Cinta Tiga Hati
Part 24
Di depan ruang operasi sebuah rumah sakit, terlihat wajah-wajah menunduk sedih. Bu Gayatri dan suaminya duduk bersisihan dengan lengan bertaut.
Ada sisa air mata yang tercetak di pipi mereka yang sudah mulai keriput.
Sementara di sampingnya, Ronald duduk merosot di lantai dan bersandar di tembok.
Tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang memperhatikannya.
Dia sudah mengganti baju yang berlumuran darah Vanesa dengan kaos bersih. Tidak ada yang bicara, semua terdiam menantikan pintu ruang operasi terbuka.
Ronald menutup mata dengan tangan.
Jantungnya berdetak tak beraturan.
Dimulai saat memeluk Vanesa yang berlumuran darah hingga sekarang, saat istrinya masuk ruang operasi.
Perasaan menyesal mengerogotinya, kegelisahan menyeruak tak berkesudahan. Amarah dan cemburu tidak hanya merobek jiwanya tapi juga membunuh istri yang sangat dia cinta.
Tanpa sadar dia membenturkan kepalanya ke tembok.
Dia mengutuk kewarasan yang hilang dari jwanya.
Harusnya dia lebih bersabar, semestinya dia mendengarkan penjelasan istrinya dengan kepala dingin.
Duduk bersama dan mencari jalan keluar.
Bukan dengan menuduh membabi buta.
Hati Ronald bagai terpilin saat mengingat wajah istrinya yang pias saat di dalam pelukan.
Sementara di ujung lorong, terlihat Vico bergerak gelisah.
Sesekali matanya menatap keluarga Ronald dan berpaling cepat memandang handphone di tangan yang terus menerus bergetar karena banyaknya panggilan.
Operasi sudah berlangsung hampir tiga jam dan tidak ada tanda-tanda kapan akan berakhir.
Dari sudut matanya, dia melihat Kevin sibuk menerima telepon.
Sepanjang dia di rumah sakit, sekretaris pribadinya tak pernah beranjak dari sisinya.
Semula dia tidak menyadari siapa sepasang orang tua yang melewatinya dengan pandangan dingin.
Sampai dia melihat mereka menghampiri keluarga Ronald.
Seketika kesadaran menghampiri Vico saat mengenali sepasang laki-laki dan perempuan tua yang ternyata adalah orang tua Vanesa.
Dua keluarga besan bertemu dan para ibu bertangisan sambil berpelukan.
Sementara papa Vanesa memanggil Ronald untuk mengikutinya.
Tiba di ujung lorong sepi yang menghubungkan ke arah ruangan lain, Pak Harun Drajat memanggil Vico mendekat dengan lambaian tangan.
Dua lelaki gagah, tertunduk sedih di hadapan seorang laki-laki tua.
“Apa benar anakku terluka saat berada bersama kalian?” tanya Pak Harun Drajat dengan suara pelan.
“Iya, Pa,” jawab Ronald dengan menunduk.
“Itu kecelakaan dan salah saya.”
“Kamu Vico, anak jutawan itu bukan?” tanya Pak Harun Drajat.
Kali ini Vico yang mengangguk.
Dia hanya sekali bicara dengan Pak Harun Drajat, terjadi di hari pernikahan Vanesa.
Saat itu pun dia hanya berkenalan.
Mendadak sebuah tamparan keras melayang di pipi Vico dan membuatnya terperanjat.
Tidak lama Ronald pun mengalami nasib yang sama.
Keduanya ditampar bersamaan oleh Pak Harun Drajat.
“Kalian mengecewakanku, dua orang laki-laki dewasa yang tak berguna.
Tidak bisa melindungi seorang wanita!” teriakan Pak Harun Drajat terdengar nyaring tapi rapuh secara bersamaan.
Sepertinya dia menahan air mata yang hendak jatuh.
Bu Tini bergegas menghampiri suaminya yang emosi.
“Dia anak perempuanku satu-satunya dan kini terbaring sekarat karena kalian!” tuding Pak Harun Drajat dengan amarah dan kecewa yang terbias di wajah keriputnya.
“Jika terjadi sesuatu padanya, aku akan membuat perhitungan.
Tidak peduli jika kau adalah menantuku,” tunjuk Pak Harun Drajat pada Ronald yang menunduk.
“Tidak peduli bahkan jika keluargamu jutawan atau konglomerat.”
Kali ini dia menuding Vico.
“Jika anakku tidak bisa diselamatkan, kalian yang harus bertanggung jawab!” teriaknya hingga menimbulkan gema di lorong rumah sakit yang sepi.
Sejurus kemudia dia nyaris jatuh jika tidak disangga istrinya.
“Pa, sudahlah.
Ingat, darah tinggimu.
Jangan marah-marah.” Bu Tini berusaha menenangkan suaminya.
Sementara papa dan mama Ronald yang bergegas mendekat, hanya memandang anaknya yang menunduk tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mereka memahami betul apa yang dirasakan oleh sang besan laki-laki.
Ronald dan Vico memang pantas menerima ledakan kemarahan dari Pak Harun Drajat.
Bu Tini memapah suaminya yang terlihat pucat.
Mereka duduk di bangku panjang di depan ruang operasi.
Sementara Pak Sapta dan Bu Gayatri duduk mengapit mereka dan berusaha menghibur.
“Maafkan, anak kami, Pak.
Dia memang pantas dipukul untuk keteledorannya dalam menjaga Vanesa,” Bu Gayatri berucap dengan suara pelan dan mata berkaca-kaca.
“Ini semua kecelakaan, tidak ada yang sengaja melakukannya.” Bu Tini menjawab pernyataan maaf besannya dengan tulus.
“Sekarang kita hanya bisa mendoakan Vanes agar selamat melalui ini semua.
Anak perempuan kami yang satu itu terlahir tangguh. Kami percaya dia kuat.”
Lalu keduanya kembali bertangisan.
Masih di tempat semula Ronald berpandangan dengan Vico.
Merasakan jika amarahnya menguap dan berganti dengan kesedihan teramat dalam.
Dia mengamati laki-laki yang semula dianggap musuh melangkah menjauh dengan wajah menunduk.
Sepertinya, mereka sama-sama kalah kali ini.
Kalah oleh perasaan menyesal.
Ronald menghela napas panjang, meremas rambut panjangnya dan bersandar pada pilar lorong.
Terbayang dalam ingatan betapa istrinya terlihat cantik tadi malam.
Mengenakan gaun tidur merah muda, dia bahkan menggoda dengan mengatakan jika Vanesa terlihat seperti mawar mekar.
“Aku ingin mengganti dekorasi rumah, bolehkan?” tanya Vanesa saat mereka berpelukan di atas ranjang.
“Lakukan sesukamu, rumah ini milikmu.”
Sepanjang malam mereka saling mengecup, membelai dan bercerita panjang lebar tentang rencana masa depan. Siapa sangka kini istrinya justru sedang berjuang mempertahankan nyawa karena keteledorannya.
******
Kelegaan dan ucapan syukur bergema di antara mereka saat pintu ruang operasi dibuka dan Vanesa dipindahkan ke ruang ICU.
Dokter mengatakan operasi berhasil dilakukan.
Sementara Ronald dan seluruh keluarganya berpindah tempat ke ruang tunggu ICU.
Vico diapit oleh Kevin pergi meninggalkan rumah sakit.
Tidak banyak yang bisa dia lakukan sekarang selain hanya memberikan dokter terbaik untuk Vanesa beserta perawatan kelas satu.
Dia sadar bukan bagian dari keluarga Vanesa.
“Bawa aku ke tempat dia!” ucapnya pada Kevin.
Kevin mengangguk dan memberitahu sopir alamat yang akan mereka tuju.
Sepanjang perjalanan Vico tidak henti memberikan perintah-perintah pekerjaan pada Kevin.
Sang mama menelepon dan dia menjawab singkat dengan di jalan.
Pikirannya sedang keruh, tidak ingin membuat mamanya kuatir.
Mereka tiba di sebuah bangunan kokoh serupa gudang kosong di pinggiran kota.
Sekeliling bangunan dibatasi tembok dengan kawat berduri.
Tidak banyak aktivitas hanya beberapa penjaga yang terlihat di luar.
Mobil berhenti tepat di depan gudang.
Saat Vico keluar dari mobil, beberapa orang berpakaian safari datang menyongsongnya dan mengangguk hormat.
“Di mana dia?” tanya Vico.
“Di dalam, Boss. Aman,” jawab salah seorang dari penjaga.
Pintu gerbang yang terbuat dari besi baja terbuka, menampakkan pemandangan dalam gudang yang berantakan dengan banyak peti kayu bertumpuk dan berserakan.
Di bagian tengah terlihat seorang laki-laki terikat di kursi.
Wajahnya penuh lebam dan bajunya robek.
Vico mengamati laki-laki muda yang terikat di depannya.
Menengadahkan wajahnya yang menunduk dan terlihat jika laki-laki itu pingsan.
“Sadarkan dia,” perintah Vico.
Tidak lama seorang laki-laki datang membawa seember air dan menyiram Hadi dengan keras.
Saat air membasahi wajah dan tubuh, Hadi gelagapan dan sadar dari pingsan.
“Oiii, kalian.
Manusia-manusia pengecut.
Beraninya keroyokan, ayo! Lawan aku jika berani!” tantang Hadi dengan suara keras.
Vico kembali mendekat, mengamati Hadi yang meringis marah lalu melayangkan pukulan keras ke wajah laki-laki di depannya.
“Katakan padaku, apa kamu yang mencoba membunuhku dengan peluru dan bom molotov?”
Hadi tersenyum licik, bibirnya yang memar mereka menjijikan.
“Iya, sayangnya gagal.”
“Hari ini kamu mencoba membunuhku juga.”
“Iya, jika wanita sialan itu tidak menghalangi.
Kamu pasti mati!”
Sebuah pukulan kembali melayang mengenai wajah Hadi.
Kali ini lebih keras dari sebelumnya dan membuat bibirnya berdarah.
“Dasar pengecut!
Katakan, apa salah kami sampai kamu dendam begitu?” teriak Vico tepat di muka Hadi.
Terdengar tawa lirih tak lama Hadi berkata dengan suara jelas dan nyaring.
“Gara-gara kalian ibuku bunuh diri.
Karena Ayahmu memaksa Ibuku resign dari pekerjaan dan membuatnya tertekan.
Tidak ada pekerjaan dan dipermalukan karena dipecat membuatnya bunuh diri tepat di hadapanku!” teriak Hadi keras.
“Saat melihat dia meregang nyawa, yang pertama terlintas adalah nyawa dibayar nyawa.”
Vico tidak menjawab tuduhan Hadi.
Dia memandang lekat-lekat pada laki-laki muda yang terikat di kursi.
Mengembuskan napas panjang dan menatap sekeliling gudang.
Ada sekitar delapan penjaga berdiri tegap di sekelilingnya.
“Kevin, bawa kemari berkasnya,” ucapnya pada sang sekretaris yang berdiri kaku di dekat pintu.
Vico membuka lembar per lembar catatan yang ada di tangannya lalu memandang Hadi dengan menyipit.
“Bu Alena yang lebih dikenal dengan Lena, empat puluh lima tahun.
Janda anak satu dan kedudukan terakhir di perusaan adalah kepala divisi keuangan.
Terindikasi menggelapkan keuangan perusahaan sebesar lima ratus juta--,”
“Tidaaaak, itu bohong!
Itu fitnah!” sembur Hadi memotong monolog Vico.
Vico mengabaikan teriakannya.
“Saat dilakukan investigasi, dari hasil pemeriksaan Bu Lena mengatakan jika uang yang dia gelapkan digunakan untuk membeli mobil kekasihnya.”
“Aaaah, itu bohong!”
“Wah-wah, tentu kamu tidak tahu anak kecil.
Jika Mamamu memilik kekasih?” bisik Vico sambil tersenyum licik.
“tentu dia sering meninggalkanmu sendiri dengan mengatakan tugas di luar kota? Nyatanya sedang asyik dengan kekasihnya.”
“Kau bohong! Dasar Tirta jahanam!”
Sebuah pukulan keras melayang membungkam Hadi.
Kali ini datang dari seorang bodyguard yang sedari tadi terdiam di sebelahnya.
Tidak hanya memberikan pukulan di wajah yang meremukkan tulang tapi juga tendangan keras yang membuat Hadi terjungkal kebelakang dari kursinya.
“Tahan, jangan sampai membuatnya pingsan.
Aku ingin dia mendengar kebenaran.” Vico berteriak.
Memberi tanda agar kursi Hadi ditegakkan kembali.
Lalu melangkah mendekati sang tawanan dan mengacungkan foto-foto yang tercetak di tangannya.
“Lihat, bukankah ini Mamamu tersayang?
Sedang asyik berkencan.”
Hadi terbelalak memandang foto mamanya yang sedang berpelukan dan berciuman dengan seorang laki-laki muda.
Matanya yang berimbah darah seperti ingin memberikan penyangkalan.
Namun foto di yang terpampang di depatnya tidak mungkin berbohong, kecuali ….
“Itu editan,” desisnya pelan.
Vico tertawa lirih, mengabaikannya.
“Mengingat jasa Mamamu yang telah mengabdi di perusahaan kami selama hampir lima belas tahun, maka kami memecatnya dengan tidak hormat tanpa mengadili.
Bisa saja, Papaku memasukkannya ke penjara tapi tidak dia lakukan.
Yang kami tahu dia bunuh diri bukan karena dipecat dari perusahaan tapi karena sang kekasih memutuskan hubungan.”
“Tidaak, ini semua tidak benar. Mamaku tidak mungkin begitu.”
Hadi menyangkal dan menggelengkan kepalanya dengan lemah.
“Mamaku tersayang tidak mungkin begitu.”
“Masalahnya dia begitu, dan aku tahu jika kamu menjual rumah warisannya.
Untuk apa?
Katakan padaku?” tanya Vico menengadahkan dagu Hadi.
“Untuk membayar para pembunuh bayaran sialan!
Yang meminta harga tinggi tapi gagal.”
“Hahaha … karena itu pula kamu memutuskan untuk mendekatiku?
Dengan maksud membunuhku dengan tanganmu sendiri?”
Tidak ada penyangkalan dari mulut Hadi.
Dia tertunduk dan bahunya lunglai.
Mau tidak mau dia mengakui jika keluarga Tirta lebih punya kuasa.
“Dasar, anak bodoh!
Dibutakan cinta membabi buta pada sang Mama hingga melupakan logika.”
Vico merenggut rambutnya dan berkata menyancam.
“Aku memberimu kesempatan hidup karena Vanesa selamat.
Jika sampai terjadi sesuatu padanya, aku kan mencincang dirimu.
Lihat saja, anak bodoh!”
Vico meneggakkan tubuh.
Menatap pada bodyguardnya lalu berkata lantang sebelum meninggalkan gudang.
“Kurung dia sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Kalian boleh membawanya ke kantor polisi jika kuperintahkan.”
“Bunuh aku! Ayo, bunuh aku kalau berani!”
Teriakan Hadi terdengar nyaring dari balik pintu gudang yang tertutup.
Vico menghelap napas memandang halaman luas nan gersang di depannya.
Pikirannya keruh, menyiksa Hadi sama sekali tidak memuaskannya.
Apa gunanya Hadi menderita jika dia harus kehilangan Vanesa?
Memejamkan mata, dia mengingat kembali bagaimana wajah pucat Vanesa dengan darah membasahi tubuh.
****
Vanesa tersadar dari koma.
Para keluarga berbahagia. Bu Tini bahkan menangis keras sambil memeluk suaminya.
Dia berucap syukur anak perempuannya diberi kesempatan melanjutkan hidup.
Ronald menutup wajah demi menahan tangis kelegaan.
Selama beberapa hari Vanesa di ruang ICU, para keluarga bergantian menjaganya. Satu orang setiap hari hanya boleh menjenguk selama satu jam.
Sepanjang waktu dia tidak bicara meski Ronald, orang tua maupun mertuanya bergantian menjenguk.
“Sayang, akhirnya kamu sadar.
Apa kamu mengenaliku?” Ronald meraih tangan Vanesa dan mengecupnya.
Tidak ada reaksi apa pun, istrinya terdiam dan hanya menatap langit-langit kamar dengan bola matanya yang besar.
“Apa kamu tidak merindukan Sean?
Anak itu sepanjang waktu menangis, dia kangen padamu.
Sekarang dia tinggal bersama Mama dan aku menyewa suster untuk menjaganya sementara.
Sampai kamu sembuh dan kita kembali ke rumah.”
Ucapan Ronald tidak mempengaruhi Vanesa.
Tidak ada air mata atau ucapan rindu terucap di bibir Vanesa saat mendengar suaminya menyebut nama anak mereka.
Dia bahkan tidak bereaksi saat Ronald mengelus pipinya.
Seperti menganggap tidak ada orang lain bersamanya sekarang.
Ronald yang merasa aneh dengan sikap diam istrinya beranggapan jika Vanesa belum sepenuhnya pulih.
Karena itulah dia tidak mendesak agar Vanesa bicara.
Keduanya terdiam dengan tangan Ronald menggenggam tangan Vanesa yang dingin.
Setelah kondisinya berangsur membaik dan dipindah ke ruang perawatan, Vanes membuat keputusan yang membuat semua orang tidak mengerti.
Dia memberikan larangan agar Ronald dan Vico tidak menjenguknya.
Tidak peduli bagaimana pun suaminya ingin bertemu, dia mengatakan, tidak.
Mengingat kondisinya yang masih lemah, orang tuanya tidak menentang.
Mereka mengatakan pada Ronald untuk bersabar dan memohon padanya untuk mengerti.
Di depan pintu rumah sakit, saat keluarganya berada di dalam menemani istrinya yang dirawat.
Ronald terpekur memandang lantai yang dingin.
Bisa jadi ini hukuman yang diberikan Vanesa untuknya.
Meski hatinya merasa sakit karena kehadirannya tidak diinginkan.
Dia berusaha menerima kenyataan dan berharap istrinya cepat pulih.
****
Dear semua, untuk ending KBM tinggal 2 part lagi. Jika kalian ingin membaca versi lengkap termasuk epilog dan side story akan segera hadir dalam bentuk buku.
Bersambung
No comments:
Post a Comment