NEED A WIFE 02
Seno melepaskan kemeja batik yang ia kenakan, lalu menaruhnya di box. Langkahnya gontai menuju ranjang, merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar. Ingatannya berjalan ke masa lalu, menatap bantal di sebelah kirinya. Biasanya, ada wanita cantik tersenyum menyambut kedatangannya. Menyentuh dada bidangnya, lalu menyusup ke pelukannya.
Indri, wanita yang mungkin malam ini tengah menikmati kisah yang indah bersama suami barunya. Pria yang dulu diam-diam selalu memberikan perhatian padanya, memberi uang hingga barang yang tak mampu dibelikan oleh Seno.
Sementara sang mantan suami, malam-malamnya selalu sepi pasca perceraian. Setiap malam dilalui dengan mengecek buku siswa dan mempersiapkan data untuk verifikasi sebagai ASN. Guna mendapatkan upah yang lebih layak.
Saat itu, gaji Seno hanya tujuh ratus ribu rupiah di sebuah sekolah negeri. Lebih beruntung dibanding rekan-rekannya, karena ada beberapa yang hanya mendapat upah bulanan di bawah lima ratus ribu.
Hanya saja, untuk seorang kepala keluarga, gaji Seno tidaklah mencukupi. Jangankan untuk menyenangkan Indri, untuk membiayai makan sehari-hari saja sudah sangat minim. Sementara dua adiknya juga bersekolah memerlukan biaya lebih.
Indri, dulu karena cinta tak peduli meski sang kekasih tak punya uang. Cinta adalah cinta, tak bisa disetarakan dengan materi. Itu saat pacaran. Sayangnya, saat memasuki bahtera rumah tangga, uang menjadi bagian terpenting. Indri sempat bekerja untuk menambal penghasilan suami, justru lama kelamaan geram karena gajinya yang lebih besar dari Seno banyak terpakai untuk membiayai ibu dan adik suaminya tersebut.
Indri berang, mulai perhitungan. Bahkan pernah suatu ketika tak ada beras, dia pun enggan mengeluarkan uang. Memilih makan di tempat kerja dan membiarkan suaminya dengan mertuanya tidak makan seharian.
Sepintas, Seno memaklumi perilaku istrinya yang mungkin tidak siap dengan keadaan ekonomi rumah tangga mereka. Namun, semakin hari Indri semakin tak peduli. Bahkan sering pulang malam, membeli barang mewah, hingga sering menerima telepon diam-diam.
"Bang," panggil adik Seno dari luar kamar.
Pria yang tengah melamun itu bangkit menuju pintu. Membuka kunci dan memandang adik perempuannya yang tersenyum ramah.
"Aku dah dapat kerjaan, Bang," ujar adiknya bahagia.
"Alhamdulillah," balas Seno sambil keluar kamar,
"Nanti... kalau sudah kerja, ada penghasilan baru kamu kuliah ya, De. Harus sabar."
"Iya, Ria juga nggak mau beratin Bang Seno terus." Gadis yang baru lulus sekolah kejuruan itu terlihat bahagia.
Seno duduk di kursi makan, menatap hidangan yang tentu berbeda sekali saat dia menikah dengan Indri dulu. Kini, ada banyak macam lauk pauk yang tersedia, sedangkan dulu... kadang telur dadar dibagi berapa potong.
"Kok, melamun terus, No," tegur Ibunya meski tak terlalu heran, mengingat Seno baru saja menghadiri undangan pernikahan mantan istrinya.
"Nggak apa, Bu." Pria itu menyendok nasi, lalu makan dengan lahap.
"Lho, emang dinikahan si Indri nggak makan, Bang?" Tanya Aditya adik laki-laki Seno.
"Enggak sempat, ngobrol aja ama temen-temen."
"Syukur nggak pingsan," ejek Ria sambil terkekeh geli.
"Mantap sih Abang sukses move-on," balas Aditya lagi.
"Kalau iya move-on harusnya dia dah bawa mantu lagi buat Ibu," sindir sang Ibu yang membuat Seno menghentikan suapan ke bibirnya.
"Seno nggak mau ada Indri Indri yang lain, Bu."
"Dulu kan karena kalian terlalu terburu-buru nikah. Belum mapan udah main nikah aja, Indri juga nggak sabar dengan proses dan ujian pernikahan," ujar Ibu Seno dengan menatap putra pertamanya.
Seno tidak menjawab, dia sibuk menghabiskan makan malam tanpa peduli tatapan dari sang Ibu.
"Intinya, kalau kamu mau nikahi anak orang, pastikan dulu kamu punya buat ngasih makan. Karena mereka dibiayai orangtuanya nggak pake cinta doank. Itu pesen buat Adit. Nah, buat Ria. Kamu sebagai istri harus sabar, ujian pernikahan kadang berupa materi. Selagi suamimu berusaha juga, bantu tidak ada salahnya. So... kalian harus pikirkan matang-matang soal pernikahan, meski rezeki setiap orang sudah diatur, tapi jangan lupakan ada yang namanya ujian dalam mencarinya. Oke," papar Seno sambil bangkit dari kursi.
"Abang besok udah ngajar di sekolah baru ya?" Tanya Ria lagi,
"Nggak bisa bareng dong berangkat kerja."
"Kamu bareng Ditya aja, nanti kalau dah ada rezeki beli motor. Nabung, sisanya Abang tambahin."
*****
Motor Nmax merah itu melesat menuju salah satu sekolah negeri favorit di Jakarta Selatan. Beberapa siswa dan siswi menoleh ke arah pria yang baru mereka lihat hari ini. Kabar tentang kedatangan guru bahasa Indonesia yang baru memang sudah santer di antara mereka. Namun, baru kali ini mereka melihat sosoknya.
"Ganteng juga, bisa semangat gue belajar bahasa," celetuk siswi yang sejak tadi mengamati Seno di parkiran.
"Iyes, tapi dia ngajar kelas tiga."
"Enggak kok, katanya kelas satu juga," balas yang lain.
Seno berjalan keluar dari parkiran khsuus guru, lalu melewati para siswi yang sedang berceloteh tadi.
"Selamat pagi, Pak," sapa para siswi kompak.
"Pagi," jawab Seno dengan senyuman.
"Alamaaaak, suaranya aja merdu banget. Senyumnya manis lagi. Duh, gue pengen pipis jadinya," teriak seorang siswi yang langsung didorong-dorong oleh rekannya.
Bukan tak mendengar, Seno hanya tersenyum tipis mendapati respon demikian. Karena itu sudah hal lumrah selama dia mengajar selalu diidolakan murid-muridnya.
Perkenalan Seno dengan beberapa guru yang sudah hadir terlihat menyenangkan. Mereka menggoda guru baru itu yang ternyata single. Bahkan langsung didoakan agar dapat jodoh dari guru single di sekolah ini juga.
"Lho, guru yang single perempuan ‘kan cuma Bu Rara dan di Tata Usaha Bu Anisah," ujar seorang guru yang berbadan subur tapi periang.
Seno hanya terkekeh dengan candaan mereka. Karena dia harus bersiap mengajar di jam pertama untuk kelas satu.
Sama, seperti biasa murid-muridnya menggoda dirinya terutama yang perempuan. Hanya ada lima laki-laki di kelas itu.
Jam berikutnya Seno mengajar kelas tiga, menggantikan guru yang tengah cuti melahirkan.
Langkahnya sedikit cepat dengan kepala ditundukkan karena banyak mata siswi yang tersenyum nakal padanya. Dengan pasti dia masuk ke kelas 3A yang terkenal cerdas siswa siswinya.
"Selamat siang," katanya ketika membuka pintu.
Seketika riuh berubah jadi bisik-bisik antar siswi. Namun lagi, Seno mencoba abai.
"Saya absen sekaligus mengenal nama kalian ya. Sebelumnya perkenalkan nama saya Seno Abhiseka, kalian bisa panggil Pak Seno."
Seorang gadis yang sedari tadi gemetaran menatap guru barunya. Kenangannya kembali saat mereka saling tatap di pelaminan kemarin. Di pernikahan teman Kakaknya.
"Selanjutnya, Dara Aulia ... Put ... ri," ujar Seno melambat.
Matanya diedarkan ke penjuru kelas. Hingga menangkap seorang gadis mengangkat tangannya dengan mata yang bulat dan menggemaskan.
"O ... ya, lanjut," ujar Seno sedikit tidak konsentrasi.
Kesialan apakah ini? Dia bertemu gadis yang dia jadikan bahan pelarian untuk membuat Indri cemburu di kelas yang dia ajar? Gawat.
Setelah mencatata absensi, Seno mulai membuka buku.
"Pembahasan kita akan meliputi surat lamaran pekerjaan, lalu unsur sastra seperti puisi dan novel di bab berikutnya. Untuk itu, saya mau tanya... sudahkah kalian memahami sistematikan dari sebuah surat lamaran?" Tanya Seno sambil berdiri di depan lalu menulis di papan putih.
Kemudian dia menjabarkan apa itu sistematika dan lain sebagaimana.
"Dalam menulis surat lamaran ada bahasanya sendiri, jangan mentang-mentang zaman milenial kita pakai bahasa gaul juga. Misal meski via online, tetap gunakan pembuka yang sopan, itu akan memberikan nilai plus pada attitude kalian, faham?" Papar Seno dengan serius.
"Pak," seorang siswi angkat tangan,
"Sekarang ‘kan banyak yang pencarian pekerja via online sosial media. Hubungi nomor WA misal, apa itu juga harus formal?" Tanya sang Siswi.
"Tentu, belakangan banyak yang asal misal mengawali dengan dialong 'P' artinya ping mungkin ya. Itu tidak sopan. Gunakan bahasa yang formal, misal: Selamat siang, saya mendapat informasi lowongan dari facebook. Saya tertarik bekerja di bidang tersbut. Sederhananya seperti itu sudah cukup sopan," jawab Seno dengan tersenyum.
"Manisnyaa...," celoteh Dara membuat teman-teman sekelasnya kompak berseru... cieeee!
Seketika Dara terkejut dan langsung merapikan posisi duduknya, sementera Seno menelan saliva dengan susah payah.
"Ada pertanyaan lagi?" Tanya Seno untuk menghilangkan riuh canda murid-muridnya.
"Pak, kita belum kenalan jauh deh. Bapak cuma memperkenalkan nama, bolehkah kita tahu lebih jauh? Misal, Bapak udah nikah belum?" Tanya seorang siswi hingga semuanya tertawa sambil berkata setuju.
Seno hanya tersenyum sambil menarik nafas panjang,
"Hal itu lama kelamaan juga akan kalian ketahui. Tidak harus mendetail, kecuali kalian mau kirim surat lamaran ke saya," canda Seno dengan seringaian yang menggemaskan.
"Surat lamaran? Fix itu jawaban berarti Bapak jomblo!" Teriak seorang siswa.
"Serbu gals," teriaknya sambil diiringi tawa rekan-rekannya.
Seno hanya menggeleng dengan senyuman, sejurus mata dia mencari tahu expresi Dara, gadis yang kemarin dia dekap pinggangnya. Ternyata gadis itu tidak tersenyum, hanya menunduk dan sambil mencoret-coret kertas.
Bel tanda istirahat berdering. Seno menutup pelajaran dan berpamitan, diikuti berhamburannya para murid menuju kantin.
Hanya Dara yang masih di kelas, dengan gugup dia menulis di secarik kertas.
_[Ketemu lagi, masih ingat iga bakar?]_
Tulisnya dengan gemetar, tapi terlihat senyuman dan rona merah di wajah. Dengan cepat dia berlari di koridor, menuju ruang guru. Terlihat Seno tengah duduk sambil mendengarkan Pak Santoso berbicara padanya. Sesekali dia mengangkat wajah menatap lawan bicaranya, lalu tersenyum manis.
"Kamu lagi apa, Dara?" Tanya seseorang dari belakang Dara.
Seketika gadis itu terkejut dan menoleh ke arah belakang. Menatap wanita muda yang dikenal sebagai guru matematika.
"Nggak, Bu. Lagi mikir mau ke kantin apa ke koperasi dulu," jawab Dara dengan senyuman.
"Oh, bantu Ibu bawa ini ke ruang guru bisa?" Tanya sang Guru dengan senyuman anggun.
Dara mengangguk cepat, mengambil tumpukan buku paket dari tangan wanita berjilbab itu lalu masuk ke ruang guru bersamaan.
"Nah, ini dia Bu Rara. Kenalkan nih, sesama single juga. Guru baru kita, Pak Seno," ujar Pak Santoso membuat Bu Rara yang datang bersama Dara tersipu.
Sementara Dara menekuk bibirnya ke bawah, menaruh tumpukan buku paket sedikit kasar. Terlebih saat Seno bersalaman dengan Bu Rara yang memang manis dan dikenal sebagai idola siswa dari kelas IT yang kebanyakan kaum lelaki.
"Memangnya Bu Rara single? Kok say anggak percaya ya?" Tanya Seno sambil meraih buku dari yang dibawa Dara.
"Bahasan apa sih ini? Oh ya, memang Pak Seno dulu ngajar di mana?" jawab Bu Rara dengan pertanyaan juga.
Para guru itu asik bersenda gurau sambil menikmati bekal makan siang mereka, membiarkan Dara keluar dengan terpaksa. Meremas kertas yang sedari tadi dia genggam erat. Kemudian dia remas-remas dan membuangnya ke tempat sampah. Berjalan dengan kesal meninggalkan ruang guru.
Seno menatap kepergian Dara dengan sejurus mata, karena pandangannya lebih tertuju pada guru matematika yang baru dia kenal tersebut.
Rara, rekan guru yang sejak tadi dipromosikan oleh teman-temannya itu memang memiliki karakter yang diidamkan Seno pasca bercerai dengan Indri. Selain manis, tentu memakai kerudung adalah poin plusnya. Tampak terjaga dan sopan, terlebih guru matematikan yang pasti dikenal cerdas.
Senyum Seno pun selalu terukir tatkala mengobrol banyak hal di tempat kerja barunya. Meski di kantin, seorang gadis yang pernah dia manfaatkan untuk membuat Indri cemburu tengah kecewa dan berduka.
*****
Indri sang pengantin baru tersenyum menatap Andre, suami barunya. Hubungan mereka selama ini begitu indah sebagai sepasanga kekasih. Apalagi sudah selayaknya suami istri. Semua keinginan Indri dibelikan, asal harus memuaskan duda tersebut.
"Bangun, Mas. Udah siang," goda Indri dengan manja dan menggoda selayaknya pengantin baru yang bahagia.
"Anak-anak udah dibangunin? Kamu harusnya bangunin mereka dan antar ke sekolahnya," ujar Andre dengan nada tegas.
"Sama ART aja sih kaya biasa," tolak Indri manja.
"Kamu sekarang Ibu mereka!"
"Kok teriak sih, Mas? Kan bisa bilang baik-baik." Indri heran melihat perubahan drastis karakter Andre yang tak sama dengan saat pacaran.
"Kesel! Semalam kok ga ada enak-enaknya kaya dulu. Hambar!" Pria itu bergegas ke kamar mandi.
"Masa sih, Mas. Kayanya tetep seru kaya dulu," celoteh Indri berdiri di depan kamar mandi.
"Mandiin aja anak-anak!" perintah pria yang dulu jadi atasan Indri tersebut.
Terpaksa wanita itu memasuki kamar anak-anak tirinya. Meminta mereka bangun. Vivi anak Andre kelas 12 SMA, sedangkan Arka kelas 10. Mereka sudah remaja. Tak pantas pula diantar ke sekolah.
Selepas membangunkan kedua anaknya, Indri berjalan kembali ke kamar mewah yang dulu tak dimilikinya bersama Seno.
Bedanya, meski kamar Seno sumpek dan kecil, hampir tak pernah ada bentakan meski ia salah sekalipun. Sedangkan sekarang, baru sehari menikah... suaminya sudah membentak bahkan membahas hubungan ranjang yang tak senikmat saat pacaran.
Indri menarik nafas dalam dan panjang. Mengingat kembali kesehariannya dengan Seno yang hampir tak pernah seperti istri kebanyakan. Bisa santai memegang ponsel sementara ibu mertuanya sibuk jualan dan adik iparnya memasak.
Kini, semua terasa aneh dan tak sesuai harapannya. Padahal hubungan dengan Andre ini sudah terjalin sejak masih berstatus istri Seno.
"Aku kangen kamu, No," gumamnya menatap punggung Andre yang sedang memakai pakaian.
Bersambung
No comments:
Post a Comment