Cinta Tiga Hati
Part 23
Vanesa tidak pernah sebahagia ini dalam hidupnya.
Bersama suaminya dia mengarungi bahtera cinta dan kehidupan berkeluarga layaknya pasangan yang lain.
Dia berniat untuk menghancurkan surat perjanjian dua tahun menikah yang dulu dia buat bersama Ronald.
Selain sibuk merealisasikan niat untuk membuka toko kue, dia juga sabar mendampingi suaminya memulihkan kondisi pabrik yang sempat porak-poranda karena keluarga Tirta.
Bicara soal keluarga Tirta, sebisa mungkin Vanesa menghindar jika Vico menelepon untuk mengajak bertemu.
Dia tidak ingin membuat masalah lebih jauh dengan mantan kekasihnya.
Sekarang dia wanita berkeluarga, tidak elok lagi jika menemui laki-laki lain.
Sepulang mereka dari rumah papa dan mamanya, Vanes membulatkan tekad untuk menjauhi keluarga Tirta.
“Aku ingin mengubah dekorasi rumah, “ucap Vanesa suatu malam, saat dia berada dalam dekapan suaminya.
“Lakukan apa pun yang kamu mau, ini rumahmu.”
Di mulai dari kamar sampai dapur, Vanesa mengubah dekorasi rumah hingga mengganti cat di dinding.
Semua menyita waktunya.
Takut dia kelelahan dan bosan, Ronald sering kali mengajaknya berlibur saat weekend.
Seperti minggu ini mereka memutuskan berlibur ke Bali.
“Hari ini mau ngantor jam berapa?” tanya Vanesa pada suaminya yang masih memakai kaos oblong dan celana khaki sedengkul.
Sedang asyik membuat telur ceplok di dapur.
“Ehm, mungkin siang atau sore.
Aku ada bilang sama Jery untuk menghandel urusan kantor hari ini jika aku nggak bisa datang,” jawabnya sambil meraih piring besar dan meletkkan telur ceplok beserta roti di atasnya.
Mereka pulang dari Bali lewat tengah malam.
Karena takut kelelahan, sehari sebelumnya Ronald sudah memberitahu Jery kemungkinan tidak ke kantor hari ini.
Setidaknya dia ingin bersantai di rumah dengan anak dan istrinya.
“Maaf, Sayang. Cuma bisa masak telur ceplok,” ucap Ronald dengan wajah cerah.
Vanesa tersenyum, meletakkan handphone di meja.
Lalu mengambil susu dari kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas sebelum duduk di kursi.
“Telur ceplok kamu enak koq.”
“Sean sepertinya kelelahan, sampai sekarang belum bangun.”
“Iya, nanti mau aku bawa ke tukang urut.”
“Sepertinya kita makan pagi setengah siang ya? Jam sebelas,” ucap Ronals sambil mengunyah.
Vanesa tertawa.
“Siapa suruh bangun kesiangan.”
Mereka makan sambil sesekali berbincang tentang cuaca, berita kriminal atau apa pun yang ada di pikiran.
Ronald memberikan saran agar mereka menikmati liburan ke Lomok atau Raja Empat lain kali dan istrinya mengangguk antusias.
Terdengar lengkingan tangis dari dalam kamar.
Sean kecil terbangun dari tidurnya.
Vanesa bergegas bangkit dan meninggalkan sang suami menghabiskan makanan seorang diri.
Awalnya Ronald tidak tertarik sedikit pun untuk membuka handphone istrinya meski sepeninggal Vanesa, handphone tidak berhenti bergetar.
Keningnya berkerut saat ada panggilan masuk dan nama ‘jutawan’ tertera di layar.
Panggilan dilakukan sebanyak tiga kali secara terus menerus.
Karena ingin tahu Ronald mengambil handphone dan siap menerimanya, barangkali memang ada yang penting.
Layar baru saja dibuka panggilan terputus.
Mata Ronald tertuju pada percakapan di WA yang ada muncul di layar di handphone.
Jutawan : Apa kabarmu, Sayang?
Bagaimana setelah kejadian hari ini?
Apa ada yang luka?
Vanesa : Kami baik Vico, bukankah sudah kubilang untuk tidak lagi menghubungiku?
Jutawan : Aku kuatir, Vanesa.
Semenjak kejadian bom Molotov waktu itu aku kepikiran.
Jika tidak ingat ada Ronald, ingin rasanya ke rumahmu bertanya kabar.
Makin lama membaca pesan makin membuat wajah Ronald mengeras.
Rasa marah dan cemburu menguasai hati dan otaknya.
Dengan cepat jarinya mengetuk layar hanphone untuk memberikan jawaban pada Vico alias sang jutawan.
Saat istrinya kembali ke ruang makan, amarah Ronald mencapai ubun-ubun kepala.
“Hai, Papa.
Sean lagi rewel nih, badan pegal-pegal.
” Tidak memperhatikan Ronald yang duduk dengan postur kaku, Vanesa terus bicara riang dengan anaknya.
Hingga akhirnya sadar dia tidak mendapat respon apa pun dari suaminya.
“Ada apa, Kak?
Ada masalah?” tanyanya bingung kepada Ronald yang membisu.
Tanpa diduga, Ronald meletakkan handphone dengan kasar di atas meja.
Matanya menatap istrinya dengan tajam.
“Kamu bohong padaku, Vanes?
Masih sering menemui Vico rupanya,” desis Ronald marah.
“Tidak,” sanggah Vanesa cepat.
“Aku tidak pernah sering menemuinya, terakhir kali yang—,”
“Urusan kue,” potong Ronald.
“bukankah Bu Mariana itu dia dan kamu tidak menceritakannya padaku?”
Vanesa menggigit bibir bawahnya dengan gugup.
Meletakkan Sean dalam baby walkernya.
“Kak, ini salah paham. Aku juga baru tahu setelah kesana.”
“Kenapa kamu rahasiakan?”
“Tidak ingin Kakak marah.”
“Bagaimana soal bom?
Keselamatanmu dan Sean?
APA ITU TIDAK PENTING UNTUKKU JUGA VANESA?teriakan Ronald yang menggelegar membuat Vanesa berjengit kaget.
Sean bahkan menoleh tapi untunglah si bayi tidak terlalu terpengaruh.
“Tenanglah, Kak.
Teror itu tida dimaksudkan untukku tapi Vico.
” Makin banyak penjelasan Vanesa tentang Vico makin marah Ronald mendengarnya.
“Kamu sudah menjadi istriku, Vanesa.
Mau sampai kapan kamu berhenti menemuinya? Memberi dia harapan?”
“Aku tidak pernah ingin menemuinya, Kak,” tanda Vanesa sambil berusaha meraih tangan suaminya tapi ditepiskan.
“Apalagi memberi harapan. Tidak ada niatan sama sekali. Percayalah padaku.”
“Tapi nyatanya, segala perbuatanmu tidak lagi membuatku percaya.”
Bagaikan vonis, kata-kata terakhir Ronald sebelum meninggalkannya membuat Vanesa terpereyak.
Dia menyesali kebodohannya sendiri yang tidak berterus terang.
Dia mengakui dia salah selama ini.
Tidak menyangka jika Vico masih tetap gigih menghubunginya.
Tidak lama kemudian, dia mendengar pintu depan menutup.
Ronald pergi tanpa berpamitan padanya.
***
Emosi yang menguasai pikiran dan hati membuat Ronald memacu mobil dengan kecepatan tinggi di jalanan yang kebetulan lancar.
Ingatannya kembali pada percakapannya dengan sang istri tentang sang jutawan membuat dadanya dilanda cemburu membabi buta.
Sebagai seorang suami dia merasa dikhianati.
Bukankah selama ini dia cukup setia?
Menolak setiap rayuan yang datang hanya demi istrinya seorang tapi siapa sangka, ketulusannya dibalas dusta.
Setelah memastikan mobil terparkir di halaman, Ronald melangkah perlahan membuka pintu kafe.
Lantai satu, suasana tidak terlalu ramai, hanya beberapa meja yang terisi.
Sekilas matanya memandang ada beberapa orang berpakaian safari hitam berada di ujung tangga.
Kakinya menaiki tangga menuju lantai dua.
Dugaannya benar, Vico menunggunya di sana.
Duduk dengan santai dalam balutan kemeja putih, Vico terlihat sibuk dengan handphonenya.
Dia tidak menyadari Ronald yang berjalan menghampiri.
“Vico.”
Sapaan Ronald membuat Vico mendongak.
Kehadiran Ronald di depannya sungguh di luar dugaan.
Tanpa sadar dia memutar kepala untuk mencari seseorang yang mungkin datang bersama Ronald.
“Vanesa tidak ikut.
Aku yang memintamu bertemu di sini melalui handphone-nya.”
Perlahan Vico meletakkan handphone yang sedari tadi dia pegang ke atas meja. Mengamati Ronald yang terlihat gusar.
Sadar sekarang jika dia telah dijebak.
“Kamu menjebakku?” tanyanya pelan.
“Iya, untuk menanyakan tentang satu hal.
Kenapa tidak kau lepaskan istriku.
Apa kamu tidak malu?
Mengejar-ngejar istri orang?” Ronald menghardik tanpa sadar.
Tangannya menggebrak meja pelan.
Sebelum Vico menjawab, seorang pelayan perempuan datang membawa menu dan menawarkan Ronald untuk memesan tapi ditolak.
Si pelayan hanya mengangguk kecil tanpa berkata-kata.
Vico tersenyum tipis.
“Sebelum menjadi istrimu, dia adalah kekasihku.
Kamu merebutnya dengan cara yang menjijikan.
Apa?
Perjodohan dan turun ranjang?”
“Setidaknya aku berusaha membahagiakannya.
Bukan denganmu yang makin membuatnya ketakutan karena berada terus-menerus dalam bahaya.
Kamu harusnya tahu jika bom molotov dan percobaan pembunuhan yang lain mengincarmu, bukan tidak mungkin juga akan menyasarnya!”
“Aku bisa melindunginya dan akan terus melindunginya.”
“Dengan apa?” dengkus Ronald menghadapi kemarahan Vico.
“dengan uangmu?
Nyatanya tetap saja kamu dalam bahaya.
Jika segala perlindungan yang kau beli dengan uang tidak menjamin keselamatanmu apalagi Vanesa bukan?”
Vico tertawa terbahak-bahak.
Jarinya teracung menunjuk Ronald yang duduk dengan wajah memerah.
“Kenapa?
Kamu cemburu?”
“Sialan!”
“Hahaha … akui saja kamu cemburu padaku, Ronald.
Kamu pikir mudah mengenyahkan bayanganku dari Vanesa.
Jangan harap!”
Ronald mengernyit, menatap tidak mengerti pada laki-laki jutawan yang terlihat pongah di matanya.
Bukankah sebagai orang kaya dia bisa mendapatkan banyak perempuan?
Kenapa justru mengincar istri orang?
“Kamu terobsesi pada Vanesa,” desisnya marah.
Vico menyorongkan wajah.
Menatap garang pada Ronald dan menjawab tegas.
“Memang!
Aku akan menggunakan segala cara untuk merebutnya darimu.
Membebaskannya dari pernikahan palsu di bawah bayang-bayang sang kakak.
Dia berhak bahagia tapi tidak bersamamu.”
“Kamu gila!” maki Ronald keras.
Tidak lama beberapa orang berpakaian safari datang menghampiri.
Vico mengangkat tangan, memberi perintah pada mereka untuk tidak mendekat.
“Anak manja, harus berada dalam pengawasan.
Kenapa?
Takut Mama marah ya, jika anaknya lecet?”
Ejekan Ronald membuat Vico panas. dia berpaling pada tiga orang berpakaian safari yang semua berdiri menyebar di sudut ruangan.
“Kalian turun ke bawah, biarkan aku sendiri.
Ini perintah!” ucapnya keras pada mereka.
Terlihat keengganan di wajah mereka tapi tidak ingin membantah perintah atasan, mereka turun dengan patuh.
Vico kembali memandang Ronald dengan kebencian yang tidak dia tutupi.
Sudah lama dia menantikan ini, bertatap muka dan bicara dari hati ke hati pada suami Vanesa.
Jika memungkinkan, hari ini dia akan menuntaskan semua masalah.
Mendapatkan kembali Vanesa dalam pelukannya adalah prioritas.
***
Sementara di dalam rumah, Vanesa terbelalak memandang handphonenya.
Ada pesan yang belum dihapus di sana.
Kapan dia mengetik untuk meminta bertemu Vico di kafe tempat biasa?
Rasanya dia tidak melakukan itu.
Mendadak teringat akan kemarahan Ronald, pemahaman menjalari pikiran Vanesa.
Secepat kilat dia meraih Sean.
Mengganti baju anaknya dengan baju bepergian dan mengganti bajunya sendiri. Setelah itu menelepon Santi untuk menitipkan Sean di sana.
Dalam perjalanan dari rumah ke tempat Santi dan melanjutkan ke kafe, pikiran Vanesa dipenuhi hal buruk tentang dua laki-laki yang kini bertemu.
Demi menghindari kemacetan, Vanesa sengaja naik ojek motor.
Dia berharap tidak ada percecokan apalagi baku hantam di antara mereka.
Dia mengutuk dirinya habis-habisan dan merasa sebagai wanita pembawa masalah. Harusnya dia berterus terang pada suaminya dan tidak membuat masalah menjadi besar.
Kaki Vanesa melangkah cepat menuju lantai dua.
Matanya terbelalak saat melihat Ronald mencengkeram leher Vico di ujung tangga. Banyak mata yang melihat mereka.
Dengan gugup dia menuju ke arah mereka.
“Dia istriku, brengsek!
Dan kamu masih muda tapi mengejar istri orang.
Apa tidak malu dengan uangmu?” teriak Ronald tepat di muka Vico.
“Hahaha … banyak wanita tapi yang aku inginkan hanya dia?
Mau apa kamu?
Membunuhku karena jatuh cinta pada Vanesa.”
“Resek!” Sebuah umpatan disertai pukulan keras melayang dari tangan Ronald ke arah wajah Vico.
Tidak mau kalah, Vico menerjang Ronald hingga terjerembab ke meja terdekat.
Vanesa merentangkan tangan berteriak.
“Hentikan kalian, Apa yang kalian lakukan?
Sedang membuat malu di sini?”
“Mundur, Vanes! Biarkan aku menghajar laki-laki tak tahu malu ini,” sergah Ronald dan mendorong Vanesa menjauh sebelum kembali menyerang Vico.
Vanesa menjerit tatkala Vico ambruk di dekat kaki.
“Jangan takut, Sayang.
Aku tidak akan kalah,” ucap Vico sambil menekel kaki Ronald dan menghajar perut Ronald dengan tinjunya.
Vanesa berlari ke ujung tangga dan berteriak di sana.
“Penjaga! Satpam!
Kalian di mana?
Ada perkelahian di sini. Hentikan mereka!”
Detik berikutnya, Ronald dan Vico berangkulan dan ambruk ke lantai tidak jauh dari kaki Vanesa.
Mulut keduanya berdarah dan memar-memar terdapat di seluruh wajah.
Vanesa berusaha melerai tapi terdorong minggir saat dua laki-laki di depannya kembali bangkit.
Sekilas dari bawah tangga, Vanesa melihat laki-laki muda berpakaian safari hitam naik ke atas.
Seketika kelegaan membanjirinya.
“Pak, tolong!
Leraikan mereka,” teriak Vanesa mengatasi keributan.
Laki-laki itu memandang dua orang yang berkelahi dengan tatapan aneh.
Dia menunduk dan mengeluarkan sesuatu dari balik celana panjang.
Benda panjang yang terlihat mengkilat dan mengerikan dia tarik dari dalam sepatu but.
Vanesa terbeliak saat melihat pisau panjang dalam gengaman laki-laki di tangga dan matanya tertuju pada sosok Vico.
Menyadari ada yang aneh, dia berusaha menyadarkan Ronald dan Vico.
“Kalian berdua, lihatlah di sana! Ada masalah!” teriaknya dengan berdiri di antara dua laki-laki yang sedang berkelahi tapi sia-sia karena keduanya tetap berusaha saling memukul.
Entah tangan siapa yang mendorongnya ke depan.
Vanesa berada tiga langkah dari laki-laki berbaju safari yang menghunus senjata dan siap menusuk.
Semula dia bertindak berdasarkan naluri.
Berusaha memukul laki-laki bersenjata di depannya dengan tas yang sedari tadi dia pegang.
Tidak memberinya kesempatan mendekati Ronald mau pun Vico.
Sebuah umpatan terdengar dari mulut si lelaki saat sesuatu yang tajam menusuk pinggang Vanesa.
Wanita cantik itu terbeliak kesakitan dan menatap nanar pada darah yang membanjiri perut.
Sebuah pisau tajam berdiri tegak menusuknya.
Detik itu juga dia ambruk ke lantai.
Ronald terperangah kaget ketika sebuah pukulan Vico membuatnya terjatuh di sisi Vanesa.
Dia berpaling menatap istrinya yang meringkuk di lantai berlumuran darah. Seketika dia melompat berdiri dan berusaha meraih Vanesa.
“Vanesaaaaa! Apa yang terjadi!”
“AMBULAN! PANGGILKAN AMBULAN!”
Sementara Vico berdiri dengan tubuh gemetar.
Tanpa sadar tangannya mengepal saat melihat wanita yang dia cintai lunglai ke lantai dengan tubuh berdarah.
Dia melihat siapa pelakunya.
Sementara Ronald berteriak memanggil bantuan, dia meloncat dan berlari melewati tangga, berteriak nyaring.
“HENTIKAN DIA! SIAPA PUN ITU YANG DI SANA! HENTIKAN!”
Tiga orang penjaga yang semula berada di luar pintu bertindak sigap, menjegal laki-laki bersafari hitam yang berlari cepat dan membuatnya terguling ke tanah.
Dia bangkit untuk melawan tapi tidak berkutik ketika serangan dari tiga orang datang sekaligus untuk melumpuhkannya.
Dengan wajah babak belur, dia dipaksa bertekuk lutut menghadapi Vico.
Vico mendekatinya, menggunakan seluruh tenaga menendang wajah Hadi.
Laki-laki muda yang selama beberapa hari ini menyamar menjadi bodiguardnya, siapa sangka justru orang yang selama ini ingin melukainya.
“Kalau terjadi sesuatu dengan wanita itu, kau harus menebusnya dengan nyawamu,” desis Vico sambil meludah ke lantai kafe yang licin.
“Kau yang akan mati di tanganku, jahanam,” teriak Hadi sebelum akhirnya pingsan karena tendangan yang diberikan Vico di mukanya.
“Bawa ke ruang interograsi, aku tidak mau semua ini tercium polisi,” perintah Vico pada anak buahnya sebelum dia berlari kembali ke lantai atas.
Samar-samar terdengar bunyi sirine ambulan mendekat.
Dari tengah tangga, Vico menatap nanar pada Ronald yang menangis dengan Vanesa yang berlumuran darah di pangkuannya.
Dia sama sekali tidak mengerti jika pada akhirnya keegoisan mereka yang membuat Vanesa terluka.
Harusnya mereka menahan diri, harusnya mereka tidak mengabaikan teriakan Vanesa, harusnya ….
Bisa jadi dia yang terlalu kuatir atau memang seperti itu kenyataannya.
Saat Vico mencapai tubuh Vanesa, dia melihat wajah wanita yang dia cintai telah berubah pucat seputih kapas.
***
Hallo semua, saya up part selanjutnya mungkin Sabtu atau Minggu. Butuh waktu untuk mengendingkan cerita ini.
Bersambung
No comments:
Post a Comment