BAGAI REMBULAN 33
By: Tien Kumalasari
*Susan* bangkit dan menuju ke arah depan.
“Naaah, benar 'kan? Syukurlah ketemu kamu Susan, kemarin aku pas lewat rumahnya kosong.”
“Iya Tante.”
“Boleh aku duduk?”
“Silahkan Tante, ada yang bisa saya bantu?”
“Gimana kamu ini, ya memang kamu harus bantu aku dong San, itu lho, tentang surat yang foto copynya aku serahkan ke kamu. Kamu tidak lupa kan, batas akhirnya adalah bulan ini? Dan bulan ini itu hanya tinggal seminggu, jadi aku ingatkan kamu, apakah hutang itu akan kamu bayar, atau rumah ini menjadi milik aku. Sudah kamu pikirkan?”
“Iya Tante, aku ingat, tapi perjanjian itu kan sama Mama?”
“Lha Mama kamu ada di penjara, dan Mama kamu menyerahkannya sama kamu, bagaimana?”
“Sebentar Tante, saya mengerti ada perjanjian antara Mama dan tante, tapi agunan yang dipergunakan oleh Mama itu bukan milik Mama lho.”
“Bukan milik Mama kamu bagaimana ta San? Lha foto copy semuanya 'kan sudah aku serahkan sama kamu. Ini, aslinya aku bawa lho, sebentar,” Bu Triana membuka tasnya dan mengeluarkan selembar sertifikat, yang menurutnya asli.
“Ini aslinya aku bawa, Mamahmu sendiri yang menyerahkannya.”
“Tante, saya mohon maaf, tentang sertifikat itu sedang saya urus Tante.”
“O sudah kamu urus? Maksudmu sudah akan kamu pindah tangankan ke Tante, begitu? Lha nanti kalau ke notaris kamu harus mengajak Tante dong. Mana bisa kamu sendiri memindah tangankan.”
“Bukan pindah tangan Tante, tapi perlu Tante ketahui bahwa sertifikat itu palsu.”
Seketika melotot mata Bu Triani, menatap Susan dengan pandangan marah.
“Apa maksudmu palsu Susan?”
“Kalau Tante tidak percaya, silahkan Tante ke kantor BPN dan menanyakan, apakah sertifikat itu asli atau palsu.”
“Aku harus ke kantor BPN? Tapi ini dari Mama kamu lho San. Bagaimana kalau palsu? Ada namamu juga tertulis disini, namamu dan Anjas.”
“Iya benar Tante, tapi tolong Tante ke kantor BPN dulu untuk meyakinkan apakah itu palsu atau asli. Kalau saya yang ngomong pasti Tante tidak percaya.”
“Lha terus kalau benar surat ini palsu, lalu bagaimana uangku yang 1.6 M itu, sudah setahun lebih lho San, sedang yang 1 M itu sudah setengah tahunan.”
“Tante nanti setelah dari BPN langsung ketemu Mama saja.”
“Kok kamu kemudian seperti lepas tangan begitu San? Itu Mama kamu, jadi harus menjadi tanggungan kamu juga.”
“Tante ke BPN dulu saja, supaya jelas, semuanya kan belum tentu, mungkin saya yang salah.”
Bu Triani langsung berdiri dan tanpa mengucapkan apapun langsung pergi begitu saja. Susan menghela nafas panjang.
“Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, pasti nanti dia marah-marah sama Mama, dan Mama akan dilaporkan ke polisi karena pemalsuan sertifikat dan penipuan."
“Bagaimana San?”
“Aku suruh dia ke kantor BPN supaya yakin. Tapi aku kok jadi kasihan pada Mama ya Nay..”
“Apapun yang dilakukan Mama kamu itu tidak benar. Dia harus menanggung akibatnya.”
“Baiklah, ayo kita lanjutkan pekerjaan kita tadi.”
***
Dengan perasaan gundah Susan melangkah kembali ke gudang. Ada rasa nyeri di ulu hati mengingat Mamanya, karena bagaimanapun selama ini Lusi juga terkadang bersikap baik kepadanya, dan mereka sudah hidup bersama selama bertahun-tahun.
“Susan, masih memikirkan Mama kamu?”
“Dia pernah menjadi Mama aku selama ini, ikatan batin itu ada, walau terkadang aku sangat membencinya. Tapi kalau dipikir-pikir, Mama juga pernah menyayangi aku sehingga aku tidak merasa bahwa dia bukan Mama aku.”
“Aku bisa mengerti, tapi kalau Mama kamu melakukan kesalahan maka dia wajib menebusnya.”
“Benar.”
Keduanya kembali masuk kedalam gudang. Kopor tua yang sudah setengah terbuka itu masih teronggok disana. Naya membukanya semakin lebar.
“Pakaian-pakaian tua yang pasti sudah puluhan tahun tersimpan disini. Tapi ini jelas bukan milik nenek. Ini pakaian laki-laki. Lihat, ada piyama, ada.. apa ini? Ada foto didalam sini..” pekik Susan.
Susan menarik sebuah bingkai foto, sepasang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki seperti yang ada di album tua yang ditemukannya sebelumnya. Perempuannya masih sangat muda, tampak lugu tapi memang cantik. Susan mengamatinya dengan seksama.
“Apakah ini kedua orangtuaku?”
“Ini yang fotonya ada bersama Nenek kamu di album tua itu.”
“Apakah ini istrinya? Jadi adalah Ibuku? Memang benar, jauh lebih muda, lebih pantas menjadi anaknya. Kalau benar, mengapa ya Bapakku memperistri wanita muda ini?”
Naya membongkar lagi isi kopor tua itu, ada sebuah kain batik dan kebaya juga.
“Apakah ini pakaian mereka? Mungkin disimpan karena ini pakaian ketika mereka menikah?”
“Tampaknya Nenek tidak menyukai pasangan ini. Mungkin tidak setuju Ayahku menikahi gadis dusun yang jauh lebih muda darinya. Buktinya foto ini tidak dipasang dirumah padahal sudah berbingkai. Malah disimpan didalam gudang yang kotor seperti ini,” gumam Susan.
“Coba keluarkan fotonya, barangkali ada catatan dibaliknya,” teriak Naya.
Susan membuka kardus dibelakang pigura itu dan menarik fotonya dengan hati-hati, takut tersobek karena lamanya.
“Ada Naya... ada... lihat!”
KUNCORO – SUMINI
Mojolegi, Boyolali
1 Januari 1989
“Oh, ini mungkin catatan ketika mereka menikah. Jadi ini Ibuku? Namanya Sumini?”
Susan mendekap foto itu dengan air mata berlinang.
“Ini Ibu Bapakku,Naya. Aku tak sempat ditimangnya, tak sempat memeluknya,” Susan terisak.
“Susan, masih ada tulisan di selembar kertas, tuh, jatuh.”
Susan memungutnya. Kertas itu ada diantara kardus dan fotonya.
Untuk anakku Susanti.
Di kotak itu ada perhiasan milik Ibumu, tak seberapa, terimalah, cincin bermata berlian, kalung dan leontin dengan foto bapak Ibumu, serta anting, dengan hiasan berlian yang sama. Hanya itu yang bisa Bapak berikan kepadamu, juga rumah yang ditinggali Nenek Nina. Semuanya untuk kamu. Foto di leontin itu, harapan Bapak, agar kamu ingat bahwa pernah punya Bapak dan Ibu.
Dari
Kuncoro, Napakmu.
Susan terisak, lalu mencari kotak yang dimaksud, tapi sampai semua dikeluarkan, tak ada kotak itu.
“Mana kotaknya? Aku ingin memakai leontin itu, yang ada foto Bapak dan Ibuku. Mana?”
Susan mencari-cari, tapi tak ada kotak yang dimaksud dalam surat itu.
“Susan, yang didalam almari kecil itu, bukankah ada kotak tapi sudah kosong?”
Susan terduduk lemas. Benar, pasti itu kotaknya, yang isinya kabur entah kemana.
“Ya Tuhan, tega sekali Mama merampas semuanya,” Susan kembali terisak.
“Dimana barang-barang itu, aku tak pernah melihat Mama memakainya. Pasti sudah dijualnya tanpa sisa. Itu sangat berharga untuk aku, karena pemberian orangtuaku, bukan karena mata berlian yang ada disana. Lebih-lebih dengan leontin itu.” Susan terus terisak.
“Susan, lihat, barangkali perhiasan yang dipakai Ibu Sumini itulah yang kemudian diberikan kepadamu. Tuh, leontin yang ada foto mereka berdua,” kata Naya.
“Benar... benar Naya.”
“Susan, kalau kamu menangisi benda itu barangkali tak akan ada gunanya. Bagaimana kalau kamu membuat perhiasan dengan model serupa dengan foto itu? Memang tidak sama, tapi setidaknya kamu sudah meniru modelnya dan itu milik Ibu kamu. Barangkali sedikit bisa mengobati luka hati kamu.”
“Oh, benar Naya, kalaupun aku menagihnya dari Mama, sudah pasti barang itu sudah tak ada. Mungkin dijual atau diberikan kepada siapa, jadi lebih baik aku membuat tiruannya, barangkali bisa sedikit mengobati rasa kecewa aku ya Nay.”
“Benar, bawa foto itu nanti ke tukang emasnya, agar bisa mencetaknya untuk leontin kamu. Juga model permatanya. Bisa kok.”
“Naya, terimakasih telah selalu menemani aku dan menguatkanku,” isak Susan sambil memeluk Naya erat, mengumbar derasnya air mata yang terburai bersama duka hatinya.
“Lihat Susan, ada kertas diremas-remas disudut kopor. Itu.. disela-sela tumpukan baju itu.”
Susan melepaskan pelukannya. Tadi mereka belum sempat membongkar semuanya. Ada kertas yang diremas, karena mungkin tidak terpakai, bergulung disudut kopor. kumal yang kemudian diambil oleh Susan. Selembar kertas, hanya sesobek, atau memang sudah sobek. Tulisannya sangat buruk, seperti coretan-coretan, mirip tulisan neneknya.
Untuk Lusi,
Lusi menantuku, kelak kalau Susan sudah dewasa, dia berhak.....sebenarnya. Kopor besi berwarna ijo itu jangan sekali-kali.......... , karena ........ikan ayahnya untuk dia. Jadi biarkan dia sendiri y............
Surakarta, 15 Mei 2005
Dari Nani,
“Ini dari Menek untuk Mama. 5 hari sebelum Nenek meninggal. Nenek meninggal tanggal 20 Mei 2005. Ditulisnya dalam keadaan sakit, makanya tulisannya sangat jelek. Mungkin Lusi sudah menyobeknya dan entah dimana sobekannya.”
“Tapi biarpun hanya sesobek, kita bisa mengerti maksudnya. Kopor itu peninggalan ayahmu. Lusi dilarang membukanya, dan harus memberikannya kepada kamu, karena kamu berhak mengetahui siapa sebenarnya kamu, Lebih kurangnya begitu Susan,” kata Naya.
“Jahat.. jahat... jahat...” jerit Susan sambil memeluk foto Ayah dan Ibunya...
“Mengapa Mama kamu tidak membuangnya sekalian? Mungkin ingin membuangnya, tapi terlempar kedalam kopor dan dia tidak mengetahuinya, karena terburu-buru ingin mengambil kotak perhiasan itu. Bukankah ini jalan dari Allah yang ingin menunjukkan kepada kamu atas semua yang terjadi?” kata Naya.
“Nenek tidak bisa bicara ketika itu.. dia memeluk aku sambil menangis.. ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Mama. Mungkin Nenek ingin bilang bahwa aku harus bertanya kepada Mama, karena menurut Nenek mama mengetahui semuanya. Tapi Mama tidak pernah mengatakan apa-apa.”
Naya merapikan tumpukan baju-baju itu dan memasukkannya kembali kedalam kopor, lalu bersama Susan barang itu dibawanya keluar. Dikamar mamanya, Susan mengambil kotak kosong yang bertuliskan untuk dirinya, dijadikan satu didalam kopor itu. Tapi foto bapak ibunya disimpan didalam tasnya.
“Naya, ini aku bawa ke rumah kostku dulu ya, baju-baju ini butuh laundry.”
“Ya, sebaiknya begitu.”
“Besok Minggu aku akan ke Boyolali, alamat itu tidak jelas, tapi siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu, lalu bisa mengetahui dimana Ayah Ibuku dimakamkan.”
“Ya, sebaiknya begitu, aku akan mengantarmu,” kata Naya.
“Naya, kamu sangat baik, terimakasih banyak ya.”
***
Bu Triani mencak-mencak karena Lusi tak mau keluar dengan alasan sakit. Dia sudah ke kantor BPN dan benar bahwa itu sertifikat palsu. Dengan mata berapi-api ia langsung melaporkan semua yang dilakukan Lusi.
“Kurangajar dia, menipu sampai sebegitu banyak. Ini semua buktinya, sudah saya foto copy dan saya serahkan kepada Bapak. Juga pernyataan dari BPN bahwa sertifikat itu palsu. Setan alas dia, sudah berteman selama bertahun-tahun tega menipu saya. Saya harap dia dihukum seberat-beratnya. Atau biarkan dia membusuk dipenjara.”
Bu Triana yang tak bisa mengendalikan diri terus menerus mencak-mencak, sampai ketika naik ke mobilnya menuju pulang, umpatan demi umpatan terus saja meluncur.
“Tapi aku akan tetap menagih pada Susan, dia juga harus ikut bertanggung jawab,” lanjutnya, kemudian ia menuju ke rumah Lusi kembali. Namun sesampai disana rumah itu kosong. Menambah geram hati Bu Triani.
***
Memang hari itu Susan tidak ke rumah. Ia mengerjakan pekerjaan kantor karena beberapa hari agak terbengkalai. Tapi Pak Indra memakluminya.
“Tapi kamu sudah menemukan siapa orangtuamu kan San?” Tanya Pak Indra.
“Namanya sudah Pak, desanya Mojolegi. Besok Minggu saya mau ke Boyolali, barangkali bisa menemukan sesuatu disana.”
“Mudah-mudahan segera selesai permasalahan kamu ini ya San, aku ikut prihatin.”
“Terimakasih Pak, Naya dan Bapak sudah banyak membantu.”
“Pastilah San, kamu kan karyawanku, sekaligus calon menantuku.”
Susan tersenyum menatap Pak Indra.
“Benarkah Bapak mau bermenantukan saya? Ternyata kan saya hanya anak orang desa, dan sampai sekarang juga belum jelas dimana makamnya.”
“Lebih baik orang desa tapi berperilaku baik, daripada orang kota, terpandang, tapi kelakuannya tidak terpuji. Bukankah begitu Susan?”
Susan mengangguk terharu. Ada rasa bahagia disaat hatinya sedang terombang-ambing oleh hidupnya yang belum jelas, masih ada orang yang memberi banyak perhatian dan bahkan mau mengambilnya sebagai menantu.
“Tapi apa kamu belum mendengar, atau Naya lupa ya, hari Minggu itu kan Dayu sama Liando bertunangan. Kami sekeluarga harus hadir, karena Pak Tikno itu kan sudah seperti keluarga bagi kami.”
“Oh iya, Tante Diana juga pernah bilang. Apakah acaranya siang?”
“Sepertinya siang.”
“Tidak apa-apa Pak, nanti ke acara itu dulu, baru saya mau ke Boyolali.”
“Baiklah, yang penting semua bisa tertangani.”
***
“Susan, apakah kamu membawa fotonya Bapak sama Ibu kamu?” Tanya Naya ketika mereka makan siang diluar.
“Aku bawa, soalnya aku mau mampir ke tukang foto, mau aku perbesar dan aku buat pigura cantik, biar aku pasang di kamar aku.”
“Baguslah.”
“Kenapa nanya?”
“Nanti aku akan ajak kamu mampir kesuatu tempat.”
“Dengan foto ini ?”
“Ya...“
Tapi ketika Naya mengajaknya masuk kesebuah toko emas, Naya menolaknya.
“Jangan Naya, aku belum cukup uang untuk membuat tiruan perhiasan Ibu, besok-besok saja, aku juga belum melihat tabungan aku.”
“Bukan kamu, tapi aku.”
“Apa maksudmu?”
“Aku hanya ingin meniru model cincinnya saja.”
“Naya..”
“Ayolah, sambil nanya-nanya saja kan nggak apa-apa?”
“Nanya saja? Ya benar, supaya aku tahu kira-kira berapa uang yang harus aku persiapkan untuk membuatnya ya?”
“Benar, takut amat sih,” kata Naya sambil menarik tangan Susan masuk kedalam.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”
“Mau nanya dulu, coba San, foto nya tolong keluarin,” katanya kepada Susan.
Susan mengeluarkan foto itu.
“Bagaimana kalau saya mau pesan cincin, yang modelnya seperti difoto ini?”
Susan menatap Naya tak mengerti, tapi dikeluarkannya juga foto itu.
Tukang emas itu mengamati gambarnya.
“Cincinnya terlalu kecil, kurang jelas modelnya.”
“Permata pada cincin itu modelnya sama dengan antingnya, dan juga pada gelangnya,” kata Naya.
“Oh, iya.. iya.. saya mengerti..”
“Naya...”
“Cincin itu saya pesan sekarang, berapa harganya, lalu saya mau tanya dulu, kalau setelan seperti yang dipakai di foto itu semua berapa ya? Oh ya, leontinnya ada fotonya, seperti digambar ini.”
“Baiklah, cincinnya mau yang berapa gram?”
“Bagaimana kalau 5 gram? Cukupkah?”
“Cukup pak, biasanya juga segitu, sebentar saya hitungkan permatanya ya.”
***
“Naya, kamu pesan cincin untuk aku?” tanya Susan dalam perjalanan kembali ke kantor.
“Dengar Susan, besok Minggu Dayu mau tunangan, tiba-tiba aku juga ingin secepatnya menyusul mereka.”
“Ya ampun Naya, begitu tiba-tiba?”
“Tidak, aku sudah memikirkan sejak lama. Lalu aku ingat cincin di foto itu. Kalau aku buat yang modelnya sama, kamu pasti senang kan?”
“Naya, tentu saja aku senang. Tapi yang lain-lainnya baru akan aku pikirkan, lumayan banyak, aku akan hitung-hitung dulu uangku.”
“Yang penting mereka bisa, angkanya sudah jelas. Ya kan?”
“Oh ya, tolong ke tukang foto dulu ya Nay, sampai lupa.”
“Iya, aku juga lupa.”
***
Malam itu ditempat kost Susan membongkar kopor usang itu. Baju-baju itu masih utuh dan bagus, tapi karena disimpan terlalu lama, baunya sangat tidak enak. Susan mengambilnya satu persatu, dimasukkan kedalam tas kresek yang sudah disiapkan, besok dia akan membawanya ke laundry. Tapi sebelum memasukkannya, Susan mengkibas-kibaskan dulu baju itu, supaya kalau ada kotoran tidak ikut masuk kedalamnya.
Tapi ketika giliran jas bapaknya dikibaskan, sesuatu meluncur dari dalam saku jas itu. Susan memungutnya, dan terpana melihatnya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment