semua duduk dalam satu meja.
"Tadi sih Hendra bilang mereka mau meeting sampai malam. Yaa...bisa jadi sampai subuh mungkin," duga Tama lagi.
Ah aku gak percaya omongan orang ini.
"Kalau kamu gak percaya, coba aja telpon suami kamu,"
Ihhh... Kenapa dia selalu tau apa yang sedang di pikirkan oranglain. Apa dia seorang paranormal? Aku menelpon Hendra. Hpnya mati, pesan melalui WA pun hanya centang satu. Mungkin karena meeting ini begitu penting sehingga dilarang mengaktifkan handphone. Kuputuskan untuk menunggunya satu jam lagi.
Lima puluh sembilan menit terasa begitu lama jika kita menunggu seseorang yang tidak seberapa pentingnya. Dan ketika ketukan jarum jam ke enam puluh aku pun memutuskan untuk meninggalkan kantor.
"Tuh kan akhirnya pulang sendiri juga," tegur Tama yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.
Dia itu juga seperti hantu, bisa muncul dimana aja secara tiba-tiba tanpa diduga.
"Mau bareng gak? Naik taksi online lebih mahal loh harganya, jam sibuk ditambah macet pula," tawarnya. Aku tidak menggubris tawaran tersebut, terus berjalan menuju pintu keluar gedung. "Ya sudah kalau gak mau, aku juga gak maksa sih cuma basa-basi aja," jelasnya.
Laki-laki itu berjalan cepat dan tidak lama kemudian menghilang dari pandangan. Dasar cowok aneh, kadang dia baik dan sering juga dia ngeselin. Aplikasi andalan pesan taksi online pun menjadi pilihanku. Sial, hp mati sebelum ada sopir yang menerima orderku.
Sepeda motor berhenti tepat dimana aku berdiri. "Ya udah ikut aja. Tenang, aku gak pasang tarif kok," ajak Tama sambil menyodorkan helm lain yang dia bawa.
Aku berpikir sebentar. Tak apa lah sesekali tikus berdamai dengan kucing, tawaran tersebut kuterima. Setelah helm terpakai, akupun naik ke motor dan membonceng di belakang Tama.
"Kenapa berhenti?" tanyaku ketika motor yang dikendarai Tama berhenti di sebuah tenda yang menjual pecel ayam.
"Makan dulu. Turun" perintahnya sambil menaruh helm diatas motor.
"Katanya kamu gak level makanan pinggir jalan begini," sindirku.
"Semenjak sakit kemarin saya berubah pikiran. Daripada maag kumat mending makan dimana saja ketika lapar,"
"Teori yang sangat aneh," gumamku.
"Emang kamu pikir bawa motor sambil bonceng orang itu gak nguras tenaga," gerutunya.
"Ya lagian siapa suruh kamu ambil jalan yang muter-muter padahal ada yang lebih dekat," protesku lagi. "Saya pulang duluan aja kalau gitu, udah malam." Aku turun dari motor Tama.
"Kamu harus temenin, mana ada angkot disini," cibirnya.
"Saya bisa naik taksi atau ojek online,"
"Handphone kamu kan mati, mau order dengan cara injak bumi tiga kali," sindirnya. "Lagian takut banget sih, cuma disuruh temenin makan aja gak lebih. Jangan sok nolak rezeki gitu deh,"
Ini orang maunya apa sih?! Aku memilih duduk di kursi seorang pedagang kaki lima dan membeli satu botol soft drink, sedangkan Tama kulihat sudah memesan dua porsi pecel ayam lengkap. Ketika hidangan sudah tersaji pun aku lebih memilih untuk tetap berdiam di tempatku sekarang ini.Tidak kupedulikan tatapan aneh orang yang sedang lalu lalang. Mungkin mereka merasa aneh, aku datang berboncengan dengan Tama tetapi duduk berjauhan seperti ini.
"Kenyangnya," pamer Tama sambil mengusap perutnya.
"Ternyata, makan-makanan pinggir jalan itu enak juga ya," gumamnya naik ke atas motor. "Nih" dia menyodorkan plastik berisi pecel ayam yang sudah di bungkus.
"Saya gak mau," tegas aku menolak pemberiannya.
"Ge er aja kamu. Siapa bilang buat kamu, saya cuma nitip pegangin kok. Itu buat Kucing saya di rumah nanti," cibirnya.
Aku mengambil bungkusan tersebut. Kenapa sih tadi aku mau aja di bonceng Tama. Motor pun melanjutkan sisa perjalanan yang tertunda hampir satu jam.
Mataku masih memandang sebungkus pecel ayam pemberian Tama dua jam yang lalu. Bungkusan tersebut memang sengaja kuletakkan di meja makan karena memang enggan sekali memakannya. Mungkin nanti Hendra butuh ketika sepulangnya dari kantor.
"Kalau bukan Tama yang berikan, mungkin sudah kulahap dari tadi kau," gumamku pelan bicara sendiri karena memang hanya ada aku di rumah. Hendra belum pulang sepertinya dan Umi sedang ke tempatnya Atika sejak pagi tadi.
Melihat bungkusan pecel ayam tersebut saja sudah seperti melihat Tama. Ngeselin. Tidak ada keinginan di hati untuk menyentuhnya apalagi memakannya. Sama dengan nasib coklat tadi pagi yang dia berikan di kantor, semuanya kuberikan pada Tania sedangkan bunganya sengaja kuletakkan di toilet kantor.
Aku bingung, sebenarnya apa yang diinginkan si Tama itu. Jika memang dia menginginkan aku, apakah dia tidak melihat Hendra. Semua orang tahu kalau aku adalah istrinya Hendra, yang mereka tidak tahu adalah pernikahan itu hanyalah sandiwara.
Keesokan harinya, sebuah boneka Teddy bear kecil dan sekotak coklat yang sama persis dengan hari kemarin sudah berada di atas meja. Seperti biasa, Tania heboh melihat dua benda tersebut.
[apakah ini dari kamu?]. Kukirim pesan tersebut melalui WA kepada Tama.
[Ya... Kamu suka ga?]
[Untuk apa?] balasku lagi.
[Pengganti pecel ayam. Aku tahu kamu tidak memakannya walaupun kamu menerimanya semalam.]
[Dari mana kamu tahu aku tidak memakannya?]
[Ayamnya tadi datang ke rumahku dan bilang kalau kamu membuangnya ke tempat sampah.]
Aku menatap kearahnya, dia tersenyum konyol. Gila! Mana mungkin ada ayam goreng bisa lari ketika di buang. Aku tertawa kecil.
Bunyi pesan WA masuk, aku membukanya lagi. [Kamu cantik kalau tertawa]
Apa ini? Merayukah, pujian atau... Mengapa jantungku jadi berdebar kencang. Ge'erkah atau.... Handphone kumasukkan ke dalam laci dan sepertinya aku tidak sanggup melihat wajah lelaki itu lagi. Pandangan kualihkan ke tumpukan kertas berisi data-data barang pesanan karyawan, kenapa tulisan itu menghilang dan...wajah angkuh Tama jelas terlihat disitu.
Bukan hanya ketika sedang bekerja, Tama seperti mengikuti kemana pun aku berada. Di setiap sudut rumah aku seperti melihat wajah lelaki itu. Semangat untuk datang ke kantor pun bertambah beratus-ratus persen dan bahkan aku jadi betah berlama-lama di dalam ruangan. Jadi suka memandang Tama secara diam-diam dan buru-buru menarik pandangan jika dia menyadari ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya.
Perasaan apa ini? Bagaimana dengannya? Apakah memiliki perasaan yang sama?
bersambung ....
No comments:
Post a Comment