BAGAI REMBULAN 29
By: Tien Kumalasari
Adit menatap Yayi tak percaya. Dilihatnya Yayi mengangguk-angguk, untuk meyakinkan dirinya.
“Kamu?”
“Ya...”
“Sudah tahu siapa aku?”
“Ya... dan karena itu maka kamu mengusir aku? Menghardik aku? Melukai perasaanku?”
“Yayi... setelah tahu, apakah kamu tidak ingin menjauhi aku?”
“Mengapa kamu mengira begitu?”
“Aku ini kan hanya.. anak dari... hasil...”
“Stop Mas Adit, bagi aku, kamu adalah kamu... dulu dan sekarang... tak ada bedanya..”
“Bagaimana... bagaimana kamu...”
“Bapak dan Ibuku sudah mengatakan semuanya. Mereka bersahabat sejak aku dan kamu belum dilahirkan.”
“Ya Tuhan...”
“Kamu merasa kecil karena Kakek tua itu? Tidak Mas, Kakek tua itu menebus semua kesalahannya dengan menjalani hidup papa selama puluhan tahun. Rela menyaksikan kamu sejak masih bayi sampai kamu dewasa, hanya dari kejauhan. Dia bisa menyentuh kamu disaat sebelum akhir hayatnya, ketika nyawa dikorbankan demi adik kamu. Dia laki-laki luar biasa Mas, kamu harus bangga memiliki darah yang sama dengannya.”
Adit menutupi wajahnya, membiarkan air mata mengalir disepanjang pipinya.
“Maaf Yayi... aku mengira, dengan membenciku kamu akan pergi dariku.”
“Cara konyol!”
“Aku jadi menyakiti kamu...”
“Sakit di lutut ini tidak seberapa dibandingkan sakit hatiku,” kata Yayi cemberut.
“Maaf ya...”
“Beliin es krim dong...” kata Yayi sambil cemberut lucu, membuat Adit tertawa.
“Punya karet gelang?” tanya Adit.
“Untuk apa?”
“Untuk mengucir bibir kamu itu...” dan Yayi dengan gemas mencubit lengan Adit keras sekali.
“Auuwww... akiiiit...” Adit pura-pura mewek.
“Ih, jelek banget...” dan Yayi berdiri kemudian setengah berlari menjauh dari Adit. Pastilah Adit mengejarnya.
“Ok, ayuk kita beli es krim.” Teriak Adit kemudian.
“Eh... tunggu... tunggu..”
“Ada apa?”
“Bagaimana dengan tawaran Bapak?”
“Tawaran apa? Melamar kamu?”
“Iiiih... ngarep deh...”
Adit tertawa, lalu mencubit pipi Yayi lembut.
“Hm.. nggak ingat tadi ya... aku dibentak-bentak... sebbeelll!!”
“Kan aku sudah minta maaf, sudah aku suapin...haha.. ternyata kamu lemas karena lapar ya?”
“Kan aku sudah bilang, pagi tadi ke rumah kamu mau ngajakin makan. Dasar galak!”
“Maaf ya... Oh ya, tadi ngomong apa sih, tawaran apa?”
“Tentang pekerjaan... kan Bapak pernah bilang soal itu.”
“Ooh, nanti deh.. aku sungkan..”
“Kok sungkan?”
“Kan sudah ada Naya..”
“Memangnya kenapa? Bapak bilang ingin istirahat..”
“Nanti aku dibilang dapat pekerjaan karena kamu. Nanti aja lah, jangan sekarang, aku lagi seneng hari ini.”
“Kenapa?”
“Nggak jadi diputusin sama kamu.”
“Ngaco, memangnya siapa yang mau mutusin.”
“Baiklah, ayo beli es krim.”
Lalu kedua sejoli yang sudah baikan itu tampak bergandengan tangan dengan mesra.
***
Naya sudah sampai di rumah sakit. Di ruang dimana Lusi dirawat, bukan ruang nyaman yang dipilihnya ketika keluarganya sedang menderita sakit. Ada dua orang polisi berjaga disana. Keduanya hampir ditolak untuk menemui kalau saja Susan tidak mengatakan bahwa dia adalah anaknya.
Pelan Susan memasuki ruangan itu. Dilihatnya Mamanya terbaring, dengan luka-luka diwajah dan kakinya. Ada rasa haru dan miris ketika Susan melihatnya. Bagaimanapun Lusi adalah orangtuanya. Tak tega melihatnya menderita seperti itu.
“Mama,” bisiknya lirih ketika sudah berdiri disamping ranjangnya.
Mata Lusi tetap terpejam. Wajah Mamanya begitu buruk. Tak ada sisa kecantikan diwajahnya karena luka-luka itu. Lusi menyentuh tangannya, terasa panas.
“Mama...”
Lusi membuka matanya. Ia menatap Susan lalu memalingkan mukanya.
“Pergi kamu!” walau sakit tapi nada suara itu keras.
“Mama, aku ingin melihat keadaan Mama.”
“Oo.. begitu? Lalu apa setelah melihat? Aku sengsara disini, sakit keras dan ditempatkan di ruang yang aku tidak suka. Dijaga polisi, dan tidak seorangpun diperbolehkan menjenguk.”
“Aku prihatin Mama, aku sedih melihat Mama..”
“Sudah, pergilah.. jangan lagi menampakkan wajah kamu didepan Mama. Aku dan kakak kamu hampir mati... apa pedulimu?”
“Mama...” Susan hampir menangis.
“Pergi dan jangan menunjukkan tangis palsu itu. Pergi tidak?”
“Mama...”
“Tolooooong, “ tiba-tiba Lusi berteriak.
Seorang penjaga mendekat.
“Ada apa?”
“Usir dua orang ini keluar dari sini !”
“Mama...” Susan terisak, lalu Naya menuntunnya keluar.
Dari jauh masih terdengar teriakan-teriakan Mamanya yang marah-marah. Tapi dilihatnya petugas itu kembali ketempatnya berjaga. Barangkali sudah sering didengarnya pesakitan yang benar-benar sakit itu mengomel.
“Sudahlah Susan, hentikan tangis kamu. Mama kamu masih kesakitan, pasti perasaannya tidak tenang. Suatu saat nanti pasti kamu akan diterima dengan baik.”
“Naya.. tampaknya Mama tidak menyadari kesalahannya. Tidak mengerti bahwa yang dia rasakan itu adalah karena perbuatannya sendiri. Tak ada sesal dimatanya. Aku menangkap kebencian pada sorot mata itu. Tapi Mama sakit Naya, tadi aku memegang tangannya, sangat panas. Mengapa sikapnya seperti itu?”
“Suatu saat pasti akan berubah. Bersabarlah.”
“Besok sepulang kantor aku akan ke rumah Mama, barangkali perlu dibersihkan atau apa.”
“Ya, nanti aku antar kamu.”
***
Siang itu mobil Liando memasuki halaman rumah Tikno. Ia baru saja jalan-jalan bersama Dayu.
“Lhoh.. itu kan motornya Yayi?” teriak Dayu.
“Iya benar..”
“Asyiiik, berarti Yayi ada disini,” katanya lalu melompat keluar dan berlari masuk ke rumah, tapi yang dicarinya tidak ketemu.
“Mana dia?”
“Kamu mencari siapa?” tanya Tikno.
“Yayi ada disini kan?”
“Tidak ada, belum pulang dari pagi.”
“Lhah.. itu motornya ada..”
“Motor itu yang membawa temannya Kakak kamu, dari bengkel. Tampaknya rusak, nggak tahu apanya. Tapi kelihatannya sudah dibetulin.”
“Ooh, kirain ada Yayi.”
Lalu Dayu kembali berlari kedepan. Liando sudah duduk diteras.
“Nggak ada ya? Motornya Adit juga nggak ada tuh.”
“Mereka pergi berboncengan rupanya.”
Dibelakang, Surti sedang menyiapkan makan siang. Tikno mendekat dan tersenyum senang.
“Tampaknya Adit dan Yayi sudah baikan.”
“Syukurlah. Tapi kok motornya Yayi rusak ya, jangan-jangan dia jatuh..”
“Jangan berfikir yang tidak-tidak, itu.. anak-anak diajak makan sekalian kalau mau.”
Surti beranjak kedepan.
“Ayo makan, Ibu sudah siapin tuh.”
“Yang untuk Ibu Diana sudah dikirimkan?” tanya Dayu.
“Sudah, tadi Ibu sama Bapak, sambil sekalian belanja.”
“Jadi merepotkan ya Bu,” kata Liando.
“Tidak, kan Bapak lagi libur, dan Ibu mengajak belanja sekalian. Ayo sekarang makan, tuh sudah ditunggu Bapak.”
“Ayolah, kan tadi bilang lapar,” ajak Dayu sambil menarik tangan Liando.
“Tapi Ibu cuma masak pecel sama sayur asem lho.”
“Wah, enak itu Bu, nanti Liando habisin deh.”
“Bener lho ya...” kata Surti.
Tapi sebelum mereka mulai makan, terdengar langkah-langkah kaki mendekat.
“Yaaah, ketinggalan deh.. “
“Lha.. ini ada mbak Yayi juga.. ayo.. sekalian makan..” kata Tikno ramah.
Dayu menarik kursi, mempersilahkan Yayi duduk disampingnya.
“Dari mana saja?”
“Dari beli es krim, tuh, aku bawain untuk kamu.”
“Asyiiik... aku mau.”
“Sudah aku masukin kulkas, makan dulu, kayak anak kecil saja kamu kalau mendengar kata-kata es krim,” kata Adit yang kemudian juga duduk disamping Liando.”
“Ayo .. makan yang banyak, jangan sungkan..” kata Surti.
“Dit, aku butuh ngomong sama kamu,” kata Liando sambil menarik piring yang sudah berisi sayuran, lalu menambahkan sambal pecel diatasnya.
“Ngomong soal apa nih, jangan bilang kamu mau melamar Dayu, soalnya dia masih sekolah,” canda Adit.
“Aah, kalau ngelamar tuh ngomongnya bukan sama kamu, ya kan Pak?” kata Liando sambil menatap Tikno, membuat semuanya tertawa.
“Iya mau ngomong apa?”
“Bantuin aku di kantor, mau kan?”
“Ngapain? Bersih-bersih kantor?”
“Ya enggaklah, bantuin aku pokoknya, masak sih sarjana tehnik disuruh bersih-bersih.”
“Maksudnya bekerja dikantor kamu?”
“Iya.. mau ya.”
“Mm... gimana ya?” Adit menatap Bapaknya.
“Kok ngelihatin Bapak, terserah kamu lah.”
“Iya nanti aku pikirin deh, sekarang makan dulu, nanti Yayi pingsan lagi karena kelaparan.”
Yayi melotot kearah Adit, yang dipelototin hanya tertawa.
“Memangnya Yayi tadi pingsan?” tanya Surti.
“Nggak Bu, Mas Adit itu sukanya bercanda.”
“Ayolah, makan dulu, aku sudah pengin makan es krimnya nih.” Kata Dayu bersemangat.
***
Malam itu Bu Diana duduk-duduk bersama Simbok.
“mBok, kamu sudah tahu Bapak dan Ibunya Dayu kan?”
“Lho, ya sudah Bu, kan waktu Ibu syukuran itu mereka ada.”
“Iya .. aku lupa. Tadi itu yang mengantar makanan mereka sendiri ya Mbok.”
“Iya Bu, Simbok juga tahu, Bu Tikno mbonceng Pak Tikno tadi.”
“Aku suruh masuk nggak mau, sebetulnya kan aku ingin omong-omong juga.”
“Katanya tadi mau sekalian belanja, jadi terburu-buru.”
“Iya. Bagaimana menurut kamu seandainya aku berbesan dengan mereka Mbok?”
“Lho.. Ibu kok nanya sama Simbok, semua itu tergantung Ibu kan.”
“Dayu gadis yang baik. Liando sangat mencintainya.”
“Benar Bu, simbok juga suka. Cantik, sederhana, sama Ibu juga sayang, sama Simbok sikapnya juga santun.”
“Mereka keluarga sederhana yang sangat baik.”
“Apakah perbedaan situs..eh.. apa itu namanya Bu.. situs apa.. astus itu membuat Ibu ragu-ragu?”
Bu Diana tertawa.
“Maksudmu status? Karena aku ini dianggap berada lalu mereka orang sederhana, begitu?”
“Iya Bu, apa itu membuat Ibu terganggu?”
“Tidak Mbok, sama sekali tidak. Mereka keluarga yang mengagumkan, tidak mengejar materi, tapi bisa mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang pintar. Aku mengagumi mereka.”
“Berarti Ibu sudah mantap seandainya berbesan dengan mereka?”
“Sangat mantap Mbok.”
“Simbok ikut berdo’a agar semuanya lancar. Kapan Ibu mau melamar?”
“Dayu masih kuliah, mungkin selesai tahun depan. Harus sabar sebentar Mbok.”
“Tahun depan itu tidak lama Bu.”
“Iya..”
“Lalu kabarnya Bu Lusi sama anaknya itu bagaimana ya Bu, kok lalu tidak pernah datang kemari lagi, apa takut sama Karjo?”
Bu Diana tertawa.
“Bukan takut sama Karjo Mbok, mereka itu ditangkap polisi, sudah dipenjara.”
“Oh, Bu Lusi sama Mbak Susan?
“Bukan, Susan malah menjadi anak baik, bekerja di kantornya Indra, temanku itu.”
“Oh.. berarti Bu Lusi sama anak laki-lakinya itu Bu?”
“Iya Mbok, ya sudah biarkan saja, bukankah didunia ini siapa yang menanam maka dia akan menuai?”
“Betul Bu. Jadi orang nggak ada baiknya sama sekali. Sama Ibu berani mengata-ngatai yang nggak pantas. Geregetan simbok kalau ingat Bu.”
“Ya sudah, nggak usah diingat-ingat to Mbok. Sekarang ambilkan jusku saja, hari ini kamu buat jus apa?”
“Jus mangga Bu, sebentar Simbok ambilkan.”
*****
Susan sudah ada dirumah Mamanya, membersihkan rumah, membuang yang tidak berguna, menyimpan barang-barang yang masih digunakan. Naya dengan senang hati membantunya. Ia juga mengepel lantai dan membersihkan perabot dan gambar yang kotor berdebu.
“Susan, rumah ini sayang kalau tidak ditinggali,” kata Naya ketika sudah selesai bersih-bersih.
“Iya, tapi mau bagaimana lagi. Ibu dan Anjas dipenjara bertahun-tahun.”
“Bagaimana kalau kamu saja tinggal disini?”
“Ogah ah, sendirian?”
“Ya cari pembantu lah.. supaya kamu juga tidak capek bersih-bersih.”
“Tapi kontrakan kostku masih tiga bulan lagi habisnya.”
“Ya nggak apa-apa.. kalau kamu merasa sayang biar aku saja tidur di rumah kost kamu.”
“Enak aja, disana kost nya anak-anak gadis ya, bisa-bisa kamu lupa sama aku.”
Naya tertawa.
“Masa sih? Mereka cantik-cantik juga?”
“Mau lihat? Nanti aku kenalin deh sama mereka.”
“Nggak ah, nanti kalau aku bener-bener jatuh cinta sama salah satu diantaranya bagaimana?”
“O.. gitu..? Oke lah, aku akan bawa pentungan, lalu menggebugi kamu sama gadis itu.”
Naya terbahak.
“Kamu sadis juga ya.”
“Kalau soal cinta ya. Siapa sih yang suka pacarnya diambil orang? Amit-amit deh.”
“Susan, kamu tahu nggak, aku ini laki-laki setia, nanti aku mau bilang sama Bapak supaya segera melamar kamu.”
“Benarkah?” wajah Susan berseri, mata beningnya menatap Naya. Ada telaga bening mengambang disana.
“Naya, kamu tahu, aku bahagia mendengarnya. Aku bahagia menemukan laki-laki baik sepertimu.”
“Kapan-kapan aku akan menemui Mama kamu.”
Susan menghela nafas.
“Itulah, takutnya Mama tidak mengijinkan. Tapi kalau Mama tidak mengijinkan aku akan nekat.”
“Lho, melakukan sesuatu tanpa restu orangtua itu nggak baik lho.”
“Tapi kan kamu tahu bagaimana orangtuaku?”
“Siapa tahu suatu hari nanti akan berubah.”
“Permisiiii.” Keduanya terkejut mendengarnya. Susan beranjak kedepan, melihat seorang wanita berpakaian perlente berdiri ditangga teras.
“Kamu Susan kan?”
“Ya Tante, saya Susan. Ma’af saya agak lupa, Tante siapa ya?”
“Ya ampun Susan, aku temannya Mama kamu, aku Triani.”
“Oh, ya ampun, maaf Tante, sekarang baru ingat, habis lama sekali tidak ketemu.”
“Iya, kan kamu tidak pernah mau ikut kumpul-kumpul bersama Mama kamu.”
“Tante mau ketemu Mama?”
“Tidak, aku sudah mendengar kalau Mama kamu dipenjara.”
“Oh...”
“Kami sudah lama sahabatan. Tapi kali ini aku akan mengatakan sesuatu sama kamu.”
“Ya Tante, ada apa? Silahkan duduk dulu.”
Tante Triani duduk, lalu mengeluarkan selembar kertas yang ditunjukkannya kepada Susan. Susan terbelalak membaca surat itu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment