Tuesday, March 17, 2020

365 hari 6

365 Hari

Part 6

Aku tidak ingin pertengkaran dengan Hendra tempo hari terjadi lagi. Bukan demi lelaki itu tetapi lebih kepada menjaga perasaan Umi. Di meja kerjan Hendra sedang fokus dengan setumpuk pekerjaan. Matanya bergantian menatap kertas-kertas di meja dan layar laptop. Aku sendiri lebih memilih duduk di sopa yang berjarak dua meter dari tempat lelaki itu. 

"Kalau kamu mengantuk tidur saja dulu,  nanti kalau sudah selesai akan kubangunkan," usul Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. 

Aku tak menanggapi usulnya, sibuk chat WA dengan Tania yang sekarang sudah berada di rumah. Kalau saja tidak menunggu Hendra,  mungkin saat ini aku juga sudah berada di rumah. 

[Gile... Jam segini masih di tempat kerja. Hmmm... Emang istri setia]

Aku mengerutkan dahi membaca balasan WA dari Tania. 

[terpaksa...]

[wkwkwkwk... Makanya cari suami jangan yang gila kerja]

Aku cemberut,  tidak ada keinginan sedikit pun memilih Hendra sebagai pasangan hidup. 

"Hen... Gimana kalau ki... " lelaki yang nyelonong masuk tanpa permisi itu tidak jadi melanjutkan kata-katanya. "Sorry,  gue pikir lu lagi sendirian.  Ternyata... " Tama melirik kearahku. Aku sebentar menatapnya kemudian mengalihkan pandanganku kembali ke handphone dan membalas pesan WA dari Tania. 

[Ada setan datang]

[siapa? ] 

[Tama]

[Ohhh Tamaku ]

[Huekk]

"Ywdh lah Bro,  gue cabut duluan. Ga enak ganggu kalian berdua," 

"Ya udahlah sana,  ganggu gue aja lu,"

Bukan obrolan yang serius karena keduanya saling melempar kelakar. 

"Mau aku pesenin kopi Lu?" tawar Hendra sepeninggal Tama. 

"Aku gak ngopi," 

"Atau makan biar nanti kusuruh OB carikan di luar,"

"Ga usahlah,  biar nanti aku makan di rumah aja. Khawatir Umi masak," sahutku malas. Bete karena sudah hampir tiga jam aku terkurung di ruangan ini. 

"Hai Sayang jadi gak malam ini ki…" suara manja itu terhenti. "Wow... Ada istri rupanya," sindir Shiren memasuki ruangan dan langsung menghampiri Hendra yang masih sibuk di meja kerjanya. "Enak ya kerja ditemani istri," sindir wanita itu lagi sambil merangkul pundak sebelah kanan Hendra. 

"Sudahlah Sayang... Ini semua kan kemauan kamu," Hendra menangkis sindiran Shiren. 

"Iya sih kemauan aku,  tapiii kamunya juga nurut aja sih," sanggah Shiren seraya lebih mendekatkan tubuhnya ke badan Hendra. 

Aku tidak menghiraukan kedua orang itu. Rasanya ingin kulempar dua monster itu dengan handphone yang sedang kugenggam. Beruntung aku masih waras…

"Kamu ngapain kesini?" tanya Hendra kemudian. 

"Kamu kan sudah janji mau ajak aku makan malam bareng hari ini," 

"Lain kali aja lah Sayang. Gak enak sama Luna sudah nungguin aku dari tadi," 

"Hmm.. Siapa suruh dia nungguin kamu," protesnya manja memainkan dasi yang dikenakan Hendra. 

"Tadi aku yang suruh, biar Umi gak curiga kaya kemarin-kemarin," jelas Hendra. 

"Umi?! Kapan dia balik ke rumahnya,"

"Umi mau tinggal sama aku Sayang... "

"What!!! Tinggal sama kamu?!  Aku gak salah dengar nih,"

"Gak Sayang. Apa yang kamu dengar itu kenyataannya. Umi mau tinggal di rumah aku,"

"Selamanya?" 

"Yaaa bisa jadi begitu,"

"Shitt!!!" umpat Shiren kesal. 

"Kenapa?" 

"Kalau Umi tinggal di rumah kamu. Itu tandanya aku gak bisa bermalam di rumah kamu lagi Sayang," gerutu Shiren lagi. "Aku kangen... " tangannya jahil membuka kancing kemeja Hendra. 

Tanganku langsung menyambar tas dan tanpa berpamitan lagi meninggalkan ruangan. Kukira lelaki itu akan tetap di kursinya,  untuk kali ini aku salah. Hendra berdiri dan setengah berlari mengejar. Terdengar suara Shiren memanggil-manggil nama Hendra dari belakang. 

"Kita pulang bareng ya Lu," ucapnya setelah bisa menjajari langkahnya denganku. 

"Aku bisa pulang sendiri kalau kamu masih mau bersama Shiren," 

"Aku antar kamu pulang," 

"Aku sudah biasa dan bisa pulang sendiri Hendra,"

"Aku juga biasa antar kamu pulang, kan?" 

Terserahlah,  pikirku. Suara Shiren sudah tidak terdengar lagi berganti dengan bunyi handphone milik Hendra. Lelaki itu merogohnya dari kantong celana dan kemudian mengangkatnya. 

"Aku antar Luna pulang dulu, Sayang," ucapnya. "Oke. Nanti setelah aku mengantar Luna sampai rumah,  aku akan ke apartemen kamu," ucapnya lagi setelah beberapa detik terdiam. "Oke Sayang,  love you too." Handphone dimatikan bersamaan dengan kami keluar dari lift. 

"Ya ampun," Hendra menepuk jidatnya dengan telapak tangan kanan.  Dahiku berkerut.  "Kunci mobilnya tertinggal diatas meja," gerutunya. 

"Kamu tunggu disini sebentar ya,  aku ambil dulu keatas," pintanya. 

"Aku pulang duluan aja Hen," 

"Gak akan lama Luna,  sebentar saja. Paling hanya beberapa menit saja oke," 

"Baiklah,  hanya beberapa menit." Aku mengulangi kata-katanya. 

Hendra kembali ke ruangannya dan aku duduk di kursi tunggu yang ada di lobby. 

"Benar-benar istri yang setia," puji Tama menghampiri dan kemudian duduk di sebelahku. 

Aku tidak menggubrisnya. 

"Seberapa jauh sih rumah kalian dari kantor ini, sampai rela menunggu lama," 

"Untuk apa kamu tanyakan itu?" 

"Yaa ga untuk apa-apa sih,  hanya salut aja dengan pengorbanan kamu. Rela menunggu suami yang bekerja hanya untuk sekedar pulang bareng suami. Kalau aku jadi kamu sih,  mending pulang duluan," cerocosnya. 
"Ya tapi aku bukan kamu," gerutuku. 

"Iya juga sih. Kamu Luna aku Adhitama," 

Aku tak menghiraukannya,  anggap saja dia sedang berbicara dengan angin. Hendra mengapa lama sekali. Aku menyalakan handphone dan menelpon lelaki itu. 

"Sebentar ya Luna,  kunci mobilku belum ketemu.  Padahal tadi pagi aku yakin taruh diatas meja." Suara Hendra terdengar sebelum aku bertanya padanya. 

"Ywdh aku pulang duluan saja,"

"Tunggu Luna, kita pulang bareng. Pesankan taksi online saja, aku segera turun," pintanya lagi. 

Aku memutus sambungan telpon dan beralih ke pesan taksi online. 

"Cewek itu kalau sudah ngambek ngeri kali ya," celetuk Tama setelah obrolanku dengan Hendra terputus. Aku cuek,  obrolan yang tidak penting. 

"Sudah dapat taksinya?" 
Aku mengangguk.

"Oke kita pulang," ujarnya menarik tanganku. 

"Tama,  gue duluan ya," pamit Hendra kemudian pada Tama. 

"oke," sahut Tama sambil mengangkat satu jempolnya ke udara. 

Kami pun meninggalkan lobby menuju tempat dimana taksi yang kupesan berada. 

"Maaf," desis Hendra pelan menggenggam erat jemariku. 

*** 
"Mas Hendra lupa naruh kunci mobil Umi," aku menjawab pertanyaan Umi mengapa pulang naik taksi. 

Kami berjalan bersama memasuki rumah.

"Kamu itu, usia juga belum genap tiga puluh tahun tapi pikunnya sudah sama dengan Umi," sindir Umi.

"Faktor terlalu banyak kerja Umi," Hendra membela diri. 

"Ya itu lah kamu. Terlalu banyak kerja jadi kadang lupa sama diri sendiri,  keluarga... "

"Hendra gak bakal lupain Umi," potong Hendra mengecup pipi wanita yang telah melahirkannya. 

"Eh kalian apa sudah makan?" tanya Umi lagi ketika aku dan Hendra memilih duduk di ruang tengah. Aku dan Hendra menggeleng pelan. 

"Kebetulan... Umi masak makanan spesial hari ini. Ada baiknya kalian mandi dan ganti pakaian,  biar nanti Umi panaskan lauknya. Kita makan bersama ya,  kebetulan Umi juga belum makan,"

"Ga usah Umi... Biar nanti Saya yang panaskan lauknya. Umi gak usah nunggu kami pulang kalau sudah lapar. Nanti malah sakit," aku segera bangkit dari sofa, cepat tangan Umi melarangku masuk le dapur dan justru mendorong badanku menuju tangga. 

Ah,  wanita itu... Kalau sudah kemauannya sulit untuk dibelokan. Aku dan Hendra naik ke lantai atas. Membersihkan diri dan kemudian berganti pakaian,  setelah itu kembali turun ke lantai dasar menuju meja makan. 

"Hmmm... Harum sekali Umi," puji Hendra ketika kami sudah duduk mengitari meja makan. 

"Iya dong. Nih Umi masak tumis Tauge, perkedel dan menu spesial untuk kalian. Sop daging kambing," wanita itu menjelaskan. 

"Umi memang hebat," pujiku. Jujur memang aku kagum dengan wanita itu,  dia perempuan yang kuat dan penuh kelembutan. Untuk masalah makanan,  tidak usah diragukan lagi keahliannya. 

Kami fokus menghabiskan nasi dan lauk di piring masing-masing. Tidak ada suara kecuali benturan sendok dan piring. 

"Enak sekali Umi. Seperti sedang berada di restoran mahal," puji Hendra lagi setelah menyelesaikan makannya. "Ngomong-ngomong,  dalam rangka apa nih Umi masak makanan spesial ya gini.  Semua serba kambing?" tanya Hendra kemudian. Sebenarnya bukan dia saja yang heran,  aku pun sama demikian mengingat di setiap lauk pasti di campur daging kambing. 

"Biar kalian cepet kasih cucu buat Umi," 

Aku dan Hendra saling berpandangan. 

"Atika dan Mbak Ajeng kan udah kasih Umi cucu," Hendra mengingatkan. 

"Mereka ya mereka, tapi kamu kan belum," 

Aku dan Hendra saling pandang lagi dan menarik napas berbarengan. Lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya dengan telunjuk kanan. 

"Kami kan baru lima bulan Mi menikah,  jadiii ya masih taraf wajar kalau belum diberi momongan," 

"Iya Umi ngerti, tapi usaha boleh toh," sanggah perempuan itu sedikit ngeyel. Aku dan Hendra tersenyum kecil, minimal untuk membuat Umi bangga dengan usahanya. 

Makan malam selesai. Aku bergegas membereskan peralatan makan yang telah digunakan sedangkan Hendra langsung naik ke atas dan masuk kamar. Setelah beres-beres selesai,  aku pun pergi ke kamar untuk beristirahat memulihkan tenaga yang telah terkuras seharian tadi. 

"Untuk masalah tadi,  jangan harap ya!"

"Maksudnya?" tanyaku menatap heran pada laki-laki itu. 

"Jangan harap aku mau menuruti permintaan Umi untuk punya anak bersama kamu," jelasnya sinis. 

"Emang kamu pikir aku mau apa ngandung benih dari kamu. Amit-amit,  kaya gak ada yang lebih bagus aja dari kamu," sanggahku sambil menunjukkan raut muka jijik pada Hendra. "Tuh bantal dan guling kamu," sinisku sambil melempar bantal dan guling yang biasa dia gunakan. "Tidur sana di sofa," usirku lagi. 

Tanpa menunggu perintah kedua,  Hendra berpindah dari sebelumnya merebah di atas kasur ke sofa yang ada di sisi kanan tempat tidur. 

Bersambung...

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER