Sunday, March 15, 2020

Tada 04

*TADA AISHITERU*
❤🙍‍♂❤
nomor 4


Renata menatap Shinji dengan ekspresi bersalah. “Iya, dia suamiku. Maaf telah merepotkanmu. Tapi, biar aku menyelesaikan ini. Kau pulanglah,” ucapnya kemudian.

“Siapa dia?” Hasan bertanya dengan suara ketus.

Renata tak segera menjawab. 
“Dia teman es-em-a-ku. Ah, sudahlah, Mas. Selesaikan saja masalahmu dengan perempuan itu. Kita akan bahas ini lain kali. Dan, Shinji, maaf melibatkanmu dalam kesalah pahaman ini. Kau bisa pulang sekarang. Kita akan mengobrol lagi lain kali,” Renata beranjak. 

Tapi Hasan menghadang langkahnya.
“Apa maksudmu kau akan bertemu lagi dengan lelaki itu?” Ia menunjuk ke arah Shinji. “Kau sedang tak bermain curang di belakangku, kan?”

“Jaga bicaramu, Bung! Itu sama saja kau sedang menuduh istrimu melakukan sesuatu yang terlarang. Kami hanya bertemu sebagai teman.” Shinji ikut nimbrung dengan suara kesal.

Hasan menatapnya tajam. Kedua lelaki itu saling menatap dengan tak bersahabat.

“Mas, sudahlah. Jangan bicara dulu denganku. Urusi saja Anggi.” Renata berujar gusar seraya kembali melangkahkan kakinya. 

Namun lagi-lagi Hasan menarik tangannya dengan kasar. 

“Apa kau meninggalkanku demi untuk bertemu dengan lelaki lain? Huh?”

“MAS!” Renata kembali berteriak marah. Ia meronta ketika Hasan terus mencengkeram tangannya hingga keduanya kembali terlibat keributan kecil.

Shinji beranjak, menepis tangan Hasan, lalu mendorong tubuhnya dengan kasar menjauhi Renata.

“Aku tak tahu ada masalah apa di antara kalian. Tapi kau menyakiti tangannya!” teriaknya lantang.

Hasan menatap tajam. Ia bergerak, lalu ganti mendorong tubuh Shinji dengan kasar.
“Menyingkir kau bedebah! Ini bukan urusanmu!” teriaknya.

Keduanya nyaris saja terlibat baku hantam jika saja mereka tak mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah makan.

Orang-orang tampak berkerumun di meja yang tadi di tempati oleh Hasan dan Anggi.

Hasan berlari kembali ke dalam rumah makan diikuti oleh Shinji dan juga Renata karena bagaimanapun juga ia penasaran dengan apa yang terjadi. 

Dan sekian detik kemudian, mereka melihat Anggi sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Hasan pada orang-orang di sekitar mereka. 

 “Dia tiba-tiba pingsan,” jawab seorang waitress.

“Bawa dia ke Rumah Sakit, cepat!” Tanpa sadar Renata berteriak.

Jujur, ia merasa khawatir melihat Anggi jatuh pingsan dengan muka pucat pasi. Hasan menatap ke arah Renata dengan bingung.

“Bawa dia ke rumah sakit, Mas! Cepat!” teriak Renata lagi. Dan barulah Hasan berlutut lalu meraih tubuh Anggi  dan membopongnya ke mobil yang terparkir di halaman Rumah Makan. 

“Kau tak ikut bersamaku?” tanya Hasan lagi pada Renata yang berdiri dengan muka pucat. Perempuan itu menggeleng. 

“Selamatkan dia dan ... bayinya,” jawabnya parau.

Dan dengan berat hati, Hasan memasukkan tubuh Anggi ke mobilnya lalu segera menjalankan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi. Entah ke Rumah Sakit mana ia membawanya, Renata tak tahu dan tak ingin tahu.

Dadanya keburu sesak. Ia terluka menyaksikan Hasan membopong dan berusaha menyelamatkan Anggi. Hatinya sakit luar biasa.

“Ren?” panggil Shinji lirih. Ternyata sejak tadi, lelaki itu setia berdiri di sampingnya.

Renata menoleh. Ia ingin menahan agar air matanya tidak menitik, tapi gagal.

Air mata itu tetap saja mengalir deras di pipinya. Dan Shinji tertegun, bingung.

“Rena?” panggilnya lagi dengan lebih lirih dan iba. Dan tangis Renata pecah.
Shinji tak paham apa yang tengah dilalui wanita itu. Tapi secara reflek, naluri lelakinya membuatnya bergerak, merengkuh tubuhnya lalu memeluknya dengan erat. 
Berharap cara itu bisa menenangkannya.

°°°

Membawa Renata ke apertemennya, itu yang dilakukan oleh Shinji.
Selain karena jaraknya lebih dekat dari Restoran tadi, ia juga tak tahu tempat tinggal perempuan tersebut. Ia ingin menanyakan banyak hal padanya, tapi melihat kondisi Renata yang tampak syok dan tertekan, ia mengurungkan niat. 

Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Renata terus menitikkan air mata. Terkadang ia terisak. 
Dan Shinji hanya bisa membiarkanya, sesekali meliriknya dengan hati trenyuh, lalu menyodorkan tisu.

Setelah mereka sampai di tempat tinggal Shinji, lelaki jangkung itu segera membuatkannya minuman hangat, berharap agar itu bisa membuatnya lebih tenang.

“Daijubu? (Kau baik-baik saja?).” Shinji bertanya dengan ragu. Renata tak menjawab. Tatapannya kosong entah ke mana.

“Ren?” Shinji menyentuh pundak Renata dengan lembut. Perempuan itu tergagap. Ia mendongak. 

“Oh, maaf. Aku pasti melamun,” jawabnya. 

“Minumlah dulu.” Lelaki itu membantu meminumkan teh hangat tersebut dengan perlahan dan penuh perhatian.

“Terima kasih,” jawab Renata lirih.

Shinji tersenyum dengan lembut. 
“Tenangkan dirimu dulu ya,” ucapnya.

Renata tersenyum kaku. “Maaf jika kau harus menyaksikan drama murahan seperti ini,” ucapnya parau.

Shinji menatap perempuan itu dengan dalam. Banyak hal berkecamuk dalam pikirannya.
“Dia... suamimu?” Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya tentang pria tadi. 

Renata mengangguk.
“Seperti yang kau lihat, inilah kehidupanku yang sekarang. Dia Hasan, suamiku. Tapi, sebentar lagi kami akan bercerai,” jawabnya lagi seraya memainkan tisu dalam genggamannya.

Shinji terlihat kaget mendengar jawaban perempuan bertubuh mungil tersebut. 

“Bercerai?” Ia bertanya dengan bingung.

Renata kembali mengangguk.
“Perempuan yang jatuh pingsan tadi sedang mengandung anaknya. Dan tentu saja, bayi dalam kandungannya membutuhkan figur seorang ayah. Hal yang tak mungkin bagiku untuk tetap menjadi istrinya, kan?" Ia terkekeh miris.
"Jadi... aku sepakat untuk berpisah dengannya agar dia bisa menjadi ayah dan suami yang baik untuk keluarganya kelak.” Suara Renata bergetar.

“Dia berselingkuh dan mengkhianatimu?!” Shinji nyaris berteriak.

Renata menggeleng.
“Tidak, bukan seperti itu. Hasan menginginkan seorang bayi dan aku belum bisa memberikan apa yang ia inginkan. Kami sudah menikah hampir 9 tahun, tapi dokter bilang, hal yang sangat mustahil bagiku untuk bisa memberikannya keturunan karena rahimku bermasalah. Jadi... dia... ” Bibir Renata kembali bergetar.

“Meniduri wanita lain dan membuatnya hamil?” potong Shinji dengan kesal. Entah kesal pada apa dan siapa. 

“Itu bukan alasan yang tepat hingga ia harus menghamili wanita lain, kan, Ren? Tetap saja ia berselingkuh darimu. Jika ia memang benar-benar mencintaimu, harusnya ia bisa menerimamu apa adanya. Lelaki macam apa dia?” Shinji terdengar marah.

Renata menelan ludah lalu mengangkat bahunya dengan putus asa. 

“Entahlah, Shinji. Aku... aku... ” Kalimat perempuan itu tertelan kembali ke tenggorokan dan air matanya lagi-lagi berjatuhan. 

Tak butuh waktu lama, isak tangisnya pun kembali pecah.

Shinji menatapnya dengan tatapan pedih. Lelaki itu beringsut dan duduk di sampingnya. Perlahan ia memberanikan diri untuk membelai rambutnya dengan lembut lalu ia raih tubuhnya dan Ia peluk dengan erat. 

Mungkin, hanya ini yang dibutuhkan perempuan itu. 

°°°

Renata pulang ke rumah orang tuanya dengan naik taksi. Sebenarnya Shinji sudah menawarkan untuk mengantarkannnya, tapi Renata menolak dengan halus.
Ketika sampai di rumah, ia segera mengunci diri di kamar selama beberapa saat.

Pikirannya kembali tertuju pada kejadian tadi siang. Bagaimanapun juga, ia tetap tak bisa mengenyahkan Anggi dari benaknya. Perempuan hamil itu pingsan dengan wajah pucat. Dan Renata cemas.

Terdengar konyol. Tapi jujur, ia khawatir. 
Apakah Anggi tak apa-apa?
Apakah bayi Hasan juga baik-baik saja?

Resah dengan semua pertanyaan itu, Renata meraih ponsel dari tas dan baru ia tahu bahwa ada beberapa panggilan tak terjawab dari Hasan.
Rupanya lelaki itu berusaha menghubunginya. 

Dan akhirnya, Renata yang berinisiatif untuk menelpon Hasan kembali.
“Halo.”

"Halo? Ren? Oh, terima kasih karena kau mau menghubungiku. Aku berusaha menelponmu tapi sepertinya kau masih tak mau bicara denganku. Kau baik-baik saja, kan? Kau sampai di rumah dengan selamat, kan? Maaf karena tadi aku terpaksa meninggalkanmu." Hasan berujar bertubi. 

“Apa dia baik-baik saja?” tanya Renata kemudian, mengabaikan semua pertanyaan yang dilontarkan Hasan. 

"Siapa? Anggi? Dia baik-baik saja." Suara dari sana terdengar ketus. 

“Bayinya?” Renata berujar was-was. Harusnya ia doakan saya Anggi kehilangan bayinya agar Hasan kembali padanya. 
Tapi tidak, ia tak mampu sekejam itu. 

Bayi itu tidak bersalah. Dan ia tahu, Hasan sangat mendamba kehadirannya. 

"Dia juga baik. Aku sudah membawanya ke rumah sakit. Dokter bilang ia hanya kelelahan dan tertekan," jawab Hasan. 

“Syukurlah kalau dia baik-baik saja,” ucap Renata tulus.

"Tolong tunggulah aku, Ren. Aku sedang berusaha mencarikan solusi terbaik tentang Anggi dan bayinya."

“Kau harus menikahinya, Mas. Itu solusi yang terbaik.” Renata berujar tegas. 

"Itu tak mungkin, Ren. Aku tak ingin menikahi Anggi, aku tak mencintainya!" 

“Lantas, bagaimana dengan bayinya?”

"Aku hanya ingin anakku. Dan setelah itu, aku ingin kita bersama lagi." 

Renata memejamkan matanya sesaat. Hatinya sakit. "Mas, kau tak bisa melakukan ini pada Anggi." Ia nyaris menjerit. 

"Siapa lelaki itu?" Hasan mengubah topik pembicaraan.

“Lelaki yang mana?"

"Lelaki yang bersamamu tadi siang di restoran."

“Dia temanku.”

"Kau sedang tak berhubungan dengan lelaki lain, kan?" 

Renata mendesah kesal.
“Mas, dia tak ada hubungan apapun denganku dan dengan masalah keluarga kita. Jadi, jangan pernah mencoba untuk melibatkannya. Tolong, jangan buat suasana bertambah rumit. Kita akan bercerai. Aku menunggu gugatan ceraimu. Jika kau tetap tak bersedia, aku yang akan menggugat terlebih dulu. Selanjutnya, rawatlah Anggi dan bayinya dengan baik.” Renata menutup telpon.

Sesaat kemudian Hasan berusaha menghubunginya berkali-kali, tapi ia tak peduli.

Perempuan itu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan menindih kepalanya dengan bantal.

°°°

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi Renata memilih untuk bermalas-malasan di tempat tidur sampai akhirnya ponselnya berbunyi.

Menyipitkan mata, ia melihat ke arah layar. 
Shinji.

“Halo.” Ia menyapa duluan.

"Halo, Ren? Apa aku mengganggumu sekarang?" Shinji menjawab. 

“Ah, tidak. Ada apa?”

"Mmm, aku ada di depan rumahmu sekarang." Ada keraguan pada kalimatnya. 

“Eh?” Kedua bola mata Renata melebar.
Ia bangkit dari tempat tidurnya dengan buru-buru. 
“Di depan rumahku?” Ia turun dari ranjang lalu beranjak ke arah jendela lalu mengintip keluar. Dan tampak olehnya seorang lelaki berpakaian rapi tengah berdiri di dekat mobil, di depan rumahnya.

Untuk apa dia ke sini?

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER