365 Hari
Part 2
"Kenapa suamimu gak ikut Lu?" tanya Ibu ketika sepulang bekerja aku mampir ke rumah.
"Mas Hendra banyak kerjaan Bu. Jadi gak bisa ikut," sahutku berbohong. "Keadaan ibu bagaimana? Sudah baikan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan, berharap dia tidak menanyakan Hendra lagi.
"Alhmadulillah Lu. Ini semua berkat Hendra, beruntung sekali ibu punya mantu seperti dia,"
Aku menggigit bibir. Ibu sepertinya sangat menyukai Hendra. Yah, memang nyatanya dia begitu baik dengannya. Selama ibu di rawat di rumah sakit, dialah yang membayar semua biayanya. Bukan itu saja, lelaki tersebut bahkan memintaku pada ibu disaat dia baru saja selesai operasi pengangkatan kista.
Berhasil.
Hendra membuat kesehatannya cepat pulih dan tidak ada alasan buatku menolak pernikahan itu. Pernikahan kontrak yang akan mengikatku selama 365 hari.
"Lu. Kamu kelihatan begitu lelah sekali?" tanya ibu membuyarkan lamunanku.
Aku gelagapan, "ah masa sih Bu," sanggahku cepat supaya tidak terlihat kalau saat ini aku sedang diambang kebingungan.
Ibu tersenyum simpul,"eh tak usah terlalu dipikirkan tebakan ibu itu. Hanya candaan saja," sambungnya kemudian.
Aku tersenyum lega, setidaknya tidak perlu menjelaskan kepada perempuan itu kalau saat ini aku memang sedang merasa lelah. Terlebih dengan perdebatan bathin yang selalu berkecamuk tiap kali Shiren datang ke rumah Hendra.
"Tapi, semenjak dekat dengan Hendra kamu memang sedikit berubah Lu," terang ibu membuat dahiku berkerut. "Tapi tak apa, ibu malah lebih senang dengan perubahan itu. Kamu terlihat lebih dewasa dan tidak pecicilan seperti dulu. Hehe,"
Aku ikut tertawa pelan.
"Kapan ibu ada schedule kontrol ke rumah sakit lagi? biar Luna bisa antar," tanyaku sekaligus memberikan tawaran mengantarkan.
"Memangnya kamu ada waktu untuk antar ibu? Gimana dengan pekerjaanmu?"
Aku menarik napas sebelum menjawab, "Mas Hendra meminta Luna resign Bu," jawabku lemah.
Ibu hanya ber o saja.
"Tapi ibu tidak usah khawatir ya. Mas Hendra sudah berjanji akan menanggung biaya kehidupan Ibu dan adik-adik sebagai pengganti aku resign kok,"
Ibu menatapku dalam, "kamu sungguh beruntung Lu bisa menjadi istri Hendra,"
Aku menggenggam jemarinya sembari tersenyum. Sebenarnya aku tidak benar-benar resign, hanya berpindah tugas saja dari sebelumnya mendampingi Hendra sebagai sekretarisnya di kantor dan sekarang mendampingi dia sebagai istri. Istri kontrak tepatnya.
"Hey, kamu sudah pulang?" Tanya Hendra ketika baru saja aku menginjakkan kaki di ruang tamu.
"Maaf kalau saya pulang terlalu larut. Tadi seharian di rumah ibu,"
Hendra hanya tersenyum kemudian menyeruput kopi dalam cangkir yang sedang dipegangnya.
"Tak apa, tak perlu sungkan. Dalam kontrak tersebut pun tidak ada larangan yang menyebutkan kalau kamu tidak boleh ke rumah ibu. Kamu bebas kemana pun mau pergi. Asal... " Hendra menggantung kata-katanya.
"Asal apa?"
"Asal kamu tidak membocorkan kontrak kerja kita selama 365 hari ini dengan siapapun," sahutnya.
"Tenang saja, aku akan tetap jaga rahasia ini,"
"Oh ya, besok kemungkinan Shiren akan menginap beberapa hari disini. Jadi, maaf jika nanti kamu akan sedikit repot dengan kedatangannya," jelas Hendra kemudian sebelum aku menaiki tangga menuju ke kamar atas.
Shiren, perempuan cantik bertubuh sintal yang kukagumi karena kebaikannya tidak lebih adalah ular berbisa yang siap mematikan buruannya kapan saja dia mau.
Sekretaris untuk Hendra hanyalah akal-akalan Shiren. Sebenarnya posisi tersebut tidak dibutuhkan Hendra, dia orang yang pintar dan bisa menyelesaikan pekerjaan itu sendirian. Posisi sekretaris itu sebenarnya adalah mencari wanita untuk menjadi istri kontrak kekasih gelapnya.
Yah, desas-desus kalau dia ada main dengan Hendra begitu kencang berhembus di kantor tempat kami bekerja. Sebenarnya sih bukan suatu masalah jika dia wanita lajang. Pasalnya, wanita yang sekarang menjabat sebagai direksi itu adalah istri ketiga dari pemilik perusahaan tersebut. Dia tidak ingin karir serta kehidupan bergelimang harta yang sedang dinikmatinya kini hancur karena skandal tersebut terbukti benar adanya.
Hendra sendiri memang sangat mencintai wanita itu jauh sebelum dia menjadi istri pemilik perusahaan Darmono grup. Lelaki itu pernah bercerita kalau Shiren adalah cinta yang tidak akan bisa dia lupakan. Bertemu dengannya lagi di perusahaan tersebut adalah suatu kebetulan yang tidak bisa terduga sebelumnya. Cinta yang pernah ada diantara mereka dan tidak pernah hilang dalam hati Hendra bersemi kembali ditengah ketidakpuasan Shiren menjadi istri seorang lelaki yang sudah berumur.
Aku sendiri, tidak menyangka bisa terjebak dalam keruwetan ini. Semua karena hutang yang terlalu besar. Shiren sangat baik padaku, dia sering memberikan pinjaman uang untuk pengobatan ibu yang sudah beberapa tahun ini hidup dengan beban kista dalam rahimnya. Pantas saja ketika interview tersebut dia banyak menanyakan masalah pribadi dan kehidupanku. Setelah hutangku menumpuk, tawaran kontrak kerja yang sesungguhnya itu pun ditawarkan.
"Maaf saya tidak bisa menerima tawaran gila tersebut!" aku menolak tegas setelah wanita itu menjelaskan keinginannya.
Shiren menghisap rokoknya dalam-dalam dan kemudian sengaja mengeluarkannya tepat kearah wajahku. Aku terbatuk ketika ada asap yang masuk ke dalam hidung.
"Aku bisa membawamu ke polisi jika kamu menolak tawaran ini!" tegasnya lagi.
"Apa masalahnya?"
Dia menyeringai, "kasus penggelapan uang perusahaan," jawabnya santai.
Aku menatap wanita itu tajam.
"Tidak ada kwitansi untuk setiap uang yang kau pinjam Luna, jadi tak ada pengeluaran dicatatan manager keuangan. Jadiii... "
"Sial! Ini jebakan!" gerutuku kesal. Shiren tertawa pelan tapi bagiku tawa itu sangat menakutkan.
Tidak bisa dihindari lagi. Pernikahan kontrak selama 365 hari itu akhirnya dilaksanakan. Pesta meriah yang membuat semua orang berdecak kagum. Aku tidak bisa menolak lagi, menurut saja semua keinginan keduanya. Berharap 365 hari itu cepat berlalu dan di hari ke 366 nanti Hendra akan menggugat cerai istrinya, yaitu aku. Mengapa harus 365 hari? Hanya kedua manusia itu yang tahu jawabannya.
Mereka berhasil meredam gosip kalau Hendra ada skandal dengan Shiren di kantor setelah dia menikah denganku, begitu yang Tania ceritakan beberapa hari lalu.
***
Pakaian itu berserakan begitu saja di lantai dan dengan ketegaran yang luar biasa aku memungutinya satu persatu. Sepertinya mereka sedang berada di kamar mandi karena suara tawa keduanya jelas terdengar dari tempat itu. Aku segera buru-buru keluar kamar karena menyadari mereka masih di rumah ini. Tapi terlambat, baru saja hendak keluar kamar, Shiren dan Hendra yang hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh mereka keluar dari kamar mandi.
"Maaf. Saya kira kalian sudah pergi," tanpa menatap kearah mereka aku berkata pelan.
"Oh maaf... Justru aku yang harus minta maaf karena telah bercinta dengan suamimu. Gimana sih kamu Hendra, kenapa tidak bilang kalau istrimu ada di rumah," sindir Shiren.
"Sayanggg udah dong nyindirnya," protes Hendra.
"Iya maaf Sayang. Aku kan cuma bercanda dan aku rasa Luna juga tidak terlalu ambil pusing. Dia kan tidak mencintai kamu, iya kan Luna?"
"I... Iya... Ini hanya sebatas kontrak kerja saja." Aku melangkah pergi dari kamar tersebut sambil membawa pakaian yang tadi kupunguti di dalam kamar Hendra.
Menyesal aku masuk kamar itu. Padahal tadi ada WA masuk dari Hendra mengatakan kalau dia dan Shiren akan pergi ke kantor. Mengapa dan apa maksud Hendra membohongiku seperti itu? Pakaian yang sedari tadi kupegang cepat kulemparkan ke dalam mesin cuci dengan kesal.
"Maaf, Perkataan Shiren tadi jangan terlalu diambil hati. Dia memang begitu, berkata seenaknya tanpa memikirkan perasaan oranglain,"
Aku membalikkan badan dan menatap mata lelaki itu. Dia sepertinya lelaki yang baik, tapi sayang harus bertemu wanita ular seperti Shiren.
"Maksudnya?! Kamu pikir saya marah dan kecewa gitu dengan perkataan Shiren. Kamu salah Hendra, saya justru kesal dengan kamu!"
Garis di kening Hendra berkerut-kerut.
"Ah sudahlah," aku mengibaskan tanganku menampar angin yang lewat. "Kalian mau kubuatkan apa untuk sarapan, roti bakar isi cokelat, strawberry, kacang... "
"Tidak usah. Kami sudah mau berangkat," potong Hendra cepat sebelum aku selesai menyebutkan semua selai roti yang ada di rumah ini.
"Apakah sekarang benar-benar kalian akan berangkat kerja?" aku balik bertanya.
"Maksudnya?"
"Kau bacalah WA di handphonemu,"
Hendra nampak kebingungan. Sepertinya yang mengirim pesan tadi bukan dia tetapi Shiren. Lalu, maksudnya apa wanita itu mengirim pesan padaku. Mau memamerkan kemesraan mereka gitu dan berharap aku iri atau marah. Rendah sekali ternyata cara bercanda si Direksi itu. Aku memggerutu dalam hati dan kemudian membanting pisau yang sedang kupegang ke lantai.
***
"Si Hendra sekarang terlihat makin bahagia Lu setelah menikah sama lu,"
"Masa?"
"Hooh," sahut Tania sambil menganggukkan kepalanya. "Apa sih resepnya bikin dia sampai bahagia begitu?" tanya Tania setengah berbisik dengan tatapan menyelidik.
"Tanya aja ke orangnya, kenapa tanya ke gue. Kan yang terlihat di mata Lu si dia bukan gue,"
"Jadi maksudnya Lu gak bahagia gitu?"
"Yaa... Gak gitu juga. Maksud gue, kalau lu tanya ke Hendranya kan lebih fair gitu,"
"Ya juga sih, tapi benerkan lu bahagia sama dia. Soalnya orang kantor ya termasuk gue heran juga sih kok lu bisa tiba-tiba nikah dengan Hendra padahal pacaran aja gak,"
Aku menelan ludah.
"Hei Yank. Ada tamu rupanya," Hendra tiba-tiba muncul di ruang tengah dan langsung mengecup keningku. Setelah itu dia duduk persis disamping sambil melingkarkan tangannya dipinggangku.
"Cuma Tania aja kok Yank," jawabku mengikuti alur kebohongan yang tengah dia ciptakan.
"Sudah lama Tan?" tanya Hendra kemudian.
"Baru setengah jam Pak. Kebetulan besokkan libur jadi sengaja mampir kesini, kangen udah lama gak ketemu Luna," jelas Tania.
"Owh ga apa lah. Sering-sering juga boleh, kasihan dia sendirian di rumah."
Satu kecupan mendarat di pipi sebelah kanan. Ah, andainya ini adalah kecupan sungguhan seorang suami yang benar-benar mencintai istrinya. Sayang, ini hanya sandiwara Hendra.
"Ehmmm... Sekarang aku tahu deh resepnya nih," celetuk Tania kemudian.
Dahi Hendra berkerut dan matanya beralih menantapku.
"Gini loh Yank... Tadi Tania tanya kenapa kamu sekarang kelihatan lebih bahagia di kantor setelah menikah. Ya, ku sarankan sih tanya ke kamu langsung dan mungkin sekarang Tania sudah ketemu jawaban dari pertanyaan dia tadi," aku menjelaskan dan lelaki itu pun menghembuskan napas lega.
Aku segera beranjak sepeninggal Tania yang berpamitan pulang. Dan, kemesraan itu pun berakhir sudah. Kami kembali kesedia kala, saling diam dan menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing. Terdengar Hendra sedang menelpon Shiren, mesra dan mungkin itu yang membuatnya bahagia saat ini. Bukan karena menikah denganku tapi karena hubungannya dengan Shiren tidak menjadi bahan gosip para karyawan di tempatnya bekerja.
****
Bersambung...
No comments:
Post a Comment