BAGAI REMBULAN 27
By: Tien Kumalasari
Tikno menarik Adit agar menjauh karena dokter sedang memeriksa. Dengan cemas mereka menunggu. Dilihatnya dokter memberi perintah kepada pembantu-pembantunya, lalu seorang perawat mengambil obat dan menyuntikkannya kedalam selang infus.
Tikno meremas tangan Adit.
“Berdoalah terus untuk dia Adit.”
Adit mengangguk. Tiba-tiba seperti ada ikatan yang mengikat isi hatinya, atau jantungnya, atau jiwanya, dan membuatnya merasa dekat dengan Kakek tua itu. Adit merasa, pasti karena telah berkali-kali menolongnya, menyelamatkan adiknya maka timbullah perasaan itu. Ia terus berdoa sambil menunggu. Ketika dokter beranjak pergi, Adit memburunya.
“Dokter, bagaimana keadaannya?”
“Memang paru-parunya sangat parah, kami sedang berusaha. Teruslah berdoa karena mati dan hidup manusia adalah Tuhan yang menentukannya.”
Adit mengangguk, tapi ada rasa miris karena kata-kata itu hanya sedikit memberi harapan.
Adit mendekati sang Kakek, nafas itu sedikit berangsur membaik. Adit mengelus tangannya, lalu Kakek membuka matanya. Ada kilat bahagia disana.
“Cepatlah sembuh Kakek, nanti tinggallah bersama kami. Bapak pasti mengijinkan, ya kan Pak?”
Tikno tersenyum, dan air mata Kakek itu mengambang dipelupuk tuanya.
Adit mengambil tissue dan mengusapnya.
“Tidurlah Kakek... supaya segera sembuh..”
“Panggil.... aku... Bapak...”
Adit membelalakkan matanya. Kok terjadi seperti mimpinya? Panggil aku Bapak..?
Mata tua itu menatap Adit, seperti sebuah permohonan yang ingin dikabulkan.
Tikno menyentuh bahu Adit.
“Panggil dia ‘bapak’..”
Mata tua itu masih menatapnya, nafasnya masih tampak tersengal...
Adit menatap Bapaknya, dan Tikno mengangguk.
“Bapak...” kata Adit lembut.
Lalu air mata Kakek itu kembali menetes.. dan bibir keriput itu tersenyum.. sebelah tangannya meraih tangan Adit, sangat lemah, Adit menangkapnya, menggenggamnya erat.
“Bapak...” Adit berbisik lagi. Lalu mata tua itu terpejam, dan air mata masih membasahi pipinya. Adit kembali meraih tissue dan mengusapnya, tapi tak lama kemudian terdengar seperti peluit panjang yang mengoyak perasaannya.
“Susteeeer..!” Adit berteriak.
Suster berlari mendekat, lalu menggelengkan kepalanya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” bisik Tikno pilu...
“Bapaaak... “ Adit memanggilnya keras.
“Semoga Allah mengampuni segala dosanya. Semoga Pak Sardiman diwafatkan dalam husnul khotimah,” bisik Tikno kemudian melantunkan doa.
“Selamat jalan, Bapak, selamat jalan malaikat pelindungku,” bisik Adit pilu. Ditatapnya wajah tua yang meninggal dengan menyunggingkan senyum itu lekat-lekat.
***
Tikno mengajak Adit duduk di taman rumah sakit itu. Adit harus tahu semuanya, agar Kakek Sardiman merasa tenang dialamnya. Bukan sekedar panggilan ‘Bapak’, tapi benar-benar menanamkan dalam jiwanya bahwa memang dia layak disebut Bapak.
“Bapak akan mengurus semuanya. Tapi sebelum itu Bapak ingin menceriterakan sebuah peristiwa, yang terjadi puluhan tahun yang lalu.
Adit menatap Bapaknya. Rasa sendu kehilangan Kakek penolongnya belum hilang dari wajah mereka.
“Ada seorang gadis, cantik, lugu, yang panik ketika malam itu mendengar bahwa Bapaknya sakit. Gadis itu bekerja di Solo, dikota ini, sedangkan Bapaknya jauh ada di Surabaya. Ia nekat malam-malam naik kereta, terdorong rasa khawatir akan penyakit Bapaknya. Tapi malang tak bisa ditolak..”
“Bapaknya meninggal?”
“Tidak, dengarkan saja dan jangan memotongnya.”
Adit mengangguk.
“Ditengah perjalanan seorang wanita menawarinya minuman, dan tanpa curiga gadis itu meminumnya karena dia memang kehausan. Tapi ternyata didalam air itu dibubuhkan sesuatu, yang kemudian membuat gadis itu menjadi setengah sadar. Bahkan ia menurut ketika perempuan itu mengajaknya turun, lalu membawanya kesebuah rumah. Ada teman wanita itu, seorang laki-laki yang tidak muda lagi. Semua barang yang dibawa gadis itu dirampok, bahkan cincin dan anting yang dipakainya. Tak cukup hanya itu, laki-laki itu juga memperkosanya.”
“Jahanam keparat itu Pak.”
“Tanpa uang dan hanya selembar pakaian yang dipakainya, gadis itu pulang kembali ke Solo, dengan berjalan kaki. Hanya terkadang ada tumpangan, tapi tidak ada yang bisa membawanya sampai ke Solo, sehingga sebagian perjalanannya dilakukan dengan berjalan kaki.”
“Tidak lapor ke polisi?”
“Sudah, dan akhirnya memang perempuan penjahat dan laki-laki itu ditangkap dan dipenjara. Tapi benih yang diteteskan laki-laki itu tumbuh menjadi janin.”
“Oh, kasihan bayi itu...”
“Tapi seorang duda kemudian jatuh cinta kepada gadis itu, lalu mengambilnya sebagai istri.”
“Alhamdulillah... alangkah mulia hati laki-laki itu.”
“Setelah keluar dari penjara, ternyata laki-laki itu terus mengamati benih yang diteteskannya, sejak lahir, masa kanak-kanak.. sekolah dan sampai dia menjadi sarjana... Bayi itu adalah kebanggaanya. Dalam masa bertobat dia banyak melakukan hal mulia, dan dia berharap dengan itu bisa menebus dosanya.”
Adit terdiam, serasa ada yang mengusik batinnya.
“Seandainya bayi itu kamu, maukah kamu memaafkan semua kesalahannya?”
Adit terdiam, mencoba memaknai semua kata-kata Bapaknya.
“Bukankah Tuhan juga mau memaafkan umatnya yang bertobat?” jawab Adit.
“Bagus, kamu sudah dewasa dan bisa mengerti sebagian dari kehidupan ini.”
“Tapi mengapa Bapak menceritakan semua itu?”
“Adit... benih yang telah menjadi orang itu kamu, sedangkan gadis yang teraniaya itu Ibu kamu.”
“Apa?” Adit berdiri dari tempatnya dia duduk, menatap Bapaknya tak berkedip.
“Dan Bapak tua itu adalah laki-laki yang meneteskan benih itu.”
“Tidaaaak.... Bapaaaak...” tiba-tiba Adit jatuh terduduk dibawah kaki Tikno, menjatuhkan kepalanya dipangkuannya, dengan perasaan tak menentu.
“Apa kamu menyesal?”
“Apa kamu menyesal telah menjadi anakku? Apa kamu kekurangan kasih sayang? Apa kamu membenci laki-laki tua yang telah menjadi jasad tanpa nyawa dan memendam dosa serta budi baiknya, mengaduknya menjadi kehidupan yang dijalaninya?”
“Kamu ingat sorot matanya ketika menatapmu, ketika meraih tubuhmu untuk dirangkulnya, ketika menitikkan air matanya saat kamu memintanya tetap hidup dan tinggal bersamamu? Apakah kamu lupa bagaimana dengan memelas dia meminta kamu memanggilnya Bapak? Selaksa sesal membebani hidupnya, sejagad maaf dikumpulkannya menjadi satu dan hanya dikatakannya sekali saja dari dasar hatinya.. ‘maaf.’... tapi itu cukup bagi Bapak. Dia menyesali semua perbuatannya. Dia ingin menyentuh kamu ketika kamu bayi tapi Ibumu tidak mengijinkannya. Tapi dia berhasil merengkuhmu ketika kamu telah menjadi orang. Betapa menyedihkan permintaan terakhirnya, ‘panggil aku bapak’. Lalu semuanya lenyap, hasrat, kehidupan, harapan..tenggelam bersama raga tanpa sukma.”
Adit menangis terguguk dipangkuan Bapaknya. Tikno mengelus kepalanya lembut.
“Kamu adalah juga anakku, belahan jiwaku... “
“Bapak, terimakasih atas semua cinta, sejak aku masih dalam kandungan, sampai menjadikann aku orang, terimakasih Bapak. Bapaklah laki-laki mulia itu, terimakasih Bapak.” Ucapnya berkali-kali sambil berurai air mata.
“Apakah kamu membenci laki-laki yang sesungguhnya bernama Sardiman itu?”
“Tidak Bapak, biarkan Adit mengurusnya sampai ke pembaringannya yang abadi.”
***
Pak tua, malaikat penolong bagi Dayu dan Adit telah terbaring dengan tenang disana, dibawah gundukan tanah yang penuh bertabur bunga. Duka menyelimuti suasana siang itu.
“Orang sederhana yang baik, sumoga Allah memberikan surga yang mulia baginya,” doa hampir setiap orang yang hadir.
Adit terguguk disamping gundukan itu, Dayu mendampinginya sambil meneteskan air mata dan menaburkan bunga diatasnya.
“Kakek, istirahatlah dengan tenang ya,” bisiknya sambil terus berurai air mata.
Namun ketika Tikno menancapkan papan kecil bertuliskan nama diatas gundukan tanah itu, Surti terkejut. Diamatinya terus tulisan itu, dan bertanya dalam hatinya. Apakah itu dia.. apakah dia..
Tikno menarik Surti agak jauh dari kerumunan.
“Apakah dia?” bisik Surti.
“Memang dia, yang telah menyakiti kamu, tapi yang telah berkali-kali menyelamatkan anak-anak kita.”
“Ya Tuhan...”
“Maukah kamu memaafkannya? Dia telah menebusnya dengan perilaku baik dan perbuatan mulia, bahkan dia berkorban nyawa untuk anak-anak kita, bukankah lebih baik kamu memaafkannya?”
Surti merebahkan kepalanya dipundak suaminya.
“Disaat terakhirnya dia hanya ingin agar Adit memanggilnya ‘bapak’ “
“Aku memaafkannya. Semoga dia tenang di alamnya, dan Allah mengampuni segala dosanya.”
“Aamiin..” Tikno memeluk erat istrinya.
“Apakah Adit tahu semuanya?”
“Aku sudah memberitahunya saat dia mengehembuskan nafas terakhirnya. Tapi dia anak baik. Dia juga memaafkannya, bahkan menangisi kematiannya.”
Dan bukan Surti saja yang tiba-tiba menangkap tulisan di pusara itu. Indra dan Seruni juga demikian. Dalam suatu kesempatan, Indra mendekati Tikno dan bertanya.
“Dia?”
Tino mengangguk, karena sudah mengerti arah pertanyaan Indra.
***
Malam itu telah larut. Adit duduk disebuah bangku, menatap langit dengan sepotong bulan mengambang diantaranya. Suasana sangat sepi, hanya desir angin meniup perlahan, mengelus dedaunan, menimbulkan suara gemerisik yang lembut.
“panggil aku bapak” suara serak terbata itu mengiang kembali ditelinganya, menimbulkan rasa miris dihatinya.
Itu suara terakhir yang didengarnya.. setelah berkali-kali..”anak baik, teruslah menjadi baik”...
“Ya Tuhan, akulah benih yang diteteskannya, darahnya mengalir didalam tubuhku.. “
Ditatapnya rembulan, Kakek tua itu ada disana, melambaikan tangan kearahnya, lalu berjalan pergi dengan gagahnya. Tanpa tongkat penyangga.
“Selamat jalan, Bapak... “ lalu dibisikkannya kata-kata itu.
Adit menatap langit dengan agak menyandarkan badannya disandaran kursi itu, berharap bayangan laki-laki tua itu kembali nampak. Tapi tidak. Rembulan itu tetap berpendar, menyiratkan sinar keemasan yang memukau.
“Mas Adiiit...” teriakan kecil terdengar, lalu duduk begitu saja disamping Adit, dan menyandarkan kepalanya dipundaknya.
“Dayu, mengapa belum tidur?”
“Kenapa kamu juga belum tidur?”
“Aku suka menatap rembulan itu.”
“Jadi ingat Liando..”
“Kenapa?”
“Liando sering menyapaku dengan kata-kata rembulanku. Memangnya aku bulat seperti rembulan ya?”
“Liando romantis sekali,” gumam Adit, yang kemudian terbayanglah wajah Yayi.
Dan tiba-tiba saja seperti sedang berjalan, dia mundur selangkah. Siapakah aku, apakah Yayi masih menerima aku seandainya tahu bahwa aku adalah anak Kakek tua bertongkat yang lusuh dan kotor? Pikirnya.
Dan itu benar-benar menyurutkan langkahnya.
“Hei.... kok melamun?” sentak Dayu sambil menggamit pundak Makaknya.”
Tiba-tiba Adit merangkul Dayu kuat-kuat.
“Aku bahagia kalau kamu bahagia, Dayu..”
Dayu tak mengerti mengapa Kakaknya berkata begitu.
“Mas Adit, kalau Mas Adit bahagia, aku juga bahagia..”
Lalu dipeluknya Dayu erat-erat, ada air mata terburai disana, kali ini tangis tentang cinta yang barangkali sangat susah dijangkaunya, seperti ketika tangan melambai dan menjangkau bulan, apa yang bisa tergenggam ditangannya? Bayangannyapun tidak.
Dayu yang mengira Adit masih dalam suasana duka karena Kakek meninggal, ganti memeluknya erat.
“Sudahlah Mas, bukankah Kakek sudah tenang disana? Orang baik pasti mendapatkan surganya Allah.”
Dayu tak mengerti, dan Adit tak ingin mengatakannya.
***
“Kok beberapa hari ini Mas Adit nggak kesini ya Mas?” tanya Yayi kepada Naya.
“Kangen?”
“Ya iyalah, memangnya Mas Naya kalau lama nggak ketemu Dayu.. eit.. maaf.. Susan.. lalu nggak kangen?”
“Eeh.. tunggu..tunggu.. mengapa tadi kamu menyebut nama Dayu?”
“Kan aku sudah minta maaf...?” katanya sambil tersenyum lucu..
“Kok bisa salah.. jauh lho salahnya.. Susan.. bisa beralih jadi Dayu?” Naya protes.
“Hm.. Mas Naya.. aku tahu deh.. kalau dulu Mas Naya naksir Dayu..”
“Apa?”
“Iya apa tidak?”
“Nggak ah...”
“Iya...”
“Nggaaaaakk...”
“Jangan bohong ya...”
“Iih, apaan sih?” lalu wajah Naya menjadi merah.
“Hayooo..”
“Ngarang!!”
“Mas Naya ngomong sendiri kok..”
“Aku? Ngomong sama kamu? Ngawur, ngarang!”
“Iya Mas... waktu itu kamu lagi sakit, masa nyebut-nyebut nama Dayu sih..!”
“Apa? Bohong kan?”
“Mas Naya yang bohong.”
Tapi kemudian Naya tersenyum lucu, memang sih, dia pernah suka.. tapi kan kemudian ada Susan..
“Tuh kan, sekarang senyum-senyum sendiri. Untung ada mbak Susan, kalau nggak bisa ada perang Baratayuda nih.”
“Perang apaan?”
“Perang Baratayuda, tapi perang batin. Habisnya kan Liando juga suka sama Dayu. Perang deh.”
“Nggak lah, masa sih aku segila itu.”
“Sekarang ngaku kan?”
“Sekarang nggak, dulu iya..”
“Hm... kalau jadi sama Dayu, aku jadi bingung deh. Aku adiknya mas Naya, tapi Dayu adiknya mas Adit, ipar ambyar namanya.”
Naya tergelak mendengar istilah ipar ambyar yang dilontarkan Yayi.
“Sudah ah, jangan ngomongin itu lagi, nanti kalau ada yang dengar bisa benar-benar jadi perang, padahal sebetulnya nggak ngapa-ngapain.”
“Tapi aku pengin ke rumah Dayu deh.”
“Kerumah Dayu apa ke rumah Adit?”
“Aku bingung dia nggak datang kemari berhari-hari. WA juga enggak, apalagi telepon.”
“Iya, tapi besok, kan ini sudah malam?”
***
“Adit.. kenapa di rumah saja? Kemarin itu Pak Indra menanyakan sama kamu tentang pekerjaan yang ditawarkan lho,” kata Tikno pagi itu.
“Ya Bapak, biarin dulu, Adit belum memikirkan itu.”
“Atau kamu punya pandangan lain? Pekerjaan yang lebih cocog untuk kamu, misalnya. Tapi Bapak juga nggak buru-buru ingin kamu bekerja. Kan baru selesai kuliah, barangkali ingin santai sementara waktu.”
“Iya Bapak.”
“Lha ini hari Minggu lho Dit, tumben di rumah, nggak ingin jalan-jalan sama Yayi?”
“Enggak Bapak, lagi males.”
“Tumben anak Bapak bisa males, biasanya selalu bersemangat.”
Tiba-tiba sebuah sepeda motor masuk.
“Naaa.. itu Yayi datang .. “
Tapi Tikno heran melihat Adit tak bersemangat. Ia tetap saja duduk ditempatnya dan tidak menyambutnya dengan riang seperti biasanya.
Tikno berdiri menunggu didepan tangga.
Yayi menghampiri dan mencium tangannya, lalu Tikno masuk kedalam.
“Hai sayang, kok melamun ada apa?”
“Bukan urusan kamu,” kata Adit ketus.
Yayi agak heran, tapi dia menganggap Adit sedang mengajaknya bercanda. Tapi bercandanya kok keterlaluan sih. Lalu Yayi duduk disamping Adit.
“Ada apa sih? Hari ini beda ya? Terus... berhari-hari juga nggak kangen sama aku. Aku khawatir kamu sakit.”
“Yayi, untuk apa kamu peduli sama aku?”
“Apa?”
“Pergilah dan jangan lagi menemui aku.”
“Mas Adit ?”
“Kamu tidak dengar apa yang aku katakan?”
“Mas... kamu bercanda?”
“Aku ini siapa Yayi... aku bukan siapa-siapa, pergilah, aku tidak pantas untuk kamu.”
“Apa maksudmu?”
“Pergi ! Pergi dan jangan lagi menemui aku,” kata Adit sambil berdiri dan duduk menjauh dari Yayi.
Yayi berdiri, wajahnya merona karena menahan tangis. Air mata mengambang.
Adit menatapnya, ada rasa teriris melihat mata bola itu tergenangi telaga bening. Tapi dikuatkannya hatinya. Lalu ia menatap kearah lain.
Lalu Yayi berlari kebelakang, ketemu Tikno yang lagi mencomot tempe yang baru digoreng istrinya.
“Bapak.. ibu, Yayi pamit dulu,” katanya sambil mencium tangan keduanya, lalu bergegas keluar.
Tikno memburunya, dilihatnya Adit masih terpaku tak bergeming, lalu Yayi sudah menstarter motornya dan pergi.
Bersambung
No comments:
Post a Comment