Monday, October 12, 2020

Bagai Rembulan 32

BAGAI REMBULAN  32 
By: Tien Kumalasari

Mata Susan berbinar, duduknya beringsut, lebih mendekati Bu Diana.

“Tante kenal keluarga Nenek saya?”

“Kami bersahabat sejak lama. Nenek kamu itu pedagang berlian yang terkenal karena dagangannya selalu baik dan bermutu. Kakaknya yang bernama Kuncoro, sebelumnya juga tinggal serumah, karena rumah itu memang rumahnya Kuncoro.”

Susan semakin memperhatikan.

“Tapi Kuncoro itu sering bepergian. Sudah tua belum juga punya istri. Pacarnya banyak.”

Susan menutup mulutnya.

“Wajahnya tampan, duitnya banyak. Pantaslah kalau gonta-ganti pacar. Tapi tak satupun dinikahinya. Katanya mereka hanya suka hartanya. Lalu entah bagaimana, dia membeli tanah di desa, lalu tak pernah kembali pulang lama sekali. “

Bu Diana tampak menghela nafas panjang.

“Sebetulnya aku tahu sesuatu, tapi tak ingin mengatakannya pada siapapun. Tidak pernah, karena aku menganggap ini sebuah rahasia keluarga Nenek kamu. Tapi karena Nenek kamu tidak ada lagi, dan Mama kamu rupanya tidak bisa menjaga amanah dari almarhum, lalu karena kamu menanyakannya, jadi aku ingin mengatakan semuanya.”

Simbok keluar dan menyajikan teh hangat untuk tamu-tamunya.

“Silahkan diminum,” sapa Simbok.

“Terimakasih ya Mbok,” jawab Susan dan mengherankan hati Simbok. Baru sekali ini Susan mengucapkan terimakasih. Simbok mengangguk dan tersenyum senang, senyum yang juga belum pernah Simbok berikan untuk Susan sebelumnya.

“Minumlah dulu, sambil aku mengingat-ingat lagi,” kata Bu Diana.

Naya dan Susan meneguk minumannya, serasa tak sabar mendengar penuturan Bu Diana selanjutnya.

“Ketika itu Gatot sudah menikah dengan Mama kamu. Gatot itu anak Nenek kamu satu-satunya. Tapi dia meninggal karena serangan jantung, ketika Anjas masih bayi.”

“Ya, saya belum pernah melihat Papa..” sahut Susan.

Lalu pada suatu hari datang seseorang dari desa, membawa bayi perempuan. Bayi itu anaknya Kuncoro, dengan seorang gadis desa yang masih muda. Sayangnya dia meninggal ketika melahirkan.”

“Saat itu, katanya Kuncoro sakit keras. Paru-parunya bolong karena kebanyakan merokok sejak muda. Lalu tak lama kemudian dia meninggal.”

“Oleh Nenek kamu, bayi itu diserahkan kepada Lusi, Mama kamu, agar dirawat seperti anak kandungnya sendiri.”

“Tapi Mama kamu sering ada di Surabaya karena punya bisnis juga, entah bisnis apa aku tidak tahu. Jadi anak-anak itu kemudian Nenek kamu yang merawatnya. Hanya kadang-kadang dia kemari beberapa hari, lalu kembali lagi ke Surabaya. Kamu sudah tahu bahwa bayi perempuan itu kamu, Susan?”

Susan mulai bisa mengupas satu persatu peristiwa yang sejak kemarin masih memenuhi benaknya sebagai pertanyaan yang belum terjawabkan, walau belum semuanya.

“Ya Tante...”

“Barangkali ada pesan-pesan atau surat yang menyertai saat kamu dikirim kemari oleh kerabat dari desa itu, aku tidak tahu. Yang aku tahu bahwa rumah itu milik Kuncoro, Ayah kamu.”

“Kemarin saya menemukan kotak bertuliskan ‘Untuk Susan’... tapi kotak itu kosong.”

“Nah, itu aku juga tidak tahu, mungkin berisi pesan, atau mungkin perhiasan untuk kamu, entahlah. Kalau itu pasti Mama kamu yang tahu. Cuma saja menurut aku, karena ada tulisan ‘Untuk Susan’ jadi mestinya tidak seorangpun boleh membukanya.”

Susan mengangguk-angguk. Semakin jelas bahwa Lusi tidak punya itikat baik atas dirinya, walau benar bahwa dia disayangi atau seakan disayangi selama ini.

“Mm... apa lagi ya... aku kira hanya itu yang aku tahu...“

“Tahukah Tante nama Ibu saya?”

“Aduuh, Nenek kamu pernah memberitahu, tapi aku lupa namanya. Sumini... atau Suminah ya...  karena memang bukan urusanku, jadi aku tidak mengingatnya, tapi dia tinggal di daerah Boyolali, nama desanya aku juga tidak tahu.”

“Siapa yang mengantar bayi itu Bu?” tanya Naya.

“Salah seorang kerabat desa sana Nay, tapi aku juga tidak tahu. Coba kalian cari-cari lagi barangkali masih ada yang bisa kalian temukan di rumah itu.”

“Baiklah Tante, terimakasih banyak atas semuanya.”

“Cuma itu yang aku tahu. Oh ya, kapan kalian menikah?”

“Mohon doanya ya Bu, mungkin setelah permasalahan Susan ini selesai.”

“Syukurlah, jangan lama-lama. Ini aku juga sedang bersiap melamar Dayu, lalu menyuruhnya bertunangan sekalian.”

“Senang mendengarnya Tante.”

“Maaf ya Susan, kamu sama Liando mungkin tidak berjodoh.”

“Tidak apa-apa Tante, kan yang mau Mama, bukan saya.”

“Kamu ternyata anak baik. Jauh berbeda dengan Mama kamu. Iya benar sih, kan kamu bukan darah dagingnya.”

“Ketika itu Tante sudah tahu kalau saya bukan anaknya Mama?”

“Sudah San, kan itu sebenarnya permintaan Nenek kamu. Tapi aku agak risih dengan sikap Mama kamu, sehingga membatalkannya. Kamu tidak apa-apa kan?”

“Saya bersyukur Tante, karena saya memang tidak suka Liando. Jodoh saya ini, yang mudah-mudahan diridhoi oleh Yang Maha Kuasa.”

“Aamiin, aku akan mendoakan Nak, kalian adalah anak-anak sahabat aku.”

***

Hari itu mereka berencana ke rumah lagi seusai dari kantor, tapi sebelumnya sudah mampir dulu ke kantor BPN, menanyakan tentang keaslian sertifikat tanah yang foto copynya diberikan oleh Bu Triani, dan foto copy yang ditemukan di almari tua itu. Hasilnya masih besok paginya.

Hari sudah sore ketika Susan dan Naya kembali memasuki rumah itu., dan kembali mengubek-ubek isi almari yang ada disana.

Mereka duduk kelelahan di teras.

“Bagaimana kalau dilanjutkan besok saja?” tanya Naya ketika melihat Susan tampak letih.

“Iya, besok setelah mengambil hasil dari BPN. Tapi Nay, aku sendiri juga nggak apa-apa, kasihan kamu terus membantu aku, kan aku sendiri juga nggak apa-apa?”

“Kan kalau dibantuin bisa lebih cepat selesainya?”

“Jadi nggak enak sama kamu..”

“Haishhh..  emang aku nggak enak, dikira makanan apa?” canda Naya.

“Kalau kamu makanan sudah aku habisin dari kemarin..”

“Waah... rakuuuusss..”

“Ya sudah, ayo pulang.”

“Lho, ini kan rumah kamu..?”

“Belum jelas Nay, lebih baik biarkan saja dulu. Pekara rumah ini sebenarnya nggak begitu aku pikirkan.“

“Ya sudah, bisa dipikirkan nanti.”

***

“Mas, minggu depan Bu Diana mau melamar, kalau ada waktu besok bersihkan rumah ya.. atau minta tolong seseorang, gitu?”

“Gampang, Yang mau dibersihkan apa saja?”

“Paling mengecat tembok depan itu Mas, sama membersihkan kebun. Tapi bersih-bersih kebun bisa aku. Mengecat itu, kan harus naik-naik segala, nggak berani aku.”

“Nanti aku saja. Atau Adit kan sudah nggak kuliah?”

“Adit itu Minggu depan sudah mulai bekerja lho Mas.”

“Kan masih minggu depan? Nanti Bapak beri tahu dia supaya mengecat yang bagian depan dulu saja. Nanti sepulang kantor aku bantu deh.”

“Iya Pak, wong ya cuma rumah kecil, barangkali dua atau tiga hari sudah selesai. Nanti aku masak sendiri saja buat hidangan.”

“Nggak capek? Kalau perlu pesan saja kan nggak apa-apa.”

“Cuma keluarganya Bu Diana kan nggak banyak, plus keluarganya Pak Indra. Kalau pesan ya boros, aku masak sendiri saja, yang bisa dimasak sekarang ya akan aku masak sekarang. Nggak susah kok, cari masakan yang gampang tapi enak.”

“Oh, aku lupa kalau istriku jago masak..”

“Iih... mana ada perempuan jago... betina tahu!”

Lalu keduanya tertawa renyah.

“Aduuh, Bapak sama Ibu kalau sudah bercanda asyik deh...”

“Lha ini anaknya muncul...“

“Iya, sini Dit, Bapak mau minta tolong.”

“Apa tuh?”

“Besok bantuin Bapak ngecat rumah ya? Dari depan saja dulu, nanti Bapak ambilkan tangganya yang dibelakang rumah itu.”

“Oh... Adit tahu, mau ada yang dilamar nih...”

“Iya, mau bagaimana lagi, Bu Diana maunya begitu. Sekalian tunangan malah.  Biar saja, kan nikahnya masih nunggu kalau adikmu sudah selesai.”

“Baiklah Bapak, beres, serahkan semua pada Adit. Soal mengambil tangga biar Adit saja lah, masa yang muda diladenin. Besok pagi-pagi beli cat sama peralatannya dulu.” 

“Iya, terserah kamu saja. Bisa dua tiga hari selesai kan, nanti Bapak bantu sepulang kantor. Katanya minggu depan kamu sudah mulai kerja.”

“Iya Pak, Liando maunya begitu. Ya syukurlah, biar Adit cepat kerja, terus berani ngelamar deh.”

“O... sudah pengin rupanya?” ledek Surti.

“Ya pengin lah Bu, kata orang-orang tua, kelamaan pacaran itu nggak bagus.”

“Tapi ya sama lah, mungkin Yayi sama Dayu selesainya juga hampir bareng.”

“Hm, kalau anak-anak sudah menikah, tinggal kita berdua ya Bu..”

“Iya.. Bapak sama Ibu pacaran lagi.. siapa tahu Adit masih bisa punya adik...” canda Adit.

“Hush... kamu ada-ada saja.. masa orang setua Ibu masih bisa punya anak. Sudah mandi dulu sana, nanti omong-omong lagi.”

“Kamu dari mana sih Dit?”

“Nganterin Yayi beli buku. Yayi banyak cerita tentang Susan.”

“Kenapa lagi dia?”

“Ternyata Susan bukan anak kandungnya Bu Lusi.”

“Oh ya?”

“Ceritanya seru, tapi Adit kasihan sama Susan, mandi dulu aja ya Bu, nanti baru cerita.”

“Ya sudah sana, bau asem ih !”

***

“Sudah hampir pasti kalau rumah itu bukan punya Lusi, berarti Lusi akan dijerat pasal berlapis. Memalsukan sertifikat dan penipuan.” Kata Indra malam itu.

“Ya ampuun, bisa-bisanya dia melakukan itu ya Mas? Sudah diberi hidup berkecukupan, masih saja kurang.”

“Seharian tadi mereka sudah ketemu Diana.”

“Berarti sudah jelas siapa orangtuanya?”

“Ya, Diana ternyata tahu bahwa Susan bukan anaknya Lusi. Ketika menjodohkan itu sebetulnya kan keinginan Neneknya Susan. Tapi karena sikap Lusi itulah maka Diana jadi nggak suka.”

“Bu Diana juga tahu siapa orangtuanya?”

“Dia tahu tentang yang namanya Kuncoro, Bapaknya Susan, tapi tidak tahu siapa istrinya. Jadi Susan masih penasaran tentang orangtuanya.”

“Aku bisa mengerti Mas, pasti Susan masih penasaran.”

“Banyak kebohongan dilakukan Lusi yang Susan sama sekali tidak tahu. Tapi semua itu kan ada batasnya. Di suatu titik nanti akan terbuka semuanya.”

“Apakah sertifikat itu benar-benar palsu?”

“Hampir pasti, karena Diana juga tahu bahwa rumah itu miliknya Kuncoro.”

Semoga semuanya segera berakhir. Oh ya Mas, ada permintaan Mas Tikno, supaya Minggu depan ini kita ke rumahnya lho.”

“Ada acara apa?”

“Itu acara lamarannya Dayu lho Mas, sekalian tunangan..”

“Oh iya, pernah mendengar bahwa akan dilamar..”

“Maka dari itu, aku lupa bilang sama Mas.”

“Oh ya? Syukurlah, aku ikut senang.”

“Ya nggak apa-apa, keluarga Mas Tikno kan juga keluarga kita, sudah selayaknya kalau kita ikut menerima lamaran itu di rumah mas Tikno.”

“Akhirnya ya Mas, dan jangan lupa kita juga akan segera melamar lho. Naya sudah merengek-rengek tuh.”

“Iya aku tahu, tapi melamar sama siapa ya?”

“Nah itulah... tapi pasti suatu hari nanti ketemu kok keluarganya Susan. Semoga semuanya baik-baik saja.

***

“Ibu tidak usah repot menyuapkan baju untuk acara pertunangan,” kata Dayu ketika melihat Mamanya tampak mencari-cari baju.

“Lho, gimana sih kamu? Biar nggak punya Ibu kan harus mempersiapkan, itu acara sekaligus pertunangan, masa pakai baju biasa-biasa saja? Sepertinya Ibu masih punya baju yang lumayan dan baru sekali Ibu pakai.”

“Tapi Bu Diana sudah memesan baju kembar sama Ibu.”

“Masa, sih, sungkan aku, masa baju juga dikasih.”

“Itu Bu Diana pesannya sama Dayu Bu, nanti atau besok pasti Ibu diajak untuk mengepas pakaiannya.”

“Ya ampun. Mengapa kamu tidak menolaknya?”

“Ibu ini bagaimana? Aku tiba-tiba diajak belanja, langsung memesan-mesan gitu, gimana cara menolaknya?”

“Nggak enak ya Nduk, mengapa Bu Diana begitu baik sama kita.”

“Iya Bu, tapi mau bagaimana lagi. Menolak juga nggak enak.”

“Nanti kamu kuliah?”

“Nggak Bu, nanti Dayu yang mengantar makanannya Bu Diana.”

“Iya, nggak apa-apa, tapi nanti pulangnya bantuin bersih-bersih ya? Kemarin Bapak sudah meminta Adit untuk mengecat rumah.”

“Oh, iya Bu, pasti Dayu bantuin. Sekarang masakannya apa sudah selesai?”

“Tinggal sayurnya, sebentar, Ibu tadi sebetulnya lagi memilih-milih baju sambil menunggu air mendidih.”

“Ayo Dayu bantuin Bu.”

***

Naya dan Susan sudah ada di dalam rumah Lusi. Ada rasa aneh ketika menyadari bahwa rumah itu adalah miliknya, karena dari BPN tadi sudah ada keterangan bahwa yang benar adalah foto copy rumah yang ditemukan didalam almari tua itu, dan BPN sudah membuatkan salinannya. Setelah data orangtuanya ditemukan, Susan baru akan mengurus rumah itu.

“Apakah nanti aku juga harus bilang pada Mama tentang sertifikat itu?”

“Ya sebaiknya bilang, supaya Mamamu tidak lagi mengharapkan apapun dari rumah ini.”

“Tapi kok aku merasa kasihan ya Nay, kalau Mama tidak punya rumah lagi nanti mau tinggal dimana? Rumah yang di Surabaya sepertinya dikontrak orang.”

“Ya sudah itu dipikirkan nanti, yang paling gawat itu adalah nanti kalau Bu Triani marah-marah. Pasti nanti semua akan menjadi panjang.”

“Iya juga ya.”

“Tapi itu dipikirkan nanti saja, ayo sekarang bongkar-bongkar lagi.  Siapa tahu kita menemukan sesuatu.”

Tapi didalam almari tua itu mereka tak menemukan apapun lagi. Semua buku yang dibuka-buka tak ada satu lembarpun data yang ditemukan.

Susan kembali merapikan buku-buku itu, dan sekaligus merapikan baju-baju Lusi yang masih terserak dilantai. Oh ya, Susan lupa, di almari gantung ada beberapa tas Lusi. Susan membukanya, meletakkan empat atau lima buah tas itu dilantai, kemudian dia sendiri duduk bersimpuh lalu membuka setiap tas yang ada. Tapi tak ada yang ditemukannya.

Lihat, dibawah itu ada map yang pasti kamu belum membukanya.

“Oh ya... map apa ini?”

Susan membukanya dengan harap-harap cemas, tapi map itu berisi surat perjanjian hutang-hutang Lusi, yang salah satunya sama dengan surat yang foto copynya diberikan Bu Triani kepada Susan.

Susan mengembalikan lagi map itu ketempatnya, lalu kembali bersimpuh dengan matanya memandang kesekeliling ruangan.

“Sepertinya tak ada apa-apa lagi disini.”

“Bagaimana dengan gudang? Adakah gudang di rumah ini?”

“Gudang? Ada... aduh... hanya barang-barang tak berguna yang ada disana.”

“Siapa tahu ada sesuatu, ayo, dimana letaknya?”

Naya dan Susan bangkit lalu bergegas kebelakang. Disebelah dapur, ada ruang tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Susan membukanya, dan bau pengap segera menyergap hidung mereka.

Susan berlari keluar, masuk kedalam kamarnya dan mengambil dua lembar kain scraf yang biasa dipakainya. Ia menyerahkan satu kepada Naya, lalu mengikatkan scfarf  itu untuk menutupi hidungnya, kemudian memasangkannya diwajah Naya.

“Supaya tidak menghisap debu,” kata Susan. Lalu mencari-cari..

“Ini buku-buku Anjas..  masih bagus-bagus, wong nggak pernah dibuka,” kata Susan sambil menyingkirkan kardus itu.

“Itu apa?”

“Itu baju-baju Mama yang sudah nggak pernah dipakai, tarik turun saja Nay, nanti akan aku berikan kepada orang yang membutuhkan. Itu masih bagus-bagus kok.”

Naya menarik tas bening besar yang terletak agak keatas, lalu dilemparkannya keluar gudang.

Tiba-tiba sebuah kopor lusuh ikut meluncur turun dari tumpukan.

“Ini kopor siapa? Aku nggak pernah melihatnya.”

“Pastinya milik Nenek kamu..”

“Bukan tuh.. ih... ini kopor sudah karatan. Coba dibuka bisa enggak.”

Kopor itu terkunci, tapi karena sudah karatan, sekali tarik bisa terbuka.

Susan belum sempat mengamati isi kopor tua itu ketika didengarnya sebuah teriakan dari depan.

“Susaaan... Susaaan.. kamu didalam kan?”

“Itu suara Tante Triani.”


Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER