BAGAI REMBULAN 28
By: Tien Kumalasari
“Ada apa anak itu?” tanya Tikno.
Adit tak bergeming, tetap duduk sambil matanya menatap kosong ke arah pagar dimana Yayi menghilang bersama motornya dibalik pagar itu.
“Adit, ada apa Nak?” tanya Tikno lembut. Akhir-akhir ini Tikno tahu bahwa Adit sangat gampang tersinggung. Ia lebih banyak diam, dan tak mengucapkan apa-apa tanpa ditanya.
“Tidak ada apa-apa Bapak.”
“Kamu melihat Yayi pergi sambil menangis?”
“Suatu hari nanti dia akan mengerti dan memaafkan Adit.”
“Apa maksudmu Nak, kamu marah sama dia? Apa kesalahan dia?”
“Bukan dia yang salah Bapak, Adit yang salah.”
“Sayang, apa yang terjadi pada dirimu?” tanya Surti yang baru keluar dari dalam.
“Tidak apa-apa Ibu, Adit baik-baik saja.”
Tikno menghela nafas, didekatinya Adit, dielusnya kepalanya dengan lembut.
“Kamu seorang laki-laki yang kuat, apa gerangan yang bisa membuatmu lemah? Apa yang kamu takutkan dalam hidup ini Nak?”
“Maaf Bapak..”
“Kamu menakutkan sesuatu? Kamu tidak berani menempuh sesuatu yang menurutmu susah? Mengapa tidak melawan kesusahan itu? Mengapa tidak berani melompati rintangan seandainya kamu menganggap bahwa ada rintangan dihadapan kamu? Mana anakku yang perkasa, mana anakku yang tidak takut menghadapi apapun? Bangkit dan berdirilah tegak Nak, kamu laki-laki kebanggaan Bapak dan Ibu. Kamu tak pernah mengeluh, kamu selalu tegar dan berani menghadapi apapun.”
“Ayo bangkitlah Nak, kamu bisa, kamu kebanggaan Bapak dan Ibu. Apa yang kamu takutkan dalam hidup ini?”
Adit bangkit lalu bersimpuh dihadapan Ayahnya, memeluk kedua kakinya.
“Bangun, laki-laki perkasaku, bangunlah,” kata Tikno sambil mengangkat tubuh Adit.
Tikno dan Adit memahami, bahwa kenyataan tentang Ayahnya yang adalah Kakek tua itu, membuatnya merasa rendah. Tapi tidak, Pak tua itu laki-laki yang baik, yang menyadari kesalahannya dan menebusnya dengan perilaku mulia. Menebusnya dengan nyawa. Mengapa Adit belum bisa memahaminya?
“Kamu tahu Nak, kamu harus bangga menjadi darah daging lelaki tua yang rela berpanas hujan, menggigil kedinginan, melawan sakit diusianya yang renta, hanya demi setetes benih yang kemudian menjadi kebanggaannya.”
“Adit, susul Yayi dan mintalah maaf. Kamu menyakitinya. Apa salah dia Adit?” kata Surti.
***
Tapi ketika Adit sampai di rumah Yayi, tak didapatinya Yayi disana.
“Lho, bukankah Yayi ke rumah kamu Dit?” tanya Bu Indra.
“Iya, tapi.. tadi langsung pulang dan.. mm.. baiklah Bu Indra, saya akan menyusulnya saja,” kata Adit yang setelah mencium tangan Seruni kemudian berbalik dan memacu sepeda motornya keluar dari halaman.
Seruni heran melihat tingkah Adit.
“Siapa tadi Seruni?” tanya Indra
“Adit, kok tiba-tiba nyari Yayi, bukankah Yayi ke rumahnya?”
“Berselisih jalan, barangkali.”
“Entahlah, tampaknya sikap Adit agak aneh. Apa lagi bertengkar, barangkali.”
“Oh, mungkin juga... Biasalah, anak-anak muda seperti itu. Sebetulnya aku tadi kalau ketemu mau menanyakan soal pekerjaan itu, mau nggak kira-kira dia?”
“Iya sih, tadi begitu tahu bahwa Yayi nggak ada langsung pergi. Nantilah.. tapi sepertinya kok dia nggak tertarik ya Mas?”
“Setelah Kakek tua itu meninggal, Adit tampak aneh. Kata Mas Tikno dia sudah memberitahu Adit bahwa dia adalah Ayah kandungnya.”
“Mungkinkah dia malu, atau shock.. karena tidak mengira?”
“Bisa juga, tapi diakhir hayatnya, Sardiman melakukan hal yang luar biasa. Dia berkorban nyawa demi membela Dayu.”
“Benar Mas. Sebelumnya malah sudah dua kali kalau tidak salah.”
“Apa dia malu ya?”
“Harusnya tidak, mungkin butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Pastilah cerita lama itu amat menggores perasaan Adit.”
“Ya sudah... kita tunggu saja bagaimana perkembangannya, semoga semuanya berjalan dengan baik.”
***
“Susan, apakah aku mengganggu?” Tanya Naya ketika melihat Susan termenung di ruang tamu tempat kostnya.
“Tidak Naya, aku senang kamu datang.”
“Lagi mikirin apa?”
“Aku ingin melihat Mama, katanya ada di rumah sakit.”
“Baguslah, aku antar. Sekarang kah?”
“Tapi aku ragu-ragu.”
“Memamgnya kenapa?”
“Bagaimana kalau Mama tidak mau melihat aku?”
“Tidak mungkin Susan, kamu kan darah dagingnya.”
“Kamu lupa bahwa Mama tega menyakiti aku, menyiksa aku, darah dagingnya lho aku ini.”
“Masa sih manusia tidak akan berubah? Bagaimanapun ikatan darah itu tidak akan membuat kita melupakan. Ayolah, aku senang kamu punya rasa rindu kepada Mama kamu.”
“Aku memang rindu, tapi mengingat kelakuannya, aku sedih.”
“Tidak, tolong maafkanlah dia. Ingat, kamu terlahir karena dia.”
“Naya, hatimu sungguh mulia.”
“Heii.. ayolah, berhenti mengatakan itu, nanti aku pingsan karena kesenangan.”
Susan tertawa, lalu beranjak masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap.
***
Yayi memang tidak pulang ke rumahnya. Ia membawa tangisnya disepanjang jalan yang entah menuju kemana. Pikirannya melayang ke arah sikap Adit yang tampak aneh. Diingatnya, apakah dia melakukan kesalahan?
Yayi terus saja menjalankan motornya, tak tentu arah.. berkeliling kota, menembus jalan ramai dan gang-gang kecil, kemana hatinya menginginkannya.
Yayi merasa letih, keringat bercucuran tak dirasakannya, dan disebuah tikungan, sebuah sepeda motor menabraknya. Yayi terjatuh, untunglah pengendara sepeda itu kemudian berhenti, dan berusaha menolongnya. Tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor lain berhenti, pengendaranya turun dan menarik laki-laki penabrak itu.
“Apa yang kamu lakukan?” hardiknya sambil berusaha mengayunkan kepalan tangannya kewajah laki-laki itu. Tapi sebuah teriakan menghentikannya.
“Mas Adiiit, jangan!!”
Kepalan itu berhenti diudara, dan cengkeraman atas baju leher laki-laki penabrak itu dilepaskannya.
“Apa maksudmu?”
“Aku yang bersalah, bukan dia,” kata Yayi sambil berusaha bangkit, tapi kakinya terasa sakit. Adit mendekatinya dan menolongnya berdiri.
“Maaf Mas, mbaknya ini belok kekanan tapi tidak memberi tanda, sehingga saya menabraknya,” kata sang penabrak agak ketakutan, melihat tubuh tegap itu nyaris menghajarnya.
“Nggak apa-apa Mas, saya yang salah,” kata Yayi kemudian berjalan tertatih ke pinggir, lalu menjatuhkan tubuhnya di trotoar.
Adit mengambil sepeda motor Yayi dan dibawanya ke pinggir.
Ada pohon talok yang rindang, dimana Yayi manjatuhkan tubuhnya lalu memijit-mijit kakinya. Lututnya terluka dan berdarah.
Adit berlari ke toko terdekat, dan kembali sudah membawa sebotol alkohol dan obat merah, lengkap dengan kasa dan plester serta gunting kecil.
Yayi yang merasa kesal diam saja ketika Adit mengobati lukanya. Bahkan dia cuma menggigit bibirnya menahan sakit ketika Adit membersihkan lukanya dengan alkohol.
“Sakit?” tanya Adit.
“Tidak..” jawab Yayi ketus.
Tapi Yayi terus menggigit bibirnya dan menahan sakit karena perih lukanya. Tapi tidak, masih lebih sakit rasanya ketika tadi Adit mengusirnya pergi. Karenanya tak ada senyuman disiang terik itu untuk kekasihnya.
Adit menatap Yayi dengan wajah sendu. Ia menyesal telah melakukannya, tapi ia harus membuat Yayi membencinya. Namun melihat buah hatinya kesakitan, hatinya sungguh tak tega.
“Sudah cukup,“ kata Adit setelah selesai memplester luka itu.
Yayi berusaha berdiri, dan melangkah mendekati motornya. Tak tega Adit menuntunnya, tapi Yayi mengibaskan tangannya.
“Terimakasih telah membalut luka kakiku. Tapi kamu tak akan bisa membalut luka hatiku,” katanya ketus.
Adit ingin merangkulnya, ingin menghiburnya, ingin mengatakan bahwa dia sangat mencintainya, tapi ada sesuatu yang menghalanginya.. namun tak sepatahpun kata terucap dari bibirnya.
“Yayi...” ditatapnya Yayi dengan mata berkaca, tapi Yayi tak bergeming. Ia naik ke atas sadel motornya, dan menstaternya, tapi tak berhasil.
Yayi turun dari motor, dan menuntunnya, berharap ada bengkel disekitar tempat itu.
“Yayi, biar aku mencobanya.”
“Nggak usah..”
“Yayi.. tolong.. baiklah, aku akan mengatakan semuanya nanti, biar aku mencoba menstarternya.”
Tapi Yayi nekat menuntunnya.
Panas begitu menyengat, Adit mengikuti Yayi sambil sama-sama menuntun sepeda motor, dan mencoba berjalan beriringan.
“Tolong Yayi, berhentilah sebentar, bengkel jauh sekali didepan sana, kamu nanti capek Yayi.”
Dan itu benar, rasa letih, rasa perih pada lukanya, panas yang membakar tubuhnya, membuat Yayi merasa limbung, dan disuatu saat tubuhnya terguling, sebagian kakinya tertindih sepeda motor itu.
*“Auuuww!”*
“Yayi,“ Adit meletakkan sepeda motornya dan berlari mendekati Yayi.
Diangkatnya sepeda motor, dan dibangunkannya Yayi. Tapi kali itu Yayi benar-benar lemas. Adit mengangkat tubuhnya ke pinggir, lalu meminggirkan kedua sepeda motor itu di depan sebuah warung.
Tak cukup hanya memesan minuman, Adit menggendong tubuh Yayi dibawanya masuk kedalam warung, dan mendudukkannya disebuah kursi.
“Ada apa Mas, sakit?” tanya pemilik warung.
“Ya Bu, masuk angin, tolong berikan teh panas ya Bu..”
“Baiklah, saya punya obat gosok Mas,” kata pemilik warung yang kemudian berlari kedalam dan keluar dengan sebotol obat gosok.
“Gosokkan di pelipisnya Mas, dan ciumkan dihidungnya.”
“Terimakasih Bu.”
Adit membuka obat gosok itu lalu mengoleskannya di pelipis Yayi. Kali ini Yayi tak menolak, karena ia benar-benar merasa lemas. Lalu diciumkannya bekas minyak dijarinya, kehidung Yayi.
Yayi memejamkan matanya, kepalanya pusing. Ketika pelayan menyuguhkan dua gelas teh hangat, Adit meminumkannya perlahan. Menyuapkannya ke bibir Yayi, sesendok demi sesendok.
Yayi terkulai, dan meletakkan kepalanya di meja. Adit merasa cemas. Minyak itu terus digosokkannya bahkan ditengkuk Yayi, sambil dipijitnya pelan. Wajah Yayi sangat pucat.
“Yayi, hukumlah aku, lakukan apa saja untuk aku, pukullah aku, tapi jangan diam Yayi.” Mata Adit mulai berkaca-kaca. Bukan maunya kalau sampai Yayi terluka, sedih hatinya melihat wajah cantik itu tampak tak bertenaga.
Yayi membuka matanya, melihat mata Adit yang sayu, berlinang air mata, runtuhlah kemarahannya.
“Aku lapar....” Yayi berbisik pelan, hampir saja membuat Adit tertawa. Kemarahan itu sirna ketika perut mengetuk-ngetuk minta diisi.
“Baiklah, yang hangat-hangat ya, soto..?”
Yayi mengangguk, dan dunia seakan menjadi benderang bagi Adit. Ia memesan dua mangkuk soto.
“Kamu belum makan dari pagi?”
Yayi masih meletakkan kepalanya di meja. Sebagian rambutnya yang basah oleh keringat tergerai dikeningnya. Adit menyibakkannya lembut. Ya Tuhan, gadis ini terluka oleh kelakuannya, dan Adit baru menyadarinya.
“Yayi, maafkan aku ya?”
“Mengapa kamu peduli? Bukankah kamu membenci aku?” tanya Yayi dengan suara lirih. Sungguh Yayi masih merasa lemas.
“Demi Tuhan Yayi, aku mencintai kamu, lebih dari apapun..”
“Tidak mungkin..”
“Aku membawa nama Tuhan.. kamu tidak percaya?”
“Jangan membawa nama Tuhan...kamu telah menyakiti aku..”
“Maafkan aku, lakukan apa saja, apakah aku harus bersimpuh dihadapanmu agar kamu mau memaafkan aku?”
Pelayan warung membawa pesanan mereka. Adit mengipasinya sebentar, lalu menyuapkannya ke mulut Yayi. Yayi masih meletakkan kepalanya di meja, ia membuka mulutnya ketika Adit menyuapinya, lalu mengunyahnya perlahan.
“Sayang, aku keterlaluan bukan?” Adit terus menyuapkannya, sampai Yayi menggoyang-goyangkan tangannya agar Adit berhenti menyuapinya.
“Sudah?”
“Kamu sendiri makanlah..”
Tapi Adit kemudian mengambil ponselnya, menelpon bengkel langganannya agar mengambil sepeda motor Yayi.
“Sepeda motor kamu akan diambil oleh bengkel langgananku, kamu nanti membonceng aku ya.”
“Makanlah dulu.”
Nyatanya dalam keadaan lemah Yayi masih bisa mengingatkan Adit agar segera makan. Harusnya Adit menyadari, betapa besarnya cinta gadis itu kepadanya.
Adit menyendok nasi sotonya, dan menyuapkan ke mulutnya sendiri sambil menatap Yayi yang sudah tidak sepucat tadi.
“Maafkan aku ya.”
“Kamu kerasukan setan?”
Adit tak menjawab, terus menyuapkan nasi soto ke mulutnya sampai ludes.
“Masih mau makan lagi?”
“Kenyang..”
Lalu Yayi mengangkat kepalanya. Adit menyibakkan rambut Yayi yang terburai kedepan, hampir menutupi wajahnya.
“Habiskan tehnya.”
Yayi meneguk tehnya, lalu menyandarkan kepalanya disandaran kursi.
“Sudah lebih baik?”
Seseorang memasuki warung, mencari Adit, ternyata dia orang bengkel langganan Adit. Adit mengulurkan kunci motor Yayi.
“Kalau selesai antarkan ke rumahku saja ya.”
“Tadi aku datang ke rumah, mau mengajak kamu makan...”
“Ya.. ya... itu sebabnya kamu kelaparan ya.”
Yayi tersenyum tipis, tapi masih menyandarkan kepalanya.
“Kalau kamu sudah kuat, aku antarkan kamu pulang..”
“Jangan pulang dulu..”
“Lalu?”
“Bawalah kemana kamu ingin membawaku.”
Adit tersenyum, lalu menarik tangan Yayi. Keduanya keluar setelah Adit membayar makanannya.
***
Yayi duduk dibocengan Adit, sambil meletakkan kepalanya dibahu Adit.
“Masih pusing?”
“Tidak..”
“Kita duduk-duduk ditaman itu ya? Bukankah udara sangat panas?”
Adit menghentikan sepeda motornya ditepi taman itu, dan mencari tempat duduk dibawah sebuah pohon rindang.
Angin yang bertiup sepoi meluruhkan hawa panas yang menyengat disiang hari itu. Yayi duduk sambil menyandarkan kepalanya dibahu Adit.
“Yayi, maafkan aku ya?”
“Dari tadi itu saja.”
“Karena kamu belum bilang bahwa kamu memaafkan aku.”
“Aku masih bingung. Setan apa yang merasuki kamu sehingga kamu bersikap sekejam itu sama aku?”
“Kamu tahu Yayi, bahwa aku sangat mencintai kamu?”
Yayi terdiam.
“Tapi aku ini tiba-tiba merasa bahwa aku ini tidak pantas untuk kamu.”
“Jadi kamu baru merasakannya sekarang?”
“Yayi, sesungguhnya aku bukan anak kandung pak Tikno..” akhirnya Adit ingin mengatakan semuanya kepada kekasihnya. Biarlah semuanya segera terputuskan, setelah mendengar siapa dirinya, apakah Yayi akan tetap mencintainya, atau akan membuangnya.
Yayi menatap Adit lekat-lekat. Laki-laki gagah disampingnya ini sangat dikaguminya. Walau sedikit temperamental, tapi Adit memiliki kasih sayang yang sangat besar. Bukan hanya kepada dirinya, tapi kepada semua orang.
“Mengapa menatap aku seperti itu? Kamu tidak bertanya anak siapa aku ini sebenarnya? Darah siapa yang mengalir ditubuhku ini sebenarnya?”
“Tidak Adit, aku tidak perlu menanyakannya.”
“Apa maksudnya?”
“Karena aku sudah tahu semuanya.”
Adit terkejut.
Bersambung
No comments:
Post a Comment