Cinta Tiga Hati
Part 21
Mobil sport kuning mengkilat melaju dengan kecepatan sedang ke arah lobi kantor.
Penumpang di dalamnya pemuda tampan berkaca mata.
Seorang petugas valest sudah siap dengan tugasnya saat si pengemudi keluar dari mobil dan menyerahkan kunci padanya.
Dengan sigap si petugas membawa mobil ke parkiran.
Mobil seharga milyaran rupiah di tangannya tidak boleh lecet apa lagi menabrak sesuatu.
Bukanlah tugas mudah menjadi petugas parkir pribadi sang bos.
Keluar dari mobil, Vico diapit empat bodyguard yang sudah menunggunya di pintu masuk gedung.
Dua orang laki-laki penjaga pintu berseragam hitam mengangguk hormat saat melihat Vico memasuki lobi gedung.
Lantai keramik yang mengkilat, sofa kulit dan meja kokoh mendominasi pemandang di dalam lobi.
Ada tiga kafe yang menyediakan makanan dan kopi tepat berada di belakang lobi yang berfungsi sebagai lounge.
“Selamat Pagi, Pak Vico.”
Seorang laki-laki berbadan tegap, berjas lengkap dan berwajah bersih dengan sisiran rambut rapi menyambut Vico dengan hormat.
“Pagi, Kevin.
Apa kamu sudah siapakan yang aku mau?” tanya Vico sekilas.
Kevin beserta empat bodyguard mengikuti langkah Vico yang menuju lift.
“Sudah, Pak. Mereka menunggu di hall,” jawab Kevin.
“Bawa aku ke sana.”
Mengangguk kecil, Kevin menekan tombol lift hingga terbuka.
Setelah Vico berada di dalam, dia masuk dan lift menutup.
“Berikan rincian singkat mereka,” perintah Vico.
Kevin membetulkan letak dasi sebelum berucap cepat.
“Sepuluh bodyguard berhasil kami jaring dari berbagai tempat pelatihan di Jakarta.
Mereka yang terbaik dari yang terbaik di tempat pelatihan.
Kami sudah menguji cara kerja mereka melalui serangkaian tes.
Selain beberapa orang sipil yang menguasai teknik penggunaan senjata tajam dan perlindungan diri yang mahir, ada dua orang yang merupakan jebolan pasukan khusus angkatan bersenjata.”
“Kenapa keluar dari kesatuan?”
“Alasan pribadi, sudah saya cek juga alasan mereka, Pak. Aman.
Hanya terlibat dalam pelanggaran disiplin.”
Vico mengangguk puas mendengar penjelasan Kevin, sekretaris yang sudah dua tahun ini menjadi bawahannya.
Dulu Kevin hanya staf manager tapi saat dia melihat cara kerjanya yang efesien dan cepat, Vico mengangkat jadi sekretaris.
Lift terbuka, menampakkan sebuah ruangan besar di kelilingi tembok kaca di mana ada sepuluh orang bercelana dan berkaos hitam berdiri tegap di tengah.
Vico menghampiri dan menatap mereka satu per satu.
Semua berbadan gempal, dengan bisep menonjol dari balik kaos hitam yang mereka pakai.
Rambut mereka tercukur dan tersisir rapi hingga nyaris cepak.
“Perkenalkan, saya Vico Arthur.
Kelak saya akan membutuhkan bantuan kalian dalam perlindungan.” Vico mulai berbicara di depan mereka.
“Yang saya minta hanya satu, jangan mencolok.
Cukup melihat dari kejauhan dengan pakaian bebas hingga tidak menimbulkan kecurigaan.
Tentu kalian sudah tahu tentang percobaan pembunuhan yang di alamatkan ke saya. Dengan ini saya minta kalian lebih waspada.”
“Siap, Pak!” jawab mereka serempak.
Pandangan Vico tertuju pada laki-laki paling depan yang terlihat sangat muda.
“Siapa namamu dan berapa umurmu?” tanyanya.
“Siap, Pak. Nama Hadi, umur dua puluh tiga tahun.”
Vico menoleh pada Kevin yang berdiri di belakangnya.
“Dia lulus dengan nilai terbaik di antara semuanya, Pak,” jawab Kevin tentang keraguan Vico pada umur Hadi.
“Wow, benarkah?
Hebat,” ucap Vico sambil menepuk punggung Hadi.
Pemuda yang terlihat lebih muda dari umurnya, tersenyum malu-malu dan mengangguk ke arah Vico.
Setelah puas bertanya satu per satu pada para bodyguard barunya, Vico didampingi Kevin dan empat orang lainnya kembali ke dalam lift.
“Beri mereka area luar, area dalam tetap orang-orang lama.”
Perintah Vico diberi anggukan oleh Kevin.
Lift berhenti di lantai dua belas.
Karpet merah tebal menutupi seluruh lorong.
Di dekat lift ada tempat resepsionis yang ditempati seorang wanita umur pertengahan dua puluhan dengan rambut disanggul dan senyum manis.
Dia berdiri dari kursi dan menganguk ke arah Vico.
“Selamat pagi, pak.”
“Pagi, Yanti.”
Wanita yang disapa Yanti, tersenyum dengan wajah memerah saat Vico membalas senyumnya.
Beberapa pegawai yang sedang menunduk di atas meja mereka serempak berdiri dan mengucap selamat pagi saat Vico memasuki ruangan.
Kali ini, Vico hanya melambaikan tangan dan berjalan lurus ke arah ruangan pribadi.
Para bodiguard menyebar entah kemana sedangkan Kevin mengikuti Vico.
“Hari ini ada satu agenda penting.
Pertemuan dengan para anggota group pengusaha sawit dari Indonesia Timur pada sore jam empat.”
Dengan cekatan Kevin membuka dokumen di depan Kevin yang sudah duduk di kursinya.
“Untuk siang? Apa ada acara khusus?”
“Ada, Pak. Itu, Miss Hana Belia ingin dijadwalkan makan siang bersama di sini.”
“Kenapa di sini?
Kamu pesan saja hotel atau restoran kesukaan dia.”
“Pak, Miss Hana Belia bilang, dia memasak sendiri.”
“Apa?
dia memasak?” Vico mendongak dari atas dokumen dan menatap Kevin dengan heran.
Omongan Kevin soal Hana Belia yang memasak bagaikan mendengar berita perang di suatu negara bagian.
Sungguh mengagetkan memang.
“Katanya seperti itu.”
Vico mendesah, jika Hana Belia bilang ingin memasak sudah pasti dia memasak.
Hanya saja dia menduga pasti chief di rumahnya yang memasak makanan mereka bukan tangan Hana Belia sendiri, membayangkan kuku Hana Belia rusak karena memotong sayuran membuat Vico geli.
Mereka berdua sudah saling mengenal bertahun-tahun lalu.
Dari mereka kecil, di mana Hana Belia terpaut tiga tahun lebih muda darinya, gadis itu sudah gesit mengejarnya.
Pernah dalam suatu pesta kebun di mana orang tua Vico mengundang keluarga Hana Belia merayakan suatu party, gadis kecil dengan tubuh kerempeng menyatakan dengan jelas di hadapan semua orang ; Aku akan menikahi Vico.
Semenjak itu, Vico tidak pernah berhenti dibuntuti, hingga beberapa tahun lalu, orang tua Hana Belia mengirimnya belajar ke luar negeri.
Pernah terbersit dalam benak Vico suatu hari untuk menikahi Hana Belia karena melihat kesungguhan gadis itu mengejarnya.
Semua berubah saat pertama kali dia melihat Vanesa.
Bukan kecantikannya yang membuatnya terpikat, tapi ada sesuatu dalam diri Vanesa yang begitu dia sukai.
Ketulusan, keteguhan hati dan kasih sayang tanpa pamrih.
Vico merasa jatuh cinta teramat dalam meski kini wanita yang dia sayangi tidak lagi sendiri.
Pukul dua belas tepat, pintu kantornya diketuk.
Tak lama dia melihat Hana Belia melenggang masuk dengan gaun biru elektrik yang membungkus tubuh tingginya.
Di belakangnya dua orang wanita berseragam pelayan membawa nampan dan kotak makanan.
“Rapikan di sana.”
Hana menunjuk pada meja kursi yang berada di sudut ruangan.
Dia tahu jika meja itu hanya digunakan untuk makan bukan menjamu tamu.
“Kak Vico, Sayang. Aku datang,” sapanya ramah dan menghampiri laki-laki yang menatapnya bingung di balik meja.
“Bukannya kamu bilang akan memasak?
Kenapa membawa pelayan?” tanya Vico dengan senyum terkulum.
“Aah, aku mencoba memasak steak yang enak apa daya, gosong,” jawab Hana Belia tanpa dosa.
Mendesah pasrah, Vico bangkit dari tempatnya dan duduk di kursi makan.
Hana Belia dengan cekatan mengambil peralatan makan untuknya.
Mereka duduk berhadapan dengan hidangan tersaji di atas meja kaca.
Sepertinya, masakan yang dibawa tunangannya bisa untuk dimakan sepuluh orang sekaligus.
“Aku menyuruh mereka memasak makanan kesukaanmu, Kak.”
Vico hanya menganguk.
Memakan apa pun yang diberikan Hana Belia ke atas piringnya.
Keduanya makan dengan tenang dan diam.
Sesekali suara denting peralatan makan beradu.
Hana Belia diam-diam melirik pada tunangannya.
Bukankah Vico terlihat tampan hari ini?
Hanya saja kenapa dia merasa seolah laki-laki di hadapannya tidak tersentuh?
Dia sudah menyiapkan banyak omongan untuk diobrolkan tapi lidah kelu.
“Apa kamu menemui Vanesa?” tanya Vico tiba-tiba.
“Hah, iya. Bagaimana Kakak tahu?” Hana Belia berkata gugup.
Vico menunjuk pada cake coklat yang tersaji indah di atas piring.
Dia mengenali bentuk cake yang tampak sama persis dengan buatan Vanesa yang pernah dia pesan.
Hana Belia tersenyum malu.
“Iya, Kakak.
Untuk meminta resep kue karena aku tahu kamu menyukai cake buatannya.”
“Sudah cukup Mama yang menganggunya, kamu tidak boleh.
Dia tidak berhak menerima teror dari kalian.”
Suara sendok dibanting ke atas piring membuat Vico mendongakkan kepalanya.
Hana Belia bangkit dari duduknya dengan wajah kesal.
“Kita sedang makan bersama, hal yang sangat jarang kita lakukan dan yang kamu pikirkan hanya dia. Aku tidak jahat padanya, kami berteman baik bahkan saling bertukar kabar.”
Vico memandang Han Belia yang meraih tas di atas meja dan melangkah pergi.
“Kamu mau kemana?” tanyanya heran.
Hana Belia menoleh.
“Pulang! Makanan mendadak terasa hambar.
Di antara semua masakan yang aku buat sendiri hanya cake coklat itu, makan saja! Kali aja membuatmu lupa pada Vanesa.
Menyebalkan!”
Pintu dibanting tertutup dengan suara keras. Vico meletakkan sendoknya.
Hilang sudah nafsu makannya karena melihat kekesalan tunangannya.
Dia akui memang sedikit agak keras menuduh tapi setidaknya bisa Hana Belia menjaga sikap.
Tanpa sadar matanya melirik cake coklat di atas piring putih.
Rasa sesal karena bersikap terlampau keras mengerogotinya. Tangannya mengambil satu buah cake dan mulai mengigitnya.
Detik itu juga dia lepehkan keluar.
“Hana Belia, mana ada cake asin?
Kamu ganti gula sama garam ya?”
****
Ronald memacu mobilnya di jalan tol yang lumayan sepi.
Seperti yang dia utarakan pada Vanesa tadi malam, hari ini mereka akan berkunjung ke tempat orang tua istrinya.
Menginap semalam adalah ide yang bagus.
Sean tertidur di kursi yang berada di bangku tengah dengan Vanesa mendampingi. Sedangkan dia menyetir dan duduk sendiri di depan.
Hari masih terhitung pagi, pantas saja jalanan masih tidak banyak kendaraan.
Mereka mampir sebentar ke rest area untuk membeli sarapan dan kopi lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Kira-kira dibutuhkan waktu tiga jam dari Jakarta ke rumah orang tua Vanesa di Subang.
Menjelang siang, mobil yang membawa mereka memasuki area perkampungan yang teduh.
Di sebuah rumah mungil yang berada di atas tanah dataran tinggi dengan kebun bunga terhampar luas, seorang wanita berumur enam puluhan menyambut kedatangan mereka.
Bu Tini, mama Vanesa tersenyum senang saat melihat Sean dalam gendongan anak gadisnya.
Segera setelah mereka mengucap salam, dia merengkuh cucu laki-lakinya dalam pelukan.
“Cucu Oma, ganteng sekali ya? Aduuh, gemes lihatnya.”
“Papa di mana, Ma?” tanya Vanesa celingak-celinguk mencari papanya.
Sedangkan Ronald sibuk menurunkan barang dari dalam mobil.
“Ada di belakang, sebentar lagi keluar,” jawab Bu Tini pelan.
Benar perkataan Bu Tini, tidak lama suaminya datang menghampiri mereka.
Vanesa menatap papanya yang berjalan pelan.
Merasa jika papanya bertambah tua dari terakhir kali mereka bertemu.
Aapakah sekedar perasaannya saja ataukah memang begitu?
Uban hampir merata menutupi kepalanya.
“Selamat datang, kalian.
Papa sudah menangkap ayam untuk digulai sebagai sajian makan siang,” Pak Harus Drajat menyapa sambil tertawa.
Menepuk bahu Ronald dan mengelus rambut Vanesa.
Rasanya sudah lama sekali Vanesa tidak berada di area yang begitu sejuk.
Di Jakarta cuaca nyaris panas sepanjang hari.
Dari awal memang dia sudah berniat untuk menemui papa dan mamanya, karena rasanya sudah lama sekali tidak berkunjung.
Siapa sangka Ronald mengetahui isi hatinya dan mengajaknya lebih dulu.
Selesai makan siang gulai ayam buatan mamanya yang super enak,
Vanesa melangkahkan kaki melihat-lihat kebun bunga dengan Ronald berjalan di sampingnya.
Mereka membiarkan Sean berada dalam asuhan kakek-neneknya.
“Rasanya sudah lama sekali kita tidak piknik, ya?” ucap Ronald saat mereka berteduh di bawah pohon.
Memandang hamparan bunga.
“Di Jakarta mana ada tempat untuk piknik?”
“Itu dia, padahal piknik bagus untuk kesehatan.” Ronald memeluk istrinya dari belakang dan menghidu aroma sampo di rambut Vanesa.
“Kamu selalu wangi, Sayang?”
Vanesa terkikik. “Bukannya sedang ngomongin piknik?
Kenapa jadi soal rambut dan wangi?”
Ronald meletakkan kepalanya pada pundak sang istri.
“Aku punya ide cerdas malam ini,” bisiknya parau.
“Apa?”
“Kita bulan madu di sini. Mumpung ada Papa dan Mama mengasuh Sean.”
Vanesa sedikit kaget dengan perkataan suaminya.
Dia memang sudah menduga jika hal ini lambat laun pasti terjadi, tapi apakah dia siap menyerahkan hatinya seutuhnya pada Ronald?
“Vanesa, apa kamu tidak mau?
Jika belum siap aku tidak memaksa.” Vanesa yang terdiam membuat Ronald risau.
Mendesah pelan, Vanesa menjawab pertanyaan suaminya.
“Bisa kita coba,”
Belum selesai ucapannya,
Ronald membalikkan tubuhnya dan tanpa diduga sebuah kecupan mendarat di bibirnya.
“Aku bahagia.”
Tanpa kata dan di antara angin yang menerbangkan serbuk bunga, mereka mencumbu rayu.
Seperti ada janji terucap jika malam nanti adalah malam rahasia dalam hidup mereka.
Terdengar napas keras saat Ronald mengangkat bibirnya dari mulut Vanesa.
Senyum mereka bercampur bahagia terbias di wajah mereka.
“Tunggu aku nanti malam,” bisik Ronald sambil membimbing istrinya melangkah kembali ke rumah.
Sore harinya, Bu Tini meminta bantuan menantunya untuk mengantarnya membeli bahan masakan.
Ronald dengan senang hati menyetujui.
Mereka membawa serta Sean.
Saat mobil melaju meninggalkan halaman, Vanesa menghampiri papanya yang duduk merokok di teras samping.
“Mau minum teh, Pa? Vanesa buatin.”
Pak Harusn Drajat menggeleng, matanya menerawang dan bibir tanpa henti menghisap tembakau.
Vanesa duduk terdiam di samping sang papa, membiarkan aroma tembakau menyergap penciumannya.
Matanya menatap seekor capung yang terbang dan hinggap di atas bunga dalam pot dengan beberapa kupu-kupu hijau terbang mengelilinginya.
“Apa kamu bahagia, Vanes?”
Ucapan papanya yang tiba-tiba membuat Vanes tersadar dari lamunannya menatap capung.
“Yah,” jawabnya pelan.
“Kata ‘yah’ berarti kamu bahagia. Jika Papa tidak salah mengartikan.”
Hening.
Keduanya kembali terdiam. Vanesa menunggu perkataan sang papa selanjutnya.
“Jika memang bahagia, kenapa kamu berselingkuh.”
Rasanya seperti ada petir menyambar saat mendengar perkataan papanya.
Vanesa menoleh dan menggeleng.
“Vanes tidak pernah berselingkuh, Pa. Berita yang ada di TV dan koran itu bohong adanya.”
“Apa kamu benar berhubungan dengan keluarga jutawan itu?”
“Iyaa, dulunya.
Saat itu aku belum tahu jika Vico anak jutawan, Pa.
Lagipula Vanesa belum menikah juga.”
Pak Harun Drajat mematikan rokoknya dan membuang putung dalam asbak tembaga di sampingnya.
Dia memandang anak gadisnya yang duduk di sampingnya.
“Sekarang setelah tahu, kenapa kamu masih menemuinya dan mempermalukan Ronald?”
“Pa … apa ini semacam interograsi?” tukas Vanesa pelan,
“Ronald juga tahu hubungan Vanesa dengan Vico seperti apa?
Tidak ada niat mempermalukan siapa pun. Itu murni kesalahpahaman.”
“Apa kamu sudah menjelaskan pada mertuamu?” cecar Pak Harun Drajat pada anaknya.
Vanesa mengangguk cepat.
“Sudah, dari awal mereka tahu ini hanya kesalahpahaman.”
Pak Harun Drajat mengangguk.
“Kamu harusnya bisa mencontoh alamarhum kakakmu.
Dari awal pernikahannya dengan Ronald, tidak pernah ada masalah sedikit pun.
Kenapa kamu belum setahun menikah sudah terlibat skandal?”
Vanesa menutup mata.
Merasakan tikaman di jantungnya.
Sungguh terasa sakit luar biasa saat perkataan papanya terdengar bagai pisau yang dicacah masuk ke dalam hati dan jantungnya.
Dengan cepat di berdiri dan memandang papanya yang masih duduk di kursi.
“Sampai kapan Papa mau berhenti membadingkan aku dengan Mili, bahkan saat dia sudah tiada sekali pun.”
Laki-laki tua yang duduk di kursi dan siap menyalakan rokok ke dua memandang heran pada anak gadisnya.
Sepertinya dia merasa perkataan Vanesa terdengar menggelikan.
“Papa tidak membandingkan siapa pun, memang begitu kenyataannya.
Dari dulu Mili lebih tenang dan sabar sedangkan kamu cenderung aktif.
Papa tadinya berpikir kalau kamu menikah akan berubah, nyatanya tetap sama.”
“Sama?
Bagian mana diriku yang tetap sama, Pa?” sergah Vanesa lebih keras dari yang dia sadari.
“Tetap sama mengalah dan terus mengalah pada keinginan Papa dan Mili?
Bahkan soal suami pun aku harus mengalah, begitu kan?”
Pak Harun Drajat mendongak dan keterkejutan menghiasi wajahnya.
Wajah keriputnya mengernyit bingung.
“Kamu sehat sedangkan Mili sakit-sakitan. Sudah sewajarnya jika kamu mengalah.”
“Itu yang selalu kalian katakan padaku.
Saat pertama kali Ronald mengantar Mili pulang dan dengan bahagia kakakku mengenalkan Ronald sebagai pacarnya meski nyatanya tidak begitu, aku yakin saat itu Papa tahu jika Ronald adalah kekasihku, ya, kan?”
Vanesa memandang emosi pada papanya yang terlihat tenang.
Kali ini rokok kedua sudah dinyalakan.
Pematik mengeluarkan api yang seperti siap melahap apa pun di depannya.
“Papa hanya ingin menyelamatkan anak, itu saja.”
Tanpa sadar Vanesa melangkah mundur saat mendengar perkataan papanya.
Dengan tangis tertahan dia bertanya lirih pada laki-laki tua yang sedang menikmati rokok.
Seperti tidak terganggu dengan ledakan emosi Vanesa.
“Katakan sejujurnya,
Papa. Apa aku bukan anak kandung kalian?”
Suara tersedak diiringi oleh batuk yang berkepanjangan dari mulut Pak Harun Drajat. Vanesa bergeming di tempatnya, melihat dengan nanar sang papa mematikan rokok yang baru beberapa kali dia hisap.
Hari ini dia harus mendapatkan jawaban atas segala gundah hati dan pertanyaan-pertanyaan yang tersembunyi dalam benaknya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment