365 Hari
Part 5
Berkat Umi akhirnya Hendra mengijinkan aku untuk bekerja lagi. Bukan di posisi sebelumnya sebagai sekretaris manager keuangan tetapi hanya menjadi staff di bagian logistik. Tidak penting aku berada dimana karena yang kuinginkan adalah bisa mempunyai kesibukan di luar rumah. Dan yang lebih menggembirakan yaitu aku rekan kerja yang menyenangkan.
"Taniaaa..." teriakku kencang ketika kaki ini baru saja satu langkah berada di dalam ruangan.
Orang yang kupanggil menoleh dan terlihat kaget ketika mendapati aku berdiri diambang pintu.
"Lunaaa... " teriaknya tak mau kalah kencang bahkan sedikit nadanya di buat sedikit melengking lebih tinggi.
Kami saling menghampiri dan kemudian berpelukan. Memang sedikit lebay adegan itu tapi wajar kurasa ketika seseorang mengekpresikan kegembiraannya bertemu dan bahkan akan terus bersama dengan sahabat yang sudah sangat akrab.
"Senengnya Lu bisa balik kerja lagi Lun," Tania melepaskan pelukannya. Aku tertawa lebar.
"Eh kira-kira gue harus duduk dimana?" tanyaku sambil celingak-celinguk memperhatikan seantero ruangan yang tidak cukup besar itu.
"Di samping gue lah... " seru Tania girang. "Jadi kita bisa kerja sambil ngegosip, ngerumpi, curhat, dan masih banyak lagi," lanjutnya lagi dan tentunya aku sangat setuju dengan ide Tania tersebut.
"Eh ngomong-ngomong, kepala logistiknya masih Bu Nuke bukan?" tanyaku kemudian mengingat satu nama yang pernah kukenal sangat baik. Pemimpin bijak yang selalu bisa membuat para bawahannya nyaman.
Tania menarik napas berat, wajahnya tiba-tiba terlihat lemas seperti tak ada gairah. "Bu Nuke sudah tidak ada Lu,"
"What?!"
Tania menggandeng tanganku menuju meja kerja. Ada dua kursi saling berhadapan disitu dengan meja sebagai pemisah keduanya. Tania duduk di kursi dekat jendela sedangkan aku duduk di kursi satunya lagi. Pandangannya diarahkan keluar jendela.
"Satu bulan lalu Bu Nuke di pecat. Tuduhan memanipulasi data pembelian barang-barang kantor," jelas Tania, terlihat sekali kesedihan di raut wajah perempuan itu.
Aku jadi ikutan bersedih, terlebih lagi mendengar masalah Bu Nuke yang sangat tidak aku sangka-sangka. Sepengetahuanku perempuan itu adalah orang yang jujur. Tapi ternyata...
"Hendra emang gak cerita masalah ini ke Lu, Lun?" Tania balik bertanya.
"Ehm.. E.. Enggak tuh. Hendra tidak pernah membahas masalah di tempat kerja ketika berada di rumah," jelasku. Padahal memang kami berdua bukan seperti yang dia pikirkan saat ini.
"Lalu, penggantinya Bu Nuke siapa ya?" tanyaku penasaran.
Wajah Tania bertambah pucat, seperti dia baru saja melihat hantu. Tidak ada kata yang keluar darinya, dia hanya menggerakkan satu alis kanannya dengan pandangan mata menuju pintu masuk ruangan.
"Ehm... Kamu Tania ya, istrinya Hendra?" suara berat seorang laki-laki terdengar dari arah belakang.
Aku memutar badan menghadap ke tempat dimana suara itu berasal. Tepat dibelakangku sudah berdiri seorang laki-laki berperawakan tinggi. Badannya tegap dan pantas saja wajah Tania begitu pucat karena raut wajah yang ditunjukkam lelaki itu sangat tidak bersahabat.
"Iya. Nama saya Luna," aku memperkenalkan diri.
Telapak tangan lelaki itu terangkat ke udara ketika baru saja aku akan membuka mulut.
"Nama kamu Luna, lengkapnya Danastri Luna Badira
yang artinya anak perempuan yang selalu menyinari hidupnya dengan penuh kecantikan. Cocok, sesuai dengan parasnya," ujar lelaki itu mencibir.
Jadi, ini sebuah pujian atau celaan?
"Oke Luna. Saya tahu selain kamu adalah istri Hendra juga merupakan sahabat Tania," lelaki itu melirik ke arah Tania dan seperti tersihir tatapannya Tania segera berpura-pura sibuk membuka-buka file. Padahal sedetik yang lalu kutahu dia sedang memandangi atasan kami yang belum kuketahui siapa namanya. "So... Kamu tidak boleh duduk di kursi yang berada persis dihadapan Tania," ucapnya tegas.
"Untuk kursi dan meja untukmu akan segera saya suruh OB memindahkannya segera. Sebelum kursi dan meja itu di pindahkan, kamu bisa duduk dulu di depan Tania," jelasnya lagi mendahului aku yang sudah membuka mulut. Seperti seorang paranormal lelaki itu bisa menjelaskan apa yang sebenarnya ingin aku tanyakan tadi.
"Dan untuk kamu Tania," tatapan tajam itu berpindah ke arah Tania. "Sebagai seorang senior yang baik hendaknya kamu tidak memberikan contoh buruk bagi orang baru. Masih ingat kan peraturan yang saya terapkan di ruangan ini?"
"Tidak boleh ngobrol, tidak boleh ngerumpi, ngegosip, bercanda, tidak boleh datang terlambat, pulang cepat tanpa ijin, dan meninggalkan ruangan selama jam kerja kecuali ada perintah," jawab Tania pelan tapi cukup jelas tertangkap di gendang telingaku.
"Saya ucapkan selamat datang di divisi Logistik, motto divisi kita adalah service excellence. Melayani dengan penuh suka cita dan zero complain. Silahkan menempati kursi Anda sementara."
OMG, ternyata lelaki itu lebih menyeramkan dari olahraga kami dulu di sekolah. Banyak sekali peraturan yang dia terapkan disini. Untung saja larangan untuk tidak bernapas tidak diterapkannya juga. Aku duduk kembali di kursi dan Tania, dia sudah menenggelamkan pikirannya diatas tumpukan nota-nota pesanan barang yang di kirimkan para staff yang ada di perusahaan ini.
"Hari pertama dia datang gue udah di buat stress Lu sama itu orang," gerutu Tania ketika kami sedang menikmati makan siang di rumah makan padang yang tidak begitu jauh dari kantor.
"Berapa berat badan lu sekarang?" tanyaku kemudian.
"Apa hubungannya dengan berat badan?" Tania balik bertanya.
"Ya karena gue tahu lu kalau lagi stress melampiaskan diri dengan makanan," gurauku dan itu cukup menjadi alasan bagi Tania melempar selembar tisu yang sudah diremek dengan telapak tanggannya kearahku.
Untung aku cepat menghindar sehingga bola tisue itu hanya menabrak dinding yang ada tepat di belakang kursi yang aku duduki.
Adhitama nama lelaki itu, sesuai dengan arti dari nama tersebut lelaki itu memilik paras yang tampan. Secara fisik dia hampir mendekati kata sempurna jika saja bisa bersikap ramah pada setiap orang. Semua karyawan disini sudah tahu mengenai keangkuhan lelaki itu. Pembawaannya tenang dan tidak banyak bicara tetapi setiap kali dia bicara mungkin yang mendengarnya akan sakit hati. Dia lebih suka dipanggil Tama daripada nama lengkapnya.
"Kalau saja dia tidak seangkuh itu, mungkin aku akan mencintainya," tutur Tania setengah berbisik karena orang yang dibicarakan masih berada sekitar dua belas meter dari tempat kami berdiri saat ini.
Aku nyengir, kalau saja tidak ada manusia kayu itu mungkin sudah tertawa lepas. Tania baru saja kena omel karena salah menulis pesanan dari SDM. Jadi, wajar saja kalau saat ini dia berkata seperti itu.
"Seandainya saja ada petir yang bisa masuk ke ruangan ini dan menyambar rambutnya hingga botak," gerutu Tania lagi sambil mengeluarkan barang-barang pesanan divisi marketing yang segera harus diantarkan ke ruangannya.
"Kerja jangan ngobrol terus. Sumpah kalian itu tidak akan mempan selama saya benar!" teriaknya kencang sambil melempar-lemparkan bola kasti berwarna kuning kelangit-langit dan kemudian menangkapnya lagi.
Aku dan Tania buru-buru berpencar posisi ketika mata tajam Tama mengarah ke tempat kami. Salut untuk instingnya, dia bisa dengan tepat menduga apa yang sedang kami bicarakan.
****
"Kenapa tadi tak menungguku dulu?" protes Hendra sambil melempar tas jinjingnya keatas kasur.
"Maksudnya aku harus nunggu orang yang sedang pacaran gitu," sindirku pelan tanpa mengalihkan pandanganku dari screen handphone.
"Gara-gara kamu pulang duluan tadi aku ditegur Umi," gerutunya kesal.
Tak kulayani kekesalannya, jemariku menggeser volume suara menjadi lebih kencang. Tidak dapat kudengar lagi omelan Hendra karena headseat yang sedari tadi menutup kedua telinga. Dia seperti orang yang sedang komat-kamit membaca mantra.
"Kamu bisa dengar aku gak sih?!" tangannya menarik paksa kedua headseat yang kukenakan.
"Hendra sakit!" teriakku marah.
Bukannnya meminta maaf lelaki itu malah menjambak rambutku. Sekuat tenaga kulayangkan tamparanku dan tepat mengenai pipi kanannya. Plak! Hendra meringis sambil memegangi pipi yang tadi kutampar dengan tangannya.
"KAU KIRA AKU INI APA HAH!" marahku tak terkendali. "JANGAN KAU ANGGAP AKU TAKUT DENGANMU MAHENDRA! AKU BISA SAJA MELANGGAR SURAT KONTRAK ITU KALAU AKU MAU. AKU TIDAK TAKUT HENDRA SEANDAINYA KAU JEBLOSKAN AKU KEPENJARA!"
"KALAU KAU MEMANG TIDAK TAKUT, MENGAPA TIDAK KAU LAKUKAN!"
Aku terdiam, Hendra juga terdiam. Kami tidak saling berkata-kata, hanya mata yang saling menatap dengan tajam dan penuh kebencian.
"Karena Umi," nada suaraku melemah. "Aku tidak ingin terjadi apa-apa jika saja dia mengetahui yang sesungguhnya terjadi diantara kita,"
Hendra menjatuhkan tubuhnya diatas kasur, seperti tulang belulangnya telah rontok dari sekujur tubuh. Terlihat lemas. Kedua tangan menutupi wajah lelahnya. Suasana menjadi hening kembali, hanya sayup-sayup suara gemericik jatuhan air yang turun dari langit. Gerimis turun seiring dengan tangisan pelan Hendra dibalik kedua telapak tangannya.
bersambung...
No comments:
Post a Comment