Sunday, October 11, 2020

Bagai Rembulan 31

BAGAI REMBULAN 31 
By: Tien Kumalasari

Susan mencengkeram meja di depannya agar tak sampai limbung dan jatuh dari tempat duduknya. Seperti mimpi mendengar kata-kata yang seperti menggelegar membelah perasaannya.

“Mamaa...” panggilnya pelan.

Tapi Lusi sudah membalikkan tubuhnya, dibantu oleh petugas yang mengawalnya.

“Aku kelepasan bicara,” gumamnya.

Susan berhenti sejenak untuk menenangkan batinnya, sebelum kemudian berdiri setengah terhuyung, ke luar dari ruangan itu.

“Apakah aku bermimpi? Benarkah apa yang dikatakan Mama bahwa aku bukan anaknya? Lalu anak siapakah aku ini?” bisiknya berkali-kali, sambil menunggu taksi yang baru saja dipanggilnya.

“Aku akan pulang ke rumah dulu, siapa tahu aku bisa mendapatkan sesuatu sebagai jawaban atas kebenaran kata-kata Mama. Kalau aku bukan anaknya, lalu anak siapa aku ini?”

***

Susan memasuki rumahnya atau entah rumah siapa, yang pernah ditinggalinya sejak dia masih mengingatnya.

“Apakah aku jatuh dari langit?”

Susan mengunci rumahnya sebelum dia menuju ke kamar Mamanya. Terkunci, entah dimana kunci itu, tapi Susan mendapatkan akal untuk membukanya. Ia ke belakang, mencari alat yang bisa digunakan untuk merusak pintu kamar itu. Biar rusak sekalipun Susan tak perduli, karena bukankah rumah ini akan menjadi milik orang lain? Susan mendapatkan obeng di garasi, ditempat alat-alat milik Anjas yang entah untuk apa. Susan juga mengambil sebuah pukul besi.

Ia bergegas kembali ke depan kamar Mamanya, mengotak-atik lobang kunci dengan obeng dan pukul besinya. Gaduh suara itu tak dipedulikannya, toh tak akan ada yang mendengarnya. Susan merasa lega ketika akhirnya bisa membuka pintu dengan paksa. Ia membiarkan saja tempat kunci yang rusak, sekarang ia harus membuka paksa juga almari Mamanya. Tapi kunci almari itu ternyata ada. Tergeletak begitu saja di atas meja. Mungkin Mamanya lupa menyimpannya, atau memang sudah tak ada barang berharga disana yang perlu disimpannya rapat-rapat.

Tumpukan baju dibongkarnya, barangkali ada sesuatu dibawahnya, tiga rak baju dibongkar tanpa menemukan apapun. Susan membuka laci kecil ditengah almari itu. Ia menemukan sebuah kotak perhiasan. Tapi ketika dibuka, kotak itu kosong. Rupanya Mamanya sempat membawa semua perhiasannya, atau memang sudah tak punya.

Susan bersimpuh di lantai, kelelahan. Setumpuk baju masih terserak di lantai. Susan tak peduli. Matanya mencari-cari kesekeliling ruangan. Oh ya, masih ada almari kecil di sudut sana. Susan bangkit, dan mendekat. Tampaknya almari itu jarang dibuka. Tak ada kunci yang tampak disekelilingnya. Susan meraba-raba, kalau kunci ditemukan ia tak perlu bersusah payah mempergunakan alat untuk membukanya paksa. Lobang kunci itu sudah karatan, rupanya memang jarang atau memang tak pernah dibuka. Itu membuat Susan penasaran.

Ada rak kecil dibagian bawah almari, Susan menariknya, ha.. ternyata ada kunci disitu, Susan mencoba mempergunakan untuk membukanya. Ternyata susah. Susan berlari ke dapur. Adakah minyak di dapur? Tak ada, bukankah Mamanya tak pernah memasak? Tapi di meja ada roti yang sudah jamuran, dan didekatnya ada mentega. Susan mengambil mentega itu untuk meminyaki kunci yang sudah karatan. Masih agak susah, tapi kemudian berhasil. Susan menjatuhkan tubuhnya di lantai. Karena almari itu pendek, ia tak bisa membuka atau mengeluarkan isinya sambil berdiri.

Bau apek menyengat. Susan mengibas-ngibaskan tangannya.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

_'Susan?'_ ternyata dari Naya.

'Ya.. ada apa?'

_'Kamu lama sekali? Masih di lapas?'_

'Tidak, aku di rumah.'

_'Ngapain?'_

'Lagi mencari sesuatu, maaf tidak bisa segera kembali ke kantor.'

_'Aku menyusul kamu ya?'_

Susan berfikir sejenak, tapi ada baiknya ada yang membantu.

'Baiklah, aku tunggu.' 

Susan meletakkan ponselnya, lalu melanjutkan melihat apa isi almari itu. Ah, hanya album foto-foto lama. Susan mengeluarkannya. Lalu ada sebuah kotak besi kecil, dan ada tulisan diatasnya. *UNTUK SUSANTI.*

“Haa, Susanti... untuk aku?”

Susan membuka kotak itu, ternyata tak ada apapun didalamnya.

“Aneh, siapa memberikan kotak ini yang bertuliskan untuk aku, tapi tak ada isinya? Ataukah isinya sudah diambil? Apa kira-kira isinya ya? “ gumam Susan.

Lalu Susan tergerak untuk membuka beberapa album lawas yang baru saja dikeluarkannya.

Foto-foto lama, beberapa ia tak mengenalinya. Tapi ada foto Neneknya ketika masih agak muda, bersama seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Ia bukan Kakeknya, karena banyak foto-foto Kakeknya dipajang di rumah itu.

“Ada beberapa foto Nenek bersama laki-laki yang entah siapa aku tidak tahu.”

Sebuah ketukan dipintu membuat Susan bangkit. Pasti Naya yang datang. Ia lupa bahwa ia telah mengunci pintunya.

“Susan, lagi ngapain kamu?” Tanya Naya heran melihat wajah Susan kusut dan tampak lelah.

“Masuklah, ayo bantu aku,” kata Susan sambil menarik tangan Naya.

Naya heran melihat kunci berantakan di lantai. Dan baju-baju berserakan.

“Ada apa ini?”

“Naya, aku tadi ketemu Mama, hanya untuk mengatakan bahwa rumah ini akan aku serahkan kepada Tante Triani.”

“Bagaimana kesan Mama kamu?”

“Marah bukan alang kepalang, maunya aku harus bisa membayar hutang itu. Mana mungkin? Aku tetap ingin menyerahkan rumah ini sesuai janji Mama. Tiba-tiba dalam kemarahannya Mama mengatakan bahwa aku ini bukan anak kandungnya.”

“Kamu? Bukan anak Mama kamu?”

“Aku sedang mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk tentang siapa aku ini. Di almari itu tak ada apa-apa yang aku temukan. Di almari kecil ini hanya ada album kuno, itu..Eh ada kotak ini.. “

“Ini untuk kamu Susan?” kata Naya setelah membaca tulisan diatasnya.

“Tapi kotak itu kosong, entah apa isinya dan siapa yang mengambilnya. Pasti Mama lah, siapa lagi. Tapi apa ya isinya?”

“Tunggu, itu tumpukan buku-buku apa?” tanya Naya.

“Itu paling buku-bukunya Nenek. Nenek itu suka membaca. Bukunya banyak, sebagian oleh Mama sudah dijual di tukang loak.”

“Aduh, sayang sekali.”

Tapi Naya nekat mengeluarkan tumpukan buku-buku itu.

“Ini buku-buku bagus, ini tentang petualangan suku Indian namanya Winnetou, karangan Karl May... yang... heii... ada surat didalamnya,” pekik Naya ketika sebuah amplop meluncur dari dalam buku yang dibukanya.

“Amplop apa ini?”

“Nina,

Aku titipkan bayi ini agar kamu rawat dengan baik. Ini darah dagingku, pewarisku. Aku tahu hidupku tak akan lama lagi. Sedangkan Ibunya ada didesa dan sudah meninggal pula saat bayi ini lahir... Aku tahu hanya kamu yang bisa merawatnya dengan baik. Bayi ini aku beri nama Susanti. Apabila bayi dan apapun yang aku sertakan bersamanya ini sampai ketanganmu, barangkali aku sudah tak ada lagi didunia ini.

Boyolali, 21 Pebruari 1990,

Dari kakakmu,

 Kuncoro.

                                        Gemetar tangan Susan membaca surat itu.

“ Siapa Kuncoro?”

“Siapa Nina?”

“Nina itu nama panggilan Nenek aku. Jadi kalau aku anak kakaknya Nenek, berarti aku keponakan Nenek dong. Apa ini benar?”

“Lalu mengapa kamu bisa menjadi anak Mama kamu?”

“Tunggu, surat ini dibuat th.1990, Susanti bayi. Kata Mama aku lahir 1 Pebruari 1990. Lalu Anjas itu lahir bulan Agustus 1989.  Aneh nya, kenapa aku tak pernah memikirkannya? Jarak umur kami tak ada setahun.

“Jadi benar aku bukan anak Mama”

Susan menyandarkan kepalanya di tembok.

Naya masih membuka-buka tumpukan buku. Ada Babat Tanah Jawa, buku-buku berbahasa Jawa dan... beberapa novel karya penulis terkenal.

“Ini apa?”

Naya membuka sebuah kertas yang dilipat, sudah sangat lengket karena sudah lama melipatnya.

“Ini seperti fotocopy sebuah sertifikat tanah...”

Susan memintanya.

“Lhoh, ini kan alamat rumah ini? Ini milik Kuncoro, ada nama Susanti sebagai pewaris.. Apa ini?”

“Susan, rumah ini adalah rumah kamu, tapi entah dimana aslinya.”

“Lha yang dibawa Tante Triani? Itu sertifikat yang sama, tapi kok bisa atas namanya Mama ya?”

“Bisa jadi itu palsu. Ayo kita mengurusnya.”

“Aku kok segan ya Nay..”

“Segan bagaimana, kalau itu hakmu, harus diurus dong..”

“Aku lebih suka mencari siapa orangtuaku, dimana dikuburkan dan apa yang terjadi sehingga dalam usia yang tidak muda bisa mempunyai seorang anak.”

“Susan, seorang laki-laki tidak memiliki batas usia ketika ingin memiliki keturunan. Wanitalah yang ada batasannya.”

“Berarti Ibuku masih muda?”

“Mungkin..”

“Aku ingin mencarinya, perkara rumah ini aku sama sekali tidak tertarik.”

“Siapa tahu dari kebenaran surat ini lalu rahasia orangtuamu bisa terkuak?”

“Gitu ya?”

“Ayo kita cari... aku akan membantu kamu.”

***

“Mas Naya sedang bingung...” kata Yayi kepada Bapak dan Ibunya malam itu.

“Iya, tampaknya begitu, “ kata Indra.

“Memangnya kenapa?” Tanya Seruni.

“Tadi mereka kembali kekantor sudah agak sore, Susan baru saja ketemu Mamanya tentang rumah itu, Mamanya marah-marah, lalu mengatakan bahwa Susan bukan anak kandungnya, pantesan tidak mau membantunya, begitu kata Lusi.”

“Syukurlah Bapak, jadi kita tidak usah berurusan dengan perempuan jahat itu,” kata Yayi.

“Bukan itu permasalahan yang sedang Susan hadapi. Dengan pernyataan bahwa Lusi bukan Ibu kandungnya, Susan kan harus mencari siapa orangtuanya.”

“Tidak dikatakan?”

“Seharian Susan dibantu Naya mengobrak-abrik almari Lusi. Menemukan surat bahwa Susan anak seorang laki-laki bernama Kuncoro, yang adalah kakaknya mertua Lusi.”

“Ooh, ya ampun.. ini cerita yang sangat menarik. Lalu dimana orang bernama Kuncoro itu, ada alamatnya 'kan?”

“Tidak, dia sudah meninggal.”

“Meninggal?”

“Dan ditemukan bukti bahwa serifikat yang digadaikan Lusi itu palsu, karena mereka menemukan foto copyannya.”

“Jadi rumah itu bukan milik Lusi?”

“Rumah itu milik Kuncoro.”

“Milik Mbak Susan berarti?” sambung Yayi.

“Mereka sedang akan mengurusnya ke kantor BPN, belum hari ini, mungkin besok, supaya jelas mana yang benar diantara sertifikat itu.”

“Kalau Lusi memalsukan sertifikat berarti temannya yang menghutangkan uang itu tak akan mendapat apa-apa, bukankah sertifikatnya palsu?”

“Ya, semua kan belum jelas, palsu atau tidaknya masih harus menunggu.”

“Ih, rumit amat,” keluh Yayi.

“Mas, bukankah mertuanya Lusi itu sahabatnya Bu Diana?” tiba-tiba Seruni teringat sesuatu.

“Oh... iyaaa. Benar.. nanti aku bilang sama Naya, bahwa dia bisa menanyakannya kepada Diana, siapa tahu dia mengenal keluarga sahabatnya itu.”

“Kalau begitu Mas bilang saja sama Naya, suruh mereka menemui Bu Diana.”

“Iya, nanti kalau Naya pulang aku bilang. Kasihan Susan, banyak hal tak terduga terjadi pada perjalanan hidupnya.”

“Dia anak baik, pasti nanti semuanya juga akan selesai dengan baik.”

***

“Kita akan mengurusnya sekarang?” tanya Naya kepada Susan dikantornya.

“Nanti saja Naya, aku selesaikan pekerjaan dulu, nanti Pak Indra mengira aku hanya memikirkan diri aku sendiri sampai melalaikan tugas aku.”

“Tidak Susan, Bapak kan sudah tahu permasalahannya.”

“Iya, tapi nanti setelah istirahat siang saja.”

“Oh ya, semalam Bapak bilang, bahwa kita bisa menemui Bu Diana untuk menanyakan perihal keluarga Nenek kamu itu.”

“Bu Diana? Mengapa Bu Diana?”

“Mereka 'kan sahabatan sejak dulu, jadi kemungkinan besar dia tahu banyak tentang keluarganya Nenek kamu.”

“Aduh, sungkan aku kalau kesana?”

“Mengapa sungkan? Karena urung menjadi menantunya?” ledek Naya.

“Kesan Tante Diana ke aku pasti sudah terlanjur jelek..”

“Tidak, Bapak sudah pernah bertemu Bu Diana dan mengatakan tentang kamu.”

“Gimana ya?”

“Siapa tahu Bu Diana mengenal yang namanya Kuncoro, dan mungkin juga istrinya, jadi kamu bisa lebih cepat mendapatkan titik terang.”

“Kesana dulu atau ke BPN dulu?”

“Kesana dulu saja. Nanti saat makan siang, bagaimana?”

“Aku deg-degan...”

“Kenapa sih, semuanya kan sudah berlalu, jadi lebih baik lupakan saja. Oh ya... kalau tidak salah Bu Diana akan segera melamar Dayu lho.”

“Oh, benarkah?”

“Yayi yang bilang begitu.”

“Bukankah Dayu masih kuliah?”

“Hanya melamar, dan bertunangan katanya, sedangkan menikahnya menungu kalau sekolah Dayu sudah selesai.”

“Hm... ikut senang deh.”

“Aku juga akan segera melamar kamu lho.”

“Ah... Naya, sebaiknya kamu pikirkan dulu masak-masak sebelum memutuskan. Semakin jelas bahwa aku ini orang yang belum jelas asal-usulnya.”

“Bukankah kamu anaknya Pak Kuncoro? Nanti kita cari makamnya orangtua kamu, dan aku akan melamar disana.

“Benar kamu tidak akan menyesal? Bapak Indra dan Bu Indra mau punya menantu seperti aku? Tapi kok belum-belum memikirkan itu sih Nay, kan aku harus menyelesaikan permasalahanku ini dulu.”

“Iya, aku tahu..."

“Ya sudah, aku selesaikan dulu pekerjaan aku, nanti siang kita temui Tante Diana.”

***

“mBok, siapkan barang-barang yang minggu depan mau kita bawa ke rumahnya Pak Tikno ya.”

“Iya Bu, kan semuanya sudah dihias cantik, dan Simbok tata di ruangan tengah.”

“Menurut kamu apa masih ada yang kurang ya Mbok.”

“Menurut Simbok sudah bagus Bu, itu kan lamaran, bukan seserahan. Kalau seserahan itu lebih lengkap, diberikan ketika malam midodareni. Sedangkan kalau lamaran yang biasanya hanya pisang raja, makanan-makanan, buah-buahan... Lha itu Ibu menyiapkannya sudah lebih dari cukup.”

“Iya Mbok, aku juga masih menunggu baju yang akan dipergunakan Dayu, aku dan Bu Tikno, Liando sepertinya juga sedang membuat jas baru. Saya kira minggu depan sudah siap semuanya.”

“Syukurlah Bu.”

“Kamu juga sudah aku pesankan baju baru lho Mbok.”

“Waah, kok Simbok segala harus pakai baju baru..”

“Ya harus... kamu nanti juga ikut dalam rombongan melamar lho Mbok, kan kamu Simboknya Liando. Jadi juga harus dandan cantik.”

“Ini jam berapa, Mas Liando kok belum pulang.”

“Sebentar lagi mungkin Mbok, lha itu suara mobilnya Mbok.”

“Oh, tapi bukan mobilnya Mas Liando Bu, ada tamu sepertinya,” kata Simbok sambil melongok dari pintu kaca.”

“Bukakan pintunya Mbok, tamu siapa ya.”

Simbok membuka pintu, terkejut melihat Susan.

“Bu... itu kok seperti anaknya Bu Lusi?”

“Susan?”

“Iya, wah... jangan-jangan mau bikin rame juga nanti Bu.”

“Kamu itu, belum-belum kok mengira yang tidak bagus. Sama siapa itu?”

Simbok membuka pintu, dan dengan heran melihat Susan mengangguk santun, dan tak lama kemudian seorang laki-laki ganteng mengikutinya. Tentu saja Simbok mengenali Naya.

“Apa kabar mbok?” sapa Susan sambil tersenyum ramah.

“Baik... baik.. silahkan masuk...” Kata Simbok agak gugup, habisnya terkejut melihat Susan tidak seperti biasanya ketika datang bersama Mamanya.

“Bu, ada Mbak Susan, sama putranya Pak Indra,” kata Simbok yang lalu bergegas kebelakang.

“Selamat siang Bu..” Naya mendahului menyalami Bu Diana, lalu mencium tangannya.

“Selamat siang Naya, aduh... tumben-tumbenan.”

“Apa kabar Tante,” kata Susan sambil mencium tangan Bu Diana juga.

“Baik Susan, senang melihatmu, sudah lama tidak kemari. Ayo silahkan duduk,”

Dan Bu Diana dengan perlahan juga berdiri dari kursi rodanya lalu duduk di sofa menghadapi tamunya.

“Tante sudah lebih sehat,” sapa Susan.

“Iya, alhamdulillah Susan. Simboook... minum untuk tamu-tamuku,” teriaknya kepada Simbok.

“Angin apa yang membawamu datang kemari, apakah mau mengundang aku untuk pernikahan kalian?” kata Bu Diana yang sudah mengetahui tentang hubungan Naya dan Susan.

“Bukan Tante, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada Tante, tentang keluarganya almarhum Nenek.”

“Oh ya? Apa yang bisa aku bantu?”

Lalu dengan mata berkaca-kaca, Susan menceritakan apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini, dan temuannya tentang surat tentang seorang laki-laki bernama Kuncoro.

Bu Diana mengangguk-angguk.

“Aku bersahabat sama almarhum Nenek kamu, dan aku juga kenal dengan Kakaknya yang bernama Kuncoro."

Bersambung...

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER