Sunday, May 3, 2020

CINTA TIGA HATI 26

Cinta Tiga Hati 

Part 26  (Tamat)

Vico menyugar rambut dengan tangan gemetar.

Langkah kakinya terdengar nyaring di lorong rumah sakit yang sepi.

Hatinya bergetar bahagia saat Vanesa menelepon ingin bertemu dengannya.

Setelah lebih dari seminggu menolak untuk bertemu, akhirnya hari ini Vanesa meminta dia untuk datang.

Tiba di depan kamar rawat Vanesa, dia berhadapan dengan Pak Harun Drajat yang sedang duduk di bangku panjang.

Vico menganggukan kepala dan menyapa ramah.

“Apa kabar, Pak?”

Pak Harun Drajat hanya menganggukkan kepala.

“Masuklah, Vanesa sudah menunggumu.”

Tersenyum sekali lagi, Vico mendorong pintu dan berhadapan dengan ruangan berpendingin dengan bau disinfektan menyengat hidung.

Matanya menatap ruangan sekeliling yang bersih dan pandangannya membentur Vanesa yang tergolek di atas ranjang.

Bukankah mereka tidak bertemu hanya seminggu?

Entah kenapa dia melihat Vanesa jauh lebih kurus dari terakhir kali mereka berjumpa.

Wajah cantik yang kini tampak tirus dengan tulang pipi menonjol, rambut panjang yang dia biarkan tergerai di bantal dan tangan yang tersambung selang infus. Vanesa tersenyum kecil saat melihatnya.

Vico duduk di kursi di samping ranjang dan berkata pelan.

“Apa kabar, Sayang?”

“Vico, aku baik-baik saja.”

“Kamu terlihat kurus, pucat dan sakit.”

Vanesa tersenyum. “Memang lagi sakit, kalau soal kurus nggak setuju karena aku banyak makan.”

Vico mengangguk, tangannya berusaha menggenggam tangan Vanesa tapi ditepiskan.

Akhirnya dia sadar diri dan melipat tangan di depan tubuh.

“Aku senang kamu ingin bertemu denganku.

Rasanya nyaris gila selama seminggu tidak tahu kabarmu.

Apalagi semua terjadi karena aku.”

Ucapan Vico ditanggapi senyuman dari Vanesa.

“Aku butuh waktu untuk pemulihan.”

“Iya, tapi aku bisa gila selama menunggu.”

Vanesa menghela napas.

Seperti berusaha mengatur beban yang menghimpit dada.

Di sini, duduk Vico dengan segala kekuatirannya dan dia harus membuat keputusan.

Setelah beberapa hari berusaha menghindari Vico, kini saatnya bicara terus terang tentang masalah mereka.

“Siapa yang berusaha membunuhmu?” tanya Vanesa.

Vico menarik napas dan membuang dengan kesal.

Ingatan tentang Hadi membuatnya marah.

“Seorang anak dari wanita yang dipecat Papaku karena korupsi.

Dia tidak terima karena Mamanya bunuh diri dan berusaha membalas dendam.”

Vanesa mengangguk.

“Apakah dia tertangkap?”

“Iya, sudah ada di kantor polisi dengan tuduhan percobaan pembunuhan dan teror,” desah Vico dengan mata memandang lurus pada Vanesa.

“tenang saja, aku tidak akan bawa-bawa nama kamu di pengadilan.

Bukti-bukti saat dia menerorku sudah cukup untuk untuk mengadili.”

“Syukurlah, kini kamu bisa tenang.”

Vico memajukan tubuhnya.

Berusaha sedekat mungkin dengan Vanesa yang terbaring di ranjang.

Tangannya gatal ingin mengelus rambung indah wanita yang tergolek lemah di depannya tapi dia tahan, bagaimana pun Vanesa istri orang.

Dia cukup tahu diri untuk tidak bersikap bodoh.

Saat dekat seperti ini, rasa cinta Vico seperti menggelora.

Dia menyukai perasaan hangat yang dia rasakan tentang senyum dan tawa Vanesa.

Juga hati yang seperti panas terbakar saat cemburu.

Dia akui dia sangat pencemburu.

Ibarat kayu rapuh yang dimakan rayap, rasa cemburu menggerogoti kewarasannya.

Jika bukan karena Vanesa, jika tidak teringat bagaimana orang tua mereka.

Ingin rasanya Vico menculik Vanesa dan membawanya pergi jauh.

Kini, kenyataan menampar wajahnya.

Vanesa terbaring lemah di ranjang karena kesalahannya.

“Vico.”

“Ya, Sayang. Kamu mau apa?”

Vanesa menggeleng lemah.

Memandang Vico lekat-lekat sebelum bicara.

“Sekarang keadaan sudah membaik.

Aku rasa sudah saatnya kita memutuskan hubungan.”

“Apa maksudmu, putus hubungan?”

“Jangan menemuiku lagi untuk alasan apa pun!”

Ucapan Vanesa yang penuh ketegasan menohok hati Vico.

Dia tersenyum dan mengacak rambut.

Kakinya bergoyang dan tangannya mengetuk-ngetuk ranjang rumah sakit.

Semenatra Vanesa terlihat tenang tak terusik.

“Kenapa, Sayang?”

Hanya itu yang mampu dia ucapkan.

“Aku mintaa maaf jika kamu terluka.

Ijinkan aku menjaga dan merawatmu sampai sembuh.”

Vanesa menggeleng.

“Tidak, aku ingin kita tidak bertemu lagi.

“Vanesa, please?

Bisakah tidak mengatakan itu padaku?

Aku akui sudah banyak membuatmu susah.

Bahkan nyaris nyawamu melayang.”

“Justru itu,” sergah Vanesa.

“Aku nyaris mati karenamu, bukan?”

Vico menekuk wajah dan menutup dengan tangan.

Di tidak mengira jika Vanesa meminta bertemu justru untuk menjauhinya.

“Bagaimana jika kukatakan aku tidak bisa?” tanya Vico lirih.

Vanesa mengalihkan pandangannya dari wajah ke Vico ke arah jendela dengan gorden terbuka yang menampakkan cuaca langit yang cerah.

Lantai tempat dia menginap cukup tinggi, hanya terlihat gedung dan atap rumah dari tempatnya berbaring.

Terkadang ada burung melintas atau langit terlihat menyeramkan saat hujan deras dengan petir menyambar.

Dada Vanesa terasa sesak, tidak mudah memang bicara dengan Vico.

Apalagi ini menyangkut mereka.

“Vico, bolehkah aku minta imbalan karena telah menyelamatkan nyawamu?”

Vico mendongak dan memandang Vanesa berseri-seri.

“Tentu, Sayang. Katakan apa pun yang kamu mau. Jika bisa pasti aku berikan.”

Vanesa memandang lekat-lekat lalu berujar lirih.

“Jauhi aku, itu imbalan yang aku minta atas nyawamu.”

Hening, tidak ada perkataan.

Vanesa mengalihkan pandangan.

Dia takut akan luluh saat melihat ekpresi wajah Vico yang terluka.

“Bagaimana jika aku tidak mau?”

“Berarti kamu orang yang tidak cukup tahu diri, aku rasa keluarga Tirta tidak medidikmu untuk menjadi laki-laki yang tidak tahu berterima kasih.”

“Vanesa ….”

“Please, Vico.” Vanesa memohon dengan sungguh-sungguh.

“Kita sudah sama-sama dewasa.

Mau sampai kapan kita bergantung dan saling menyakiti?

Suka atau tidak, aku sudah menikah dan kamu punya Hana.

Apakah karena keegoisan, kita sanggup membuat orang-orang yang kita cintai terluka?”

Vico merebahkan kepalanya di ranjang Vanesa.

Membiarkan aroma pewangi sprei menusuk hidungnya.

Semangatnya yang membumbung sebelum menasuki kamar, kini lunglai entah kemana.

“Bagaimana aku hidup tanpamu?

Aku mencintaimu, Vanesa.”

Vanesa mengerjap, mencoba mengusir bulir air mata yang dirasa turun ke pipi.

“Dulu kamu memang mencintaiku tapi akhir-akhir ini cederung obsesif.

Kamu marah karena tidak bisa memilikiku dan berusaha segala cara untuk mendapatkanku, itu bukan cinta.”

“Vanesa …”

“Aku memohon dengan kesungguhan hati.

Tidakkah kamu melihat betapa tua dan rapuh orang tuaku?

Apa kamu ingin membuat mereka mati karena kuatir padaku?

Mereka tidak berhak mendapatkan tekanan karena kehidupan cinta putrinya.

Juga orang tuamu Vico, pikirkan perasaan mereka.”

Penjelasan panjang lebar dari Vanesa membuat Vico tidak dapat berkata-kata. Semua yang dikatakan Vanesa benar adanya.

Meski mencoba menolak, menjerit dalam hati dan tidak sanggup menerima kenyataan untuk berpisah.

Namun Vico sadar, semua kerumitan terjadi karena ulahnya.

Dia keluar dari kamar Vanesa dengan langkah gontai.

Mengangguk hormat pada Pak Harun Drajat dan istrinya yang berdiri di depan pintu.

Berbading terbalik dengan semangat yang membara saat datang.

Kini hatinya pagai terpilin, sakit sekali.

Musnah sudah harapannya untuk memiliki Vanesa.

Meski tidak rela tapi dia tak berdaya.

Apalagi saat melihat Vanesa menangis dan memohon.

Hak apa dia hingga bisa membuat wanita yang begitu dia cintai terluka?

Siapa dia harus terus-menerus menuntut pada cinta yang kini bukan lagi miliknya.

Vico berdiri di undakan tangga, tepat di depan pintu masuk rumah sakit.

Menengadahkan kepala dan memandang betapa langit cerah seperti mengejeknya. Dia berharap hujan turun dan membasahi bumi, hingga dia ada alasan untuk ikut menangis.

Nyatanya, langit pun menolak bekerja sama dengan perasaannya.

Lunglai dan tanpa semangat, Vico kalah dan ingin pulang.

***

Berita jika Vico berhasil menemui Vanesa sampai ke telinga Ronald.

Kekuatiran yang menyelimuti hatinya bertambah besar karena ini.

Berkali-kali dia bicara pada dirinya sendiri, begitu besarkan kesalahannya hingga Vanesa tidak ingin memaafkan?

Dia tahu jika perbuatannya membuat istrinya menderita tapi setidaknya, dia diberi kesempatan untuk meminta maaf.

Ronald memandang bayi laki-laki yang terbaring di sampingnya.

Tangan terulur untuk mengelus rambut halus, Sean.

Dia mungkin bisa menerima sikap Vanesa tapi bagaimana dengan Sean?

Bayi kecil ini begitu merindukan sang mama.

Setiap hari berceloteh ingin bertemu.

Sekarang, jika Vanesa memilih Vico maka musnah sudah harapannya untuk memberi mama yang baik bagi anaknya.

“Sean, mungkin memang selama ini Papa yang terlalu egois hingga membuat Mama kamu menderita.

Maafkan, Papa, ya, Nak?”

Ronald berbisik di telinga anaknya.

Menahan sedih untuk perasaan diabaikan yang tidak dia mengerti.

Sepanjang malam dia tidak dapat sedikit pun memicingkan mata hingga matahari menjelang datang.

Pikirannya penuh dengan Vanesa, Sean dan masa depan mereka.

*****

Paginya, saat menyiapkan susu untuk anaknya, sang papa mertua menelepon. Mengabarkan jika Vanesa ingin bertemu dia dan Sean.

Kebetulan memang hari minggu, Ronald berjanji untuk membawa anaknya ke sana.

Tiba di parkiran sudah ada ibu mertua yang menyambut kedatangannya.

Sean dibawa pergi oleh Bu Tini ke taman belakang rumah sakit bersama Pak Harun Drajat.

Dengan langkah gembira, Ronald menuju kamar rawat istrinya.

Perasaan rindu membuncah tak tertahankan.

Seminggu tak bertemu rasanya sewindu.

Setelah mengetuk pelan dia membuka pintu dan dihadapkan pada pemandangan indah.

Vanesa duduk di atas ranjang dengan pakaian putih untuk pasien.

Rambutnya tergerai menutupi pundak dan tangan berpegangan pada tiang infus. Terlihat pucat tapi cantik.

Apakah dia yang terlalu berlebihan karena tidak melihat istrinya sebegitu lama? Atau memang Vanesa terlihat kurus?
“Sayang, aku senang akhirnya bisa melihatmu.”

Ronald merengkuh Vanesa dalm pelukannya.

Mendekap kuat-kuat dan langsung dia lepaskan saat mendengar suara rintihan.

“Ups, maaf. Apakah aku menyakitimu?” tanyanya kuatir.

Vanesa menggeleng dan tersenyum.

“Aku baik-baik saja, Kak.

Bisakah kau membawaku keluar jalan-jalan?

Aku bosan dan ingin bertemu Sean.”

Ronald mengangguk antusias.

Memanggil suster untuk meminjam kursi roda.

Dengan hati-hati mengangkat tubuh istrinya dari ranjang ke atas kursi roda. Menutup tubuh Vanesa dengan selimut dan memastikan istrinya tidak kesakitan.

Dia mendorong kursi roda dengan pelan menyusuri lorong, masuk ke lift dan keluar di lantai satu yang ramai pengunjung.

Sepanjang jalan menuju taman tidak ada kata terucap di antara mereka.

Entah kenapa, Ronald merasa jika Vanesa menjaga jarak.

Seperti jelas terlihat keengganan di matanya.

Bisa jadi Ronald yang terlalu berprasangka.

Dia menahan diri untuk tidak bertanya.

Di sayap timur rumah sakit, agak sedikit ke bagian belakang, ada taman yang dikhususkan untuk pengunjung beristirahat.

 Ada sebuah air mancur kecil dikelilingi oleh kolam penuh ikan yang asyik berenang.

Banyak pohon ditanam di sana, menaungi tempat duduk dari batu.

Vanesa tersenyum cerah saat melihat Sean berteriak di pinggir kolam.

Anaknya sudah mulai bisa berjalan meski belum sepenuhnya lancar.

Bukankah bayi itu terlihat menggemaskan?

Dia berteriak memanggil dan Sean menoleh, menatap dirinya yang duduk di kursi roda dan berjalan tertatih digandeng Bu Tini.

“Aduh, anak Mama. Tambah ganteng, ya? Kangen, ya, sama Mama.”

Setelah puas menciumi dan mengajak Sean becanda, Vanesa harus merelakan anaknya dibawa pergi orang tuanya.

Udara terlalu panas dan sudah waktunya untuk si bayi makan siang.

Di antara angin yang bertiup semilir, mereka berteduh di bawah pohon nangka berdaun lebat.

Vanesa memandang daun yang menguning dan jatuh ke kaki.

Ingatan masa kecil menyerbunya seketika.

Dulu sekali saat masih kecil dan mereka berkunjung ke rumah nenek dan kakek. Dia dan Mili senang membuat mahkota dari daun nangka kering.

Masa kecil yang menyenangkan dan tidak mungkin lagi kembali.

“Bagaimana kabarmu, Vanes?

Apakah sudah membaik?

Adakah keluhan?” Ronald membuka percakapan, membuyarkan lamunan Vanesa.

“Aku baik, Kak. Allhamdullilah, sudah jauh lebih baik.”

Ronald menggeser duduknya, menarik kursi roda hingga kini mereka berhadapan. Dia menengadahkan wajah Vanesa, mengamati dalam-dalam.

“Kamu kurusan.”

Vanesa tersenyum. “Hanya perasaanmu saja, aku banyak makan di sini.”

“Kenapa setelah sekian hari baru ingin menemuiku?

Tidakah kamu tahu aku kuatir dan ingin bertemu?

Rasanya sungguh menyiksa.”

Vanesa menelengkan kepala, dia mengusap wajah Ronald dengan tangannya yang bebas.

“Aku butuh waktu untuk berpikir.”

Ronald menaikkan alah satu alisnya.

“Soal apa?”

“Kita, kamu dan aku juga Vico.”

“Ah, ya. Aku dengar kemarin dia menemuimu. Lalu?”

Vanesa mendesah, mengalihkan pandangan ke arah kolam yang bergemericik.

“Aku memintanya berjanji untuk tidak mengangguku lagi.”

“Apakah dia setuju?” desak Ronald ingin tahu.

Vanesa mengangguk. “Dia setuju.”

“Bagus, Sayang,” pujia Ronald dengan kegembiraan yang tidak dia tutupi.

Vanesa kembali memandang Ronald dan meraih tangannya.

Keduanya saling menggenggam sebelum suara Vanesa kembali terdengar.

“Pun demikian dengan kamu, Kak. Aku ingin kau menjauhiku.”

“Apa?”

Ronald terbeliak kaget. Takut jika dirinya salah dengar.

“Aku sungguh-sungguh, Sebaiknya lepaskan aku, kita bercerai.”

“Tidaaak, aku tidak mungkin melakukan itu.” Ronald mengubah posisi duduknya hingga menghadap Vanesa dan menangkup wajah istrinya dengan dua tangan. Bibirnya bergetar saat berucap.

“Aku salah, aku mintaa maaf.

Dengan sungguh-sungguh aku menyesal.

Beberapa hari ini rasanya hidupku seperti dalam neraka tapi aku tidak ingin berpisah darimu, istriku.”

Vanesa mendesah, menyelimuti tangan Ronald yang menangkup wajahnya dengan tangannya.

Matanya berkaca-kaca dan hatinya sakit sekali.

Memang tidak pernah mudah mengucapkan kata berpisah.

“Tidak ada gunanya kita menikah jika selalu ada curiga di antara kita.

Aku istrimu tapi kau tak pernah percaya padaku.”

“Iya, aku salah.

Aku minta maaf, bisakah kita lupakan masalah ini?

Kembali menatap hari yang baru?”

“Masalahnya, hari baru yang kuinginkan bukan bersamamu, Kak.”

“Vanes, oh, Vanes.” Ronald merintih.

Ingin memeluk dan mengguncang tubuh istrinya hingga sadar.

“Aku mencintaimu, apakah itu tidak cukup untuk membuatmu bertahan di sisiku? Demi aku, demi Sean, demi cinta kita.”

Vanesa terisak, air mata menuruni pipinya.

Dia meraih tangan Ronald dan mengecupnya.

“Aku mencintaimu juga, Kak.

Tapi bukan pernikahan penuh emosi, curiga dan cemburu membabi buta yang aku inginkan.

Lagi pula, awalnya kita menikah juga demi wasiat Mili.”

“Tidak sepenuhnya benar,” sergah Ronald.

“Aku ingin menikah denganmu sudah dari dulu.”

“Tapi aku tidak, Kak,” sanggah Vanesa keras.

Melepaskan tangan Ronald dari wajahnya dan memandang sang suami yang terlihat tertekan.

“Awalnya aku menikah denganmu karena dendam, karena kau menyakitiku.

Kamu lupa surat perjanjian yang kita buat, Kak?

Aku bahkan menolak untuk memakai gaun pengantin lain selain punya, Mili. Ingat?”

Ronald mengangguk pelan.

Vanesa kembali meneruskan bicaranya.

“Yang aku pikirkan saat itu hanya bagaimana menyakitimu, seperyi kau menyakitiku.

Bagaimana membuatmu kembali mencintaiku.

Dan aku berhasil, kamu mencintaiku kembali dengan meluap-luap dan kecemburuan buta.”

Dia mendesah. “Aku lelah, aku ingin hidup untuk mencapai mimpiku sendiri.

Tidak lagi memikirkan kebahagiaan orang lain,” ucapnya pelan.

Suaranya yang rapuh nyaris lamat-lamat karena tertiup angin.

Ronald memejamkan mata.

Mengucek kelopak mata dengan tangan.

Seperti ingin menahan air mata yang hendak mengucur keluar.

“Apa yang kau inginkan, Vanesa?” tanyanya pelan.

“Aku ingin bercerai,” ucap Vanesa mantap.

“Setelah itu aku akan pergi ke Perancis untuk sekolah pastry.

Ada seorang teman yang bersedia menampungku di sana.”

“Apa kau tega? Meninggalkan Sean?”

Vanesa tersenyum kecil.

“Itu adalah tugasmu, Kak.

Mencari ibu untuk Sean.”

Ronald berdiri, menatap Vanesa dengan galak dan mata berapi-api.

“Kamu berpikir cintaku padamu hanya berupa gumpalan gas yang gampang menguap, Vanesa.

Kamu pikir aku laki-laki penceburu yang tak tahu diri?

Gampang berganti hati dari satu wanita ke wanita lain?

Apa serendah itu kamu menilaiku?”

Vanesa mengatupkan mulutnya.

Merasa jika telah salah bicara.

Kembali dia meraih tangan Ronald dan menangkupkan di wajahnya.

“Maaf, jika sudah melukaimu. Aku hanya ingin kamu bahagia.”

“Aku bahagia jika ingin bersamamu.

Jika memang kamu ingin pergi meraih cita-cita, pergilah!

Aku tidak akan melarang, tapi ijinkan aku menunggumu.

Itu, jika kau ingin ditunggu.”

Vanesa meraih tubuh Ronald dan mendekapnya.

Mau tidak mau, Ronald berjongkok di depan istrinya.

Meraih wajah Vanesa yang berlinang air mata.

“Maafkan aku jika selalu menyakitimu,” desahnya pelan.

“Kak, aku ingin menikah denganmu karena cinta.

Bukan karena Mili atau istilah turun ranjang apa pun itu.

Berilah aku kesempatan untuk mencari jati diriku.”

Ronald meraih tangan Vanesa dan mengecupnya.

Menghapus air mat di pipi sang istri.

Keduanya berapandangan dengan perasaan membuncah.

“Pergilah! Aku akan ada di sini, menunggumu kembali.

Bersama Sean dan cinta kita.”

Vanesa menangis tersedu-sedu.

Merasakan Ronald mendekapnya erat.

Mereka saling bertangisan untuk berapa lama.

Hingga rasa penat di dada terbuyarkan oleh air mata.

Seiring dengan tangis sendu mereka, angin bertiup agak kencang.

Membuat tanah kering berputar-putar dan meniupkan debu-debu yang menusuk mata.

Selama hampir setahun mereka bersama, dalam perkawinan dan menjalin rasa. Siapa sangka, perputaran nasib justru membuat hati mereka terluka.

Ronald sadar jika Vanesa membutuhkan waktu untuk mempercayainya kembali dan dia akan buktikan jika dia layak dimiliki.

Tidak peduli setahun, dua tahun atau mungkin juga lima tahun Vanesa ingin pergi. Ronald akan menunggunya kembali.

Membawanya mencapai mahligai rumah tangga.

Mungkin di masa depan mereka akan sungguh-sungguh saling mencinta bukan karena turun ranjang dan terpaksa karena perjodohan orang tua.

“Vanesa, aku mencintamu, selalu,” bisik Ronald di atas kepala Vanesa.

Di sela daun yang berguguran dan aroma tanah kering menyergap indra penciuman.

*** The End ***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER