Cinta Tiga Hati
Part 20
Link sebelumnya :
Sepulang dari rumah Vico, Vanesa buru-buru mencopot baju anaknya untuk memeriksa apakah ada luka atau tergores. Untunglah Sean baik-baik saja.
Mungkin karena kelelahan menangis, anaknya tertidur sepanjang jalan.
Mobil dikemudikan dengan baik dan cepat.
Sepertinya anak buah Vico adalah orang yang sudah terbiasa menjadi pelindung.
Setelah memandikan Sean, dia berniat membuat makan malam tapi tangannya bergetar dengan hebat.
Merasa tak mampu memegang peralatan masak apa pun, Vanesa meraih remot di atas kulkas dan mulai menyalakan TV.
Sungguh hati tak tenang ingin tahu kabar Vico.
Dan benar dugaannya, berita perihal pelemparan bom Molotov diliput oleh stasiun TV.
Terlihat di layar banyak wartawan dan polisi datang.
Untunglah dia sudah pulang.
Ucapan salam terdengar dari arah pintu.
Sean yang duduk di dalam kursi bayi menjerit senang saat Ronald muncul dengan pakaian lengkap dan tas hitam di tangan.
Vanesa tersenyum, mematikan TV dan menyambut suaminya.
“Aih, anak Papa yang ganteng.
Udah wangi ya?” Sean terkikik saat Ronald menggelitik dan mencium pipinya.
Setelah Ronald mendudukannya kembali, dia sibuk dengan mainan di kursinya. Mencacah biskuit bulat menjadi remahan.
“Apa kabarmu hari ini, Sayang?” tanya Ronald pelan.
Berjalan mendekat sambil mengulurkan lengan untuk melingkari tubuh istrinya.
Vanesa tertawa kecil.
“Tidak ada yang istimewa.
Aku baru saja pulang dari … mengantar kue.”
“Oh ya, apakah Bu Mariana orangnya oke?”
“Dia baik,” jawab Vanesa singkat.
Menyibak rambut Ronald yang menutupi dahi.
“Aku capai sekali jadi nggak sempat bikin makan malam.”
“Nggak apa-apa, sesekali biar aku masakin mie instan buat kamu.
Jika kamu tak keberatan tentunya.
Apakah kamu mau mandi dulu?”
Vanesa mengangguk, tidak mengelak saat Ronald mengecup bibirnya.
Buru-buru dia melesat ke kamar mandi, membuka pakaian untuk memeriksa apakah ada yang luka?
Karena sempat merasa perih di lengan.
Ternyata hanya goresan kecil.
Dia tidak ingin Ronald merasa curiga dan mengajukan banyak pertanyaan.
Setelah memastikan tubuhnya baik-baik saja, dia mengguyur badan dan keluar kamar dalam pakaian rumah yang sederhana.
Tercium bau mie istan dari arah dapur.
Vanesa memperhatikan sang suami memasak sambil sesekali menggoda anak laki-lakinya.
Bukankah Ronald terlihat tampan dan menggemaskan?
Dengan panci kecil di tangan dan sesekali mengaduk mie dengan serius.
Sementara kemeja putih melekat di tubuh dan rambut yang dikuncir rapi.
Dia bertekad untuk menutup mulut dan tidak akan mengatakan apa pun pada suaminya perihal kunjungannya ke rumah Vico yang penuh teror.
Cukup hanya dia dan ketakutannya yang tahu, suaminya jangan.
Vanesa ingat dari dulu Ronald suka memanjangkan rambut.
Pertama kali mereka bertemu pun begitu.
Sempat rambut di kepala suaminya berpotongan pendek saat menikah dengan Mili.
Tanpa sadar Vanesa mendesah, sudah lama sekali dia tidak datang menengok kuburan saudaranya.
Besok dia akan menyempatkan diri dan membawa Sean mengunjungi makam ibunya.
Terlepas dari apa pun yang pernah dilakukan Mili padanya, mereka bersaudara.
Bukankah darah lebih kental dari pada air?
“Hai, kenapa bengong di situ?” sapa Ronald pada Vanesa yang bersandar pada pintu dapur.
“Melihat kamu lagi masak, sexy,” cetus Vanesa tanpa sadar.
Detik berikutnya terdengar dentingan panci diletakkan sembarangan dan tubuh kekar Ronald melingkupinya dengan pelukan.
“Kamu wangi, rayuanmu yang barusan seperti menggodaku,” bisik Ronald parau. Mengigit kecil telinga istrinya.
“Hahaha …sayangnya ada Sean yang melihat kita dengan bengong,” tunjuk Vanesa pada anak laki-laki mereka.
“Ah, ya. Tidak baik bermesra-mesraan di muka umum.” Ronald berkata dengan muka memelas dan terlihat enggan melepaskan pelukannya.
Dia berjalan menghampiri Sean dan menutup muka anaknya.
“Papa dan Mama lagi bermesraan, lain kali kamu tutup mata ya, jagoan!”
Vanesa menarik kursi di sebelah Sean.
Melihat sang suami meletakkan satu mangkuk mie instan dengan topping telur mata sapi dan irisan sosis.
Mereka saling menggoda dan merayu saat makan.
Ronald bahkan memberikan ide agar mereka bertiga tidur di kamar yang sama.
Untuk pertama kalinya, Vanesa mengiyakan.
Sesuatu terjadi setelah selesai makan malam,
Sean menangis tiada henti.
Menjerit-jerit saat mendengar suara ban meletus di jalanan.
Bayi kecil itu tidak mau tidur, ingin digendong terus-menerus.
Vanesa bergantian dengan Ronald menjaga dan menggendong.
Tengah malam, suhu tubuh Sean menghangat.
Mencoba untuk tidak panik, Vanesa mengompres.
Sementara sang suami terlihat kuatir.
“Apa perlu kita bawa ke UGD?” tanya Ronald pelan.
Vanesa menggeleng.
“Tidak usah, hanya sedikit hangat.
Biar aku jaga dia, kamu tidur sana.
Besok kerja,” ucapnya sambil mengelus lengan Ronald dan memandang wajah suaminya yang terlihat lelah.
“Aku akan tidur di sofa, untuk jaga-jaga.”
“Jangan, tidak nyaman ntar.
Tidurlah di kamarmu. Sean akan baik-baik saja.”
Dengan berat hati, Ronald meninggalkan sang istri setelah mengecup keningnya.
Dia memang sangat lelah hari ini dan memutuskan untuk mempercayakan Sean pada Vanesa.
Begitu ambruk ke kasur, dengkuran halus terdengar dari mulutnya.
Sementara Vanesa rebah di samping Sean dan mencoba memejamkan mata dengan tangan melingkari tubuh anaknya.
Sungguh dia mengutuk diri karena membiarkan anaknya mengalami hal yang menakutkan tadi siang.
Apakah karena ketakutan maka Sean sakit?
Vanesa akan bertanya ada ibu mertuanya besok siang.
Tentu mereka lebih tahu perihal anak kecil dari pada dia.
***
“Vanes, masih mengantuk?”
Suara Ronald membangunkan Vanesa dari tidur ayamnya.
Buru-buru dia bangkit dan menatap suaminya yang sudah berpakaian rapi.
Menoleh ke atas ranjang dan melihat Sean masih terlelap.
“Maaf, aku ketiduran. Tidak sempat bikin sarapan.”
“Nggak apa-apa, kamu capai.
Biar aku sarapan di kantor.” Ronald menyentuh dahi anaknya yang tergolek di ranjang dan merasa lega karena Sean tidak lagi panas.
“Baiklah, kenapa pagi-pagi sekali berangkat?” tanya Vanesa heran.
Tidak biasanya Ronald berangkat sepagi ini.
Dilihatya matahari belum begitu terang dan udara di luar sepertinya masih cukup dingin.
“Ada meeting jam sembilan dengan pabrik yang dikenalkan Devian pada kami.”
“Ah, ya. Apa pabrik baik-baik saja?
Maaf lupa tanya kemarin.”
Ronald mengusap rambut istrinya dan mengecup dahi.
“Pabrik baik-baik saja.
Pengaruh Kakek Hanggoro rupanya sangat kuat pada keluarga Tirta.
Pelan-pelan mereka mulai menghentikan teror pada pabrik atau pelanggan kita.”
“Syukurlah kalau begitu, semoga hari ini lancar.
Nanti agak siang aku ingin bawa Sean ke rumah Mama.”
“Aku jemput di sana, oke?
Kita bawa Sean makan malam di luar.”
Vanesa mengangguk, membiarkan wangi tubuh Ronald menyelimutinya.
Setelah mengecup bibirnya, sang suami meraih tas dan melangkah keluar rumah. Vanesa kembali merebahkan tubuh, berniat untuk tidur sedikit lebih lama jika bisa.
Ternyata, tubuhnya ingin bergerak.
Dengan hati-hati dia meninggalkan kamar Sean dan bergegas untuk merapikan rumah yang berantakan karena semalam dia tidak sempat merapikan.
Dia sarapan kopi susu sambil membuka handphone untuk membaca berita.
Rupanya kehebohan karena bom di rumah Vico belum mereda.
Untunglah tidak ada yang membocorkan kehadirannya di sana dan sedikit banyak Vanesa merasa lega karena melihat Vico baik-baik saja.
Jika mungkin, dia berharap tidak lagi bertemu Vico dan terlibat dalam intrik orang kaya yang kejam.
Dia ingin hidup tenang mengasuh anaknya.
Meski jauh di lubuk hatinya terselip ketakutan akan keselamatan manta kekasihnya.
***
Sang ibu mertua menyambut kedatangannya dengan gembira.
Dia menggendong cucunya dengan senyum tersungging di bibir.
Pak Sapta, papa Ronald yang biasanya saat siang tidak ada di rumah hari ini lain dari biasanya.
“Papa sengaja pulang siang demi melihat cucu yang ganteng,” ucap Pak Sapta sumringah.
“Hallo, anak ganteng. Kamu tambah gede ya?”
Sean berteriak gembira dalam pelukan kakek dan neneknya.
Vanesa membiarkan anaknya dibawa pergi oleh mertuanya.
Mau main ke toko untuk pamer pada pegawai kata Pak Sapta.
Istrinya tak mau kalah, mengikuti suaminya ke toko.
Meninggalkan Vanesa sendirian di rumah.
Iseng-iseng dia memasuki kamar paling depan dekat dengan ruang tamu yang dulu adalah milik Ronald.
Dia pernah memasuki kamar ini beberapa kali dan masih saja suka melihat-lihat.
Ada banyak foto masa kecil Ronald yang menarik untuk dilihat.
Pikiran Vanesa tenggelam dalam nostalgia saat tanpa sengaja menemukan selembar foto di atas meja.
Setelah diperhatikan ternyata fotonya dan Ronald.
Vanesa ingat saat itu dia masih sangat muda, mengenakan seragam pegawai toko dan berpose dengan Ronald yang berjas lengkap.
Kenangan yang manis.
Suara kendaraan memasuki pekarangan membuat Vanesa mendongak.
Dia meletakkan foto dan berjalan ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang.
Sosok Anisa melangkah masuk dengan setelan lengkap dan mengapit tas besar di lengan.
Matanya membesar saat melihat sosok Vanesa berdiri di ruang tamu.
“Wah-wah, adik iparku datang ternyata,” sapanya dengan mulut tersenyum.
Mereka bertatapan, seolah saling menilai.
“Tumben jam segini sudah pulang, Kak?” tanya Vanesa mengabaikan tatapan tajam Anisa padanya.
“Tadi ada meeting di luar, sekalian saja pulang.
Kebetulan lagi nggak enak badan.” Anisa meletakkan dokumen yang dia bawa ke atas sofa dan merenggangkan leher.
“Kamu sudah lama datang? Di mana ponakanku?”
“Sean ikut Papa dan Mama ke toko.”
“Oh, baiklah. Bisa kita bicara?” tanya Anisa saat melihat Vanesa berajak masuk.
“Yah? Ada yang penting, Kak?”
“Bisa dibilang begitu, duduklah, Vanes.”
Mereka duduk berhadapan di sofa ruang tamu yang empuk dan nyaman.
Berbeda dengan sofa di rumahnya yang terbuat dari kulit, yang dia duduki sekarang adalah sofa bahan beludru dengan hiasan rumbai yang menjuntai di bagian bawah.
Sementara meja terbuat dari kayu jati yang panjang dan mengkilat.
Vanesa tahu jika papa mertuanya penggila kayu jati karena hampir semua perabot rumah terbuat dari jati asli yang berat dan mengkilat.
“Kamu belum bekerja lagi sampai sekarang?” tanya Anisa membuka percakapan.
Vanesa menggeleng. “Belum berminat.”
“Karena Sean atau hal lain?”
Menimbang sejenak, Vanesa berkata pelan. “Sean dan hal lain. Apa kita bicara hanya untuk tahu masalah pribadiku, Kak?”
Anisa tertawa lirih. Memandang adik iparnya yang duduk anggun menyilangkan kaki.
Meski bersikap diam tapi dia tahu jika Vanesa bisa berubah tangguh kapan pun dia mau.
“Wajar sebagai Kakak Ipar aku tanya ini dan itu, namanya juga keluarga.
Harus perhatian dengan saudara yang lain.”
“Terima kasih, tapi kami baik-baik saja.” Vanesa berkata pelan, menganggukkan kepala.
“Kalau begitu to the poin saja, kenapa kamu menolak tawaran Natali?
Apa kamu nggak tahu kalau yang kamu lakukan bisa menghancurkan perusahaan kami?
Aku tahu kamu tidak menyukaiku, setidaknya demi Ron¬—,”
“Oh, please deh, Kak.
Jangan bawa-bawa suamiku ke dalam masalah kalian!” potong Vanesa keras,
” justru karena ulah kalian berdua maka pabrik mendapat masalah dan Ronald harus pontang panting untuk menyelamatkannya.
Anisa berdiri dan menudingkan jari ke Vanesa.
Kegeraman terlihat di wajahnya.
“Itu karena kamu bersikap bodoh dengan bertemu Vico.
Coba kamu menerima usulan tanpa harus bertemu dengannya atau setidaknya bisa bicara dengan Vico setelah menjadi karyawan kami.
Tentu tidak akan ada masalah.”
“Memang aku akui sudah bersikap bodoh.
Dan aku menyesal karena terbawa emosi saat itu.
Jika aku berpikir lebih logis, tentu tidak akan menyulitkan suamiku.
Pembicaraan kita tutup, malas berdebat hal yang beginian.”
Vanesa bangkit dari sofa dan siap beranjak.
“Jangan coba-coba meninggalkanku, kita belum selesai,” desis Anisa.
“Sudah! Kita sudah selesai dan jangan menekan atau mengancamku, aku bukan pegawaimu!” balas Vanesa tegas.
Melangkah menuju kamar.
“Sombong sekali kamu Vanesa, kalau kamu nggak cantik belum tentu adikku mau menikahimu!
Jika bukan karena Mili, belum tentu Ronald bersedia jadi suamimu!”
Vanesa menoleh, berkacak pinggang dan tersenyum kecil.
“Begitukah anggapanmu?
Jika begitu kamu tidak mengenal kami.
Dan mau sampai kapan kamu memusuhiku, Kak?
Demi apa? Natali, perusahaan atau ego kalian!”
Dia meneruskan langkah hingga sampai di depan kamar.
Terdengar teriakan nyaring dari mulut kakak iparnya.
“Kauuu!” Tangan Anisa membuat gerakan seperti hendak mencakar.
Terus terang setiap kali bicara dengan Vanesa membuat emosinya membumbung tinggi.
Mau sampai kapan anak kecil di hadapannya akan menurut?
Belum sampai tiga langkah dia maju terdengar hardikan dari arah pintu.
“Jangan coba-coba menyerangnya, Anisa! Atau Papa akan memukulmu!”
Kedua wanita yang sedang beradu mulut tersentak kaget.
Mereka terlalu asyik berdebat hingga tidak menyadari kedatangan Pak Sapta dan Bu Gayatri dengan Sean berada dalam gendongan.
Terlihat wajah Pak Sapta mengeras, menatap anak dan menantunya yang sedang bertengkar dan terlihat seperti ingin saling bunuh.
“Pa, Nisa tidak ada maksud memukul,” ucap Anissa gugup.
Vanesa merasa wajahnya memanas.
Emosi yang dia rasakan terhadap Anisa luntur seketika saat melihat mertunya datang. Sementara Anisa terlihat salah tingkah, dia merasa malu tertangkap basah sedang bertengkar dengan iparnya sendiri.
Sungguh menantu yang tak tahu diri.
Pak Sapta melangkah masuk dengan wajah mengeras dan berbisik pada istrinya. “Bawa Sean masuk, aku akan bicara dengan mereka berdua.”
Bu Gayatri mengangguk, dengan Sean di pinggang dia melewati Vanesa dan Anisa yang berdiri bersisihan.
“Duduk kalian berdua!” perintah Pak Sapta.
Anisa terlihat enggan mengikuti perintah papanya.
Vanesa sendiri sambil menunduk duduk di sofa.
Diam-diam dia memandang sosok ayah mertuanya yang terlihat masih gagah dalam usia enam puluhan.
Meski rambut telah memutih tapi tubuhnya yang tinggi masih terlihat tegap.
Sekarang Vanesa tahu dari mana Ronald mewarisi tubuh tingginya.
Meski tidak pernah berbicara akrab selama menjadi menantunya tapi dia menghormati laki-laki tua yang merupakan ayah dari suaminya.
“Anisa, apa yang tadi kamu perdebatkan dengan Vanesa?” tanya Pak Sapta memandang anak perempuannya lekat-lekat.
Anisa terlihat jengah.
“Tidak apa-apa, Pa. Hanya bicara antar saudara.”
“Bicara antar saudara dengan tangan siap mencakar?” cecar Pak Sapta.
“Tidaak, Papa salah paham.” Anisa membantah dengan suara sedikit keras.
Kembali menundukkan wajah saat melihat ekspresi papanya.
“Jangan dikira Papa tidak tahu sepak terjangmu selama di sini Anisa.
Sengaja Papa diamkan kamu merintis usaha dan meninggalkan anak beserta suamimu di Malaysia agar kelak setelah berhasil, kalian bisa bersama lagi.
Nyatanya?
Kamu ikut campur dalam urusan rumah tangga adikmu juga?”
“Tidaak, dari mana Papa dapat pemikiran begitu?
Nisa tidak pernah ikut campur dengan rumah tangga Ronald dan Vanes,” sanggah Anisa sambil menggigit bibir bawah.
Melirik Vanesa yang terdiam di sampingnya.Kemarahan papanya sedikit banyak membuatnya grogi.
“Papa dan Mama mungkin tua tapi kami tidak buta.
Siapa yang berbuat buruk pada pabrik Ronald memangnya kami tidak tahu?
Semua bermula dari mana, kamu pikir kami tidak akan mencari tahu?”
Kata-kata Pak Sapta membuat Vanesa mendongak kaget.
Anisa pun sama, wajahnya terlihat memucat.
“Semua bermula karena permintaanmu pada Vanesa, bukan?
Mengabaikan fakta jika dia istri adikmu!” tuding Pak Sapta keras pada anak perempuannya.
“Tidak, Pa. Bukan begitu, ini semua demi kebaikan mereka,” jawab Anisa gugup.
Tatapan mata papanya yang tajam membuat nyalinya untuk bicara semakin menciut. Dari dulu Anisa sangat segan pada papanya jika sudah bicara tegas.
“Aku sengaja meminta Vanesa bekerja agar punya kesibukan, mengingat dia tidak lagi bekerja.”
“Benarkah hanya itu?” desak Pak Sapta.
“tidak ada udang di balik batu.
Tekanan keluarga Tirta misalnya?”
Anisa menggeleng cepat. “Tidak Papa, aku--,”
“Jangan bohong!
Masih juga kamu mengelak?” hardik Pak Sapta dan bangkit dari sofa.
Menatap putrinya yang terlihat gugup dengan Vanesa yang terdiam tidak bicara. “Sudah Papa bilang jika kami tahu semuanya dan kamu masih mengelak, Anisa!”
“Pa ….”
Pak Sapta mengibaskan tangan, memberi tanda agar Anisa terdiam.
“Vanesa memang tidak bekerja tapi Ronald sama sekali tidak keberatan jika dia hanya di rumah untuk mengurus anaknya.
Kenapa jadi kalian yang sok repot!”
Terdengar suara tawa Sean bermain dari dalam kamar sementara ketegangan melanda ruang tamu.
Vanesa merasa was-was jika mertuanya terlalu marah akan sakit kepala tapi dia tidak berani membantah.
“Anisa, bagimu mungkin pernikahan Vanesa dan Ronald tidak sepatutnya terjadi.
Mengingat bagaimana hubungan mereka.
Kamu pikir adikmu tidak tertekan karena banyak orang menuduhnya sebagai duda mata keranjang?
Belum setahun istri meninggal sudah menikahi adik sang istri?
Dia tertekan! Merasa terluka dan hina.
Menganggap dirinya tidak pantas untuk Vanesa.”
Suara Pak Sapta terdengar bergetar.
Matanya terpejam sejenak sebelum melanjutkan cerita.
“Dua kali aku melihat Ronald menangis selama dia menjadi laki-laki.
Saat Mili meninggal dan saat memutuskan untuk menikahi Mili dan meninggalkan Vanes demi menyelamatkan wanita yang sedang sakit.”
“Apa?”
Anisa menoleh cepat ke arah Vanesa yang menunduk.
“Dia dan Ronald dulu ….”
“Iya, dugaanmu benar. Dulu mereka sepasang kekasih. Untuk pertama kalinya Ronald menyebut nama wanita yang dia cintai di rumah ini, Vanesa.
Gadis lucu dan periang, pekerja magang.
Lalu semua berubah saat dia mengenal Mili.”
Pak Sapta memandang Vanesa yang menunduk terdiam sedari tadi.
Mengamati dalam-dalam menantu perempuannya yang masih muda dan terlihat sabar.
“Vanesa,” panggilnya pelan.
“Iya, Papa,” sahut Vanesa mendongak.
“Pasti jauh di dalam hatimu merasa sakit hati karena pernikahan Mili dan Ronald bukan?
Meski aku dengar dari Ronald jika kamu mengijinkan?”
Vanesa membuka mulut hendak menjawab tapi dia urungkan.
Dia hanya menghela napas panjang.
Tak lama terdengar suara Pak Sapta yang jauh lebih lembut.
“Percayakan kamu jika kukatakan Ronald menangis di malam pernikahannya?
Dia laki-laki dewasa dan menangis karena cinta.
Perngorbanan yang kamu lakukan demi Mili melukai hatinya.
Apa kamu juga tahu jika Papamu tidak hanya memohon padanya tapi juga datang ke sini demi Mili?”
“Papaku berbuat seperti itu?” tanya Vanesa tak percaya.
“Iyaa, memohon dengan sangat agar Ronald menikahi Mili.
Demi menyelamatkan nyawa Mili.
Aku tidak tahu kenapa Papamu sampai berbuat seperti itu, merendahkan diri demi anak perempuannya.
Akan tetapi, satu yang pasti Vanesa jika bukan karena orang tua yang datang memohon, Ronald tidak akan pernah mau menikahi Mili.
Tangisannya malam itu sudah cukup menggambarkan luka hatinya.
Nyatanya, Mili memang tidak berumur panjang kan?”
Vanesa mengangguk, air mata menuruni pipinya dengan deras.
Satu lagi cerita baru yang mencabik-cabik hatinya.
Kesedihan Ronald, permohonan papanya pada mereka demi Mili.
Ya Tuhan, kemana saja aku selama ini hingga tidak tahu semua masalah ini? batin Vanesa sedih.
Pak Sapta kembali memandang Anisa yang terpekur menatap lantai.
“Sekarang kamu tahu kan ceritanya Anisa?
Bukan Vanesa yang menyodorkan dirinya untuk menikahi kakak ipar tapi memang seharusnya dia menikah dengan Ronald.
Beberapa bulan setelah Mili meninggal, kami para orang tua bertemu dan sepakat jika sudah selayaknya mereka bersatu kembali.”
“Kenapa tidak pernah cerita padaku, Pa?” tanya Anisa.
“Karena kamu tidak pernah bertanya dan kamu sibuk dengan urusanmu sendiri di luar negeri.
Papa mendukung semua yang kamu kerjakan kecuali satu, menyeret rumah tangga adikmu dalam kehancuran.”
“Anisa tidak ada maksud begitu.”
“Memang tidak tapi sudah nyaris terjadi.
Kenapa?
Karena kamu menginginkan Ronald kembali bersama Natali demi bisnis kalian.
Papa juga menyayangi Natali tapi bukan sebagai menantu.
Kamu paham?”
Anisa mengangguk lemah.
“Kenapa Papa bisa tahu semua?”
“Karena Papa dan Mamamu tidak buta dan bodoh seperti pikiranmu.”
Bu Gayatri muncul dari dalam kamar dengan menggendong Sean yang merengek. “Vanes, anakmu ngantuk kayaknya.”
Vanesa menyeka air mata dan bangkit dari sofa untuk mengambil Sean dari gendongan ibu mertuanya.
“Vanes bawa ke kamar dulu,” pamitnya sambil melangkah meninggalkan mereka di ruang tamu.
Bu Gayatri memandang suaminya yang terlihat tegang dan anak perempuannya yang duduk sambil menekuk wajah.
“Anisa, sekarang kamu tahu kan masalah sebenarnya?
Tidak bisakah kamu membiarkan adikmu bahagia?” ucap Bu Gayatri.
“kami berdua menyayangi kalian.
Terutama kamu, Anisa.
Semenjak kamu datang ke rumah tanpa anak dan suami demi bisnis katamu, kami terdiam.
Sesungguhnya kamu sudah membuat kecewa karena lebih suka mengurus rumah tangga orang lain dari pada rumah tanggamu sendiri!”
“Ma … jangan begitu?”
Anisa bangkit dari sofa dan memeluk mamanya sambil menangis.
“Pikirkan apa yang telah kamu lakukan Anisa, apa layak Vanesa dan Ronald menerima hasil dari kemarahanmu?” tegur Pak Sapta.
“Iya, Paa. Anisa salah. Maaf.”
Bu Gayatri memeluk Anisa dan mengusap punggungnya.
“Masih bisa diperbaiki tapi yang utama, selamatkan dulu keluargamu.
Percuma kamu punya uang dan karir jika gadis kecilmu menderita.
Natali diceraikan suaminya karena tidak bisa punya anak.
Sementara kamu, punya anak perempuan lucu dan suami yang baik tapi kamu sia-siakan, jangan begitu, Anisaaa.”
Anisa menangis keras.
Selama ini papa dan mamanya jarang sekali marah padanya.
Mereka orang tua yang lembut tapi siapa sangka kelembutan mereka justru menyimpan suatu ketegasan dan kesedihan.
Mendadak terbayang di benak Anisa, wajah anak dan suami yang dia tinggalkan di Malaysia demi menemani Natali ke Jakarta.
Kerinduan tiba-tiba menyergapnya kuat.
“Aku akan ke Malaysia malam ini juga,” bisik Anisa di sela tangisnya.
Vanesa memandang nanar pada keluarga Ronald yang bertangisan di ruang tamu.
Hatinya sungguh pedih sekarang.
Bersambung
No comments:
Post a Comment