Cinta Tiga Hati
Part 25
Vanesa tergolek di atas ranjang rumah sakit.
Dingin terasa menggigit kulit, meski selimut membungkus erat tapi ada beberapa bagian tubuh yang terpapar pendingin ruangan.
Sang mama yang selama beberapa hari ini bergantian menjaganya, terlihat lelah dan tertidur di sofa.
Dia dirawat di ruang kelas satu.
Dari informasi yang dia dengar saat siuman, Vico yang membayar semua biaya perawatan.
Mata nyalang memandang langit-langit kamar.
Ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari lalu.
Sampai sekarang dia masih bergidik saat mengingat bagaimana tajamnya pisau menembus tubuhnya.
Napasnya mendadak terasa sesak.
Vanesa mencoba menahan diri, meyakinkan hati bahwa dia baik-baik saja dan sudah selamat.
Tuhan memberinya satu kesempatan lagi untuk melanjutkan hidup.
Sampai sekarang dia belum berniat bertemu dengan Ronald mau pun Vico.
Ada banyak hal yang harus dia pikirkan sebelum berbicara dengan mereka.
Hal-hal yang ingin dia pikirkan secara matang tanpa melibatkan rasa marah.
Dia tahu, suaminya pasti sangat menyesal pun Vico tapi hatinya belum siap untuk bertemu mereka.
Dia merindukan Sean, kangen ingin bertemu dan menggendongnya.
Sayang, bayi tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah sakit.
Pukul sebelas siang, saat pengunjung rumah sakit diperbolehkan menjenguk pasien.
Vanesa mendapat kunjungan dari orang yang tidak dia sangka, Natali dan Anisa. Keduanya datang bersamaan, membawa parsel buah dan buket bunga yang indah. Sementara Bu Tini pergi ke kantin, memberikan kesempatan pada mereka bicara dengan Vanesa.
“Vanesa, kamu kenapa?” tanya Anisa sambil mengelus tangannya.
Vanesa hanya tersenyum.
“Terima kasih sudah mau datang.”
Anisa tidak menjawab.
Dia duduk di depan Vanesa dan menggenggam tangannya.
“Maaf kami baru bisa datang sekarang.
Saat mendengar peristiwa yang menimpa kamu, aku bermaksud terbang ke sini secepat mungkin.
Anakku sakit jadi batal,” ucapnya pelan.
“Nggak apa-apa, Kak. Keluarga lebih penting.”
“Kamu keluargaku, maafkan aku jika selama ini sudah membuat susah.”
Anisa berkata dengan mata berkaca-kaca, membuat Vanesa yang melihatnya jadi tidak enak hati.
“Kak, kita berdua sama-sama salah.
Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
“Kamu terlalu baik hati.
Terus terang saat tahu Ronald menikahimu, aku tidak suka.
Menganggap jika dia harus menanggung beban Mili.
Tanpa tahu keadaan kalian dulu, aku mengadili tanpa bertanya.”
Dengan mata berkaca-kaca, Anisa menggenggam tangan Vanesa.
Sementara Natali yang semula berdiri di ujung kaki ranjang kini mendekat.
Matanya memandang wajah Vanesa yang pucat dengan tubuh tertutup selimut.
Dia tahu jika ada luka besar di tubuh Vanesa.
“Vanes, semoga kamu cepat sembuh,” ucapnya dengan mulut bergetar.
“Terima kasih, Kak.” Vanesa berpaling dari Anisa.
“Sama seperti Anisa, aku juga minta maaf jika selama ini sudah berbuat banyak kesalahan.
Aku menimpakan masalah keluarga dan perusahaanku ke pundakmu dan itu membuatku terlihat seperti pecundang.”
Vanesa tertegun, tidak menyangka jika dua wanita cantik yang selama ini memusuhinya kini meminta maaf.
Bukankah ini terasa membahagiakan? Bukan karena dia merasa benar dan mereka wajib meminta maaf tapi dia bahagia karena akhirnya benar-benar menjadi saudara.
Di sisa waktu kunjungan, Anisa dan Natali mengatakan jika perusahaan mereka selamat dari krisis meski tanpa kerja sama dengan Tirta Group.
Adalah perusahaan Devian Hanggoro yang setuju untuk menggunakan jasa mereka.
Anisa akan memboyong suami dan anaknya ke Jakarta sementara Natali memutuskan untuk bercerai dengan suaminya.
Diam-diam Vanesa merasa tersentuh melihat betapa tegarnya Natali menghadapi hidup. Wanita yang kuat, dia hanya bisa membantu doa untuk wanita yang kini telah berdamai dengannya.
“Jangan lama-lama marah dengan Ronald, adikku sudah nyaris gila karena ingin bertemu denganmu,” ucap Anisa lirih saat mengecup pipi Vanesa untuk berpamitan.
Waktu kunjungan sudah selesai.
Sepeninggal mereka, Vanesa merenungkan kata-kata Anisa.
Dia tahu sudah bersikap jahat pada Ronald, hanya perlu waktu sedikit lagi maka semua masalah di antara mereka akan terselesaikan.
Waktu kunjungan malam, lagi seseorang yang tak terduga datang menjenguknya. Hana Belia, dengan gaun sutra hitam, melenggang masuk dengan gemulai.
Vanesa sedikit terkejut dengan kehadirannya.
Seperti tidak melihat kekagetan Vanesa, Hana Belia mengecup pipi Bu Tini dan memberikan pelukan hangat.
Lalu menghampiri Vanesa dan berkata dengan suara ramah yang tidak dibuat-buat.
“Kamu pucat, Vanes. Apa masih terasa sakit lukanya?” tanya Hana Belia.
Vanesa menggeleng.
“Sudah lumayan baik. Dari mana kamu tahu aku dirawat? Vico?”
Hana Belia menggeleng. “Bukan, tapi dari Mama Anita.”
Mata Vanesa membulat tak percaya.
Ternyata mama Vico tahu perihal kecelakaan yang menimpanya.
Bukan sesuatu yang mengherankan memang, mengingat ada Vico juga di sana.
Tentunya informasi menyebar dengan cepat.
Yang Vanesa tahu, Vico menutup rapat-rapat perihal penusukan dirinya dari media. Untuk itu dia wajib berterima kasih.
“Mama Anita menitip salam padamu. Semoga cepat sembuh.”
Vanesa mengangguk, membiarkan Hana Belia duduk di sampingnya.
Sementara Bu Tini duduk di sofa dan bercengkrama dengan suaminya.
“Aku turut prihatin,” ucap Hana Belia dengan mata berkaca-kaca.
“Melihatmu terbaring di atas ranjang karena menyelamatkan Vico menjadikanku makin tak berdaya.”
“Eih, kenapa bicara begitu?” tegur Vanesa padanya.
Hana Belia tersenyum sedih.
“Kamu wanita hebat, Vanesa.
Pantas saja jika dua laki-laki yang sekarang berdiri lunglai di depan kamar memperebutkanmu.”
“Apa?
Ronald dan Vico ada di sini?”
Hana Belia mengagguk.
“Dengar dari para suster kalau mereka di sini dan saat mendengar kamu tidak ingin bertemu, keduanya tidak memaksa.”
Dia menatap Vanesa yang menggigit bibir.
“Apa kamu marah dengan mereka?
Karena melukaimu?”
“Tidak, bukan itu. Ada sesuatu yang lain,” jawab Vanesa pelan.
Hana Belia menggenggam tangannya.
“Cepat sembuh, ya? Aku ingin belajar banyak darimu.”
“Belajar apa?” tanya Vanesa heran.
“Membuat kue, karena terakhir aku membuat cake coklat untuk Vico tanpa sengaja mengganti gula dengan garam.”
Tanpa sadar, Vanesa tertawa terbahak-bahak.
Detik berikutnya meringis karena sakit di perutnya.
Sungguh lucu membayangkan Vico makan kue asin.
Sementara di sampingnya Hana Belia hanya tersenyum malu.
Vanesa mengakui dalam hati jika Hana Belia wanita yang menyenangkan.
Tidak seperti kebanyakan wanita kaya lainnya, dia tidak malu mengakui kelemahan dirinya.
Meski cemburu dengannya tapi Hana Belia tetap menunjukkan kelasnya sebagai wanita terhormat.
Vanesa sangat menyukainya.
Jika bukan karena Vico, tentu mereka akan bersahabat dekat.
***
Di dalam kedai kopi yang terletak di lingkungan rumah sakit bagian tengah, dua orang laki-laki duduk berhadapan dengan wajah serius.
Mereka tidak memedulikan pandangan mata para wanita beserta gumaman kekaguman.
Pandangan mereka fokus pada kopi di dalam cangkir yang mengepulkan asap.
Musik mengalun pelan, memutar lagu-lagu berirama sendu.
Bunyi denting peralatan minum beradu, bersamaan dengan dengung obrolan dari setiap meja.
Tidak banyak makanan yang disediakan kedai, selain roti dan spageti.
Ronald sempat meminta menu dan ingin memesan sesuatu untuk mengisi perut tapi dia urungkan.
Menu masakan di kedai tidak ada yang menggugah seleranya.
“Apa dia masih tidak ingin bertemu denganmu?” tanya Vico sambil mengaduk pelan kopinya.
Ronald menggeleng.
“Bukankah kau suaminya?”
“Memang tapi aku sama bersalahnya seperti kamu.
Menjadi penyebab dia terluka.
Dia berhak marah padaku,” jawab Ronald sambil menghela napas.
Beberapa hari ini, selama Vanesa dirawat di rumah sakit.
Dia susah memicingkan mata untuk tidur.
Pikirannya diliputi kekuatiran dan penyesalan.
Terlebih sikap Vanesa yang menolak bertemu dengannya.
Ketakutan akan kehilangan istri membuat Ronald kehilangan nafsu makan dan membuat berat badannya menurun.
“Siapa laki-laki itu?” tanya Ronald sambil menghirup kopinya.
Vico mendesah.
“Laki-laki brengsek yang mencoba untuk membunuhku.
Dendam karena Ibunya dipecat.”
“Di mana dia sekarang?”
“Aku mengurungnya, mungkin besok akan menyerahkannya ke kantor polisi dengan tuduhan terror.”
Ronald mengalihkan pandangannya ke arah halaman rumah sakit yang ramai.
Malam mulai turun dan lampu-lampu dinyalakan untuk memberikan penerangan menggantikan matahari.
Sementara angin bertiup lembut dan menguarkan aroma kopi untuk menutupi bau rumah sakit yang identik dengan obat dan disinfektan.
Orang-orang berlalu lalang di halaman rumah sakit yang luas.
Dari tempat duduknya, Ronald melihat wajah-wajah tertunduk sedih yang berjalan bersisihan dengan pemilik wajah yang tertawa.
Setiap orang yang mendatangi rumah sakit punya cerita masing-masing.
Termasuk dirinya.
“Apa kita terlalu egois selama ini?” tutur Vico pelan.
Menyugar rambut pendeknya.
“Kita bertengkar memperebutkannya dan justru membuat dia terluka.”
“Bukan hanya terluka tapi nyaris terbunuh!”
“Ya Tuhan, bisa kau bayangkan jika itu terjadi?
Aku bisa gila memikirkannya.”
Ronald menyandar pada punggung kursi, tanpa sadar mendesah.
“Aku pun sama, untunglah tidak terjadi.
Karena jika dia kehilangan nyawa karena kita, aku pun tidak sanggup hidup menahan rasa sesal.”
“Kita lelaki yang hanya mementingkan ego.
Terjebak pada cinta wanita yang sama.”
“Jika itu bukan Vanesa, mungkin tidak akan sama,” tukas Ronald pelan.
Vico mengangguk menyetujui.
Mereka terdiam dalam persetujuan.
Untuk pertama kalinya, Vico menyetujui perkataan Ronal.
Jika bukan Vanesa, tentu mereka tidak akan pernah berebut wanita.
Vanesa yang tangguh, cantik, baik hati tapi tegas secara bersamaan.
Dari pertemuan pertama mereka hingga sekarang, Vico merasa hatinya luluh lantak karena cinta.
Ronald pamit untuk menunggu Vanesa.
Meski tidak diijinkan masuk tapi dia tetap menunggu di rumah sakit.
Duduk di kursi pengunjung yang ada di lorong.
Kehadirannya di sana kadang menarik perhatian paramedis atau pengunjung rumah sakit tapi dia tidak peduli.
Melangkah gontai sambil mengendurkan dasi, Ronald meninggalkan Vico sendiri.
Dia merasa lelah, sepulang kantor langsung menuju rumah sakit.
Yang dia harapkan sekarang, istrinya membuka hati untuk menemuinya.
Sungguh dia merasa rindu.
Sementara itu, Vico tetap duduk merenung di teras kedai.
Menatap kepergian rivalnya dengan suasana hati yang keruh.
Seperti hal-nya Ronald, dia pun merasa rindu bertemu Vanesa.
Ketukan pelan di meja membuyarkan lamunan Vico.
Dia mendongak dan bertatapan dengan Hana Belia.
Keterkejutan melandanya, melihat kehadiran sang tunangan.
“Hana, kamu di sini?”
Hana Belia tersenyum.
Duduk di kursi yang semula adalah tempat Ronald.
Matanya yang besar memandang Vico yang duduk gelisah.
Seorang pelayan wanita datang membawa menu.
Hana Belia memesan es lemon tea.
Dia menawarkan kue pada Vico tapi menerima gelengan sebagai jawaban.
“Hana, kenapa kamu bisa di sini?” desak Vico tidak sabar.
Hana Belia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.
“Aku juga kenal Vanesa.
Memang apa anehnya aku datang menjenguk?” ucap sambil tersenyum.
“Maksudku, kenapa kamu tahu jika Vanesa dirawat?”
“Dari Mama Anita.”
“Mamaku?” tanya Vico bingung.
Makin heran dengan perkataan tunangannya.
Hana Belia mengangguk.
“Iya, Mamamu tahu jika Vanesa terluka karena ulah seseorang yang ingin melukaimu. Bukankah itu betul?”
Vico mengangguk lemah. Kembali merosot di kursinya.
“Apakah karena itu Vanesa menolak menemuimu?” tanya Hana Belia ingin tahu.
Menangkupkan tangan di atas meja.
Vico mengangkat bahu.
Mengambil cangkir di atas meja dan menandaskan kopinya.
Dia ingin menyulut rokok tapi melihat tanda dilarang merokok.
Seketika dia urungkan niatnya.
Jujur saja dia sangat membutuhkan pelampiasan sekarang.
“Dia tidak hanya menolakku tapi juga Ronald.”
“Aku tahu, Vanesa mengatakannya.”
“Benarkah?
Lalu apalagi yang dia katakan?” cecar Vico pada Hana Belia.
Seketika wajah cerah Hana Belia meredup.
Dia menarik napas dan membuangnya dengan kesal.
Tangannya yang semula dia tangkupkan di atas meja kini bersendekap.
“Ayo, katakan. Kenapa diam?” desak Vico.
“Kalau aku tidak mau mengatakan apa-apa, gimana?” tantang Hana.
“Apa maksudmu? Ini kan penting?”
“Penting untukmu bukan untukku,” tukas Hana Belia tidak mau kalah.
“Oke-oke, aku tidak akan bertengkar denganmu.
Bisakah kau katakan bagaimana keadaan Vanesa?
Apakah dia mengatakan sesuatu tentang diriku?”
Menyentakan kursi, Hana Belia bangkit dari kursi sambil menahan kesal.
Wajah cantiknya mengerut tidak senang.
Dia berkacak pinggang memandang Vico yang melihat tingkahnya dengan heran.
“Kenapa kamu?”
“Kak, bisakah kau pikirkan sedikit perasaanku?
Memang aku tahu kalau kamu mencintai Vanesa.
Tapi aku mencintaimu?
Setidaknya, bersikaplah sedikit lebih halus dengan tidak meremehkan perasaanku.”
Vico menunduk.
Memandang sehelai daun kering yang tertiup angin dan jatuh di atas sepatunya.
“Aku tidak meremehkanmu,” ucapnya pelan.
“Tidak katamu?
Lalu, tadi itu apa?
Dengan terang-terangan kau tunjukkan rasa cintamu pada Vanesa dan mengabaikan hatiku!” Suara Hana Belia meninggi.
“Dari awal kamu tahu kalau aku mencintai Vanesa.”
“Memang, dan aku yang terlalu bodoh terus mengharapkanmu.
Apakah aku perlu membunuh diriku sendiri agar kau melihat hadirku, Kak Vico?”
Ucapan Hana Belia yang memelas membuat Vico mendongak kaget.
“Kamu bicara apa, Hana?
Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak.”
“Kalau gitu katakan, bagaimana caranya agar kau melihatku?
Bagaimana caranya agar bisa membuatmu merasa sedih dan kuatir?”
Mereka berpandangan dalam diam.
Vico menatap Hana Belia yang menyapu air mata di pipi.
Hatinya merasa teriris.
Dia sungguh tidak ingin melukai perempuan mana pun termasuk tunangannya.
“Aku cemburu sekarang, cemburu pada Vanesa yang bisa mendapatkan tidak hanya hati tapi juga jiwamu.”
Matahari sudah sepenuhnya menghilang.
Gulita malam menyelimuti bumi.
Vico terpaku di tempatnya, menatap kepergian Hana Belia.
Dia tahu, gadis itu menangis.
Seharusnya, sebagai seorang tunangan dia pergi meminta maaf dan menghiburnya. Namun saat ini hatinya tertuju pada wanita lain.
Seseorang yang bahkan tidak ingin menemuinya.
Cinta memang aneh, datang pada manusia sesukanya.
Memporakporandakan hati lalu berpindah bergitu saja tanpa peduli hati yang tersakiti.
“Jika bukan karena Vanesa, aku pasti mencintaimu,” bisik Vico pada gelap malam.
Memandang bayangan Hana Belia yang makin lama makin kabur dari pandangan.
****
Bersambung
No comments:
Post a Comment