*TADA AISHITERU*
❤🙍♂❤
nomor 3
Ketika dalam perjalanan pulang, Renata kembali teringat akan sosok Shinji. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengannya lagi setelah hampir 10 tahun berlalu.
Sebenarnya dulu Renata pernah mencoba mencari tahu tentang pria itu setelah ia keluar dari sekolah. Tujuannya hanya satu, meminta maaf. Tapi sosoknya seolah menghilang di telan bumi. Renata gagal menemukannya.
Ah, mau tak mau ingatan perempuan itu kembali ke masa beberapa tahun yang lalu ketika ia masih duduk di bangku es-em-a kelas dua.
Waktu itu, sekolahnya kedatangan murid baru.
Dia-lah Shinji Okada.
Lahir dari seorang ayah berkebangsaan Jepang dan Ibu Tionghoa, sosok itu benar-benar mencuri perhatian banyak orang.
Kata para guru, Shinji pindah ke sini karena pekerjaan orang tuanya.
Kehadiran Shinji di sekolah seperti magnet tersendiri bagi setiap orang. Ia ibarat benda yang fresh, up-to-date, dan jadi pusat perhatian.
Maklum, ia tampan luar biasa. Tubuhnya jangkung, kulitnya bersih, senyumnya menawan, matanya bening dan memesona. Banyak siswa perempuan yang jatuh hati padanya.
Tapi, Renata tidak.
Entah, Shinji memang tampan, tapi Ia tak merasakan apapun padanya. Tertarik saja tidak.
Sampai akhirnya, Ia menerima taruhan konyol itu!
Entah setan apa yang ada di kepala Renata hingga ia tega melakukan hal bodoh semacam itu.
Ia menerima tantangan teman-teman se-genk-nya untuk bisa menjadikan Shinji sebagai pacar. Jika ia bisa melakukannya dalam waktu kurang dari sebulan, maka ia berhak mendapatkan sebuah Ipod mahal merek terkenal. Sebenarnya hadiahnya tak seberapa, tapi Renata begitu suka dengan tantangan.
Dan Shinji adalah sebuah tantangan baru baginya.
Dengan bersusah payah, akhirnya ia bisa mendekatinya. Mereka berteman, dekat, dan akhirnya Renata bisa menjadikan pria itu sebagai pacar.
Kalau tidak salah, mereka bahkan sempat berpacaran selama hampir tiga bulan.
Tapi suatu hari, entah dari mana, Shinji mengetahui tentang taruhan itu.
Dan tentu saja ia marah bukan main.
"Bagaimana mungkin kau bisa mempermainkan perasaan seseorang dengan begitu kejam? Tidakkah kau tahu bahwa aku mencintaimu dengan tulus, Ren? Kau benar-benar jahat!"
Itu adalah kata-kata terakhir yang Shinji ucapkan pada Renata sebelum akhirnya lelaki itu tak masuk sekolah selama beberapa hari.
Saat itu, Renata tak merasakan apa-apa. Ia tak bersedih, tak juga menangis. Bahkan merasa bersalah pun tidak.
Hingga akhirnya ia tahu bahwa Shinji keluar dari sekolah dan memutuskan kembali ke Jepang.
Perasaan Renata yang tadinya tumpul, akhirnya dihinggapi rasa bersalah. Ia ingin meminta maaf padanya. Tapi terlambat. Shinji terlanjur menghilang begitu saja tanpa bisa ia temukan.
Dan sekarang, tiba-tiba saja mereka bertemu lagi. Ini sungguh di luar dugaan.
Mungkinkah ini isyarat dari Tuhan bahwa ia harus meminta maaf padanya?
Menebus kesalahannya?
Mungkin.
°°°
"Mas, bagaimana dengan lowongan pekerjaan yang kumaksud kemarin?" tanya Renata ketika kakaknya sudah pulang dari luar kota dan sore itu mereka sedang duduk-duduk santai di teras rumah.
"Ini tidak akan mudah, Ren. Kau tahu 'kan mencari pekerjaan jaman sekarang sangatlah sulit. Tapi, salah satu rekanku yang punya usaha kuliner mengatakan bahwa di tempatnya masih kekurangan seorang waitress. Bagaimana? Apakah kau mau mencobanya?"
Renata mengangguk dengan yakin.
"Aku mau," jawabnya mantap.
"Seorang waitress, Ren. Tidakkah pekerjaan ini terlalu sulit bagimu?" Mas Aldi berusaha meyakinkan.
Renata tersenyum.
"Aku akan mencobanya. Di mana tempatnya? Kapan aku bisa ke sana?"
"Buatlah surat lamaran dulu. Besok aku antarkan kesana." Mas Aldi menjawab dengan ekspresi berat. Membayangkan adik kesayangannya bekerja sebagai waitress, sungguh ia tak tega. Renata terbiasa dimanja. Bahkan setelah menikah, ia juga terbiasa hidup enak, berkecukupan. Dan sekarang, ia tak tahu bagaimana perempuan itu akan menjalani kehidupannya.
Renata menggeleng. "Tidak usah, Mas. Biar aku yang ke sana sendiri. Mas Aldi kasih tahu saja di mana tempatnya," sergah Renata lagi.
Kakaknya terdiam sejenak.
"Baiklah," jawabnya kemudian.
Setelah mendapat alamat yang jelas, Renata segera bergegas ke kamarnya untuk menyiapkan berkas-berkas yang ia butuhkan besok pagi. Di tengah-tengah kesibukannya, ponselnya berbunyi. Pesan singkat bertambah di kotak masuk.
:: Bagaimana kabarmu, Sayang?::
Dari Hasan.
Renata ingin membalasnya, tapi entah kenapa ia ragu untuk menuliskan sesuatu.
::Aku sedang mencoba menyelesaikan masalahku dengan Anggi, kumohon tunggulah.::
Hasan kembali mengirimkan pesan singkat, tapi Renata tetap bergeming untuk tak membalas. Ia terus asyik merapikan beberapa berkas. Hingga sebuah pesan singkat kembali bertambah.
Renata sempat mengira bahwa pesan tersebut dari Hasan. Tapi sesaat kemudian senyum tersungging di bibirnya ketika membaca pesan tersebut. Dari Shinji.
::Dimana restoran jepang yang paling terkenal?::
Tanpa pikir panjang, Renata segera membalas pesan tersebut. Menuliskan alamat salah satu restoran Jepang favoritnya.
::Enak?::
Shinji kembali mengirimkannya pesan.
Dan Renata juga kembali membalasnya hingga mereka asyik berkirim pesan singkat.
::Mahal?::
-Tidak.
Balas Renata.
::Bagaimana kau tahu?::
-Karena aku sering makan di sana.
::Kau suka makanan jepang juga?::
-Yup.
::Apa yang kau suka?::
-Banyak.
::Mau kutraktir?::
-Kapan?
::Sekarang.::
-Thanks, but next time saja.
::Janji?::
-I'll ...
::ah, aku kelaparan sekarang. Aku akan ke sana.::
-Ok, have a nice dinner.
Renata tersenyum setelah mengirim pesan tersebut dan obrolan mereka via pesan singkat pun berhenti.
°°°
Renata sudah bertemu secara langsung dengan pemilik restoran yang dimaksud Mas Aldi. Dan dia menjanjikan dalam 2 atau 3 hari ini Renata akan mendapatkan kepastian tentang lamaran pekerjaan yang ia ajukan. Diterima atau tidak, ia sudah siap dengan kemungkinan itu.
Setelah pertemuan itu, Renata langsung merencanakan untuk pulang. Perempuan itu sedang bersiap-siap untuk menghentikan taksi ketika ia merasakan seseorang menyentuh pundaknya dengan pelan.
Sosok bertubuh mungil itu menoleh. Dan tampak olehnya, lelaki jangkung sudah berdiri di dekatnya, lengkap dengan senyumnya yang menawan.
Shinji.
"Yo (hai), kita bertemu lagi, kan?" Ia menyapa duluan.
Renata tersenyum.
"Dari mana?" Ia kembali bertanya sebelum perempuan itu sempat membuka suara.
"Dari situ," jawab Renata pendek seraya menunjuk ke arah restoran yang berada di belakang mereka.
"Dan kau sendiri?" Ia balas bertanya.
"Sama. Aku juga dari situ. Ada sedikit urusan dengan chef. Dia bilang dia ingin berkonsultasi tentang gizi pada resep baru mereka," jawab Shinji. "Kau mau pulang?" Ia kembali bertanya.
Perempuan itu mengangguk. "Dan kau?"
"Sama," jawaban Shinji membuat keduanya tertawa.
"Kau naik taksi?"
Renata kembali mengangguk. Menggamit tas di bahunya dengan kikuk.
"Mau kuantarkan?" Suara Shinji terdengar ragu.
Perempuan di hadapannya itu menggeleng cepat. "Tidak, terima kasih," jawabnya.
"Kenapa? Takut suamimu marah ya?" Shinji tetap bertanya sopan.
Renata kembali menggeleng.
"Tidak, dia tidak akan marah. Toh dia bukan tipe pencemburu. Hanya saja___" Kata-kata Renata terhenti ketika ia ingat sesuatu. "Shinji, apa kau sibuk hari ini?" Ia balik bertanya dengan tiba-tiba.
Lelaki itu menyipitkan matanya dengan indah.
"Tidak juga. Kenapa?"
"Kau sudah makan siang?" tanya Renata antusias.
"Mmm, aku sempat mencicipi beberapa resep baru di restoran tadi. Tapi jujur itu tidak cukup mengenyangkanku. Kenapa?" Pria itu menautkan kedua alis tebalnya.
"Aku ingin mentraktirmu makan siang. Ada --- ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Itupun jika kau tak ada janji. Tapi jika kau sudah punya acara, semoga lain kali kau mau menerima ajakanku," ucapan Renata terdengar malu-malu.
Shinji tersenyum kemudian melirik arloji di pergelangan tangannya.
"Jujur, sebenarnya aku sudah ada acara makan siang dengan seseorang. Tapi, aku bisa menundanya lain waktu."
"Jadi?"
Shinji mengangguk. "Oke, makan siang di mana?"
"Tak mengganggumu, kan?" Renata berusaha memastikan.
Lelaki itu kembali menggeleng.
"Aku takkan mampu menolakmu, Ren," jawabnya. "Mmm, maksudku... ajakan makan siangmu. Aku takkan mampu menolaknya." Ia meralat dengan tersipu.
Renata tersenyum. "Oke, ayo," ajaknya.
"Tidakkah kita makan di sini saja?" Shinji menyarankan seraya menunjuk ke arah restoran yang mereka datangi tadi.
Renata menggeleng. "Maaf, tapi aku punya rencana lain," jawabnya cepat.
Ia tak mau jika Shinji sampai tahu bahwa ia ke restoran tersebut untuk mencari pekerjaan. Lagipula, akan lebih menyulitkan lagi jika pemilik restoran yang merupakan teman Mas Aldi sampai melihatnya makan siang bersama lelaki lain. Ia pasti akan bercerita macam-macam pada kakaknya.
"Oke, terserah kau saja," jawab Shinji kemudian.
Akhirnya, Renata mengajak pria itu ke kafe lain, mengendarai mobil Shinji.
°°°
"Wah, aku tak tahu bahwa tak jauh dari apartemenku ada kafe senyaman ini. Makanan di sini juga lezat sekali. Oishiii," ucap Shinji senang seraya menatap Renata dengan tulus.
Perempun itu tersenyum mendengarnya.
"Kau tinggal di sekitar sini?" tanyanya kemudian.
Shinji mengangguk.
"Apartemenku berada tak jauh dari sini. Mungkin hanya butuh waktu kurang dari 20 menit untuk sampai sana. Mampirlah kapan-kapan," tawarnya. "Tapi harus dengan suamimu. Aku takut menimbulkan gosip," lanjutnya.
Renata mengangguk. Ia sempat tersenyum kecut. Membayangkan sosok suaminya, tiba-tiba hatinya kembali berderak.
Mungkin sekarang Hasan sedang bersama Anggi.
Mungkin lelaki itu sedang menemaninya, merawat kehamilannya, memperhatikannya dengan makanan-makanan bergizi, dan mungkin ia akan heboh melarangnya ini dan itu.
Renata pernah hamil, jadi ia bisa menebak, bahwa Hasan akan begitu perhatian dan over-protective.
"Oh iya, apa yang ingin kau bicarakan?" Shinji membuyarkan semua bayangan sendu di kepalanya.
Perempuan itu tak segera menjawab. Ia meletakkan sendok yang sejak tadi ia mainkan untuk mengaduk minumannya, lalu menatap lelaki di hadapannya dengan serius.
Shinji mengernyitkan dahinya, penasaran.
"Kenapa kau berubah serius begini, Ren? Kau membuatku takut," ucapnya.
Renata menghela napas sebelum membuka suara. Ia menelan ludah.
"Aku ingin minta maaf secara langsung padamu, Shinji," ucapnya kemudian dengan sedikit gugup.
"Hm?" Shinji menyipitkan matanya.
"Maaf? Untuk apa?" Ia kembali bertanya.
"Untuk perbuatan burukku padamu ketika kita masih duduk di bangku SMA."
"Maksudmu?"
"Mungkin ini sudah sangat terlambat mengingat kejadian itu sudah berlalu sangat lama. Tapi percayalah padaku bahwa aku sudah berusaha mencari cara untuk bertemu denganmu dan meminta maaf secara langsung padamu. Hanya saja, aku kehilangan jejakmu." Renata terdengar putus asa menjelaskan.
Shinji tergelak. "Sebenarnya kau ingin bicara apa?" tanyanya lagi.
Tawanya terhenti manakala menyaksikan raut muka Renata yang makin serius.
"Oke, langsung saja ke intinya, Ren. Kau ingin minta maaf untuk apa?"
"Untuk taruhan itu," jawab Renata cepat.
"Taruhan apa?"
"Taruhan konyol yang pernah kulakukan ketika kita masih SMA. Taruhan untuk menjadikanmu pacarku. Entah kau masih ingat atau tidak, tapi aku punya perbuatan buruk padamu waktu itu. Aku sadar aku jahat. Aku mempermainkan hatimu dan berpura-pura mencintaimu agar kau mau jadi pacarku demi bisa memenangkan taruhan itu. Ah, waktu itu aku benar-benar jahat sekali padamu. Aku menyesalinya, Shinji. Kuharap kau bersedia memaafkanku." Kalimat Renata terdengar begitu sungguh-sungguh.
Shinji memandangnya dengan tatapan yang nyaris tak berkedip hingga membuat perempuan itu sedikit grogi.
"Kau ingin agar aku memaafkanmu?" Lelaki itu menatapnya dengan serius.
Renata mengangguk.
"Kalau begitu, bercerailah dengan suamimu dan kembalilah padaku," ucap Shinji lagi.
Renata tercengang mendengar kalimat yang meluncur dari bibir tipis Shinji. Sepasang mata mereka beradu dan keadaan hening sesaat
Tapi sejurus kemudian, Shinji tergelak.
"Aku bercanda, Ren," ucapnya kemudian hingga membuat wajah Renata yang tadinya kaku, sedikit lebih santai.
"Well, aku memang masih ingat semuanya. Aku masih ingat bagaimana kau mempermainkanku dan membodohiku demi memenangkan taruhan konyol itu. Waktu itu aku merasa sangat marah karena aku merasa kau telah mempermainkanku. Tapi, bukankah itu sudah lama berlalu? Kita masih muda, dan melakukan kesalahan itu sesuatu yang wajar. Jadi, tak ada gunanya lagi kita terus mengingatnya karena sekarang kau sudah punya kehidupan baru yang bahagia, begitu pula denganku. Tapi, jujur saja, aku tetap senang bisa menjadi sahabatmu," jawab Shinji.
"Apa kau masih bisa menganggapku sahabat setelah apa yang kulakukan padamu?" Renata nyaris mengerang.
Shinji tersenyum mendengar pertanyaan Renata.
"Tentu saja, persahabatan kita bahkan bisa lebih baik lagi," jawabnya.
"Sungguh?"
Shinji mengangguk lembut hingga memunculkan senyum di bibir Renata.
"Terima kasih. Aku lega sekarang," ucapnya.
Shinji mengangguk. "Lupakan masa lalu. Oke?" Ia mengiyakan ucapan Renata.
"Oh iya, untuk apa kau menemui pemilik restoran tadi?" Lelaki itu mengubah topik pembicaraan secara tiba-tiba.
Renata mengernyitkan dahinya
"Restoran yang mana?" Ia berpura-pura bingung.
"Restoran yang tadi. Sebelum kau mengajakku ke sini. Aku melihatmu masuk ke ruangan pemilik restoran. Kalian teman?"
Renata terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab. "Dia teman kakakku. Dan aku menemuinya untuk mendapatkan pekerjaan." Ia jujur. Ia tak bermaksud menyembunyikannya dari Shinji. Toh tak ada bedanya ia tahu atau tidak tentang masalah yang sekarang ia hadapi.
"Pekerjaan?" Shinji menatap Renata dengan bingung.
Perempuan itu mengangguk.
"Kenapa kau harus menemuinya untuk mendapatkan pekerjaan?"
"Tentu saja aku ingin mandiri. Kita tak bisa selamanya tergantung pada orang lain, kan?" Renata berusaha bersikap antusias.
Shinji tertawa.
"Kau aneh, Ren. Kudengar suamimu seorang pengusaha kaya? Untuk apa kau repot-repot mencari pekerjaan?"
Renata tersenyum kecut.
"Akan lebih baik kalau aku hidup mandiri, kan? Hitung-hitung untuk mencari kesibukan." Hanya itu yang bisa ia ceritakan tentang rumah tangganya. "Dan, dari mana kau tahu kalau aku menikah dengan seorang pengusaha? Kau mengenalnya?"
Shinji menggeleng. "Tidak. Tapi aku pernah dengar kalau kau menikah dengan seorang pengusaha kaya," jawabnya.
"Dari siapa?" Renata bertanya penasaran.
Shinji tampak berpikir sejenak.
"Beberapa hari yang lalu aku ketemu seseorang yang mengenalmu. Dan dia bilang suamimu seorang pengusaha kaya."
"Siapa?" Renata bertanya was-was.
"Lena. Kalau tidak salah, dia dulu satu kelas denganmu ketika di es-em-a. Aku bertemu dengannya secara tak sengaja di sebuah kafe," jawab Shinji.
Renata kemudian teringat akan sesosok wajah cantik keibuan, Lena. Ya, ia dulu satu kelas dengannya. Mereka bahkan pernah duduk satu bangku. Persahabatan mereka lumayan dekat. Meski akhir-akhir ini mereka jarang berkomunikasi karena Lena juga seorang yang sibuk sekali dengan bisnisnya.
"Dan, apalagi yang ia ceritakan?" tanya Renata seraya menatap Shinji dengan penuh selidik.
"Hanya itu."
"Kau yakin? Ia tak menceritakan dengan suamiku? Diriku? Keluargaku?" Renata mencoba memastikan.
Shinji menggeleng.
"Ya, hanya itu. Kenapa? Ada sesuatu?" Ia balik bertanya dengan penuh selidik.
Renata menggeleng. Ia kembali menyeruput tehnya dengan perlahan. Ia hanya takut bahwa Lena akan menceritakan masalah rumah tangganya.
"Kapan-kapan perkenalkanlah aku dengan suamimu. Kau temanku, berarti dia juga temanku, kan? Dan tentu aku ingin menjalin hubungan yang baik dengan dia. Semoga kau tak keberatan."
Renata menyeringai kaku.
"Aku akan memperkenalkannya padamu jika ada waktu. Tapi aku tak janji karena dia sangat sibuk sekali. Selain itu ____" Kalimat Renata terhenti ketika tanpa sengaja tatapan matanya menangkap dua sosok sedang mengobrol di salah satu kursi tamu yang berjarak tak jauh darinya.
Kedua mata Renata menyipit. Dan ia sedang tak salah lihat.
Hasan dan... Anggi?
Mereka terlihat mengobrol dengan serius. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Ren?" panggil Shinji ketika ia menyadari perempuan di hadapannya tampak syok, terluka dan rapuh.
Renata tersentak. Bukannya menjawab panggilan Shinji, perempuan itu meraih dompet di tasnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian meletakkannya di depan Shinji.
"Maaf, aku tak ingin menyinggung perasaanmu. Tapi aku harus pergi sekarang juga. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan di rumah. Aku janji mentraktirmu, kan? Jadi, tolong kau bayarkan ini saja, ya?" Renata meraih tasnya dan beranjak.
"Tapi, Ren, kau mau ke mana?" panggil Shinji heran.
Renata tak menghiraukannya. Ia terus melangkah dan berniat meninggalkan tempat tersebut tanpa diketahui oleh Hasan.
Tapi, panggilan Shinji yang berulang-ulang menyebabkan Hasan menoleh hingga melihat sosok istrinya yang melenggang ke luar Rumah Makan.
Tanpa mengatakan apapun pada Anggi, lelaki itu beranjak dan berlari mengejar Renata.
"Ren!" panggilnya. Renata hanya menoleh sekilas ke arah lelaki tersebut tanpa menghentikan langkah hingga memaksa Hasan untuk menarik lengan tangannya.
"Apa kau mencariku ke sini?" tanya lelaki itu.
"Tidak, kebetulan saja aku makan di sini," jawab Renata ketus seraya menepis tangan Hasan.
"Aku datang bersama Anggi. Dia bilang, dia ingin makan sesuatu yang manis di tempat ini. Dia bilang... ngidam. Kuharap... kau mengerti." Hasan terlihat bingung untuk menjelaskan.
"Selesaikan saja urusanmu dengan perempuan itu, aku tak peduli." Renata menjawab kasar seraya melangkahkan kembali kakinya.
Namun Hasan tak menyerah. Ia kembali mengejar Renata dan terus menarik-narik tangannya hingga mereka sempat terlibat keributan kecil.
Shinji yang melihat adegan itu akhirnya bangkit dari kursinya dan menghampiri mereka.
"Apa yang kau lakukan padanya, Bung? Kau menyakiti tangannya!" Suara Shinji setengah membentak sambil menghalau tangan Hasan dari Renata. "Bersikaplah sopan pada perempuan," ucapnya lagi.
Hasan mengernyitkan dahinya, marah.
"Siapa kau? Berani-beraninya kau mencampuri urusan kami?" teriaknya.
"Aku temannya. Dan kau siapa?" Shinji ganti berteriak.
"Aku suaminya, kau tak tahu itu?"
Shinji terlihat kaget mendengar jawaban Hasan. Ia menatap ke arah Renata yang berdiri dengan pucat, seolah meminta penegasan.
Dan perempuan itu hanya mampu menggigit bibirnya gusar. Merasa tak senang dengan keributan di antara mereka.
Oishi = Enak
No comments:
Post a Comment