Wednesday, October 14, 2020

Bagai Rembulan 36

BAGAI REMBULAN 36
By: Tien Kumalasari

Tomy panik melihat keadaan Lusi.

“Suster... suster...!” teriaknya.

Perawat segera memanggil dokter.

Tomy keluar, tak tahan melihat keadaan Lusi yang tampak parah. Ia duduk termangu di kursi tunggu, memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

“Ia sangat menderita, apakah itu ganjaran untuk kelakuannya selama ini?” Bisiknya.

“Ya Tuhan, selama ini aku selalu membantunya. Ampun Tuhan, Hamba bertobat, sungguh hamba akan melakukan hal-hal baik,” lanjutnya sambil masih memegangi kepalanya.

“Bahwa sebuah kesadaran kemudian muncul, haruslah kita bersyukur, karena kesadaran itu akan menuntun kita ke jalan yang benar.”

Sebuah bisikan seperti menggelitik telinganya, datang entah darimana, lalu Tomy merayapi hari-hari yang dilaluinya, penuh dosa, menyakiti orang demi uang, melakukan hal terkutuk demi uang. Lalu menitiklah air matanya. Hanya karena melihat penderitaan Bu Lusi, ia bisa merayapi hari-harinya yang hitam. Lalu sebuah janji dibisikkannya :  *'Akan aku tinggalkan masa laluku dengan melakukan hal-hal baik.'*

Tomy mendongakkan kepalanya ketika ruang dimana Lusi dirawat itu terbuka. Ia berdiri dan memburu perawat yang keluar dari sana.

“Bagaimana keadaannya?”

“Sudah lebih baik. BIarkan dia istirahat,” kata perawat itu dan berlalu.

Tomy memasuki kamar itu perlahan, menatap tubuh kecil kurus tergolek tanpa daya. Wajah yang cantik dan sudah tercoreng oleh luka, seperti  seseorang yang tidak berperilaku baik dan mencoreng kehidupannya dengan hal-hal buruk. Ya dirinya ini salah satunya. Tomy menghela nafas, hal sekilas yang membuat dia menyadari hari-hari buruk yang dilaluinya, terus menghantuinya sampai ia merebahkan tubuhnya ketika sampai di rumah.

Ketika ia hampir memejamkan matanya, didengarnya ponselnya berdering. Nomor rumah? Siapa lagi?

'Hallo...'

_'Tomy, ini kamu?'_ suara dari seberang.

'Anjas?'

_'Iya ini aku.'_

'Ada apa?'

_'Tolong temui aku, ada yang ingin aku bicarakan.'_

'Maaf Anjas, aku tidak bisa.'

_'Apa maksudmu Tomy?'_

'Mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku.'

_'Apa?'_

Tomy menutup ponselnya.

“Maaf Anjas, aku tiba-tiba merasa lelah berurusan denganmu, aku ingin hidup bersih, dan meninggalkan dunia lamaku yang kotor dan penuh dosa,” gumamnya lalu memejamkan matanya, mengendapkan rasa yang membuatnya bergolak, sejak dia bertemu dengan Mbah Darmo, tanpa malu mengatakan ingin meminjam uang, lalu ternyata ditolak. Itu memalukan dan sekaligus menyakitkan. Walau bukan untuk dirinya uang itu, tapi dia yang mengucapkannya, dia yang merasakan sakit dan kecewanya. Aduhai, mengapa dia bisa melakukannya? Banyak hal yang tidak dimengertinya tentang keluarga Lusi. Ia hanya ditaburi uang lalu rela bersusah payah, menghajar orang, melakukan hal-hal keji lainnya, lalu begitu menyenangkan saat bermabuk-mabukan. Tidak, Tomy menemukan sesuatu yang tiba-tiba membuatnya sadar, bahwa Lusi telah membawanya ke jurang yang gelap dan kotor. Bahkan ia tidak tahu, Susan bukan anak kandungnya? Dan orang dimana ia ingin meminjam uang ternyata Kakeknya Susan?

Tomy menelungkupkan tubuhnya, berharap bayang-bayang yang mengganggunya segera sirna.

***

Hari sudah malam ketika Susan dan  Naya keluar dari Boyolali. Ada rasa bahagia bisa bertemu keluarga Ibunya. Ada rasa bahagia mengetahui bahwa Bapaknya adalah orang baik yang suka berbagi. Alangkah mulia.

“Bapakku orang baik, aku ingin menirunya.”

“Tentang apa?”

“Tentang berbagi, dan suka menolong orang, alangkah bahagianya kalau bisa melakukan itu.”

“Aku senang, banyak yang kita dapat dalam perjalanan ini. Menemukan keluarga Ibumu, mendapatkan cerita baik yang bagus untuk diteladani.”

“Aku bangga menjadi anak Kuncoro dan Sumini. Bukan anak Lusi...”

Tiba-tiba Susan teringat bahwa Lusi ada di rumah sakit kembali karena sakitnya parah. Ada rasa nyeri ketika menyadari bahwa ada ikatan diantara mereka. Lusi dan dirinya. Bertahun-tahun satu rumah, dan tulus atau tidak tulus bagi Lusi, ikatan itu ada, dan sangat membekas dihati Susan.

“Aku ingin menjual rumah itu.”

“Rumah kamu?”

“Rumah peninggalan Bapak.”

“Kok tiba-tiba?”

Aku ingin mempergunakan uang itu untuk membayar utang Mama Lusi.”

Naya tercengang, didalam kebencian dihati Susan, masih ada rasa sayang.

“Gadis ini luar biasa, dan membuat aku semakin cinta,” gumam Naya lirih.

“Apa Nay?”

“Tidak, lupakan saja.”

“Iih... jelek deh...”

“Biarin jelek, ada yang suka...”

“Emang siapa yang suka?”

“Kamu... Hayo ngaku...”

Susan mencubit lengan Naya.

“Aku akan segera melamar kamu,” kata Naya tiba-tiba.

“Kamu serius, setelah tahu aku ini siapa?”

“Ya tahulah, kamu Susanti, anaknya Pak Kuncoro dan Sumini, cucunya Mbah Darmo, keponakannya Pakde Sentot...”

“Hm... aku bahagia mendengarnya. Benar-benar kebahagiaan aku lengkap hari ini. Ketemu sanak saudara, ketemu makam Bapak Ibuku, trussss... ada yang mau ngelamar pula. Tapi Nay, aku lebih tua dari kamu lho.”

“Biarin, karena kamu lebih tua, aku bisa sering-sering bermanja sama kamu.”

“Iiih...maunya...”

Dan bahagia itu terus mewarnai sepanjang perjalanan mereka,  sampai mereka tiba di rumah masing-masing.

***

“Susan...” kata Indra ketika Susan menyerahkan lembaran surat yang selesai dibuatnya.

“Ya Pak.”

“Aku dengar kamu mau menjual rumah kamu?”

Susan terkejut, rupanya Naya sudah mengatakan semuanya kepada Bapaknya.

“Benarkah?” Indra mengulang pertanyaannya.

“Itu Pak... maksud saya... untuk membayar utangnya Mama. Saya sedih memikirkannya. Dan saya merasa tak tega membiarkannya.”

“Kamu anak baik. Aku suka.”

“Terimakasih Pak Indra.”

“Berapa kamu mau menjualnya?”

“Ya seharga hutang Mama saja Pak, itu yang penting.”

“Kalau rumah kamu jual, kamu mau tinggal dimana?”

“Saya hanya selembar nyawa, bisa tinggal dimana saja. Ada banyak tempat kost yang bisa saya tumpangi.”

“Susan, rumah kamu biar aku yang beli.”

“Bapak?”

“Iya, katakan nominalnya, besok akan aku bayar.”

“Tapi... aduh, apakah saya merepotkan?”

“Tidak, siapa bilang. Naya mau menikah, rumah itu akan aku hadiahkan kepada Naya untuk hadiah pernikahan.”

Susan kembali menitikkan air mata.

“Ada niat baik, dan ada yang mendukung, ini adalah jalan dari Allah agar aku bisa melakukan kebaikan, seperti Bapakku meneladani aku agar selalu bisa berbagi,” kata batin Susan.

“Susan, aku serius. Kalau kalian menikah, kalian bisa menempati rumah itu.”

“Terimakasih Pak Indra, terlalu banyak yang Bapak lakukan untuk saya. Apa yang harus saya lakukan untuk membalasnya?”

“Teruslah melakukan kebaikan, itu sebuah langkah yang mulia.”

Susan menghampiri Pak Indra dan berlutut didepannya.

“Terimakasih Pak Indra,” bisiknya terisak.

“Apa yang kamu lakukan Susan, berdirilah.”

“Terimakasih Pak.”

Dan air mata itu masih terus berderai.

***

Susan memasuki ruang rawat Mama Lusi. Perempuan itu tergolek lemah, dengan banyak selang terhubung ke tubuhnya. Susan merasa ada nyeri menggigit di ulu hatinya.

“Mama...” Bisiknya pelan.

Lusi membuka matanya. Mata itu seperti tak bersinar. Seperti lentera kehabisan minyak, menatap Susan tak berkedip.

“Kamu...” Bisiknya perlahan, yang terdengar seperti sebuah desis yang keluar dari bibirnya yang mengering. 

Alangkah jauh bedanya dengan beberapa waktu lalu, ketika harta masih bergelimang dalam kehidupan Mamanya. Ketika dari tangannya terlalu gampang uang terhambur. Sekarang dia tergolek tak berdaya, disebuah ruangan sederhana, dengan beberapa deret pasian dikiri kanannya. Diluar malah ada polisi berjaga-jaga. Maklumlah, Lusi adalah pesakitan yang benar-benar sakit.

“Mama...”

“Kamu...memanggilku Mama? Bukankah... aku... bukan Mamamu? Kamu... datang... ingin... mengumpat aku... atas semua kebohongan...dan...”

“Tidak Mama, Mama tetaplah Mama. Aku prihatin melihat keadaan Mama.”

“Aku tahu kamu mengejek aku... tapi aku memang salah.”

“Tidak Mama, pertama... aku tulus ingin ketemu Mama. Dan yang kedua, aku ingin mengatakan kepada Mama, bahwa aku sudah membayar semua hutang Mama kepada Tante Triani.”

Mata yang lemah dan hampir terkatub itu tiba-tiba seperti mendapatkan sinar terang, menatap Susan tak percaya.

“Itu benar. Aku menjual rumah itu, lalu aku bayarkan utang Mama pada Tante Triani.”

“Lalu... kamu...”

“Jangan memikirkan aku... sekarang Mama harus tenang dan cepat sembuh ya.”

“Susan...”

Tangan yang tinggal kulit dan tulang itu bergerak lemah, ingin menyentuh Susan. Susan menangkap tangan itu. Lalu tangan itu menyentuh wajah Susan perlahan. Ada air mata berderai disana.

“Susan, maafkan Mama...”

“Lupakanlah Mama, Susan sudah memaafkannya.”

“Kalau kamu butuh rumah, ada rumah kecil Mama di Surabaya yang...”

“Tidak Mama, biar rumah itu untuk Mama dan Anjas, Mama jangan memikirkan Susan lagi.”

“Hidup Mama... tak akan lama...”

“Jangan begitu Ma, Mama harus semangat, Susan akan menikah tak lama lagi.”

“Kamu anak baik, Mama doakan, kalau Tuhan masih mau mendengar doaku, agar kamu bahagia.”

Lalu mata itu meredup, dan terpejam, sedangkan tangan kering itu terkulai.

“Mama....” Susan terisak.

Ada peluit panjang terdengar dari monitor denyut jantung... pertanda tak ada lagi kehidupan didalam raga yang tergolek kaku. Peluit itu terasa bagai mengiris jantung Susan. Ia tak perlu bertanya kepada dokter atau perawat. Sebuah pertanda bahwa kehidupan telah berakhir telah ditangkapnya. Air matanya berderai, bagaimanapun ada ikatan yang membuat Susan merasa benar-benar kehilangan.

“Selamat jalan Mama, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa Mama,” isak Susan.

***

Duka cita itu masih menyelimuti perasaan Susan. Bagai mimpi dia merasakan bahwa Mama Lusinya telah tak ada. Memasuki rumah yang ditinggalkannya, tiba-tiba Susan merasa rindu suara keras Mamanya. Rumah yang tiba-tiba terasa sepi, oleh rasa kehilangan. Tapi sekarang Susan sudah memaafkannya, dan Susan membiarkan Mama Lusi tenang disana.

Tapi sudahlah, semua harus berakhir, ada kehidupan baru yang menantinya, ketika hari itu keluarga Indra telah melamarnya ke desa asal Ibunya.

***

Pernikahan digelar dengan sangat meriah. Kedua mempelai yang dandan ala pangeran dan putri raja, duduk dipelaminan dengan rona bahagia.

Liando yang menyalami Naya berbisik pelan.

“Gila, kenapa kamu mendahului aku sih, sudah nggak tahan ya?”

“Kelamaan nungguin kamu bro, keburu lumutan,” balas Naya dan keduanya tertawa keras. Indra dan Seruni memelototi Naya yang tertawa seenaknya.

Bahagia itu sederhana? Benar, ketika bahagia itu tiba. Tapi liku-liku jalan yang harus dilalui tidak sesederhana itu. Membiarkan hanyut dalam hari-hari yang menggilas, terkadang menyandung bebatuan, terkadang jatuh dan membiarkan luka dan terkadang darah harus menetes,  sampai kemudian berlabuh disuatu muara yang bernama bahagia..

***

Naya dan Susan tinggal di rumah barunya, hadiah dari Indra. Susan bersyukur, ia berhasil mengentaskan Mama Lusi dari jeratan hutang, tapi mendapatkan lagi rumah itu, berikut suami yang dicintai dan mencintainya.

Malam ketika sebelum tidur, Naya mengajak istrinya membuka hadiah-hadiah yang diberikan untuk mereka. Terkadang mereka tertawa geli karena ada yang menghadiahkan barang-barang aneh dan lucu.

“Gila, masa hadiah kondom? Nggak mau ah, aku ingin segera punya anak,” teriak Naya sambil terkekeh.

Tapi ketika membuka sebuah kotak, Susan terkejut. Kotak berbalut beludru merah itu, mirip kotak yang ditemukannya bersama Naya di almari tua milik Neneknya. Hanya balutan beludru itu tidak kusam karena masih baru dan tampak berkilat. Susan membukanya perlahan, sedangkan Naya menunggui disampingnya.

“Apa ya isinya, dan dari siapa ini?” kata Susan sambil berusaha membukanya.

“Ya Tuhan.. Sesembahanku...” pekik Susan.

“Ini satu setel perhiasan dengan permata cantik, persis yang dipakai Ibu Sumini,” Susan mendekapnya dengan berlinang air mata.

“Naya, ini dari kamu kan?”             

“Untuk istriku, Susanti binti Kuncoro”

Itu tulisan yang ada didalam kotak, setelah perhiasan-perhiasan itu diambilnya satu persatu.

“Nayaka, aku cinta kamu,” bisik Susan sambil merangkul suaminya. Ia belum sempat membuat perhiasan tiruan itu, tapi diam-diam Naya membuatkannya, Ini kejutan yang kesekian kali setelah Indra menghadiahkan rumah untuk mereka.

Lalu dikenakannya perhiasan itu oleh Naya kepada istrinya. Naya mundur beberapa langkah dan menatap Susan. Aku melihat Ibu Sumini...” bisiknya sambil tersenyum mesra.

***

Ketika Yayi dan Dayu diwisuda, Naya menghadiri bersama Susan yang perutnya sudah gendut karena mengandung sudah 9 bulan.

Ketika Dayu dan Yayi menikah, Susan sudah menggendong bayi berumur dua bulan. Oh ya, atas permintaan Bu Diana, dua pengantin  dinikahkan dalam satu hari. Indra dan Tikno setuju, karena kalau tidak mereka bisa punya hajatan beberapa kali dalam sebulan.

Liando dan Dayu, serta Adit dan Yayi.

“Mereka adalah sahabat-sahabat aku, dan sudah saatnya kami menikahkan anak-anak kami, sehingga aku ingin membuat pesta meriah atas dua mempelai itu,” kata Bu Diana kepada kerabatnya yang ikut meramaikan hajatan itu.

“Aku terima nikahnya Yayi Dewi binti Indra Pramana, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai,” lantang dan begitu bersemangat ketika Aditama mengucapkan akad nikah.

Lalu teriakan SAH.. menggema.

“Aku terima nikahnya Anandayu binti Sutikno, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai. “ gempita hati Liando terucap dalam nada tinggi yang tak kalah semangat, memenuhi ruangan yang semarak oleh suka cita. 

“Sah!!”

Dan beberapa saat kemudian, Seruni, Surti dan Bu Diana menitikkan air mata bahagia.

Sebuah perjalanan sudah sampai diujungnya. Dan sebuah ujung adalah harapan yang semoga akan membawa bahagia bagi semuanya.

Jangan menyesali masa lalu sepahit apapun, karena buah manis akan datang saat musim yang ditunggu telah tiba.

Kurengkuh segenap cinta
dari kelopak bunga-bunga
Kudekap segenap doa
Yang terucap tanpa aksara
Bukankah diujung malam selalu hadir kejora?
Aduhai, alangkah indah hidup ini.

***

Seorang anak kecil berlari-lari dihalaman.

“Ibu.. ibu...”

“Ada apa sayang..” tanya Ibunya.

“Minta uang Ibu...”

“Uang? Aduuh... mana bisa anak kecil minta uang... untuk apa Nak?”

“Ada Bapak pengemis disana...”

“Oh, anakku, bagus Nak... kamu harus selalu punya kasih sayang kepada sesama. Ayuk, kita beri uang pengemis itu.”

Langkah-langkah kecil itu setengah berlari mengikuti langkah Ibunya menuju kearah pagar. Seorang lelaki dengan pakaian lusuh berdiri disana, badannya agak terbungkuk, kerena ada cedera dipunggungnya.

“Mana uangnya Ibu...”

Si kecil mengulurkan uang, tapi sang Ibu terkejut menatap laki-laki itu.

“Anjas!!”

“Susan, aku hanya ingin melihat rumahmu, aku bukan pengemis.”

“Ya Tuhan, Anjas... mengapa kamu bisa seperti ini? “

“Aku telah menebus semuanya San, maafkan aku dan Mama ya.”

“Masuklah Njas, masuklah, ada baju-baju kamu didalam yang masih aku simpan. Mandi dan berganti pakaian agar kamu tidak dikira pengemis.”

“Maaf Susan, aku telah berbuat banyak salah sama kamu.”

“Tidak Njas, semua sudah berlalu, ayo masuklah.”

“Tidak, aku mau pulang ke Surabaya.”

“Sekarang?”

“Ya.”

“Masuklah dulu, mandi lalu bawalah pakaian-pakaian kamu.”

“Siapa dia?” tanya si kecil yang bernama Bulan.

“Itu, Om Anjas, saudaranya Ibu.”

“Itu anak kamu?”

“Iya Njas, Ayo, beri salam kepada Om Anjas.”

“Nggak mau, tangannya kotor.”

“Bulan, beri salam, anak baik harus nurut sama Ibu.”

Bulan, mengulurkan tangannya.

“Namaku Bulan,” bisiknya lalu berlari kedalam.

“Ayo masuklah, kamu butuh mandi, setelah itu kamu boleh pergi.”

Tak urung Anjas menurut. Ketika pergi Susan membawakan kopor berisi baju-baju Anjas dan membekalinya sejumlah uang.

“Pergunakan uang ini untuk modal supaya hidup kamu berlanjut. Kabari kalau masih kurang.”

Anjas menitikkan air mata. Ketika derita disandangnya, baru terasa betapa besar dosanya.

“Melangkahlah dengan baik, agar hidup kamu tenteram.”

“Maafkan aku, dan terimakasih semua perilaku buruk aku, kamu balas dengan kebaikan yang tiada taranya.”

Susan memeluk Anjas erat sekali, dan tak urung air mata itu kembali menetes. Tapi Susan berharap yang pahit segera berlalu, yang gelap menjadi terang, seterang rembulan kala malam.

T A M A T

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER