Tuesday, March 17, 2020

365 hari 7

365 Hari

Part 7

Kami baru saja tiba di kantor ketika berpapasan dengan Shiren. 

"Hendra!  Kemana kamu semalam, mengapa tidak datang ke apartmenku!" tegurnya marah,  dengan volume suara di kecilkan. Mungkin dia takut menjadi perhatian orang yang ada di lobby.

"Kunci mobilku hilang.  Bagaimana bisa aku ke apartmen kamu," 

"Kamu kan bisa naik taksi online. Lagian, ngapain sih kamu anter perempuan itu pulang. Dia kan bisa pulang sendiri," rutuk Shiren kesal. 

"Sayanggg... Kalau aku biarkan Luna pulang sendiri,  Umi akan curiga," jelasku. 

"Umi.. Umi.. Umi. Kapan sih orang itu pergi" gerutu Shiren lagi. 

Hendra diam. 

"Aku duluan Hen," pamitku ketika lift yang kami naiki sampai di lantai 3.

"Ok. Hati-Hati Lun," pesan Hendra.

"Hai," sapa Tama ketika kami berpapasan di pintu masuk office. 

"Pagi," kubalas sapaannya. 

Berstatus menjadi istri Hendra punya keuntungan tersendiri bagiku. Disini,  karyawan bersikap baik termasuk atasanku sendiri, padahal statusku disini hanyalah staff biasa. 

"Hari ini Rian tidak masuk, jadi kamu yang menggantikan tugas dia sementara sampai satu minggu ke depan," jelas Tama sambil membukakan pintu untuk kami masuk.

"Maksudnya, saya harus ke toko-toko untuk membeli keperluan kantor?" aku bertanya dan di jawab anggukan kepala. "Tapi saya kan tidak bisa menyetir mobil," aku memberikan alasan. 

"Ya.. Kamu tidak sendiri," 

Dahiku mengernyit. 

"Nanti ada kok yang bakal anter kamu ambil barang di suplier,"

Aku menatap aneh pada Tama. 

"Kenapa kamu tidak pilih orang yang bisa nyetir saja untuk menggantikan posisi Rian," 

"Mereka tuh tidak ada yang bisa di percaya," 

"Bukankah menyuruh dua orang keluar kantor itu hanya akan merugikan perusahaan. Secara tidak langsung menghambat pekerjaan yang seharusnya bisa lebih cepat jadi tertunda karena kekurangan orang," aku coba memberikan masukan pada Tama,  tapi aku yakin sih tidak akan diterima.  Dia orang yang keras kepala. 

"Hei. Disini saya tuh atasan kamu,  kenapa kamu yang jadi mengatur saya. Semua saya sudah perhitungkan sebelum mengambil keputusan ini," omelnya. 

Aku diam. Menerima perintah itu dan berjalan menuju meja kerja. Merutuk kesal dalam hati pada Rian mengapa dia harus cuti sampai satu minggu. Jadi aku yang kena batunya harus mengambil barang-barang pesanan ke suplier. Bisa dibayangkan siang hari di saat terik aku berkutat dengan kesibukan di jalan raya. 

"Nih list toko yang harus kamu datangi untuk ambil barang esok hari. Ijin pada suamimu, karena kemungkinan kamu akan pulang telat." Tama menyodorkan selembar kertas, mataku melirik daftar nama-nama toko yang harus kudatangi esok hari. Ada sekitar tujuh toko dan kesemuanya berada pada tempat yang berbeda dan tidak searah. 

***

"Gila aja tuh boss kita nyuruh cewek yang ambil barang ke suplier. Kaya gak ada cowok aja di kantor ini,"  gerutu Tania ketika kukatakan bahwa hari ini dia harus bekerja sendirian mendata stok persediaan barang di gudang. 

"Ya itulah Tamamu,  aneh."

"Aneh tapi ganteng," puji Tania membuat aku mau muntah saja. "Dan baik," lanjutnya lagi. 

"Baik?" protesku. 

"Iya. Baik. Si Rian cuma sakit mata aja dia kasih ijin untuk gak masuk sampai satu minggu," jelasnya. 

"Hah!!!  Rian sakit mata?!  Bukannya dia ijin karena istrinya melahirkan,"

Tania tertawa, "Rian?  Punya istri. Kambing aja gak mau di dekati sama dia," 

Sial. Apa coba maksud Tama meliburkan Rian dan menyuruh aku menggantikan posisi cowok itu mengambil barang di suplier. 

"Mbak Luna sudah ditunggu sama sopir yang mau antar ambil barang ke suplier tuh," teriak Sopyan dari mejanya.

"Oke. Bilang suruh tunggu dulu Yan. Sebentar lagi saya meluncur ke basement," teriakku juga. 

Kalau si Tama gak ada ruangan ini jadi berasa surga. Gak ada ketegangan karena harus melihat wajahnya yang angkuh. 

"Hey, si Tama kemana?  Tumben dia belum datang," aku berbisik pelan pada Tania. Gadis itu mengedikkan bahu. 

"Sakit kali... Syukurlah," Tania berharap. 

"Ah gila lu,  orang sakit malah disyukuri," 

"Ya syukurlah dia sakit. Jadi gue bebas kerja seharian disini,  gak kaya lu," cibirnya. Hmmm aku jadi iri dengan mereka yang tinggal di kantor. Disaat office tenang aku justru harus tugas keluar kantor. 

"Dah ah gue cabut,  biar cepet selesai tugasnya," aku berdiri menyambar tas dan meninggalkan Tania. 

"Nomor mobilnya B 1802 JN ya Mbak," 

"Ok," 

Aku keluar ruangan berjalan menuju basement. Sial,  lift sedang diservice sehingga aku memutuskan lewat tangga exit. Untung ruanganku berada di lantai 3, tidak bisa dibayangkan mereka yang berada di lantai paling atas sana. B 1802 JN, mobil box tersebut terparkir tidak jauh dari pintu exit. Sepertinya sopirnya pun sudah siap di depan kemudi. 

Pintu depan kubuka, kemudian langsung duduk tanpa melihat ke wajah si sopir kemudian memakai sabuk pengaman. "Kita ke toko Makmur Bersama du..." aku tidak melanjutkan kata-kata lagi ketika melihat siapa yang ada di depan kemudi. "Tama?" 

"Kenapa? Aneh liat saya di depan kemudi begini?" tanyanya jutek. "Sopir yang harusnya anter kamu gak masuk,  gak ada sopir lagi karena sudah keluar semua," jelasnya lagi tanpa kuminta. 

Aku menahan tawa,  Tama seperti terkena karmanya sendiri. Mobil mulai meninggalkan area basement kemudian keluar gedung dan masuk jalan yang masih belum terlalu ramai kendaraan. 

"Loh…kenapa belok kiri. Bukannya toko Makmur Bersama ada di sana." 

"Kita ke Toko Abadi dulu," jawabnya angkuh. 

"Toko itu kan lebih jauh jaraknya dari Makmur bersama," protesku. 

"Strateginya memang seperti itu. Ambil yang jauh dulu baru ke yang terdekat jaraknya," 

"Tapi jalan itu akan macet kalau siang," gerutuku lagi. 

"Ahhh berisik kamu. Tau apa kamu tentang jalanan," omelnya.  

Aku diam. Terserahlah,  pikirku. Jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi ketika kami tiba di toko pertama. 

"Turun sana," Tama menyuruhku ketika mobil baru saja berhenti tepat di depan toko yang cukup besar tersebut. 

"Barang dari sini banyak banget loh Tama. Aku harus angkat sendiri gitu?" 

"Kamu minta bantuan saja sama karyawan di toko itu. Kalau dia gak mau bilang aja kita bakal selamanya gak ambil barang di toko dia lagi," omelnya.

"Gila kamu.  Masa cuma masalah sepele gitu aja hubungan kerjasama harus di putus. Lagian salah sendiri kenapa kamu suruh aku gantiin Rian." Aku jadi ikutan sewot sambil membuka pintu mobil, pintu tersebut kututup lagi dengan kasar ketika aku sudah di luar. 

Pelayanan yang cukup ramah dan beruntung seorang karyawan toko membantuku membawa serta memasukkan barang-barang tersebut ke dalam mobil. Setelah selesai semua kami berlanjut ke toko kedua. 

[Karyawannya sedang sibuk semua. Jadi gak ada yang bisa bantu bawain barang nih] 

Pesan tersebut kuketik dengan kesal dan kukirim via WA. Tak lama Tama datang dan mengangkut barang-barang tersebut ke mobil. Satu persatu dimasukkan ke mobil. Aku sengaja tidak membantu melainkan menunggu di dalam mobil. Dari kaca spion kulihat raut muka Tama begitu kesal, aku tertawa tanpa mengeluarkan suara. 

"Semoga toko ketiga gak ngerjain lagi kaya tadi," gerutunya. 

Sukurin aja. Siapa suruh pilih aku buat ambil barang. Tentu saja kuucapkan dalam hati. 

Sudah jam sebelas siang,  jalan mulai padat.

"Kenapa sih ini mobil gak ada ACnya," gerutu lelaki itu.

"Yeeyy... sejak kapan mobil box ada Acnya," sahutku tenang. Dia melirik kearahku dan aku buru-buru membuang pandangan ke sisi kiri jalan. 

Jam satu tepat kami baru sampai di toko ke tiga. 

"Aku mau makan siang dulu," ujarku ketika barang-barang sudah masuk mobil semua. 

"Makan?  Disini!" matanya memandang keseantero lahan parkir yang di sisi kiri dan kanannya di tempati tenda-tenda penjual makanan. 

"Ya emang mau makan dimana, restoran mahal?" sindirku. 

Dia memandang aneh padaku. 

"Ya udah makan saja sendiri sana. Gak level aku makan di tempat kaya gitu," cibirnya. 

"Uhhh sombong banget kamu," sahutku dan berlalu pergi meninggalkan lelaki itu menuju tenda yang menyediakan menu soto ayam. Hanya perlu sekitar empat puluh menit saja untuk aku mengisi perut dan menunaikan kewajiban shalat zuhur di masjid yang terletak persis di samping toko. 

"Alhamdulillah  kenyangnya," ucapku sambil menutup pintu mobil. 

"Lama banget sih. Masih ada empat toko lagi nih," protesnya. Aku bersikap masa bodoh. 

Ternyata jalanan semakin siang semakin bertambah padat. Butuh waktu lama untuk mencapai ke toko. Tapi semuanya bisa dilalui hingga tersisa tinggal satu toko lagi. Gelap mulai menyelimuti Jakarta. 

"Macetnya parah banget nih," gerutu lelaki itu untuk kesekian kalinya. 

[Dimana? Pulang jam berapa?] pesan WA masuk dan itu dari Hendra. 

[Gak tau nih.  Aku masih di tanah abang] 

[Harusnya daerah situ diambil pertama.  Parah loh macetnya]

[Harusnya tapi sopirnya ngeyel]

[Emang siapa sopirnya,  biasanya mereka sudah tau rute jalan]

[Sopir baru dan masih training]

Mobil tiba-tiba berhenti dan Tama memencet tombol klakson dengan kesal. 

"Gila tuh orang. Main potong jalan aja!" omelnya kesal. Aku segera menutup telinga dengan head set. Memutar musik favoriteku dan memejamkan mata. Malas mendengar omelan orang disebelah.

Jam delapan malam kami baru tiba di kantor kembali. Mungkin semua karyawan sudah pulang saat ini. Hendra tadi bilang akan menungguku di kantor,  tapi entahlah. Jika pun dia pulang duluan bukan suatu masalah karena aku bisa pulang dengan menggunakan taksi online. 

Turun dari mobil Tama langsung berlari menuju toilet yang tidak jauh dari tempat mobil di parkir. Terdengar suara lelaki itu muntah-muntah. Aku hendak naik duluan,  tetapi kutahan karena sepertinya Tama butuh bantuan. Beberapa menit kemudian lelaki itu keluar dengan wajah pucat. 

Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut lelaki itu. Aku menatapnya kasihan. Hingga tiba-tiba tubuhnya ambruk dan jatuh ke lantai. Aku panik dan coba mencari bantuan. Sial,  tak ada orang disini. Aku coba memberikan bantuan dengan mengoleskan minyak kayu putih di hidung lelaki itu. 

Handphone kunyalakan dan menelpon Hendra. Sial,  hpnya mati.  Bagaimana ini, pikirku. Terdengar suara langkah kaki seseorang dan aku segera menuju ke arah asal suara tersebut. 

"Sopyan!" panggilku kencang dan orang itu pun menoleh. "Tama pingsan," ucapku kemudian dan lelaki itu lari mendekat. Dengan sekuat tenaga kami memasukkan Tama ke dalam mobil Sopyan dan segera melarikan lelaki itu ke rumah sakit terdekat karena sulit sekali menyadarkannya. 

bersambung...

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER