BAGAI REMBULAN 14
(Tien Kumalasari)
Susan berdiri dengan wajah muram. Sungguh ia tak ingin bekerja diperusahaan Aliando. Umi menatap dengan heran.
“Ada apa denganmu?”
“Batal, aku nggak jadi melamar. Mana berkasku?”
“Susan ?”
“Mana berkasku?”
“Ini ? Berkas lamaran ini?”
“Iya, berkas apa lagi?”
“Jadi.. kamu nggak jadi?”
“Nggak, aku nggak mau berkerja diperusahaan ini. Terimakasih atas kebaikan kamu,” kata Susan kemudian pergi setelah mengambil kembali map berisi lamaran yang dia buat.
“Susan !” teriak Umi sambil berdiri dan mengejarnya.
Tapi Susan terus berlalu. Membuat Umi heran tak mengerti. Ia menghempaskan tubuhnya dikursi setelah gagal mengejar Susan.
Sebuah dering interkom membuat Umi segera mengangkat pesawat itu.
“Ya pak, segera.”
Umi berdiri dan bergegas pergi ke ruangan Liando.
“Ya, pak.. “
Bos ganteng itu duduk dengan menyandarkan tubuhnya, menatap Umi yang datang sendirian.
“Mana sekretaris yang kamu bilang sudah siap?”
“Ma’af pak, dia kabur.”
Liando menatap Umi dengan heran.
“Apa maksudmu kabur?”
“Tiba-tiba dia pergi dengan wajah marah.”
“Ada apa?”
“Saya tidak tahu pak, tadinya dia sudah sangat bersemangat, lalu tiba-tiba saja berubah.”
“Kok aneh?”
“Sangat aneh pak, atau.. ketika tiba-tiba melihat bapak lewat ya?”
“Maksudmu, setelah melihat aku, maka dia membatalkan lamarannya?”
“Sepertinya begitu pak, apa dia mengenal bapak ya?”
“Siapa namanya?”
“Susan Januarti.”
“Dia ?”
“Bapak mengenalnya?”
“Saya tahu dia, ya sudah, cansel dulu kebutuhan sekretaris itu.”
***
Sepeninggal Umi, Liando termenung di kursinya.
“Kalau benar dia Susan, mengapa menolak dan membatalkan lamarannya setelah tahu bahwa ini perusahaanku? Bukankah dia selalu berusaha mendekati aku dan kalau jadi maka keinginannya akan berhasil?” gumam Liando.
Pekerjaan di kantor sangat banyak. Ada beberapa proposal yang menunggu persetujuan kerja sama, tapi belum disentuhnya. Karenanya dia menelpon kerumah untuk tidak bisa makan siang dirumah seperti biasanya.
“Memangnya kenapa Liando?” tanya bu Diana.
“Pekerjaan belum selesai mama.”
“Masakan bu Tikno hari ini sangat enak, menyesal kalau kamu tidak pulang makan siang.”
“Sisain dong buat Liando, nanti Liando makan setelah pulang.”
“Baiklah, selamat bekerja ya nak.”
“Ya mama, terimakasih.
Liando membuka berkas demi berkas, tapi pikirannya melayang kearah calon sekretaris yang membatalkan lamarannya.
“Sombong sekali dia. Ini perusahaan besar yang menjajikan salary menggiurkan. Ada apa?”
Siang itu Aliando makan disebuah rumah makan. Ia memilih sebuah bangku kosong disudut ruangan. Tapi tanpa dinyana, matanya menatap kearah bangku didepannya. Ada Umi disana dan seorang gadis yang makan sambil berbincang. Susan.
“Kamu sungguh bodoh. Jarang ada perusahaan berani menggaji sekretarisnya sebesar itu.”
“Biar saja, aku tidak suka.”
“Susan, pikirkanlah lagi.”
“Tidak, tidak.. dan tidak.” Kata Susan tandas.
“Memangnya ada apa?”
“Yang kamu sebut bos kamu itu, orangnya sombong, sok ganteng sendiri sedunia. Ogah aku ! Dan amit-amit, jangan sampai aku bertemu lagi sama dia.”
“Pak Liando itu sangat baik San.”
“Sudah hentikan ocehan kamu. Aku memang butuh pekerjaan tapi tidak ditempat kamu bekerja. Tolong carikan yang lain.”
Liando menikmati makan siangnya sambil telinganya menguping kearah perbincangan dua wanita didepannya. Agak penasaran dia dikatakan sombong, sok ganteng.
“Rupanya dia sakit hati karena aku acuh tak acuh padanya, dan sekarang dia membenciku. Baguslah. Sekarang aku mengerti bahwa gadis itu punya prinsip dan harga diri,” kata hati Liando.
Ketika Umi dan Susan berdiri karena sudah selesai makan, Aliando memanggilnya.
“Umi !”
Umi terkejut bukan alang kepalang.
“Oh, ada pak Liando, ma’af saya tidak tahu, tak biasanya bapak makan disini.”
“Baru ingin makan disini. Oh ya, panggil kembali gadis yang tadi melamar. Bilang bahwa aku yang memintanya.”
Umi terkejut, tapi Susan yang sekilas mendengarnya terus berlalu, tak sedikitpun menoleh kearah Liando.
***
Siang itu Dayu dan Adit baru bisa kerumah Naya, karena bu Diana menahan mereka sampai sore. Mereka langsung dipersilahkan masuk kekamar Naya. Naya terkejut, bergetar hatinya melihat Dayu, tapi pasti ada Liando, Naya menata batinnya.
“Mas Naya sakit apa?” tanya Dayu sambil memegang tangan Naya.
“Sakit cinta barangkali.” Sambung Adit bercanda.
Naya tersenyum. Mengira ada Liando bersama mereka Naya menatap kearah pintu.
“Kalian sama siapa?”
“Cuma berdua. Ma’af, kemarin belum bisa kemari, pulang dari rumah bu Diana sudah sore, lalu ketiduran karena capek,” kata Adit.
“Cuma berdua?” Wajah Naya tampak berseri.
“Sakit apa sih mas, tumben pake sakit segala?” tanya Dayu lagi.
“Aku kan sudah bilang, dia sakit cinta. Selama ini kan belum pernah jatuh cinta?” canda Adit membuat Naya tertawa lebar.
“Iya ‘kali..” jawab Naya.
“Ooo.. sakit cinta..” kata Dayu dan Adit hampir bersamaan.
Naya tersenyum senang.
“Gadis mana yang beruntung mendapatkan cinta kamu mas?” tanya Dayu, tanpa dosa. Padahal dialah yang sedang membuat Naya sakit cinta.
Naya menatap Dayu, tanpa kata, lalu mengalihkan pandangannya kelangit-langit. Tampaknya sedang menata debar jantungnya.
Dering ponsel Dayu membuyarkan debar hati Naya. Pasti Aliando.
“Ya, Liando..”
Tuh kan.. Naya memejamkan matanya.
“Kamu lagi dimana ?”
“Dirumah mas Naya, dari kemarin belum bisa menjenguknya.”
“Sakit apa dia?”
“Katanya sakit cinta,” kata Dayu sambil tertawa.
“Kamu tuh. Ya sudah, tungguin aku disitu, nanti aku jemput kamu.”
“Baiklah..”
“Nggak kantoran dia?” tanya Adit setelah Dayu selesai bicara.
“Dari kantor sepertinya.”
“Mas Naya, sekarang merasakan apa? Tadi Dayu membawa pisang, mau ya?” tanya Adit.
“Tidak merasakan apa-apa, cuma sedikit mual. Kemarin panas, tapi sudah baikan.”
“Makan pisang ya? Aku tuh suka pisang, jadi aku bawakan saja pisang. Bukankah pisang itu sehat?” kata Dayu sambil mengambl sebuah pisang.
“Enak, aku suapin?” tanya Dayu yang tanpa menunggu jawabannya langsung mengupasnya dan menyuapkannya ke mulut Naya.
Naya menerima suapan pertama, kemudian meminta pisang itu, untuk dimakannya sendiri.
“Tidak usah disuapin.”
“Habiskan ya..” kata Dayu.
“Anak-anak, minuman kalian ada diluar ya,” kata Seruni sambil melongok kedalam kamar.
“Terimakasih bu Indra.”
Naya makan pisangnya perlahan, tapi Dayu senang, sebutir pisang dihabiskannya.
“Lagi?” tanya Dayu. Naya menggeleng.
“Kenyang.”
“Baiklah, nanti boleh dimakan lagi, atau mas Naya pengin yang lain?”
Naya menatap Dayu lekat-lekat, Dayu merasa aneh menerima tatapan itu.
Suara mobil memasuki halaman terdengar dari kamar Naya. Naya sudah tahu bahwa impiannya akan kandas. Ia menghela nafas dan memejamkan matanya.
“Pusing mas?” tanya Dayu.
Naya hanya menggelengkan kepalanya.
***
Sudah tiga hari ini Lusi mendiamkan saja Susan. Ia kesal karena ketika dirumah bu Diana tiba-tiba dia menghilang, sementara dia ingin memamerkan kepada para tamu bahwa anaknya adalah calon menantu bu Diana. Susan tak perduli. Ia benci sekali pada Aliando. Sombong, sok ganteng sendiri sedunia. Ogah aku!”
“Susan,” panggilan itu mengejutkan Susan yang sedang melamun di teras.
“Umi? Ngapain kamu kemari? Nggak kerja?”
“Aku menelpon kamu, ponsel kamu mati.” Kata Umi sambil duduk didepan Susan.
“Memang aku matiin.”
“Susan, pak Liando menyuruh aku memanggil kamu.”
“Memanggil apa? Untuk apa?”
“Mungkin pak Liando mau menjadikan kamu sekretarisnya.”
“Tidak Umi, aku sudah bilang tidak.”
“Tapi pak Liando sendiri yang memintanya.”
“Bilang nggak usah, aku sudah menyiapkan lamaran untuk perusahaan lain.”
“Susan, pikirkan lagi.”
“Aku kan tidak melamar ke perusahaan Liando? Kok dia memanggil aku?”
“Aku menceritakan pada dia bahwa tadinya kamu melamar, lalu tiba-tiba kamu membatalkannya. Entah mengapa pak Liando minta agar aku memanggil kamu kekantornya.”
“Tidak mau.”
“Susan, kamu tidak butuh pekerjaan? Ini perusahaan besar, salarynya menggiurkan.”
“Tidak, memangnya aku butuh uang? Aku hanya butuh pekerjaan.”
“Apa bedanya? Orang butuh pekerjaan karena butuh uang kan? Ayolah San.”
“Tidak Umi, tolong jangan lagi memaksa aku.”
“Kamu serius? Benar-benar menolaknya? Jangan menyesal nanti ya.”
“Aku menolak seribu persen serius dan tidak akan menyesal.”
***
“Kerumah mama dulu ya?” kata Liando ketika sudah bersama Dayu.
“Terserah kamu saja.”
“Temani aku makan.”
“Belum makan sudah hampir sore ini?”
“Sudah, sedikit. Hari ini ada yang aneh di kantor.
“Apa tuh?”
“Bagian HRD menawarkan seorang sekretaris, katanya nggak ada celanya. Cantik, pintar. Tapi tiba-tiba ketika melihat aku, dia membatalkan lamarannya.”
“Lho.. kok aneh ?”
“Dia Susan.”
“Susan? Itu aneh sekali.”
“Aku mendengar dia ngomongin aku sama karyawanku, katanya aku sombong, sok ganteng.”
Dayu tertawa keras.
“Kok tertawa?”
“Masa sih dia bilang begitu?”
“Aku penasaran. Tampaknya Susan berbeda dengan ibunya. Mungkin dia benci aku karena aku selalu mengacuhkannya. Menurutku itu bagus, dia punya prinsip, tidak seperti mamanya yang tak punya malu.”
“Lalu bagaimana ?”
“Aku suruh Umi memintanya untuk kembali.”
“Kamu mau menerima dia sebagai sekretaris kamu?”
“Mungkin ya.”
“Baguslah, jadi kalian bisa saling dekat, siapa tahu cinta bisa tumbuh perlahan.”
“Kok gitu? Ya nggak mungkin Dayu, cintanya aku cuma sama kamu.”
“Liando, kamu lupa bahwa aku ini adik angkat kamu?”
“Cuma adik angkat. Tapi kamu juga kekasih aku.”
“Mama kamu tidak mengharapkan itu.”
“Dunia akan berputar, sikap manusia juga akan berubah. Aku yakin mama akan melupakan bu Lusi. Sudah tampak kok kalau mama semakin nggak suka sama bu Lusi. Itu saja aku belum mengatakan pada mama bahwa Anjas hampir menculik kamu. Kalau aku cerita, pasti mama akan berfikir lagi untuk meneruskan tali perjodohan itu. Apalagi Susan membenci aku, pasti dia menolak anjuran mamanya.”
“Iya, kemarin ketika bu Lusi datang ke acara syukuran bu Diana, tiba-tiba Susan menghilang.”
“Ada tanda bahwa dia menolak perjodohan itu, aku bersyukur.”
Ponsel Liando berdering, dari Umi.
“Ya, Umi, ada apa?”
“Bapak sudah pulang?”
“Mau pulang, dalam perjalanan. Ada apa?”
“Susan menolaknya.”
“Menolak?”
“Saya sampai datang kerumahnya untuk membujuk dia, tapi dia tetap menolak. Dia bilang mau melamar ke perusahaan lain.”
“O, baiklah, terimakasih Umi.”
Liando menghela nafas.
“Ada apa?”
“Susan menolak bekerja ditempatku, Umi sudah merayunya, dia tetap menolak.”
***
Lusi marah-marah karena Susan tidak mau mendengar kata-katanya. Sa’at dirumah, Susan pasti langsung masuk kedalam kamar, dan menghindari berbicara dengan mamanya.
Didalam kamar Susan membuat lamaran lagi. Ia membaca sebuah lowongan pekerjaan disebuah perusahaan. Semua data yang diperlukan masih ada, tinggal membuat surat lamaran baru.
Oke, semua siap. Besok pagi Susan harus kesana. Persetan dengan perusahaan dengan salary selangit itu. Dia tak sudi dianggap sebagai pengemis. Kemarin-kemarin mengemis cintanya, sekarang mengemis pekerjaan. No way.. ! Itu bukan Susan.
Susan tersenyum setelah mengamasi surat-surat yang diperlukan, lalu memasukkannya kedalam sebuah map. Dengqn rasa nyaman dia membaringkan tubuhnya diranjang.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.
“Kirain mama tak mau lagi bicara sama aku,” gumamnya sambil bangkit untuk membuka pintu.
“Ada apa ma?”
“Keluar, ayo bicara sama mama,” kata Lusi sambil menarik tubuh anaknya ke sofa.
“Ada apa ma?”
“Mengapa kamu selau menghindari mama?”
“Tidak apa-apa ma, Susan hanya capek.”
“Mama sudah mendengar dari Umi bahwa kamu melamar diperusahaannya Aliando, dan kamu menolak karena kamu tidak suka sama Liando. Apa maksudmu?”
“Mama, Susan harus memilih pekerjaan yang cocog buat Susan.”
“Setelah mama tahu itu Aliando yang meminta, mama setuju kamu bekerja disana. Mengapa menolaknya? Datanglah kembali kesana, itu kesempatan bagus untuk kamu bisa mendekati dia.”
“Tidak, Susan tidak suka ma.”
“Susan, mengapa sekarang kamu selalu menentang mama? Mama melakukan ini semua untuk kamu! Bukan untuk mama.”
“Untuk mama. Karena mama menginginkan kekayaan keluarga tante Diana.”
“Tutup mulutmu Susan.”
Susan tak ingin berdebat lagi, ia berlari masuk kedalam kamar dan menguncinya. Lusi membanting kakinya dengan kesal.
***
Susan baru saja melangkah mau memasuki ruangan HRD yang berada beberapa langkah didepannya, ketika tiba-tiba dilihatnya seseorang. Dengan jas dan pakaian resmi yang dikenakannya, tampaknya dia pasti pejabat di kantor itu. Tapi Susan merasa seperti pernah melihat priya bertubuh tegap dan masih tampak keren meskipun usianya tidak muda lagi. Susan tetap berdiri tegak, menunggu priya gagah itu lewat. Dan priya itu tiba-tiba juga berhenti ketika tiba disampingnya.
“Kamu.. bukankah kamu anaknya Lusi?”
***
Besok lagi ya
No comments:
Post a Comment