BAGAI REMBULAN 13
(Tien Kumalasari)
Seruni tertegun, menatap suaminya seakan mohon pendapatnya.
“Mengapa Dayu?” tanya Seruni.
“Anak kita suka sama Dayu?”
“Ya Tuhan.. mas, cepat panggil dokter dulu.” Kata Seruni yang kemudian mengambil lap dan air dingin untuk mengompres kening Naya.
Dan bisikan-bisikan sama masih terus terdengar. Naya selalu memanggil nama Dayu. Ini membuat Seruni sedih. Naya memang tak banyak bicara. Semua yang dirasakannya selalu terpendam didalam hati. Dan ketika dia jatuh cintapun juga tak pernah diutarakan. Sekarang Seruni mengerti, Naya mencintai Dayu.
“O.. anakku, kasihan kamu terlambat mengatakannya. Dan ibu juga terlambat mengetahuinya. Mungkinkah Dayu mau menerima seandainya dia putus sekalipun dengan Aliando?” bisik Seruni lirih, sedih.
“Mas Naya kenapa bu, bapak memanggil dokter?”
“Iya, kakakmu tiba-tiba badannya panas seperti ini.”
“Ya ampun mas, sini bu, biar Yayi yang mengompres. Kenapa tiba-tiba begini?”
“Dayu....” bisiknya pelan.
“Maas !! Kamu ngomong apa??”
Yayi memijit-mijit tangan Naya, sambil sesekali mengganti lap yang dipergunakan untuk mengompres.
“Maaas... kamu..?”
Mata Naya terpejam, bibirnya seperti gemetar.
“Mas, aku adikmu.. Yayi.. kok kamu manggilnya Dayu sih?”
Naya membuka matanya, badannya masih menggigil. Yayi mengambil bantal ditumpuk diatas tubuh Naya supaya lebih anget.
“Dayu.. ? Kamu.. Yayi..?”
“Yayi mas.. sekarang sabar ya.. Yayi kompres mas Naya biar panasnya turun. Bapak sedang memanggil dokter.”
“Aku kenapa?”
“Lha ya kamu kenapa?”
Aku kedinginan.”
“Sabar ya mas, sudah aku tumpuk-tumpuk bantal nih, sudah aku peluk.. lebih hangatkah? Kamu itu nggak pernah sakit, sekalinya sakit kok membuat semua orang ketakutan begini.”
“Nggak tahu aku, aku cuma merasa lemas tadi, lalu pengin tidur..” katanya lemas.
“Mas memanggil-manggil nama Dayu?”
“Apaa?”
“Mengapa Dayu?”
Tiba-tiba Naya mengatupkan mulutnya, mengapa Yayi bertanya begitu? Naya justru bingung sendiri.
“Dokter sudah datang,” kata Indra yang kemudian membuka pintu lebar-lebar.
“Ada apa ini, anak ganteng?” sapa dokter Bram yang sudah menjadi langganan sejak Naya masih kecil.”
Naya tak menjawab.
“Wouw, badannya panas sekali. Jajan diluaran tadi?”
Naya menggeleng.
Dokter Bram memeriksa Naya, dan kemudian mengambil sesuatu didalam tasnya.
“Disuntik ya?”
Tapi dokter itu tak membutuhkan jawaban. Seruni dan Indra berdiri agak jauh, masih dengan wajah khawatir.
Ketika selesai, dokter menuliskan resepnya.
“Sakit apa anak saya dokter?”
“Mungkin kecapekan, tapi saya akan menunggu dulu, kalau sampai besok masih panas lagi, bawa kerumah sakit, saya curiga ada gejala thypus.”
“Apakah itu berbahaya?”
“Semua penyakit yang tidak segera tertangani, akan bahaya. Jangan khawatir. Sebentar lagi panasnya akan turun, tapi kalau besok suhunya naik lagi, bawa saja kerumah sakit.”
“Baik dokter.”
“Ini resepnya, hanya untuk tiga hari. Semoga bisa membaik.”
Dokter itu berbincang sebentar dengan Indra, sambil diantarkannya keluar. Lalu Indra berpamit keluar untuk membeli obat.
Yayi dan Seruni masih menunggui Naya . Yayi memijit-mijit kakinya. Tapi merasa lega ketika semakin lama Naya tak lagi menggigil, keringat mulai membasahi keningnya.
“Bajunya basah keringat, tolong Yayi, ambilkan kaos kakakmu yang bersih.”
***
Semalaman Seruni menunggui Naya, tidur disebelahnya. Senang melihat anaknya tidur lelap sampai pagi. Ketika terbangun, dilihatnya Naya sudah membuka matanya. Seruni memegang keningnya yang sudah terasa dingin. Ia turun dan membetulkan letak selimut Naya.
“Ibu buatkan minum ya?”
Seruni kebelakang, tapi dilihatnya mbak Darmi sudah membawakan segelas teh hangat.
“Untuk mas Naya bu, masih hangat.”
“Oh iya, terimakasih mbak Darmi, tolong Naya dibuatkan bubur ya mbak.”
“Iya bu.”
Seruni kembali kekamar, meminumkan teh hangat untuk Naya.
“Bagaimana perasaanmu sayang?” tanya Seruni lembut.
“Baik ibu..” Naya cuma merasa lelah.
“Baiklah nak, kamu istirahat dulu.sebentar lagi makan bubur dan minum obat seperti semalam. Ibu sholat dulu ya.”
Setelah sholat ditemuinya Indra sudah duduk diruang tengah.
“Naya sudah baik kan ?” tanya Indra.
“Sudah tidak panas lagi, semalam sudah tidur nyenyak.”
“Iya, kamu juga sangat nyenyak, sampai mendengkur,” goda Indra.
“Iih.. bohoooong, masa sih aku mendengkur?” teriak Seruni lalu mencubit lengan suaminya.
“Semalam aku dua kali masuk kekamar Naya, memegang dahinya sudah tidak panas, dan kamu sangat pulas... dan...”
“Mendengkur ?”
“Nggak, nanti aku kena cubit lagi..” jawab Indra sambil tertawa.
“Nanti kita kan mau ke bu Diana, bagaimana nih, Naya ditinggal dirumah saja?”
“Ya ditinggal saja, kan lagi sakit.”
“Tapi aku masih mikir lho, kok Naya ngigaunya Dayu sih ?”
“Nah, itu juga aku pikirkan semalaman.”
“Jangan-jangan dia suka sama Dayu.”
“Ya Tuhanku....”
“Anak itu selalu menyembunyikan perasaannya. Siapa yang tahu kalau dia suka sama Dayu? Kalau dia tidak mengigau semalam, kita tidak pernah memikirkannya.”
“Dia harus bisa menghadapi kenyataan.”
“Aah.. ternyata jadi anak muda rumit ya?”
“Aku kira itu hal biasa, jangan terlalu difikirkan. Naya sudah dewasa, pasti sudah mengerti apa yang harus dilakukan, mana yang baik dan mana yang tidak.”
“Ibu... mas Naya nggak mau makan..” teriak Yayi dari dalam kamar Naya.
“Lho.. kenapa?”
“Minta disuapin ibu..”
“Ya ampun, ya sudah.. biar ibu suapin.”
Indra geleng-geleng kepala melihat Seruni melangkah kearah kamar anaknya.
“Ketika sakit, anak-anak hanya membutuhkan ibunya,” gumamnya perlahan tapi kemudian dia mengikuti kedalam kamar anaknya, dan melihat Naya menerima makanan yang disuapkan ibunya.
“Hm, sudah besar kolokan juga sama ibu. Disuapin bapak mau nggak?” kata Indra yang tampaknya iri melihat Naya mau disuapin ibunya.
“Mau ya, disuapin bapak?” kata Seruni sambil mengulurkan piring berisi bubur kepada suaminya.
Naya tersenyum, tapi tidak menolak.
“Ayo.. haaakk..” kata Indra.
Naya membuka mulutnya, tapi bubur itu berlepotan kepipi dan dagunya.
“Gimana sih mas..” tegur Seruni.
Indra tertawa.
“Mana tissue.. mana tissue.. “ kata Indra sambil menerima tissue yang diberikan isterinya, lalu mengelap pipi dan dagu Naya.
“Jangan terlalu penuh mas, bubur itu kan lembek, ada kuahnya pula,” kata Seruni.
“Oke, kali ini pasti oke,” kata Indra.
“Aduuuh.. enak ya, disuapin ibu sama bapak, aku juga mau...” kata Yayi merengek.
Naya tersenyum melihat ulah adiknya, yang cemberut sambil merangkul ibunya dari belakang, menampakkan wajahnya yang tampak lucu dari pundak ibunya.
“Nanti, ibu bapak sama Yayi mau kerumah bu Diana, kamu dirumah ya sama mbak Darmi, jangan susah kalau sa’atnya makan, dan obatnya diminum. Kalau nggak sembuh juga harus dirawat dirumah sakit lho.”
“Iya bu, salam ya...”
“Buat Dayu ?” tiba-tiba Yayi nyeletuk begitu saja.
“Tidak, buat semua,” elak Naya yang belum juga sadar bahwa mereka sudah mendengar igauannya ketika panas badannya sangat tinggi.
Bapak dan ibunya diam saja, Seruni menyikut pinggang Yayi pelan.
***
“Yayi, kamu jangan nakal, kakakmu tidak sadar bahwa dia mengigau menyebut nama Dayu. Kamu kan tahu bahwa kakak kamu itu pemalu?”
“Kasihan kalau benar mas Naya suka sama Dayu.”
“Naya bukan anak kecil lagi, dan ibu yakin bahwa dia lebih dewasa dalam memikirkan apa yang harus dilakukannya.”
“Iya, sekarang aku mau mandi dulu ya bu.”
“Mandilah, kita harus berangkat lebih pagi karena harus nyamperin bu Tikno juga.”
Tapi tak lama setelah itu Adit menelpone bahwa mereka sudah dijemput Aliando, jadi nggak usah nyamperin.
“Ya sudah mas, kebetulan, karena ibu juga harus merawat mas Naya lebih dulu, jadi berangkat agak siangan ya.” Jawab Yayi ditelpone.
“Lho, mas Naya sakit apa?”
“Nggak tahu tuh, semalam badannya panas, sampai-sampai bapak memanggil dokter segala.”
“Sekarang keadaannya bagaimana ?”
“Sudah tidak panas lagi, dan sudah mau makan bubur, tapi kalau nanti panasnya berlanjut harus dibawa kerumah sakit.”
“Aduh, semoga tidak apa-apa. Ya nanti sepulang dari bu Diana aku mau menengoknya kesitu.”
“Baiklah.”
“Aliando sudah datang nih.”
“Ya, syukurlah. Aku juga baru mau mandi nih.”
“Ih, belum mandi ya? Baunya sampai kesini nih.”
“Bau wangi kan ?”
Yayi bergegas kekamar mandi sambil tersenyum-senyum. Bagaimanapun berbicara dengan orang yang dicintai itu menyenangkan. Masa sih?
“Kok senyum-senyum sendiri?” tegur Indra ketika keluar dari kamar mandi.
“Nggak apa-apa bapak, mas Adit barusan menelpon, kita nggak usah nyamperin bu Tikno karena Aliando sudah menjemput kesana.”
“Oh, kalau begitu kita tidak usah tergesa-gesa.”
***
“Mas Naya sakit apa? Kemarin baik-baik saja.” Tanya Dayu kepada kakaknya.
“Gara-gara kamu numpang pagi kemarin tuh !” canda Adit.
“Enak aja.. Nanti kita kesana setelah dari bu Diana ya?”
“Sakit apa dia?” tanya Aliando yang sudah menunggu dirumah Dayu.
“Kata Yayi semalam badannya panas.”
“Mungkin kemarin itu dia sudah merasa sakit.”
“Memangnya kenapa? Tanya Dayu.
“Aku melihat seperti aneh, seperti bingung gitu.”
“Mas Naya itu kan orangnya pendiam, jadi kalau sakitpun nggak pernah bilang. Setelah benar-benar nggak bisa bangun baru ketahuan kalau dia sakit,” kata Adit.
“Ayo berangkat, semua pesanan sudah masuk kedalam mobil ?” kata Tikno tiba-tiba.
“Sudah bapak, apa ibu sudah siap?”
“Sudah, siapa yang sakit, tadi bapak dengar ada yang sakit.”
“Mas Naya bapak, semalam panas, nanti pulangnya kami mau kesana menjenguk dia.”
“Ya, bagus, karena dia juga keluarga kita.”
***
“Ini sungguh keterlaluan. Dirumah keluarga Diana ada pesta dan kita tidak diundang?”
“Ada apa ma?” tanya Susan ketika melihat mamanya marah-marah.
“Itu, tante Diana ternyata syukuran hari ini, kok kita tidak diberi tahu, apa dia lupa bahwa mama ini calon besannya?”
“Kok mama tahu?”
“Ada temannya mama yang diundang, mama malu kok sampai tidak tahu. Benar-benar keterlaluan.”
“Ya ampun ma, nggak apa-apalah kalau memang tidak diundang, masa sih tidak diundang kok marah-marah?”
“Susan, kamu itu bagaimana sih?. Kamu lupa bahwa tante Diana itu calon mertua kamu? Masa dia tidak memberi tahu kita, apalagi mengundangnya.”
“Ah, mama memikirkan itu lagi, aku sudah bosan ma.”
“Kamu jangan bicara sembarangan. Sebentar, mama mau menelpon tante Diana dulu.”
“Hallo...” jawaban dari seberang dengan suara keras, ternyata yang menerima simbok.
“Lho, ini siapa ? Kok beraninya kamu membka ponselnya ibu?”
“Ibu yang nyuruh bu, kalau ada telpon suruh simbok yang menerima, kalau penting baru diserahkan ibu. Ibu lagi sibuk, didepan banyak tamu.”
“Ya sudah serahkan saja ini sama ibu.”
“Apa ini penting?”
“Ya penting dong mbok, kamu sudah tahu aku ini siapa?”
“Mendengar nada suaranya simbok sudah tahu, bu Lusi kan?”
“Ya sudah serahkan saja pada ibu. Kamu lupa ya aku ini bakal besannya majikan kamu?”
“Baiklah, sebentar,” kata simbok dengan kesal.
Diluar bu Diana sedang duduk dikursi rodanya, tapi dengan ramah menyapa tamu-tamunya, simbok agak ragu-ragu memberikan ponselnya, tapi yang namanya calon besan itu pasti mencak-mencak kalau tidak disampaikan.
“Ibu.. ma’af.”
“Ada apa mbok?”
“Ini ada telpon buat ibu.”
“Dari siapa ?”
“Dari bu Lusi.”
“Oh iya, aku lupa memberi tahu,” kata bu Diana sambil menerima ponselnya.
“Hallo jeng, ma’af saya lupa, saya syukuran hari ini.”
“Lha iya to mbakyu, sama calon besan kok bisa lupa.”
“Habis yang ngurus semua Liando dan simbok, ya sudah jeng, datang saja sekarang, baru mulai kok.”
“Huuh, enak saja lupa, omel Lusi ketika sudah menutup ponselnya.
“Susaaaan, nah.. bagus kamu sudah siap, ayo kita berangkat.”
“Berangkat kemana ma?”
“Kerumah tante Diana lah, kan kita diundang.”
“Mama yang minta diundang, bukan mereka mengundang,” sergah Susan dengan kesal.
“Susan, jangan membantah mama. Kamu kan sudah siap?”
“Susan mau pergi sama teman Susan ma, bukan kerumah tante Diana.”
“Tidak dan tidak. Ayo kamu harus ikut mama sekarang.”
“Mama...”
“Cepat Susan, jangan membantah apa kata mama !” hardik Lusi sambil menarik tangan anaknya.”
***
Tapi di acara itu perhatian bu Diana banyak tercurah kepada keluarga Tikno dan Indra beserta anak-anaknya. Mereka bergerombol disekitar bu Diana, diantara tamu-tamu lainnya.
Lusi yang datang memaksa duduk disamping bu Diana, dengan menarik sembarang kursi yang ada didekat sana.
Salah seorang yang baru datang menyalami bu Diana lalu Dayu, karena Dayu memang disuruh duduk dekat bu Diana.
“Inikah calon menantunya jeng? Cantik sekali.” tanya tamu itu sambil menunjuk kearah Dayu.
“Oh ini..”
“Bukan ibu,” jawab Dayu sambil tersenyum manis.
“Ini adiknya Aliando,” sambung bu Diana.
“Oh, dengar-dengar Aliando anak tunggal.”
“Sekarang dia punya adik,” kata bu Diana sambil tertawa, lalu mempersilahkannya duduk agar tamunya tak banyak bertanya-tanya.
Lusi ingin berteriak, bahwa anaknyalah calon menantu bu Diana, tapi diurungkannya karena bu Diana langsung menyapa. Lusi juga kesal karena bu Diana tidak memperkenalkan dirinya kepada tamu yang lain.
“Ma’af ya jeng, benar-benar lupa. Mana Susan?” tanya bu Diana.
Tapi Susan tak tampak batang hidungnya. Lusi mencari-cari dengan matanya. Tapi Susan tak kelihatan didalam ruangan itu.
“Liando, tolong cari Susan, dimana dia?” pinta Lusi.
Bu Diana memberi isyarat agar Liando berdiri dan mencari, ketika melihat Liando tak beranjak dari duduknya. Liando berdiri, dan melangkah keluar, namun Susan benar-benar lenyap ditelan bumi.
“Tidak ada bu.. saya sudah mencarinya sampai diluar.
“Dasar anak itu. Awas nanti,” ancam Lusi pelan, wajahnya tampak tak senang, ia juga enggan beramah tamah dengan tamu lainnya, apalagi dengan keluarga Indra dan Tikno.
***
Senin pagi itu Susan sudah berada diruangan HRD, tempat Umi sahabatnya berkantor.
“Selamat pagi ibu Umi,” sapa Susan sambil tersenyum.
“Selamat pagi cantik. Bagus kamu sudah datang, dengan penampilan oke. Kamu pantas menjadi sekretaris bosku, tahu.”
“Walah, lamaran belum dibaca juga.. sudah dibilang sekretaris bos.”
“Aku yang merekomendasikan kamu, pasti diterima lah, jangan khawatir.”
Susan menyerahkan map berisi lamaran dan semua data yang diperlukan, Umi membacanya sekilas, dan tersenyum.
“Bagus, ini sudah memenuhi kriteria yang kami butuhkan. Nanti aku akan bicara sama.. oh.. itu dia pak bos baru datang. Sebentar lagi aku menyusul keruangannya.”
Susan menoleh, melihat seorang laki-laki tegap dan ganteng yang melintas didepan pintu, dan terkejut bukan alang kepalang. Bos itu adalah Aliando. Wajahnya Susan langsung muram.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment