Tuesday, October 13, 2020

Bagai Rembulan 35

BAGAI REMBULAN 35 
By: Tien Kumalasari

Susan dan Naya masih berada didalam mobil, ketika salah seorang lelaki mendekat. Susan mengenalinya, dan hatinya berdebar. Salah satu laki-laki itu adalah Tomy, temannya Anjas. Dan tiba-tiba Susan menjadi cemas. Kalau terjadi bentrokan, mereka bertiga dan Naya hanya seorang diri, pasti Naya tak akan bisa bertahan. Diam-diam Susan menyesali dirinya mengapa dulu tak jadi kursus bela diri. Neneknya melarang, karena khawatir dirinya cedera. Ya ampun, kalau saja dia bisa menguasai ilmu bela diri itu, pasti akan bisa membantu Naya melawan mereka. Sekarang Susan dan Naya hanya duduk menunggu, entah apa yang akan dilakukan mereka.

“Kamu mengenalnya?” tanya Naya.

“Itu Tomy, teman Anjas. Orang paling ugal-ugalan diantara kawan lainnya. Mau apa dia kemari? Apa memang mengikuti kita?”

“Mengapa mengikuti kita?”

“Dia kan teman Anjas, bisa jadi mendapat perintah untuk menghabisi aku karena rahasia Mamanya sudah terbongkar.”

“Waduh, gawat kalau begitu, aku mau bicara dulu,” kata Naya yang bersiap turun dari mobil.

“Jangan Nay, mereka bertiga.”

“Kan belum tentu mereka akan  mengajak bertarung..”

“Tidak, aku tahu siapa mereka, lebih baik jangan turun, atau kita langsung pergi saja.”

Tapi sebelum Naya menstarter mobilnya, orang yang bernama Tomy mengetuk kaca mobil, persis disamping Susan. Susan terpaksa membukanya karena kalau tidak pasti dia akan menggedor lebih keras.

Begitu kaca dibuka, Tomy baru mengenali Susan.

“Mbak Susan?” tanyanya heran.

“Mau apa kamu kemari? Mengikuti aku? Atau ada perintah dari majikan kamu yang sok pintar itu?” tanya Susan agak ketus.

“Tidak, saya tidak tahu kalau ini Mbak Susan.”

“Lalu mengapa kemari?”

“Disuruh Bu Lusi mencari rumah Pak Darmo didusun Mojolegi.”

“Disuruh Bu Lusi? Siapa Pak Darmo?”

“Namanya Pak Darmo, kata Bu Lusi masih kerabat.”

Dan tiba-tiba Susan merasa curiga, jangan-jangan Lusi mengetahui tentang Ibunya dan asal-usulnya.

“Ooh, ya... aku ingat. Kamu tahu siapa Pak Darmo ?” kata Susan pura-pura mengenalnya.

“Tidak, kata Bu Lusi itu kerabatnya.”

“Disuruh apa kamu menemui Pak Darmo?”

Mmm... minta supaya tanah yang diserahkan ke Pak Darmo agar dijual atau digadaikan, Bu Lusi mau pinjam untuk membayar hutang. Mobil ini juga mau dijual untuk membayar hutang. Kalau tidak maka Bu Lusi dan Mas Anjas akan lebih lama dipenjara.”

“Kamu tahu dimana rumah pak Darmo?”

“Justru tadi saya turun, tanpa tahu bahwa didalam ada Mbak Susan, mau bertanya tentang alamat ini.”

“Coba lihat, barangkali aku tahu.”

Tomy menyerahkan selembar kertas. Bertuliskan, pak Darmo, Jeron Mojolegi. Berdebar hati Susan, sekaligus geram pada Mama Lusi ketika mendengar bahwa dia bermaksud meminjam uang untuk membayar hutang. Siapa Pak Darmo? Jangan-jangan ada hubungannya dengan Ibunya, atau malah Bapaknya?

“Naya, ayo kita bersama Tomy mencari rumah Pak Darmo,” kata Susan sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Mbak Susan tahu alamat ini?”

“Tahulah, ayo kita kesana bersama, bukankah ini untuk kepentingan Mama Lusi?” Jawab Susan asal-asalan.

Naya memutar kembali mobilnya.

“Kemana?”

“Kamu tidak curiga? Mama Lusi mencari orang didaerah ini untuk meminjam uang? Jangan-jangan dia mengetahui banyak tentang Ibuku dan keluarganya. Dan sekarang mau meminjam tanah agar dijual atau digadaikan? Gila tidak? Memangnya itu punya siapa? Jangan-jangan yang namanya Pak Darmo itu justru Kakek aku.”

“Kamu tahu rumahnya?”

“Desanya Jeron, daerah Mojolegi, ayo terus, aku sepertinya tadi membaca nama desa itu.”

Naya terus menjalankan mobilnya, sedangkan mobil Tomy mengikutinya dari belakang.

“Ini sebuah kebetulan yang sangat luar biasa. Dengan tanpa sadar ada yang menuntunku ke arah tempat yang aku tuju.”

“Mudah-mudahan.”

“Kok bisa, ternyata Mama Lusi tahu juga keluarganya Ibu ya.”

“Ya mungkin saja, atau pernah bertemu, atau pernah kemari, dan ketika itu kamu masih bayi..”

“Kelihatannya jalan yang didepan itu memasuki desa Jeron.. tadi aku membaca tulisan disitu..”

Naya membelokkan mobilnya ke arah yang ditunjuk Susan. Ada deretan rumah-rumah dusun yang sederhana, tapi Susan tidak tahu, manakah rumah Darmo? Ketika melihat seorang perempuan menggendong anak kecil, Susan minta agar Naya menghentikan mobilnya.

Susan turun dan mendekati perempuan itu.

“Ibu, bolehkah saya bertanya?” tanyanya sopan. 

Perempuan itu mengamati Susan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Belum pernah dilihatnya wanita secantik ini, dengan dandanan seapik ini.

“Ibu...”

“Ya.. ya..” jawab perempuan itu gugup.

“Dimanakah rumah Pak Darmo ya bu?”

“Pak Darmo? Darmowiyana?”

“Ya,” jawab Susan asal. Kan dia tidak tahu kepanjangan nama Darmo itu.

“Itu Nak, diujung... sebelum pengkolan, rumahnya besar, latarnya luas..”

“Oh... kiri jalan bu?”

“Ya... ya... kiri jalan. Anak ini kerabatnya dari kota?”

“Mm... iya bu,” jawab Susan asal. 

Seperti tadi, dia tidak tahu Darmo itu siapa. Susan hanya meraba-raba.

“Oh, cantiknya... ya Nak, sebelah sana..”

“Terimakasih bu..” kata Susan sambil kembali naik ke mobil.

“Terus, sebelum pengkolan kiri jalan, pelatarannya luas,” kata Susan kepada Naya.

Mobil Tomy masih mengikutinya, dan berhenti ketika mobil Naya juga berhenti. Mereka semuanya turun. Seorang perempuan sedang membenarkan letak padi yang dijemur di pelataran itu, lalu membolak-baliknya. Ia terkejut melihat dua buah mobil berhenti, lalu dia mendekatinya.

“Ibu.. apakah ini rumahnya Pak Darmo?”

“Iya, itu suami saya.”

“Oh, jadi Ibu ini Bu Darmo?”

“Sampeyan ini siapa? Kok cantik... ganteng... itu gagah-gagah bener,” kata Bu Darmo sambil mengamati mereka satu per satu.

“Kami dari Solo Ibu. Bapak ada?”

“Ada.. ada.. silakan masuk... mari Nak... mari...” 

Wanita setengah tua itu menyambut tamu-tamunya dengan ramah. Lalu ketika mereka duduk dikursi-kursi tamu, Bu Darmo bergegas kebelakang.

“Pak... pak... ada tamu dari Solo... ” sayup suara Bu Darmo terdengar.

Susan menatap kesekeliling ruangan, perabot-perabot kuna tertata rapi, ada beberapa pasang kursi tamu di ruangan itu, karena memang ruangannya  cukup luas. Tiba-tiba Susan terpaku kepada sebuah foto besar diisudut ruangan. Dada Susan berdesir. Itu kan foto yang ditemukannya digudang? Susan berdiri, melangkah mendekati foto itu, mengelusnya perlahan.

“Ternyata benar. Ini kerabat Bapak Ibuku. Ini fotonya, sama dengan yang aku temukan. Susan mengusap air matanya yang menitik, sambil terus menatap foto itu.

“Waaah, banyak tamu rupanya...” suara berat seorang laki-laki mengejutkan Susan. Bergegas ia kembali ke tempat duduknya.

“Itu foto anak saya, Sumini, sudah meninggal ketika melahirkan. Tak lama kemudian suaminya juga meninggal,” kata Pak Darmo pilu, ketika melihat Susan mengamati foto itu.

Susan kembali duduk, lalu semua menyalami Pak Darmo.

“Sebenarnya anak-anak ini siapa dan ada perlu apa mencari saya?”

Tiba-tiba Tomy mendahului bicara.

“Saya Tomy, suruhannya Bu Lusi Pak.”

Pak Darmo menatap Tomi tajam.

“Lusi itu kan menantunya Bu Nina almarhumah?”

“Iya Pak.”

“Ada apa Nak?”

“Saat ini Bu Lusi sedang prihatin karena terjerat hutang milyaran rupiah.”

“Waduh, itulah kalau orang suka berhutang. Memang hutang itu sangat menjerat, dan kalau ketemu lintah darat bukan hanya menjerat tapi juga mencekik.”

“Itulah sebabnya saya diutus kemari Pak.”

Pak Darmo mengangkat mukanya.

“Maksudnya?”

“Bu Lusi mau minta tolong, meminjam uang untuk membayar hutangnya itu.”

“Meminjam, dan hutangnya milyaran? Aaduuh... saya ini orang desa, yang penghasilannya hanya bertani. Itupun karena saya punya sawah itu pemberian menantu saya, Mas Kuncoro almarhum.. Hasilnya hanya cukup buat makan, lalu dibagi-bagi kepada saudara-saudara yang kekurangan seperti pesan almarhum menantu saya. Mana saya punya uang milyaran?”

“Barangkali... mm... maaf... dengan menggadaikan sawah itu...” pelan kata Tomy.

“Lho... lho... bagaimana ini, lha nanti Bu Lusi terlepas dari hutang, lalu gantian saya terjerat hutang.”

“Lha kalau misalnya dijual Pak? Kata bu Lusi dia akan menggantinya nanti.”

Mendengar kata-kata Tomy itu Susan tak tahan lagi. Bu Lusi sungguh keterlaluan. Memangnya siapa Pak Darmo ini... maka dia merasa bahwa dia harus bisa menolongnya.

“Maaf kalau saya boleh bicara. Saya kira permintaan Bu Lusi itu keterlaluan. Masa meminta sawah orang untuk dijual atau digadaikan hanya untuk kepentingan dia?” katanya dengan nada tinggi. 

Tomy menatap Susan tak percaya. Menurutnya Susan adalah anaknya Bu Lusi, mengapa tidak membelanya malah menyalahkannya?

Pak Darmo tampak mengangguk-angguk, agak bingung ketika tiba-tiba ada yang meminta tolong tapi dia harus menjual atau menggadaikan sawahnya.

“Benar, tampaknya Bu Lusi agak bingung... Saya itu dulu diberi oleh menantu saya, namanya Mas Kuncoro, yang pastinya Bu Lusi sudah tahu, berupa rumah ini, dan tanah sawah yang lumayan. Pesannya, hasil sawah ini harus digunakan untuk makan bersama anak laki-laki saya dan cucu-cucu   saya, juga untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Lha kalau saya gadaikan atau saya jual, saya dan anak cucu saya makan apa? Sebenarnya saya tak begitu mengenal Bu Lusi. Hanya sekali bertemu, ketika Bu Nina datang kemari, setelah anak saya menyerahkan anak Sumini kepadanya. Jadi saya minta maaf, permintaan itu terlalu berat untuk saya.”

Tomy terdiam, menatap Susan agak lama.

“Pak Darmo, kedatangan saya sama dia dengan maksud yang berbeda.”

“Oh ya, saya heran, Nak cantik ini mirip anak saya Sumini.”

“Iya Pak, karena saya anaknya Ibu Sumini.”

Pak Darmo terkejut. Bu Darmo yang keluar membawa nampan berisi suguhan minuman hangat hampir menjatuhkan nampannya kalau tidak segera berpegang pada saka rumah yang ada disampingnya.

“Anaknya Sumini?”

Tomy menatap heran.

Lalu Susan mengeluarkan foto pasangan Kuncoro-Sumini, dan surat-surat yang belum lama ditemukannya.

“Bune... sini... ”

Naya membantu Bu Darmo mengambil nampan lalu meletakkannya di meja. Bu Darmo menatap Susan tak berkedip, sementara Pak Darmo mengamati surat-surat itu, berikut surat nikah yang diberikan Susan.

“Kamu Susanti, bayi merah itu?”

Susan mengangguk. Bu Darmo menubruknya, menangis  sambil merangkul Susan.

“Kalau begitu kamu itu cucuku... panggil aku simbah... ” bergetar suara Pak Darmo.

Mereka berangkulan sambil menitikkan air mata.

“Ketika itu Mas Kuncoro memaksa membawa anak Sumini kepada adiknya, Bu Nina. Oh ya, lalu Bu Lusi merawatnya sampai dewasa?”

Susan mengangguk pelan.

“Apa kamu juga akan meminta tolong agar simbahmu ini membantu Bu Lusi?”

“Tidak simbah... tidak. Sudah banyak kesalahan yang dilakukan Mama Lusi. Sekarang dia dan anak laki-lakinya ada didalam penjara.”

“Ya Tuhan... kenapa?”

“Ceritanya panjang.”

“Jadi mengapa kalian datang bersama sama masnya ini?”

“Kami hanya kebetulan bertemu dijalan.”

“Jadi Mbak Susan itu bukan anaknya Bu Lusi?” tanya Tomy.

“Bu Lusi banyak menipu... bahkan tidak mengatakan adanya aku ini siapa. Hati-hati Tomy, kalau kamu terus terusan membantu Bu Lusi maka kamu juga akan terjerat hukum.”

“Baiklah, saya dan kawan-kawan juga sudah lelah. Nanti kami hanya akan menjualkan mobil ini lalu uangnya kami serahkan dan selesai. Saat ini Bu Lusi kembai dirawat di rumah sakit karena berbagai penyakit yang entah apa, membuatnya yang lemah.”

“Jadi Mama Lusi di rumah sakit?”

“Ya, jadi baiklah, semua pesannya sudah saya sampaikan, dan jawaban dari Pak Darmo juga akan kami sampaikan. Mohon maaf, kami hanya disuruh dan tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Bu Lusi pernah bilang, karena Bu Lusi merawat cucunya Pak Darmo, maka pasti Pak Darmo akan bersedia menolongnya. Tapi, ya sudahlah,  kami mohon diri.”

“Tunggu nak, itu minumnya diminum dulu..” kata Bu Darmo.

Ketiganya menghabiskan minuman dalam gelas yang disuguhkan, kemudian beranjak pergi.

Ada rasa kasihan dihati Susan mendengar Mama Lusi kembali dirawat di rumah sakit. Bagaimanapun ada ikatan yang pernah mengikatnya selama puluhan tahun, entah ikatan itu tulus bagi Lusi atau tidak, tapi Susan merasakan adanya ikatan itu. Diam-diam ia punya keinginan untuk menjenguknya pada suatu hari nanti.

“Bune, sediakan makan untuk cucu kita, dan... ini suami kamu?” Tanya Pak Darmo, sementara Bu Darmo sudah bergegas kebelakang.

Susan tersipu.

“Belum jadi suami Mbah, mohon doa restunya.”

“Bahagia bisa ketemu, ayolah nanti sambil makan kamu cerita tentang semuanya. Sebentar lagi pakdemu, Kakaknya Ibumu akan datang dari sawah, pasti dia senang melihatmu Nduk.”

“Bolehkan nanti kami menjenguk makam  Bapak Ibu saya?”

“Tentu saja, nanti setelah makan kami akan mengantarkan kamu kesana.”

***

Tanah pekuburan itu tak jauh letaknya dari rumah Pak Darmo. Begitu luas, tapi tampak bersih. Rupanya juru kunci tanah pekuburan itu merawatnya dengan baik.

“Dulu Bapakmu berpesan, simbah disuruh memberi beras setiap panen dan uang untuk juru kunci makam ini, makanya selalu bersih dan terawat,” kata Pak Darmo menerangkan.

Pak Darmo dan Sentot, anak laki-laki dan istri serta dua orang cucunya mengantarkan Susan dan Naya ke pekuburan itu.

Susan bersimpuh diantara makam ayah ibunya, berdoa dengan khusyuk sampai meneteskan air mata. Ada rasa sedih karena tak pernah merasakan dekapannya, tak pernah merasakan cinta kasihnya, tak pernah bermanja seperti anak-anak lainnya.

“Simbah senang, akhirnya bisa bertemu kamu Nduk. Sebelumnya tak pernah memimpikannya, karena Ayahmu meminta agar kamu diantarkan kekota, agar mendapat pendidikan yang baik.”

“Iya Pakne, dan sekarang cucu kita sudah dewasa.”

“Dulu Ibu kamu menikah masih sangat muda. Umurnya belum duapuluh tahun. Ketika itu Ayahmu sakit, Sumini yang merawatnya. Walau berbeda jauh umurnya, tapi keduanya kemudian saling suka, dan aku menikahkannya. Bapakmu seorang yang baik. Hartanya banyak tapi dia suka berbagi. Menjelang meninggalnya, rumah yang semula dibelinya diberikan kepada simbah, berikut sawah yang kira-kira dua hektar. Dia membelinya yang hasilnya hanya untuk dibagi-bagikan. Dia juga berpesan, bahwa hasil sawah itu bisa dipergunakan untuk hidup simbah dan anak cucu, serta jangan lupa selalu berbagi kepada orang yang membutuhkannya.”

Susan mengusap air matanya, ia bersyukur menjadi anak seorang yang berhati mulia.

“Ibumu meninggal karena perdarahan saat melahirkan, dan kami terlambat membawanya ke rumah sakit besar. Tapi yaah... memang sudah garisnya, dan kami menerimanya dengan ikhlas.” kata Bu Darmo yang sejak tadi berlinangan air mata.

“Tapi kami bahagia, akhirnya kamu datang dan mengenal asal-usul orangtuamu. Ini karunia Allah yang tak terhingga, diujung hari tuaku bisa melihat cucuku. Cantik ya Bune?”

“Iya, Bapaknya juga ganteng, Ibunya... anak kita kan juga cantik to Pakne,” sahut Bu Darmo.

“Besok kalau kalian menikah, jangan lupa simbah dikabari ya Nduk.”

“Iya, pasti Mbah, bahagia sekali kalau besok simbah ikut menunggui Susan menikah,” kata Susan sambil menggelendot ke bahu Naya.

Pak Darmo dan Bu Darmo serta anak Pak Darmo menatapnya sambil tersenyum bahagia.

***

Tomy datang menemui Bu Lusi di rumah sakit. Tubuhnya terbaring lemah, matanya kuyu, tak bercahaya.

“Bu Lusi... ini saya Tomy.”

“Oh.. bagaimana Tomy, tolonglah, aku tak mau mati dengan beban hutang itu, kamu berhasil?” katanya lemah.

“Ini uang hasil penjualan mobil Bu, hanya duaratus duapuluh lima juta, ini saya bawa.”

“Tolong cari Triani dan titipkan dulu. Kamu ketemu Darmo?”

“Ketemu. Tapi...”

“Tapi apa, tidak mau membantu? Padahal dia kaya... warisan Kuncoro banyak...”

“Tidak Bu, saya malah ketemu Mbak Susan. Ternyata Mbak Susan cucunya Pak Darmo.”

Mata yang setengah terpejam itu terbuka, dan tiba-tiba nafas Lusi tersengal-sengal.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER