BAGAI REMBULAN 34
By: Tien Kumalasari
Susan memungut sebuah buku kecil yang tiba-tiba terlempar keluar dari saku jas bapaknya. Dengan bersemangat dia mengambilnya. Ingin Susan melonjak kegirangan. Itu buku nikah Bapaknya.
“Ya ampun... terimakasih ya Allah, ini buku nikah Bapak, semoga semakin memudahkan aku menemukan dimana makam Bapak Ibuku.”
Susan mengamati buku nikah itu dengan seksama, lalu mendekapnya di dada sambil berlinangan air mata.
“Sayang aku tak sempat melihat wajah Bapak, wajah Ibu... apalagi memeluk dan bermanja padamu. Bapak.. Ibu, aku merindukanmu.. datanglah walau dalam mimpiku...”
Susan membaringkan tubuhnya di ranjang, sambil memeluk buku nikah yang baru saja diketemukannya.
Tak terasa air mata menetes deras dan dibiarkannya mengaliri pipinya.
“Bertahun-tahun aku hidup bersama seseorang yang bukan apa-apaku, mengasihi aku dengan kasih yang semu, mengambil semua dariku, dan yang terakhir ingin menukar tubuhku dengan harta seorang konglomerat. Nenek, aku tidak tahu semuanya, Nenek mengira semuanya baik-baik saja. Tidak Nek, sepeninggal Nenek aku menderita. Aku seperti orang buta yang meraba-raba, tak berani bersikap karena tekanan Mama. Lalu tiba-tiba keberanian itu timbul, entah dari mana aku berani menentangnya. Nenek.. Mama tidak mencintai aku seperti yang Nenek harapkan. Ternyata kemudian semuanya terungkap, dan aku menemukan hampir semuanya. Mama sangat jahat Nek, kalau saja Nenek tahu.”
Susan terus tenggelam dalam tangisnya, apalagi ketika mengingat Neneknya yang sangat mengasihinya.
“Nenek, aku rindu Nenek.. bertahun-tahun Nenek meninggalkan aku, bertahun-tahun aku hidup dalam bayang-bayang semu.”
Malam telah larut ketika Susan memejamkan matanya, berharap mendapatkan mimpi tentang ayah ibunya.
Tapi tiba-tiba seseorang menariknya bangun, Bu Triani, menatapnya dengan mata garang penuh kemarahan.
“Susan, ini tanggung jawab kamu,” hardiknya.
“Tanggung jawab apa Tante?”
“Hutang Mama kamu harus menjadi beban kamu. Uang aku harus kembali, berikan sekarang juga Susan.”
“Tidak, itu bukan tanggung jawab saya Tante.”
“Apa kamu mengingkari bahwa kamu anaknya Lusi? Ingat Susan, kamu dilahirkan dengan taruhan nyawa, sekarang Mama kamu punya beban, apa kamu akan membiarkannya memikulnya seorang diri?”
“Tidak Tante, bukan tanggung jawab saya.”
“Anak macam apa kamu ini?”
“Tapi aku bukan anaknya Tante,” jawab Susan keras.
“Apa katamu?”
“Aku bukan anaknya. Lihat, inilah Bapak dan Ibuku, bukan Lusi!” Katanya sambil menunjukkan buku nikah yang digenggamnya.
“Apa itu? Coba aku lihat!”
“Jangan. Pergilah Tante dan jangan datang lagi kemari.”
Tapi Triani terus menarik-narik buku yang digenggamnya. Susan mempertahankannya, dan tiba-tiba jatuh tersungkur.
“Addduh...”
Susan membuka matanya, mengelus lututnya yang terantuk lantai. Dipandanginya sekeliling kamar, Bu Triani tidak ada. Susan menghela nafas lega.
“Ya Tuhan, ternyata aku bermimpi,” katanya sambil bangkit, dan buku nikah itu masih ada didalam dekapannya.
***
Pagi itu ketika Naya menjemputnya sebelum kekantor, Susan berlari menghampiri dan memeluknya erat.
“Auuwww... ada apa ini... ampuun... nggak bisa nafas akuu..?” teriak Naya.
“Idiih.. nggak bisa nafas kenapa balas meluk sih...” ledek Susan sambil melepaskan pelukannya.
“Ada apa nih, kok ceria banget. Tapi matamu sembab lho, menangis semalaman?”
“Naya, nanti mampir ke laundry ya, baju-baju bapak sama ibu mau aku bawa ke laundry biar wangi.”
“Iya... tapi ada apa?”
“Dengar Nay, ketika aku memasukkan baju-baju Bapak kedalam plastik yang mau aku bawa ke laundry, aku menemukan sesuatu.”
“Perhiasan?”
“Iih, bukan... nggak mungkin lah perhiasan. Pasti sudah raib deh. Ini, lihat...” Kata Susan sambil menunjukkan buku nikah Bapaknya.”
“Itu buku nikah?”
“Iya, buku nikah Bapak. Dengan ini kita bisa dengan mudah menemukan asal ibuku dan makamnya.”
“Yah, syukurlah, simpan dulu baik-baik. Ayo berangkat, sudah sarapan?”
“Nggak, nanti sarapan dikantor saja, sudah kesiangan nih, bisa dipotong gaji aku.”
“Ya enggak lah, kan aku bosnya...”
“Hahaaa.... iya, aku lupa.”
***
Siang hari itu Susan masih menyempatkan diri pulang ke rumah Lusi. Eh bukan, rumah Susan, kan sudah terbukti? Tapi dia tidak bersama Naya karena Naya masih menemani Bapaknya menemui tamu dari luar kota. Ada baju-baju Susan yang nanti akan dipakai untuk ke acara pertunangan Dayu. Memang dulu dia belum membawa semuanya. Ia harus memilih-milih mana yang pantas. Tapi tiba-tiba sebuah teriakan yang dia sudah hafal suara siapa, terdengar memenuhi ruangan rumah itu.
“Susaaaan, kamu ada kan?
Dan belum hilang gema suara itu, langkah kaki Triani sudah sampai di depan kamarnya.,
“Syukurlah bisa ketemu. Beberapa hari aku kemari kamu tidak ada.”
“Silahkan duduk Tante, ada apa?” kata Susan mempersilahkan.
“Bagaimana kamu bisa bertanya seperti itu? Memang benar, aku sudah ke kantor BPN, dan benar itu paslu. Tapi aku sudah melaporkannya ke polisi atas kejahatan Mama kamu itu.”
Susan tak bereaksi karena dia sudah tahu pasti akhirnya juga akan begitu.
“Tapi aku tetap akan menagih ke kamu Susan, karena ini masalah uang besar, dan kamu adalah anaknya. Kalau kamu bisa mengusahakannya, maka laporan ke polisi itu akan aku cabut.”
“Maksud Tante.. mengusahakan kembalinya uang Tante?”
“Ya iyalah, apalagi?”
“Dengar Tante, itu urusan Tante sama Ibu Lusi, bukan urusan saya.”
“Apa katamu? Bu Lusi itu siapa? Mama kamu kan? Jadi bagaimana mungkin kamu membiarkan Mama kamu terbebani utang dengan menderita di penjara lebih lama?”
“Tidak Tante, mana mungkin saya punya uang sebanyak itu.”
“Tapi kamu itu anaknya, Susan.”
“Saya bukan anaknya Bu Lusi Tante.”
“Apa katamu?”
“Anak Bu Lusi hanyalah Anjas, dan bukan saya. Saya hanya anak angkat.”
Bu Triani tampak tertegun.
“Lalu rumah ini punya siapa?”
“Punya saya Tante.”
“Kamu?”
“Ya, semuanya baru saja terbongkar. Jadi saya mohon Tante tidak menghubungi saya lagi atas hutang piutang itu.”
Dan tanpa diduga Bu Triani tiba-tiba bertepuk tangan dua kali, lalu dari dalam mobilnya keluar seorang laki-laki tinggi besar yang tampak sangar. Wajahnya kasar, matanya tajam dan tampak garang. Susan terkejut, karena tampak ada ancaman dengan datangnya laki-laki itu. Lalu Susan menyesal mengapa tadi tidak menunggu Naya, dan nekat pulang sendiri.
“Bagaimana Bu?”
“Dia ini ternyata tidak mau bertanggung jawab atas utang Mamanya.”
Laki-laki itu menatap Susan dengan mata menyala, membuat Susan merasa keder.
“Bagaimana Mbak? Apakah Mbak tetap tidak mau membayarnya?” Kata laki-laki itu keras.
“Membayar apa? Bukan saya yang berhutang.” Susan memberanikan diri menjawab. Padahal dirinya hanya seorang diri. Bagaimana kalau laki-laki itu menganiayanya?”
“Jangan main-main dengan saya Mbak, saya bisa melakukan apa saja.”
“Bagaimana Anda bisa memaksa saya? Bukan saya yang berhutang, dan darimana saya punya uang sebanyak itu?”
“Saya tidak mau tahu, kalau Anda tidak mau menurut, maka akan saya bawa.”
“Apa maksudnya? Anda melanggar hukum,”
“Haaah.. hukum .. hukum... Mau membayar tidak?” Kata laki-laki itu sambil mendekat.”
“Tidak mungkin, tolong mengertilah, aku bukan siapa-siapanya dia.” Susan mulai ketakutan.
“Bu, tolong buka pintu mobilnya supaya gampang saya melemparkannya kedalam.”
Bu Triani keluar, membuka pintu mobil, sedangkan laki-laki itu menyeret tubuh Susan dengan paksa.
“Tolooong!”
“Sudah, jangan berteriak!!”
“Kalian tak akan mendapat apa-apa, saya tak punya apa-apa. Harta saya justru dirampok oleh dia.!! Lepaskaaaan...” Susan berteriak keras, tapi laki-laki itu tetap menyeretnya.
Selangkah lagi laki-laki itu berhasil melemparkan Susan kedalam mobil, ketika tiba-tiba sebuah ayunan tangan menghampiri wajah laki-laki itu, dan membuatnya terhuyung, serta pegangan atas Susan terlepas.
“Nayaaa!” Susan berteriak.
Laki-laki tinggi besar itu marah bukan alang kepalang. Dihadapannya seorang laki-laki muda yang tidak lebih besar dari badannya, bahkan lebih kecil, menatapnya marah sambil kedua tangannya menggenggam. Sebuah teriakan mirip auman singa terdengar, ketika laki-laki itu menyeruduk kearah tubuh Naya. Tapi dengan sekali geser tubuhnya mengelak kesamping, dan sebuah kakinya berhasil menggaet kaki laki-laki itu, membuatnya jatuh tertelungkup.
Susan menelpon polisi. Ia takjub melihat cara Naya bertempur. Laki-laki tampan yang lemah lembut itu dengan gagah berani menghadapi laki-laki yang lebih tinggi besar dan tampak garang. Tapi Susan sesungguhnya khawatir. Sebuah hamtaman mengenai pipinya, tapi Naya juga berhasil menonjok ulu hati musuhnya, membuatnya bergelung memegang perutnya.
Susan semakin cemas.
“Aduuh, mengapa polisi lama sekali..” bisiknya khawatir sambil terus mengawasi pertarungan itu.
Tapi tidak, sebuah sirene polisi menghentikan pertarungan itu. Laki-laki itu melompat kedalam mobil, dengan bu Triana sudah ada didalamnya. Ia memacu mobilnya keluar dari halaman, tapi mobil polisi menghadangnya.
***
Susan mengompres luka dipipi Naya dengan es batu yang dibalutnya dengan serbet.
“Sakitkah?”
“Tidak Susan, aku tidak apa-apa,” kata Naya sambil mengelus tangan Susan lembut.
Mereka sudah kembali dari kantor polisi untuk memberi kesaksian.
“Untunglah kamu segera datang Naya, kalau tidak, entah bagaimana nasibku.”
“Mengapa tadi kamu berangkat sendiri dan tidak mau menunggu aku sebentar saja?” tegur Naya.
“Maksudku cuma mau mengambil baju, mengapa harus minta diantar, lagian kamu sedang sibuk.”
“Orang stress bu Triani itu.”
“Bisa dimengerti, uangnya lumayan banyak. Tapi dia ngawur. Dikiranya aku mampu membayar hutang Lusi, mana mungkin?”
“Kamu tidak bilang bahwa tidak punya apa-apa.”
“Ya sudah Nay, tapi dia tidak percaya, malah memanggil tukang pukul. Memangnya dengan tukang pukul uangnya bisa kembali?”
“Tapi kamu tidak diapa-apakan kan?”
“Hampir Nay, kalau aku berhasil dibawanya, nggak tahu apa yang akan terjadi. Untunglah dewa penyelamatku datang. Terimakasih ya Nay. Masih sakitkah lukamu?”
“Tidak, sudah, aku kesenangan dong kamu mengelusnya terus.”
“Ih, genit ! Tapi aku bangga sama kamu. Ternyata kamu bisa berkelahi juga ya? Aku kira yang pintar berkelahi itu cuma Adit dan Liando. Kamu kan lemah lembut.”
“Aku laki-laki, masa tidak berani berkelahi? Apalagi kalau kekasihku disakiti, nyawa aku pertaruhkan nih,” kata Naya sambil menepuk dadanya.
Susan memeluknya lagi.
“Ayo kembali kekantor Nay, aku tidak akan datang-datang lagi kemari kalau kamu tidak menemani.”
“Tuh, sekarang kamu baru tahu kan?”
***
Acara lamaran sekaligus pertunangan itu hanya dihadiri kerabat terdekat, tak banyak tamu hadir, tapi suasananya tetap tampak meriah sekaligus mengharukan. Memang bukan sekarang orangtua kedua calon suami istri itu harus melepas buah hatinya, tapi bayangan akan segera jauh dari mereka tetap menyelimuti hati dan perasaan mereka. Terlebih bagi Surti yang berkali-kali mengusap air matanya. Namun melihat rona bahagia diwajah Dayu dan Liando, hati Surti sedikit terhibur. Harapan akan kebahagiaan bagi anak-anaknya selalu dilantunkan dalam setiap sujudnya.
“Surti, mengapa menangis? Lihat anak kamu tampak sangat bahagia,” bisik Seruni ditelinga Surti.
“Iya Bu Indra, ini kan tangis bahagia.”
“Bahwa pada suatu hari kita harus melepas anak-anak kita, memang itu sudah kodratnya ya Sur, tapi kebahagiaan anak-anak kita akan membalut semua sepi saat ditinggalkan. Tak lama lagi aku juga akan mengalaminya.”
“Iya Bu Indra, waktu terus berjalan, dan kita tidak sadar telah menjadi tua.”
“Setiap orang akan mengalaminya bukan?”
“Iya Bu Indra.”
“Sebentar lagi Dayu dan Yayi selesai kuliahnya, dan kita harus benar-benar bersiap melepas mereka. Bukan hanya kamu, tapi aku juga, dan semua orangtua akan merasakannya.”
“Benar,” lalu Surti mengusap lagi air matanya.”
“Bu Tikno...” tiba-tiba Bu Diana melambaikan tangannya.”
Surti mendekat.
“Masakannya enak sekali,” hanya untuk itu Bu Diana memanggilnya, membuat Surti tersipu.”
“Ah, Bu Diana selalu begitu.”
“Aku sudah tahu kalau Bu Tikno pintar memasak, tapi kali ini aku ingin memujinya lagi.”
“Terimakasih banyak Bu Diana.”
Sepasang anak muda yang sudah bertunangan itu asyik menemani sahabat-sahabat mereka yang juga sudah siap menyusulnya.
“Aku kapan ya?” celetuk Naya.
“Ih, Mas Naya.. “ ledek Yayi.
“Kamu itu adikku, jadi kamu belakangan.”
“Iya, aku tahu, tuh.. Mbak Susan juga sudah siap, ya kan?”
Lalu Susan jadi teringat akan pergi ke Boyolali hari itu.
“Naya, aku mau ke Boyolali dulu.”
“Iya lah, kan aku mengantarmu, sebentar aku pamit sama Bapak dulu.”
“Oh iya, Mbak Susan masih punya tugas yang harus diselesaikan ya, aku boleh ikut?” tanya Yayi.
“Eh jangan Yayi, kalau kamu juga ikut pergi nanti tamunya berkurang banyak. Aku sama Naya harus berangkat sekarang supaya nanti pulangnya tidak kesorean.”
“Iya benar. Hati-hati ya Mbak, saya doakan semoga semuanya lancar,” kata Yayi.
Ketika Naya pamit kepada Ibunya, Surti berteriak melihat wajah Naya membiru.
“Lho, mas Naya itu kenapa?”
“Ya itulah... orang yang menghutangkan uang sama Lusi mengejar-kejar Susan dan membawa tukang pukul, jadilah Naya berantem sama tukang pukul itu.”
“Ya ampuun, sampai begitu jauh akibat dari semua yang dilakukan mbak Lusi. Banyak orang nyaris menjadi korban.”
“Iya Surti, bahkan ketika Lusi sudah dipenjara juga masih meninggalkan masalah.”
***
Naya dan Susan sudah memasuki kawasan Boyolali, mencari desa Mojolegi. Tapi beberapa orang yang ditanya tidak mengenal nama Kuncoro maupun Sumini.
“Kita mungkin tidak bisa menanyai orang per orang Susan, harusnya kita langsung ke kantor KUA dan menanyakan tentang buku nikah yang kamu bawa itu.”
“Iya ya Nay, kita salah jalan. Tapi kan ini hari Minggu, mana mungkin ada kantor buka?”
“Kalau begitu apa kita sebaiknya kembali saja?”
“Lalu besok kita kembali kemari? Aduh, aku sungkan sama Pak Indra, mana kantor lagi banyak pekerjaan lagi.”
“Tidak apa-apa San, nanti aku bisa mewakilkannya kepada yang lain. Soalnya ini kan juga penting untuk kamu. Kalau tidak diselesaikan sekarang mau kapan lagi?”
“Jadi kita sebaiknya kembali sekarang?”
“Iya San, besok saja langsung ke KUA, pasti masih ada data asli buku nikah itu walau sudah puluhan tahun berlalu.”
Naya memutar mobilnya untuk kembali, tapi tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil berjalan ke arahnya. Susan mengenali mobil itu.
“Itu.. mobil itu.. “
“Kamu tahu itu mobil siapa?”
“Itu mobilnya Mama Lusi. Siapa yang ada didalamnya?”
Lalu dilihatnya mobil itu berhenti, dan seseorang turun dari sana.
Bersambung
No comments:
Post a Comment