BAGAI REMBULAN 30
BY: Tien Kumalasari
“Ini... ini... aap..pa?”
“Susan, apakah kamu tidak bisa membaca? Beberapa bulan yang lalu. ama kamu pinjam 1 M lagi, padahal hutangnya masih banyak. Surat rumah ini menjadi agunannya. Kalau di bulan ini Mama kamu tidak bisa mengembalikan maka rumah ini menjadi milik aku.”
“Tt..tapi...”
“Dulu Mama kamu bilang bahwa kamu akan menikah dengan seorang milyader kaya dikota ini, dan setelah menikah, uang itu akan dikembalikan. Mama kamu masih punya sisa utang 600 juta, lalu menambahkan lagi 1 M. Totalnya 1.6 M .. belum bunganya yang hampir setahun. Tapi janji itu. Mana, kapan kamu menikah, nyatanya Mama kamu malah masuk penjara.”
“Apa Tante sud..sudah.. bilang sama Mama?”
“Kemarin aku menemui dia, sudah kembali masuk tahanan setelah dirawat, masih tampak sakit sih, kasihan sebenarnya, wajahnya jelek sekali, kakinya juga cacat. Kemarin dia bilang bahwa aku harus menemui kamu. Bukannya pacar kamu juga orang kaya?”
“Apa? Pacar saya atau siapapun orang lain tidak bisa disangkut pautkan dengan utang piutang Mama. Saya tidak bisa membawa-bawa siapapun. Ini urusan Mama dan Tante.”
“Jadi bagaimana? Alasan apapun aku tetap akan meminta hak-ku. Dan bulan ini adalah saat terakhir dimana aku akan menyita rumah dan isinya kalau uang aku belum bisa dikembalikan.”
“Ini surat resmi lho, bertanda tangan, ada saksinya, ada meterai. Jadi kalau aku mengambil rumah ini adalah sah menurut hukum,” sambungnya.
Susan tak bisa menjawab. Kepalanya benar-benar pusing seratus keliling. Uang yang hampir 2 M, darimana dia bisa mendapatkannya?
“Baiklah Susan, aku pergi dulu, bawa saja surat itu, kan itu hanya foto copyannya, yang asli masih aku bawa, jadi gampang nanti kalau ada peralihan kepemilikan,” kata Bu Triani sambil berdiri dan tanpa mengucap apapun lalu pergi, menghampiri mobilnya dan meninggalkan halaman rumahnya.
Susan terpekur di kursi, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Susan, ada apa?” Naya yang semula ada didalam dan tak berani mencampuri kemudian keluar, dan melihat Susan duduk dengan wajah pucat.
“Susan..”
Naya duduk disampingnya.
“Rumah ini akan disita oleh orang itu tadi.”
“Siapa?”
“Teman Mama.”
“Apa maksudnya?”
“Mama berhutang dengan tanggungan surat rumah ini.”
“Lalu dia akan menyita rumah ini?”
“Ya, Naya, susah-susah kita bersihkan, ternyata bukan milik Mama lagi,” katanya sendu.
“Berapa banyak hutang Mama kamu?”
“Jangan bertanya, itu bukan urusan kamu Naya, aku tak ingin melibatkan siapapun dalam hal ini.”
“Aku boleh membantu?”
“Tidak. Ya ampun... ini sangat banyak Naya, aku tak sanggup bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Sudah, aku akan mengikhlaskannya.”
“Tapi ada baiknya kamu menemui Mama kamu lagi Susan, siapa tahu Mama kamu sudah mempunyai uang yang disiapkan untuk membayarnya.”
“Mana mungkin...”
Lalu Susan teringat kata-kata Bu Triani tentang janjinya ketika berhutang. Mamanya berharap bisa berbesan dengan seorang milyader... Ya Tuhan, alangkah rendah pemikiran Mamanya. Jadi dia berharap menjadi besan Bu Diana karena hartanya.
“Susan, katakanlah.”
“Tidak Naya, ini bukan urusan kamu atau siapapun. Kalau memang harus kehilangan rumah, ya biarkan saja, biar Mama mengerti bahwa telah banyak melakukan kesalahan.
“Baiklah, tapi turutilah saranku. Besok atau kapan temuilah Mama kamu dan bicara baik-baik.”
***
“Tampaknya Adit akan bekerja diperusahaan Aliando..” kata Seruni malam itu.
“Oh ya? Nggak apa-apalah... disana perusahaan besar.”
“Aku kira bukan masalah itu Mas, Adit sungkan bekerja diperusahaan kita, karena dia kan pacaran sama Yayi. Adit itu kan biar bagaimana, sangat perasa. Nanti dikira bisa bekerja karena Yayi. Itu sebabnya dia memilih bekerja disana.”
“Ya, apapun yang dipilihnya, tidak masalah buat aku. Sesungguhnya aku menawarkan kan karena supaya dia segera punya penghasilan, sehingga meringankan beban orangtuanya.”
“Benar juga Mas, tapi karena dia sudah memilih, ya sudah biarkan saja. Kita tidak bisa memaksanya. Lagipula sudah ada Naya yang mewakili Bapaknya ini, ya kan? Yang penting anak-anak kita semua bisa hidup dengan nyaman.”
“Iya, aku kan sudah bilang bahwa sesungguhnya hanya ingin membantu supaya Adit segera bisa bekerja, supaya Mas Tikno dan juga Surti juga senang.”
“Aku juga ingin begitu, karena kalau benar, Adit itu kan juga bakal jadi menantu kita.”
“Itu sebabnya dia menolak bekerja ditempat kita, takut dikira nebeng istrinya nanti.”
“Benar Mas, sekarang aku memikirkan Naya. Bagaimana ya kabarnya Lusi? Kemarin dia bilang, katanya mengantarkan Susan ke rumah sakit untuk menjenguk Mamanya, malah diusir katanya.”
“Ah, Lusi itu kan lain daripada yang lain. Hukuman yang diterima harusnya membuatnya menyadari kesalahannya.”
“Ada lagi cerita Naya dan Susan kemarin.”
“Cerita apa tuh?”
“Temannya Lusi menemui Susan, mengatakan kalau Lusi punya pinjaman, dengan agunan surat rumah. Kalau bulan ini tidak bisa membayar, rumah itu akan diambilnya.”
“Ya Tuhan, berapa juta dia punya pinjaman?”
“Susan nggak mau mengatakannya, apalagi ketika Naya bilang ingin membantu. Pokoknya dalam hal ini harus Lusi sendiri yang menanggungnya. Dan pastinya juga ukurannya milyar, mengingat kehidupan Lusi yang sok mewah, pasti uang yang didapat dari pinjaman itu yang dipergunakan.”
“Sebenarnya Lusi itu pekerjaannya apa?”
“Nggak tahu aku. Kalau mertuanya.. dengar-dengar pedagang berlian. Mungkin setelah meninggal Lusi tidak mengelolanya dengan baik, entahlah.”
“Lalu bagaimana? Apakah rumah itu akan dilepaskannya?”
“Menurut Susan biar saja rumahnya hilang, tapi Naya menyarankan agar Susan bicara juga sama Mamanya.”
“Hm.. ada-ada saja. Tapi barangkali begitu lebih baik.”
“Ya, seandainya kita bisa menebusnya, nanti pasti juga akan menjadi masalah antara kita dan Lusi, jadi baguslah Susan menolak pertolongan yang ditawarkan Naya. Lebih baik kita tidak berurusan dengan Lusi selamanya.”
“Lha kalau anaknya berjodoh dengan anak kita? Kita tetap berhubungan bukan?”
“Itu hal yang berbeda, sudah bukan urusan kita seandainya mereka sudah menikah.”
“Kasihan Susan..”
***
“Dayu, kamu tidak kuliah, kok bisa mengantar sendiri makanan untuk Ibu?”
“Hari ini libur Ibu.”
“Oh, syukurlah, jadi bisa berlama-lama disini bukan?”
“Iya Ibu.”
“Ibu selalu memikirkan kamu.”
“Memikirkan Dayu?”
“Iya, kapan kamu selesai?”
“Kuliah Dayu?”
“Iya, kuliah kamu.”
“Masih tahun depan Ibu, mohon doa supaya lancar ya Ibu?”
“Pasti lah Ibu doakan, anak pintar. Kamu tahu mengapa Ibu bertanya lagi sementara kamu sudah pernah menjawabnya?”
“Mungkin Ibu lupa?”
“Tidak.. masa aku sudah pikun sih..”
“Iya .. belum lah Bu, Ibu masih muda dan cantik..”
“Walau sakit-sakitan?”
“Tidak, akhir-akhir ini Ibu kelihatan sehat.”
“Benarkah? Itu karena Ibu selalu merasa senang.”
“Syukurlah... Dayu juga senang kalau Ibu sehat. “
“Ibu sudah bisa naik sendiri ke tempat tidur, dan turun serta duduk di kursi roda tanpa bantuan simbok.”
“Benarkah?”
“Coba lihat, Ibu akan berpindah dari kursi roda ini ke sofa ya, tunggu...”
Dan Bu Diana menjalankan sendiri kursi rodanya, mendekat ke arah sofa, lalu berdiri perlahan dan duduk di sofa dengan nyaman. Dayu yang mengawalnya senang sekali.
“Ibu, lama-lama Ibu akan bisa berdiri dan berjalan sendiri.”
“Aamiin. Ibu berharap, besok kalau kalian menikah Ibu sudah bisa berjalan dengan baik.”
“Aamiin, Ibu. Kalau begitu Ibu harus sering berlatih berjalan ya Bu.”
“Iya sayang. Tapi.. oh ya.. mengapa tadi Ibu bertanya lagi tentang sekolah kamu? Itu karena Ibu sudah ingin segera melamar kamu. Tapi begini ya, aku punya rencana bagus. Melamar sekarang kan tidak apa-apa, lalu kalian bertunangan, soal menikahnya bisa saja menunggu kamu lulus. Bagaimana?”
Dayu tersipu, masa sih Bu Diana bilang soal mau melamar? Ngarep sih, tapi kan malu.
“Kok diam? Kamu tidak mau?”
“Ibu.. kalau hal itu, terserah Ibu saja.” Katanya sambil menundukkan kepala.
“Kalau begitu nanti aku mau bilang sama Liando, biar dia mempersiapkan semuanya. Oh ya, simboook.” Katanya memanggil simbok.
Simbok tergopoh mendekat.
“Ya Ibu, makan siang sudah simbok tata, Ibu mau makan sekarang?”
“Sebentar lagi, menunggu Liando pulang. Karjo ada dibelakang?”
“Ada Ibu.”
“Suruh dia menyiapkan mobil, aku mau jalan-jalan sama Dayu.”
“Baik Ibu, tidak simbok bantu Ibu ganti pakaian dulu?”
“Tidak, kamu panggil Karjo, aku mau didandani calon menantuku ini.”
Simbok tersenyum, melihat Dayu tertunduk malu.
***
Karjo membantu Bu Diana turun dari mobil setelah menyiapkan kursi rodanya.
“Jo, kamu jemput Liando di kantornya, dan antarkan dia kemari ya.”
“Jadi saya kekantornya Mas Liando dulu? Lalu membawanya kemari, begitu Bu?”
“Iya Jo.. atau kamu telpon saja dulu, supaya dia tidak terlanjur pulang dengan membawa mobilnya.”
“Iya Bu, saya mengerti.”
Dayu mendorong Bu Diana memasuki sebuah supermarket.
“Ibu mau belanja apa?”
“Banyak, kamu tahu Dayu, Ibu itu kalau sudah punya keinginan, harus segera dijalankan, tidak menunggu besok-besok, sekarang ya sekarang.”
“Oh, baiklah, sekarang ke counter apa dulu Ibu?”
“Baju. Diujung itu ada butik... aku mau memilih baju.”
“Ibu mau ke pesta?”
“Bagaimana kamu itu Dayu, iyalah pesta, pesta pertunangan kalian nanti.”
“Ouwh...” Dayu terkejut. Baru saja bicara soal melamar dan sekarang mau mengajak membeli baju untuk acara pertunangan? Bukan main calon mertuanya ini.
“Lihat Dayu, kamu suka yang mana?” tanya Bu Diana ketika sudah mengitari butik itu.
“Kok Dayu sih Bu, Ibu suka yang mana?”
Lalu seorang pelayan mendekat.
“Ada yang bisa kami bantu, Ibu?”
“Ya, tentu saja, pilihkan baju untuk pertunangan anak saya ini. Gaun... oh tidak.. dia akan memakai kain, lalu atasnya kebaya. Untuk kulitnya dia, cocognya warna apa?”
“Oh, disini Ibu... silahkan memilih... mari saya tunjukkan..”
Pelayan itu membawa ke ruangan lain, dengan beragam model kebaya dan warna-warna menawan.
“Dayu... mana yang kamu suka?”
“mBaknya ini kulitnya putih, tinggi semampai, warna apapun cocog. Ini.. pink muda.. aduh.. cantik banget Ibu... atau biru muda dengan bunga-bunga... ini juga bagus...”
“Dayu... ayo sayang.. mau yang mana?”
“Terserah Ibu saja...”
“Bagaimana dengan hijau muda dengan bunga-bunga... dan.. seandainya ditambah dengan payet yeng melingkari bunga-bunga itu... sampai bawah...” kata Bu Diana sambil mengawasi kain yang dimaksud..”
“Ibu, kalau Ibu minta tambahan pernik-pernik juga bisa.. tambahan batu mudiara disebelah sini Bu.. bagus sekali.”
“Dayu.. ayolah sayang... suka?”
“Ibu suka yang mana?”
“Aduuh.. anak ini, yang mau memakai kan kamu, bukan aku..”
“Begini saja, baju ini biar dipakai Mbaknya dulu, lalu menurut ibu kurangnya apa.. begitu Mbak?”
“Ayolah Dayu.. coba dulu.. sana, ikuti Mbaknya...”
Dayu terpaksa menurut.. masuk ke dalam kamar pas dan Bu Diana menunggu sambil terus mengamati baju-baju.
“Saya juga mau.. untuk saya kembaran cama calon besan saya ya Mbak..”
“Oh, iya Ibu.. bagus.. kalau untuk ibu-ibu.. yang hijau tosca dengan kembang-kembang putih ini..?”
“Itu bagus, ada dua? Calon besan saya agak lebih kecilan dari saya, saya kan gemuk..”
Ketika Dayu keluar dari kamar pas, dari arah luar terdengar tepukan.
“Bagus nona, bidadariku cantik sekali. Rembulanku jatuh dari langit..”
Dayu dan Bu Diana menoleh..
“Haa, kamu baru datang Liando. Lihat, bagaimana menurut kamu?”
“Perfect.. tak ada cacat celanya...“
Dayu tersenyum melihat Liando datang dan memandanginya dengan kagum. Lalu ia berdiri disamping Dayu.
“Bagaimana Mbak, apakah saya serasi berdampingan dengan rembulan ini?”
Pelayan yang ada menatap kagum. Benar-benar pasangan luar biasa, yang satu ganteng tinggi tegap, bermata kebiruan, yang satu cantik dan anggun.
“Tolong dipotretin dong Mbak,” pintanya kepada pelayan butik.
“Terimakasih Mbak, katanya setelah selesai.”
“Wauuu...”
“Liando, belum-belum sudah mau berduaan. Sudah Dayu, dilepas dulu,“ kata Bu Diana dengan wajah berseri-seri.
Liando tertawa, menatap punggung Dayu yang kembali ke kamar pas.
“mBak, yang ini saja, saya minta ditambahi mutiara disebelah sini, payet sedikit saja, nanti mengurangi warna mutiaranya. Sekarang yang untuk saya Mbak.. boleh saya coba, nanti kalau kurang besar ditambahin lagi, kalau tetap nggak bisa, tolong dibuatkan baru.”
“Baik Ibu.”
“Liando, setelah ini kita cari cincin yang cocog untuk pertunangan kamu.”
“Mama kok nggak bilang-bilang punya rencana seindah ini?” bisik Liando ke telinga Mamanya.
“Iya, tiba-tiba aku ingin melamar secepatnya, lalu kalian bertunangan, setelah Dayu lulus baru menikah.
“Mamaku sayang, terimakasih,” kata Liando sambil mencium Mamanya.
***
Susan berangkat ke penjara untuk menemui Mamanya. Naya benar, tentang masalah dengan Bu Triani, Mamanya harus tahu.
Susan duduk dibangku tunggu, dengan hati yang berkebat-kebit. Bagaimana kalau Mamanya mengusirnya lagi? Tak lama kemudian Lusi muncul, dan Susan terkejut melihat Mamanya tidak bisa berjalan tanpa penopang. Ia mendengar bahwa tulang dibawah lutut sebelah kiri retak karena sambaran tongkat kakek tua, dan tulang paha kanannya patah kejatuhan kursi yang diangkatnya dan sedianya akan dipergunakan untuk memukul Dayu. Susan ngeri membayangkannya. Bagaimana Mamanya bisa melakukan hal sekeji itu, yang bahkan ternyata justru melukai dirinya sendiri. Bukan hanya kakinya, wajahnya juga luka ketika Kakek tua memukulnya ketika melihat Dayu ditariknya. Sungguh Lusi yang cantik tak lagi memiliki pesona. Ada goresan panjang yang tak bisa hilang dengan sempurna. Susan tak mengira akan separah itu. Ketika ke rumah sakit ia tak melihat semuanya dengan jelas.
“Mama...” sapa Susan menahan deru perasaan melihat Mamanya berjalan tertatih dan seakan menahan sakit. Tampaknya dia memang belum sembuh benar.
“Ada apa? Triani sudah menemui kamu?”
Susan baru teringat, Bu Triani bilang sudah ketemu sama Mamanya.
“Ya..”
“Sudah kamu bayar semuanya?” katanya tanpa duduk dan hanya bertopang pada kayu persegi tempatnya berpegang.
“Mama, darimana Susan bisa membayarnya? Itu jumlah yang cukup banyak.. Mama”
“Lalu untuk apa kamu berpacaran dengan anak orang kaya kalau dia tidak bisa membantu kamu?”
Susan tertegun. Ternyata Mamanya bukan hanya kejam tapi juga tidak punya malu. Bagaimana dia berhutang dan berharap orang lain mau melunasinya?”
“Jawab Susan!!”
“Mama, dia itu orang lain Mama.. mana mungkin dia menanggung beban kita?”
“Goblog!”
“Mama..“ Susan terisak.
“Kalau kamu punya pacar anak orang kaya dan tidak bisa memanfaatkannya, untuk apa kamu mau menjadi pacarnya?”
“Mama, Susan mencintai dia bukan karena dia anak orang kaya. Susan tidak akan melibatkan siapapun dalam hal ini.”
“Lalu apa maksudmu menemui aku disini ? Aku kira kamu membawa berita baik yang meringankan beban Mama.”
“Sebuah beban yang Mama pikul adalah beban yang harus Mama pikul sendiri.”
“Apa?”
“Susan datang kemari karena ingin bilang kepada Mama, bahwa rumah itu akan Susan serahkan kepada Tante Triani.”
“Setan alas kamu Susan!! Hanya itu harta kita!!”
“Mama sudah menyerahkannya dengan surat bermeterai, dengan saksi-saksi, dan kalau Mama mau melepaskan beban itu, lepaskan rumah yang sudah Mama agunkan.”
“Bangsat! Keparat ! Kamu sama sekali tidak bisa membantu Mama kamu?”
“Mama bisa membantu diri Mama sendiri dengan melepaskan rumah itu. Dan selesai, Mama terlepas dari jeratan hutang. Itu lebih nyaman dari pada membebani orang lain.”
“Jahanam kamu Susan! Sepantasnyalah kamu berbuat seperti itu, karena kamu bukan darah daging aku!!” teriakan Lusi itu sangat keras, dan Susan merasa seakan bumi yang dipijaknya bergoyang dan hampir membuatnya terjatuh.”
Bersambung
No comments:
Post a Comment