Monday, March 16, 2020

365 hari (3)

365 Hari 

Part 3


Jenuh juga rasanya hanya berdiam di dalam rumah. Awal menjadi pengangguran berbayar semua itu bukanlah masalah tetapi setelah dua bulan berjalan rasanya duniaku seperti mati. Biasanya aku sibuk dengan pekerjaan tiada henti,  sekarang baru beberapa jam saja pekerjaan rumah sudah selesai dan aku kembali dengan kekosongan rutinitas tersebut. 

"Kamu gak boleh kerja lagi," tanggapan Hendra ketika aku mengutarakan keinginan untuk kembali bekerja di kantor. 

"Tapi kalau begini terus lama-lama aku bisa gila Hendra," protesku kesal. 

"Kamu bisa melakukan hal-hal lain kan, tidak mesti bekerja. Shopping,  nonton atau ke kafe," usul Hendra. 

"Maaf,  aku bukan tipe wanita yang seperti itu"

Suasana hening, Hendra meneguk beberapakali kopi yang sudah satu jam lalu kuhidangkan untuknya. 

"Apa sih masalahnya kalau aku kembali ke kantor?" tanyaku menyelidik. 

Hendra diam,  mungkin malas menanggapi pertanyaanku. 

"Kalau permasalahannya mengenai Shiren,  tidak ada pengaruhnya kan dengan keberadaanku disana," 

"Ya memang tidak ada pengaruhnya,  begitu juga dengan permintaanmu itu. Tidak ada pengaruhnya juga denganku karena memang kita hanya pura-pura menikah,"

"Jadi,  boleh kan kalau aku bekerja lagi?" 

Hendra mengedikkan bahunya, kemudian berdiri dan meninggalkan cangkir kopi yang masih terisi setengah.

"Aku akan tanya Shiren dulu,  dia setuju atau tidak." ucapnya tegas dengan punggung membelakangiku yang masih duduk terdiam di ruang tengah. 

Shiren!  Shiren!  Shiren!  Mengapa lama-lama aku tidak suka mendengar namanya disebut. Semua hidupku seperti berada di tangan dia. Apapun keputusan wanita itu adalah yang terbaik dan harus dijalani. 

Mungkin Hendra sudah tertidur di kamarnya ketika suara mobil berhenti di halaman rumah. Aku berjalan menuju halaman dan menyempatkan  mengintip dari balik jendela ruang tamu untuk melihat siapa yang datang di saat malam telah larut seperti ini. 

Mataku memicing karena keadaan yang begitu gelap ditambah lagi aku lupa mengenakan kacamata. Beberapa kali aku pastikan wanita yang turun dari taksi itu adalah sosok yang sangat kukenal. Senyumku mengembang dan segera membuka pintu dan berhambur mendekati wanita itu. 

"Umiii... Kenapa dadakan sekali datangnya? Kok gak kasih kabar dulu, kalau Umi kasih kabar kan Mas Hendra bisa jemput," aku segera meraih tangan wanita yang melahirkan  Hendra ke dunia serta mencium punggung tangannya.

"Umi sengaja mau bikin kejutan buat kalian. Habis,  semenjak menikah kok gak pernah datang ke rumah Umi," 

"Maaf Umi.  Mas Hendra... "

"Sudah,  sudah. Umi tahu apa alasannya. Pasti sibuk, anak itu memang tidak pernah berubah, dari masih sendiri sampai punya istri kelakuannya tetap saja sama. Sibuk dengan pekerjaan," gerutu wanita paruh baya itu sedikit kesal sambil berjalan memasuki rumah. Aku mengikuti langkah wanita itu sambil menarik koper yang dibawa Umi. 

Untung Shiren tidak sedang menginap disini,  kalau saja dia berada disini mungkin bisa runyam masalahnya. 

"Kemana Hendra?" tanya Umi lagi ketika sampai di ruang tengah dan suasana sepi. 

"Mas Hendra kebetulan sudah tidur Umi. Kecapean mungkin karena beberapa hari belakangan ini selalu pulang malam," aku memberi alasan sekenanya, padahal beberapa hari bekalangan ini Hendra pulang malam bukan karena lembur tetapi menemani Shiren ke luar kota. 

Umi tidak menanggapi penjelasanku,  wanita itu memutar arah berjalan menuju kamar tamu. 

"Umi... Malam ini umi tidur diatas saja ya," pintaku sambil merangkul pundak wanita itu. Dahinya berkerut. 

"Ehm... Kebetulan Mas Hendra tidur di kamar itu Mi.  Kasian kalau dibangunkan,  soalnya dia capek banget. Itu sebabnya memilih tidur di kamar bawah,  karena malas naik tangga," sekali lagi aku berbohong. 

Beruntung Umi menuruti kata-kataku untuk beristirahat di kamar atas. Kamar tamu lain yang ada di sebelah kamarku. 

Wanita itu baru saja selesai mandi ketika aku kembali dengan secangkir teh hangat. 

"Perjalanannya sangat melelahkan,  tadi Umi pikir kalau berangkat pagi akan sampai disini selepas ashar.  Tapi, jalanan sangat macet sekali" keluhnya terduduk di pinggir kasur dengan kaki sengaja di selonjorkan. 

Aku duduk berhadapan dengan Umi dan memijit kedua kaki wanita itu pelan. 

"Hendra itu sangat beruntung sekali mendapatkan istri seperti kamu Luna.  Sudah cantik,  baik  pula," puji Umi membuatku tersipu malu. "Beruntung sekali dulu kami tidak merestui hubungannya dengan Shiren," 

Aku mengerutkan dahi. 

"Maaf kalau Umi menyebut orang di masa lalu Hendra,  bukan maksud Umi membuat kamu sakit hati atau alasan lain yang tidak mengenakan," 

Aku tersenyum,"tidak apa Umi.  Mas Hendra juga sudah bercerita banyak tentang Shiren. Jadi, saya sudah terbiasa mendengar nama itu," jelasku. "Ada baiknya Umi istirahat saja dulu,  besok baru kita lanjutkan obrolannya. Bertiga dengan Mas Hendra pasti akan lebih seru," usulku tidak ingin mendengar lebih banyak lagi nama wanita yang membuatku terjebak dalam perangkap yang menyebalkan ini. 

Aku segera keluar meninggalkan Umi sendirian. Merebahkan diri diatas tempat tidur karena kantuk yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Hendra,  pasti dia juga sudah tertidur lelap saat ini.  Biarlah besok baru kuberi tahu mengenai kedatangan Umi. 

***
Aku terbangun karena goncangan yang cukup kuat.

"Hendra," setengah berteriak menyebut nama orang yang sudah terduduk di sisi tempat tidur. 

"Kenapa kamu tidak bangun kan aku ketika Umi datang" protesnya dengan wajah sedikit kesal. 

"Umi datang malam sekali Hendra, dan kamu juga sudah lelap tertidur semalam," sangkalku membela diri.

"Ya tapi kan apa salahnya kalau kamu bangunin aku," protesnya sekali lagi. 

"Emangnya kenapa sih kalau aku gak bangunin kamu semalam? Umi pun tidak minta sama aku untuk bangunin kamu,"

Hendra memukul-mukul pelan kepalanya, "kamu tau gak Umi tadi pagi ngacak-ngacak isi lemari di kamar bawah dan dia menemukan baju-baju Shiren di dalamnya,"

Aku menatapnya heran, "ya kamu tinggal bilang aja kok itu baju aku," 

"Tapi gak masuk akal aja kan. Masa baju kamu bisa ada di lantai 1 sedangkan kamar kita kan di lantai 2" Hendra geram. 

"Ya bilang aja kalau aku juga suka simpen baju di kamar bawah karena kadang males ke atas.  Semalam aja aku bohong kok bilang kalau kamu  capek dan tidur di kamar bawah," balasku dengan nada sewot. 

"Lagian siapa yang suruh sih kamu pake acara pura-pura menikah dengan aku. Repot sendiri kan," sindirku kemudian. 

Hendra kesal,  kepalan tangannya meninju bantal. Aku sih puas bisa bikin dia kesal. Berharap dia mau mengakahiri sandiwara ini segera. 

"Berisik kamu" ucapnya dengan nada kesal dan kutanggapi santai dengan cibiran. 

Lelaki itu keluar dengan hati berselimut kesal, aku tidak peduli. Siapa suruh dia main api, sudah tahu tidak pandai merangkai kata kalau kepepet. 

Hingga di meja makan wajah Hendra masih terlihat kesal. Dia sepertinya benar-benar marah padaku. Aku bisa mengetahui itu dari raut wajahnya.  Sebelum menjadi istri kontrak aku mendampinginya di kantor dengan menjadi sekretaris lelaki itu selama setahun. 

Dia tipe lelaki yang lebih memilih untuk diam jika sedang marah. Itu hal yang paling kutakuti dulu pada saat masih menjadi sekretarisnya. 

"Teriak-teriak itu cuma bikin nambah masalah baru Lu," jelas Hendra di sela jam istirahat ketika kami sedang makan bersama. 

"Tapi dengan teriak-teriak kan setidaknya bisa mengurangi beban Pak," sanggahku. 

Dia tertawa kecil.

"Loh apa yang lucu?" protesku. 

"Gak ada yang lucu sih. Tapiii kalau menurut saya pribadi,  teriak-teriak gak jelas itu cuma bikin masalah baru. Contohnya nih,  karena kesal dengan kamu saya teriak-teriak dan bentak-bentak kamu. Apa itu gak bikin masalah baru? Ya kalau kamu gak sakit hati,  kalau sakit hati dan kirim ilmu teluh. Haha,"

"Ih si Bapak,  zaman modern gini masih aja percaya teluh," 

Hendra menghentikan tawanya, "ya gak lah... Saya kan cuma berandai-andai aja Lu. Mencontohkan sama kamu," 

"Cuma contoh kan Pak," mataku memicing ke arah lelaki itu.

"Maksudnya?" 

"Ya... Siapa tau aja Bapak pake penglaris juga biar di sayang atasan," godaku. 

"Ah sialan kamu Lu. Gak lah,  saya anti hal-hal begitu. Kalau pun karir saya naik,  itu karena faktor keberuntungan aja. Gak lebih," jelasnya lagi.

Hendra orang yang menyenangkan. Itu dulu,  sebelum Shiren masuk dan mengacak-acak keakraban kami dengan selembar  surat perjanjian nikah kontrak tersebut. Sejak itu,  lelaki menyenangkan tersebut terlihat menjadi menjijikan. Bagaimana bisa seorang lelaki hanya dengan mengatasnamakan cinta mau di perbudak oleh seorang wanita seperti Shiren. Aku tahu cinta itu rumit tapi jangan sampai merugikan oranglain hanya demi kebahagiaan sendiri. 

"Hendra itu anak yang penurut," Umi memulai pembicaraan kami siang ini. Tangannya mengambil sejumput makanan koi dan kemudian menebarkannya ke kolam. Puluhan koi berebut makanan. "Umi juga heran mengapa dia bisa terjerumus ke lembah dosa saat itu,"

Dahiku mengerut. Lembah dosa? 

"Maafkan Umi Luna kalau apa yang akan Umi katakan ini akan menyakitkan hatimu. Tapi,  sebagai istri kamu wajib tahu masa suram suamimu di masa lalu," sambung Umi lagi. 

Aku diam. Buat apa aku sakit hati,  toh aku hanya istri pura-pura Hendra kan? 

"Umi tidak akan pernah lupa nama perempuan itu.  Dia hampir membuat Hendra mati sia-sia di masa mudanya," mata Umi kosong menatap kumpulan ikan koi yang berebut makanan. 

"Umi... Kalau memang itu menyakitkan hati Umi lebih baik jangan diceritakan,"

Aku menggenggam jemari umi.

"Tak apa Luna. Umi sudah bisa tegar jika mengingat saat itu. Saat dimana kami semua dibuat tegang karena Hendra hampir saja mati sia-sia karena over dosis," 

Tanpa sadar mataku terbelalak. Hendra,  narkoba... 

"Tapi,  apa hubungannya dengan Shiren umi?" aku memberanikan diri untuk bertanya. 

"Ya itu... Pengaruh Shiren yang bikin Hendra jadi begitu. Perempuan itu lahir dari keluarga yang berantakan. Bapaknya pejabat daerah yang tertangkap karena kasus korupsi, sedangkan ibunya wanita yang di kenal tega menjual anak kandungnya sendiri hanya karena mengejar materi," jelas umi panjang lebar. 

"Anak yang dijual itu apakah Shiren Umi?"

Umi mengangguk pelan. Aku menarik napas berat. Pantas saja Shiren seperti tak punya hati, beku seperti mati rasa. Mungkin karena itu penyebabnya. 

"Mas Hendra sangat mencintai Shiren Umi," 

Umi gantian menggenggam jemariku, "Mereka berteman sejak kecil, kami bertetanggaan dengan keluarga Shiren. Wajar kalau dia sangat mencintai orang yang sudah akrab sedari kecil. Itu masa lalu,  tapi Hendra sepertinya sudah tidak bertemu lagi dengan wanita itu sejak Shiren pergi ke luar negri,"

Aku menelan ludah. Haruskah aku ceritakan sebuah kebenaran kalau Hendra berhubungan kembali dengan Shiren? 

bersambung.....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER