Cinta Tiga Hati
Part_22
Kesunyian terasa panjang saat mereka berdua bertatapan tanpa kata.
Sang papa dengan kening mengernyit bingung memandang anak perempuannya yang berdiri dengan wajah sedih.
Angin bertiup agak kencang, menerbangkan daun-daun kering berguguran.
Terlihat awan sedikit menghitam.
Sebentar lagi mungkin turun hujan.
Perubahan cuaca tidak mempengaruhi keduanya yang seperti memendam banyak pertanyaan.
Di mata sang papa, Vanesa bukan lagi gadis kecil yang periang tapi menjelma menjadi perempuan yang tangguh dan penuntut.
“Dari mana kamu punya pikiran seperti itu?” Pertanyaan Pak Harun Drajat terdengar samar di sela udara yang bergerak.
Vanesa tidak langsung menjawab pertanyaan papanya.
Matanya menengadah memandang langit dengan mendung menggantung.
Menekan dada yang terasa sesak sekali.
Seolah memersiapkan diri untuk jawaban yang terburuk.
“Jauh sebelumnya aku sudah punya pikiran itu, Papa.
Saat kalian terus menerus menyuruhku mengalah demi Mili.
Sering kali aku bertanya apa sebagai anak aku tidak punya hak sama?”
“Bukan seperti itu, hanya imajinasimu saja,” sanggah sang papa.
“kamu harus mengalah karena Mili sakit-sakitan dan kamu sehat tak tercela.”
“Selalu seperti itu,” sergah Vanesa keras.
Tangannya bergerak liar sementara amarah menguar dari perkataan.
“Vanesa, berikan boneka pada Kakakmu.
Vanesa, lindungi Mili jangan sampai dia terluka dan kalian tidak peduli meski aku datang dengan hidung berdarah asalkan Mili selamat!”
“Tidak seperti itu, Papa hanya ingin kalian saling menjaga.”
“Aku yang lebih banyak menjaganya, Papa.
Sepanjang hidupku!
Aku bahkan mengalahkan laki-laki yang aku cintai demi dia.
Benarkah Papa memohon pada Ronald dan orang tuanya untuk menikahi Mili? Kenapa?
Bukankah Papa tahu saat itu Ronald mencintaiku?” Vanesa bertanya dengan air mata turun tak terkendali di pipinya.
Matanya menatap nanar pada laki-laki tua yang terlihat duduk lelah di depannya.
Tusukan rasa kasihan menyergapnya kuat tapi dia hanya ingin tahu, itu saja.
Pak Harus Drajat mengusap wajah dan rambutnya.
Memejamkan mata seperti kembali mengingat masa lalu yang datang berkelebat. Bagaimana paniknya dia saat tahu Mili sakit keras karena cinta.
“Kamu anakku, Vanes. Anak kandung,” ucapnya dengan pelan.
“Mili memang terlahir istimewa karena kami menikah sepuluh tahun tidak punya anak.
Bahkan nyaris bercerai karena itu.
Bisa kau bayangkan perasaan kami saat Mili lahir?
Itu bagaikan sebuah anugrah, meski dokter mengatakan jika anak perempuan pertama kami menderita gagal jantung bawaan.”
Pak Harus mendesah, kembali memandang Vanesa yang terdiam dengan wajah penuh air mata.
Tangisan Vanesa seperti melukai hatinya.
Apakah dia telah menjadi orang tua yang gagal selama ini?
“Saat Mili koma untuk terakhir kalinya, dia sempat siuman dan menangis.
Mengatakan jika dia sangat mencintai Ronald dan meminta untuk dinikahkan dengan Ronald.
Dibutakan kasih sayang sebagai Papa yang tidak ingin kehilangan anaknya, aku merendahkan harga diri dan menemui Ronald.
Hal yang pertama dikatakan Ronald adalah “maaf saya tidak bisa karena bukan Mili yang saya cinta” tapi aku terus mendesak dan memaksa.
Terakhir bahkan bersujud di depan pintu rumah mereka.”
Kali ini suara Pak Harun Drajat terdengar goyah.
“Demi menyelamatkan Mili karena firasatku sebagai orang tua mengatakan Mili tidak akan berumur panjang.
Karena itulah setelah dia meninggal, aku kembali memohon pada orang tua Ronald untuk menikahkanmu dengan anaknya, dengan maksud menebus kesalahanku.” suara Pak Harun Drajat makin lama makin lirih.
“ Maafkan Papa dan Mama, Vanesa. Terkadang kami lupa jika punya anak satu lagi yang juga butuh diselamatkan karena melihat betapa tangguh dan sehatnya kamu.”
“Aku tidak tangguh, aku juga rapuh.
Aku bisa merasakan kesedihan bagaimana orang tuaku seperti hanya menyayangi saudaraku bukan aku.
Di hari pernikahan Mili, aku bahkan berpikir untuk kabur jauh-jauh meninggalkan kalian.”
“Vanesa, kamu salah paham.
Semua yang Papa lakukan untuk menyelamatkan Mili.
Maafkan, Papa dan Mamamu ini. Kami salah tapi kami menyayangimu juga.”
Kali ini Vanesa tidak lagi dapat membendung air matanya.
Sang papa yang selalu terlihat gagah kini terpuruk sedih karenanya.
Dia membalikkan tubuh, melangkah menuju pagar yang menghadap langsung ke kebun bunga.
Seakan seluruh dadanya pecah karena kesedihan tiada tara, Vanesa berteriak keras.
Mengagetkan kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga, membangunkan burung-burung di dalam sangkarnya.
Dia berteriak hingga tenggorokannya sakit.
Seketika hujan turun membasahi bumi.
Tidak peduli akan teriakan papanya yang menyuruhnya berteduh, Vanesa melangkah cepat ke meninggalkan halaman menuju kebun bunga.
Tanpa menghiraukan hujan yang membasahi baju atau lumpur yang mulai mengotori kaki.
Bagi Vanesa, hujan adalah penghapus lara dan kesedihan yang paling dia inginkan.
***
Kemuraman meliputi ruang makan.
Ronald dan sang mama yang tidak mengerti perihal apa pun hanya menatap dengan bingung pada Pak Harun Drajat yang membisu dan Vanesa yang tertunduk lesu.
Obrolan di meja makan terdengar hambar.
“Vanes, Mama buatin udang asam manis kesukaanmu.
Kenapa makannya sedikit?” tegur Bu Tini padanya.
“Sedang tidak nafsu makan, Ma,” jawab Vanesa sambil memainkan sendoknya.
“Apa masakan Mama kurang enak?” cecar Bu Tini.
Vanesa menggeleng lemah.
Bu Tini bertukar pandang dengan Ronald yang terlihat sama tidak mengertinya. Sementara Pak Harun Drajat mengupas kulit udang dengan serius.
Seperti tidak menyadari tatapan yang diarahkan sang istri padanya.
Tidak ingin berlama-lama, Vanesa makan lebih cepat.
Meletakkan piring dan sendok lalu menyeka mulut.
“Vanes sudah kenyang, Ma.” Dia pergi menggendong Sean menuju kamar.
“Vanesa, malam ini Mama ingin tidur dengan Sean.
Tidurkan dia di kamar kami, ya?” pinta Bu Tini pada anak perempuannya.
Vanesa menggangguk kecil dan melangkah dengan Sean dalam dekapan menuju kamar orang tuanya.
Pertama kalinya Vanesa masuk ke kamar ini dan pemandangan pertama yang dia lihat adalah foto keluarga dalam ukuran besar terpampang di dinding.
Mereka berempat mengenakan batik yang serupa.
Vanesa berusaha mengingatnya dan jika tidak salah foto diambil saat dia kuliah semester pertama.
Bertahun-tahun yang lalu. Mili terlihat cantik dengan rambut dikuncir berdiri di sebelah sang papa dan dia dengan rambut pendek berada dalam rangkulan mama.
Dia merebahkan anak laki-lakinya di atas kasur dan menepuk-nepuk punggung Sean lembut.
Anaknya sudah mulai mengoceh dan ingin didengarkan.
Dengan sabar Vanesa mengajaknya bermain hingga dia lelah dan tertidur.
Malam ini dia berjanji untuk tidur sekamar dengan suaminya, dan akan dia tepati.
Setelah memastikan anaknya tertidur pulas, Vanesa meninggalkannya dan menuju kamar yang dia tempati bersama Ronald.
Ruangan bernuansa sederhana dengan jendela kaca yang menghadap langsung ke jalanan, dia merasa kamar ini penuh cinta.
Rumah yang ditepati orang tuanya adalah peninggalan almarhum kakek dan nenek. Itulah yang membuatnya merasa familiar dengan kamar ini.
“Vanesa, apa kamu sakit?” suara teguran dari suaminya membuat Vanesa berjengit kaget.
Dia menoleh dan memandang Ronald yang menghampiri dengan rambut terurai, kaos putih dan celana khaki sedengkul.
“Tidak.”
Mereka berdiri bersisihan di depan jendela kaca.
Tangan Ronald meraih pundak Vanesa dan meremasnya perlahan.
Suara kodok bersahutan setelah hujan membuat suasana malam menjadi syahdu. Desir angin menebar aroma tanah basah beserta bunga yang harum.
Tidak ada pemandangan malam yang sedemikian damai di Jakarta.
“Apakah kamu ingat, kita dulu sempat putus karena apa?” tanya Vanesa tiba-tiba.
Ronald berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Sepertinya karena kecemburuan tak beralasan aku pada siapa ya?”
“Teman satu kantorku,” sambung Vanesa.
“Iya betul.
Kamu marah karena merasa aku tidak mempercayaimu dan aku marah karena merasa kamu tidak cukup kuat menjaga hubungan kita.”
“Saat itulah kamu mengenal Mili?”
Ronald mengangguk.
“Mili yang manis dan rapuh.
Meminta dengan malu-malu nomor handphoneku.
Lalu mulai mengirim pesan dan menelepon.
Aku sudah melihat gelagat-nya dan mencoba menghindar.
Suatu hari dia mengajakku bertemu untuk memberikan kebaya pesanan Mama, entah karena apa dia pingsan dan aku mengantarnya pulang.
Rasanya bagai tersambar petir saat tahu jika dia adalah kakakmu.”
“Apakah saat itu kamu memacarinya?” tanya Vanesa.
Ronald menggeleng.
“Tidak, dia sedikit agresif tapi kami tidak berpacaran.
Aku menghormatinya sebagai seorang teman.
Vanes, apa kalian bertengkar?
Kamu dan Papa?” tanyanya sambil memandang Vanesa yang menunduk.
“Malam ini sikap kalian aneh.
Kaku dan ada kemarahan kurasakan.”
Vanesa mengangguk.
“Sedikit, bukan bertengkar tapi lebih untuk meminta penjelasan.
Soal kamu, aku dan Mili.”
Ronald mendesah. Meraih Vanesa dalam pelukan dan mengecup rambut di dahi istrinya.
“Aku tahu kamu sakit hati, Sayang. Karena sikap Papa dan Mili, juga aku.
Tidak bisakah kau maafkan kami semua yang menyakitimu?
Kasihan orang tuamu, sudah tua. Aku memergoki mereka berpelukan sambil menangis di dapur.”
Dengan air mata membasahi pipi, Vanesa membiarkan dirinya dipeluk Ronald sementara pikirannya tertuju akan bayangan papanya yang tertunduk sedih.
Orang tua yang hanya ingin menyelamatkan anak perempuan yang sakit-sakitan. Rasa bersalah menusuk hatinya saat mengingat tentang gurat tangis di wajah papanya yang keriput.
Jika orang tuanya mengaku salah telah pilih kasih.
Lantas seberapa hebatnya dia hingga tidak mau memaafkan mereka yang sudah melahirkan dan mendidiknya?
Sungguh sebagai anak dia merasa berdosa.
“Besok aku akan minta maaf pada Papa.
Sepertinya hari ini aku bersikap agak keras padanya,” ucap Vanesa di antara isak tangisnya.
“Vanesaku yang cantik dan hebat. Pemaaf dan penuh cinta,” bisik Ronald di telinga istrinya.
“Jangan menangis, nanti hilang cantiknya.”
Vanesa tertawa lirih.
Ronald membalik tubuhnya hingga mereka berdiri berhadapan.
“Aku menunggu waktu lama sekali untuk melihatmu tersenyum dalam pelukanku. Menunggu bertahun-tahun dalam malam-malam penuh mimpi untuk bisa bersamamu seperti sekarang.”
Tanpa sadar Vanesa mendesah, menggigit bibir bawah dan memandang Ronald dengan mata berkaca-kaca.
“Aku siap menyerahkan diriku malam ini, suamiku,” ucapnya lirih.
Entah siapa yang memulai, mereka saling berkecupan dengan hangat.
Lalu seperti ada api yang membakar, tangan bertemu tangan, bibir bertemu bibir, keduanya berpelukan dan ambruk ke atas ranjang.
Memadu kasih hingga matahari pagi datang menjelang.
****
“Bangun, Sayang. Sudah pagi?” suara bisikan di telinga membangunkan Vanesa dari tidurnya.
Dia sedikit merenggangkan tubuh dan merasa pegal hampir di seluruh badan.
Matanya mengerjap terbuka, melihat suaminya tersenyum di atas kepala.
Tersadar jika dia masih berbaring di atas ranjang.
Sementara sinar mentari sudah menyelinap masuk melalui celah jendela kaca.
“Aku kesiangan, Sean,” rintih Vanesa dan buru-buru bangun tapi merasa ngilu seketika.
“Nggak usah kuatir soal Sean, dia sedang jalan-jalan keliling kampung dengan Oma dan Opa-nya.”
“Benarkah?
Aduh, aku tidur lupa waktu.” Vanesa menutup wajahnya yang memanas.
Ronald tertawa lirih.
Mengusap rambut Vanesa dan berbisik perlahan.
“Aku maklum, Sayang. Namanya juga malam pertama, pasti kamu lelah.”
“Apaaan, sih! Mentang-mentang dah pengalaman!”
Suara tawa menggelegar datang dari kamar mereka.
Ditimpa oleh rayuan-rayuan kecil yang dilontarkan Ronald untuk istrinya.
Sungguh menyenangkan bisa tertawa tanpa banyak beban di dada .
Pagi ini Vanesa melihat suaminya dengan cara pandang yang berbeda.
Dia sudah menyerahkan dirinya, sekarang hanya bisa berharap jika rumah tangga mereka akan baik-baik saja.
Sepulang orang tuanya dari membawa cucu mereka jalan-jalan, sang mama sibuk mempersiapkan makan siang.
Ronald mengajak Sean bermain.
Vanesa melangkah ragu-ragu mendekati papanya yang sedang duduk di ruang tamu sederhana dengan secangkir kopi di meja.
Sejenak Vanesa mengamati sosok papanya dari belakang.
Rambut yang nyaris semuanya memutih, bahkan ada beberapa tempat yang mulai mengalami kebotakan.
Bahu yang terlihat lelah tak bertenaga. Desakan rasa iba menguat dari dalam hatinya.
“Pa ….”
Tanpa banyak kata, Vanesa duduk di samping papanya dan menyandarkan kepala di bahu tua tapi masih kokoh untuk dijadikan tempat bersandar.
Aroma tembakau dan rokok menyergap kuat indera penciumannya.
Dia memejamkan mata, menggali ingatan tentang aroma yang sama di mana dulu sering dia nikmati saat masih kecil.
“Kamu sudah sarapan?” tanya Pak Harun Drajat pelan.
“Sudah, Pa.” Vanesa terdiam sejenak sebelum melanjutkan bicara.
“Pa, Vanes minta maaf soal kemarin.
Tidak seharunya aku melempar emosi membabi-buta pada Papa.”
Terdengar helaan napas berat dari Pak Harus Drajat.
“Kamu tidak salah. Kamilah yang salah dari awal karena terlalu takut kehilangan Mili menjadikan kami lupa akan kehadiranmu.”
“Tidak, Vaneslah yang tidak cukup bersyukur karena diberikan kesehatan.
Pa … semoga Kak Mili tenang di sana.”
“Dia pasti tenang di sana, ada kamu yang menjaga anaknya.
Apa kamu tahu kalau Sean sangat aktif?
Tingkahnya mengingatkanku pada masa kecilmu dulu. Anak yang lucu.”
“Benarkah?”
“Iya, sangat mirip. Cara dia berlari dan suka sekali memanjat yang tinggi-tinggi membuatnya terlihat seperti darah dagingmu sendiri.
Terima kasih sudah merawatnya, Vanesa.”
“Sudah seharusnya, Papa. Dia bagian dari keluarga kita.”
Pak Harun Drajat mengangguk lalu menceritakan dengan gembira pengalamannya membawa cucu laki-lakinya jalan-jalan keliling kampung.
Vanesa mendengarkan perkataannya dengan hati menghangat.
Meski Sean bukan anak kandungnya tapi dia menyayangi bayi itu dengan sungguh-sungguh.
Kebersamaan mereka tidak luput dari pengamatan Bu Tini yang memandang suami dan anak perempuannya dengan terharu.
Beban bertahun-tahun yang mereka simpan karena Mili, akhirnya luruh juga hari ini.
Jauh dalam hati, Bu Tini memanjatkan doa untuk anak perempuannya di alam sana.
Malam itu Vanesa bermimpi indah sekali.
Dia bertemu Mili dalam kondisi paling cantik yang pernah dia lihat.
Kakaknya bahkan tertawa gembira sambil menggandeng tangannya.
Gaun putih yang mereka kenakan berkibar tertiup angin lembut.
“Vanesa, Sayang. Terima kasih, ya?”
Vanesa membalas senyum kakaknya dan bertanya heran.
“Terima kasih untuk apa, Kak?”
“Untuk selalu mencintaiku, tak peduli saat susah atau senang.
Terima kasih mencintai anakku dan Ronald.
Berbahagialah, adikku.”
Mungkin itu hanya mimpi dan banyak yang mengatakan jika mimpi adalah bunga tidur.
Entah kenapa Vanesa menitikkan air mata saat tersadar dari tidurnya.
Seakan-akan menganggap jika mimpinya adalah sesuatu yang nyata.
Lengkingan suara Sean dari kamar sebelah mengingatkan Vanesa jika hari ini baru saja di mulai.
Kehidupan terus berjalan meski ada yang meninggalkan.
Demi anak dan suaminya, dia bertekad untuk bahagia.
Bersambung ...
No comments:
Post a Comment