BAGAI REMBULAN 12
(Tien Kumalasari)
Lusi menatap Susan dengan kesal. Tak mengira anak gadisnya akan menolak perjodohan yang sudah dibicarakan.
“Tidak bisa begitu Susan, teman-teman mama sudah pada tahu, akan dibawa kemana muka mama nanti. Malu dong San.”
“Tapi aku lelah ma, Aliando sama sekali tak perduli sama aku.”
“Kalian kan belum saling kenal, jadi wajar saja kalau belum bisa dekat. Tapi kalau kamu telaten mendekati dia, pasti lama-lama dia akan tertarik dan suka. Sadarilah bahwa kamu itu cantik. Tak mungkin Aliando menolak kamu.”
Susan duduk di kursi panjang, wajahnya muram. Ia benar-benar merasa lelah. Ia bukan mamanya yang seakan tak punya harga diri. Tidak, Susan gadis terpelajar yang bisa berfikir waras.
“Susan mau bekerja, ada teman yang menawari Susan pekerjaan.”
“Kamu benar-benar sudah gila ya San, kalau kamu jadi isterinya Aliando, kamu tidak usah bekerja. Duduk manis seperti ratu dirumah, dilayani, apa yang kamu inginkan terpenuhi, lalu apa lagi?”
“Tapi Susan sudah terlanjur menerima tawaran itu.”
“Tidak! Siapa teman kamu yang menawari pekerjaan, batalkan saja.”
Susan terdiam.
“Siapa?”
“Sudahlah ma, Susan mau istirahat dulu, Susan mengantuk,” kata Susan yang kemudian berlalu, pergi kekamarnya dan mengunci pintunya.
Lusi marah bukan alang kepalang. Biasanya Susan penurut. Tapi entah mengapa kali ini menentangnya. Lusi berfikir keras, harus ada jalan. Dan jalan itu adalah.... Dayu harus disingkirkan.
”Anjaaaas... Anjaaas !”
Lusi masuk kekamar Anjas, kepala anak muda itu masih diperban, dan darah tampak berbercak disana sini. Matanya terpejam, badannya sakit semua.
“Anjaaas.”
Anjas membuka matanya.
“Mama, badanku sakit semua, antar kerumah sakit dong ma, dari kemarin belum jadi juga.”
Mau tak mau Lusi merasa kasihan melihat Anjas.
“Baiklah, sekarang juga mama antar kamu kerumah sakit.”
***
“Gimana Susan, kamu mau tidak, pas ada lowongan nih, kalau nggak mau aku berikan teman yang lain saja.” Kata teman Susan ketika menelpone.
“Mau.. mau.. siapa bilang nggak mau? Bercanda kamu Umi.”
“Kabarnya kamu mau nikah.”
“Ah, berita bohong itu, jangan percaya.”
“Banyak yang ngomong kok, makanya aku pastikan ke kamu, jadi bersedia nggak.”
“Bersedia. Sudah aku buat nih lamaran dan data yang diperlukan.”
“Baiklah, kalau begitu hari Senin ketemu aku ya?”
“Jam berapa?”
“Jam lima pagi.”
“Haaa.. lima pagi?”
“Ya enggaklah, jam kerja gitu lhoh.”
“Iya, baiklah, aku ketemu kamu nanti. Aduh hari Senin ya, ini kan masih Rabu?”
“Iya, karena sebelum itu aku mau keluar kota dulu, aku lagi cuti seminggu.”
“Oh, baiklah. Siap ibu .”
Tawa gembira mengakhiri pembicaraan itu.
Susan tak perduli mamanya melarang. Tekatnya sudah bulat. Ia tak mau lagi menuruti kemauan mamanya. Ia merasa sangat direndahkan. Mencoba merayu seperti saran mamanya juga tak membuat Aliando bergeming. Yang ada hanyalah rasa bersalah, dan seperti tak punya harga diri.
“Suka sih seandainya punya suami ganteng, tapi kalau dianya nggak suka, masa aku harus terus mengemis cintanya? Ogah ah. Bukan cuma dia laki-laki ganteng didunia ini.” Gumamnya kesal, lalu mencoba tidur, dan berharap mimpi ketemu pangeran berkuda, pangeran yang lain, bukan Aliando yang sombong dan angkuh.
***
Naya menghentikan mobilnya didepan pagar, Seruni turun sendirian.
“Kamu tunggu disini saja Naya, biar cepat, bu Tikno kan sudah siap,” kata Seruni sambil turun dari mobil.
“Ya bu..”
Naya melongok-longok kedalam, ia tak melihat Adit, tapi tiba-tiba Dayu turun dari teras sendirian, dan tampaknya sudah siap berangkat kuliah.
“Lho, mas Naya kok tidak masuk ?”
“Kata ibu hanya sebentar. Kamu mau kuliah?”
“Iya.”
“Adit mana ?”
“Mas Adit sudah berangkat pagi-pagi.”
“Ayuk sekalian aku antar.”
“Lho, kan mas Naya mau mengantar bu Indra sama ibu?”
“Hanya mengantar saja, lalu langsung ke kampus. Ayo naik,” kata Naya sambil membukakan pintu untuk Dayu.
Dayu tersenyum manis. Menurut Naya, hari ini Dayu tampak sangat cantik. Ehem, baru tahukah Naya bahwa Dayu memang cantik?
“Terimakasih mas Naya, aku kan bisa membuka pintu sendiri, kaya sama siapa saja, pakai dibukakan pintunya segala.”
“Kamu kan penumpang istimewa,” kata Naya sambil menutup pintunya.
“Oh, senangnya jadi penumpang istimewa,” senyum Dayu lagi ketika Naya sudah duduk disampingnya.
“Lho, kok dapat penumpang?” tanya Seruni sambil tersenyum ketika melihat Dayu sudah duduk disamping kemudi.
“Ma’af bu Indra, mengganggu nih.”
“Tidak, kamu mau kuliah?”
“Iya bu.”
Naya turun dan membukakan pintu belakang untuk ibunya dan bu Tikno.
“Kami sekalian mau ke kampus bu,” kata Naya sambil menjalankan mobilnya.
***
“Iya jeng Tikno, saya cocog, itu masakan Jawa yang sangat enak. Lontong, gudeg sambel goreng, opor, waah.. sudah ngiler saya mendengarnya,” ujar bu Diana ketika Surti mengajukan usulan masakan.
“Bu Tikno ini ahlinya masak mbak, sering menerima pesanan masakan, dan laris.” Kata Seruni.
“Bagaimana kalau setiap hari aku pesen buat makan?”
“Lho, bukankah ibu sudah ada pembantu?” tanya Surti.
“Terkadang dia sangat sibuk, melayani saya, mengurus rumah, kalau sudah ada masakan jadi berkurang tugas dia.”
“Tapi saya hanya bisa masak sederhana bu, takutnya nggak cocog.”
“Tidak jeng Tikno, mendengar menu-menu yang jeng sebutkan saya jadi ngiler. Mulai besok saya mau jeng Tikno menerima pesanan harian saya. Tapi besok Minggu saya tetap pesan untuk tamu-tamu saya. Limapuluh porsi saja, saya nggak mau terlalu banyak tamu.”
“Baiklah akan saya coba bu, tapi kalau ada yang kurang mohon diingatkan.”
“Ya jeng Tikno, hanya saya ingatkan sekarang, saya dilarang yang terlalu asin, jangan terlalu banyak lemak atau santan, serta pedas. Itu untuk harian saya.”
“Menu apa untuk ibu besok pagi, atau ibu membuat jadual menu untuk seminggu, begitu?”
“Tidak, terserah jeng Tikno saja.”
“Baiklah, akan saya coba.”
“Hm, syukurlah, “ kata Seruni senang.
“mBook...”
Simbok mendekat dengan tergopoh-gopoh.
“Mulai besok kamu tidak usah memasak, aku sudah pesan sama bu Tikno setiap hari. Jadi kamu cukup memasak nasi saja untuk makan kita.”
“Oh, baiklah bu.”
“Kamu sudah capek mengurus aku, bersih-bersih rumah. Kasihan aku melihat kamu mengerjakan semuanya.”
“Sebenarnya tidak apa-apa bu, tapi kalau itu kemauan ibu, saya berterimakasih, jadi saya bisa sepenuhnya merawat dan meladeni ibu.”
“mBak, kalau begitu saya dan bu Tikno mohon pamit ya.”
“Lho.. mengapa terburu-buru?”
“Bu Tikno belum memasak mbak.”
“mBok, tolong panggilkan Karjo, suruh mengantar tamu-tamu kita.”
“Eh, sudah mbak, kami bisa naik taksi.”
“Jangan, biar Karjo mengantarnya.”
“Tapi kami masih mau mampir-mampir lho.”
“Tidak apa-apa, mampir kemanapun biar Karjo siap mengantarnya, orang lagi nggak ada tugas untuk dia. Cepat mbok, panggil Karjo.”
***
“Bagaimana ceritanya, kok kamu bisa hampir diculik ?” tanya Naya.
“Mas Naya sih, nggak mau nolongin Dayu.”
“Aku nggak tahu, waktu itu masih ada kelas. Ketika keluar pada rame ngomongin polahnya Anjas. Kok dia masih datang ke kampus ya, kan sudah DO?”
“Aku juga nggak nyangka mas, aku lagi duduk sendirian, tiba-tiba dia datang dari belakang.”
“Dia nggak pernah jera melakukan hal-hal buruk.”
“Iya, ngeri aku mengingatnya.”
“Bagaimana hubungan kamu sama Aliando?”
“Yah, begitulah mas, aku ini siapa, Aliando itu siapa, aku harus tahu diri dong,” kata Dayu pilu.
“Kok kamu jadi bingung sih?”
“Bingung ?”
“Ya bingung dong, masa nggak tahu diri kamu siapa dan Aliando siapa, kan sudah kenal?”
Dayu tertawa keras, ternyata Naya menangkap keluhannya dengan canda.
Naya menatap Dayu, terpesona menatap gigi menembul dibalik bibir tipis yang kemerahan.
“Mas Naya ternyata bisa bercanda ya?”
“Lho, aku ini kan bekas pemain Srimulat.”
Dayu tertawa lagi, dan Naya juga kembali terpesona.
“Menurut aku, mas Naya itu pendiam, jarang sekali bercanda, beda sama mas Adit yang banyak ngomong, usil.”
“Nggak tahu aku, didekat kamu aku jadi pengin bercanda.”
Dan Dayu kembali tertawa.
Entah mengapa tiba-tiba Naya suka melihat tawa itu. Rasanya tak akan bosan menatap bibir yang sedikit terbuka karena menyunggingkan tawa.
Dan dia menyesal ketika tiba-tiba sudah sampai di kampus, lalu harus berpisah karena berbeda jurusan.
“Nanti pulang jam berapa?”
“Belum tahu mas, kadang dosennya nggak datang,” jawabnya sambil turun dari mobil.
Naya menjalankan mobilnya sambil berharap bisa bersama lagi sa’at pulang nanti.
***
Siang itu, ketika usai kuliah, Naya melongok kearah gedung fakultas Sastra. Ada satu dua mahasiswa yang keluar, dan Naya tahu itu temannya Dayu. Naya menunggu agak kedepan dengan hati berdebar, karena merasa bahwa pasti akan bisa bersama lagi.
Naya duduk dibawah pohon, ah tidak, Naya lebih dulu mengambil mobilnya, baru menunggunya disitu.
Tiba-tiba Adit lewat, sambil memboncengkan Yayi. Dengan senyum merekah Yayi melambaikan tangan kearah kakaknya, sementara Adit membunyikan klakson motornya bertalu-talu.
Naya geleng-geleng kepala. Semenjak adiknya dekat dengan Adit, ia tak pernah lagi membutuhkan dirinya. Tapi Naya senang, Adit anak baik dan sangat menjaga Yayi. Apalagi bapak dan ibunya juga tidak melarang.
Lalu Naya tersenyum sendiri. Apakah dia berharap sesuatu atas Dayu? Tapi ada apa dengan perasaannya ini? Naya masih termenung disana, ketika tiba-tiba Aliando muncul begitu saja.
“Hai, mengapa termenung disini?” sapa Aliando ini sangat mengejutkan Naya. Ia tak mendengar suara mobil, tiba-tiba saja pemiliknya sudah ada didepannya. Sesa’at dia tak bisa berkata-kata. Tampaknya harapan akan bersama Dayu akan pupus. Ia yakin bahwa Aliando pasti menjemput Dayu.
“Ya Tuhan, mengapa aku jadi gila seperti ini? Bukankah mereka masih saling mencintai? Aku mengira mereka sudah benar-benar mengakhiri hubungan mereka,” batin Naya sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Naya, ada apa kamu ini?”
“Oh, aku.. nggak, sesungguhnya aku menunggu Yayi..”
“Yayi belum pulang?”
“Ternyata sudah, baiklah.. aku pulang dulu ya..” kata Naya sambil berdiri. Ia sungguh merasa gugup dengan perasaannya sendiri. Gugup karena ternyata memiliki saingan.
“Bodoh.. bodoh !!” katanya memaki dirinya sendiri sambil mengendarai mobilnya pulang.”
“Heei.. kok kamu melamun disini?” Aliando terkejut ketika tiba-tiba Dayu mencubit lengannya.
“Aduuh, sukanya mencubit sih.”
“Habis, kamu melamun. Ngapain?”
“Nggak, itu.. melihat Naya tadi duduk disini.”
“Mas Naya ?”
“Iya, katanya nungguin Yayi, tapi Yayi sudah diculik Adit lebih dulu.”
Dayu tertawa. Tawa yang membuat bingung Naya tiba-tiba.
“Tapi sikapnya aneh, seperti orang bingung, gitu.”
“Kesal barangkali, karena Yayi sudah pergi duluan sementara dia menunggu disini.”
“Mungkin. Yuk pulang.”
“Iya, jangan mengajak aku mampir-mampir ya, karena aku harus membantu ibu memasak.”
“Wauw, adikku suka memasak rupanya.”
“Ee, menghina, aku setiap hari bantuin ibu dong. Apalagi hari ini masak buat pesanan bu Diana besok.”
“Oh iya, aku lupa, ya sudah ayuk pulang.”
***
“Apa mas Naya tadi marah?” tanya Adit ketika mampir membeli dawet di Pasar Gede bersama Yayi.
“Nggak, kenapa marah?”
“Tampaknya tadi menunggu kamu, lalu melihat kamu sudah berboncengan sama aku.”
“Sudah sering begitu dan nggak pernah marah kok. Mas Naya itu sabarnya minta ampun. Dia juga pendiam, jarang bicara kalau bukan kita yang mengajak bicara.”
“Ya sudah, tadi melihat kita lewat kok seperti masih menunggu, gitu.”
“Kecapean ‘kali.”
“Oh ya, besok ada undangan dari bu Diana ya?”
“Iya, kata ibu, kita diundang sekeluarga. Baik ya bu Diana? Belum begitu mengenal kita tapi sudah mau mengundang.”
“Katanya sama bapak kamu sudah kenal.”
“Iya sih, tapi ibu belum.”
“Apalagi orang tuaku. Enaknya datang nggak ya?”
“Harus datang dong, Sudah susah-susah diundang.”
“Sebelnya nanti ketemu Anjas. Lalu tanganku gatal ingin memukul, bagaimana?”
“Iih, jadi orang kok nggak sabaran.”
“Sudah memuncak nih rasa nggak suka aku sama dia.”
“Biarkan saja, jadi orang itu lebih baik mengalah. Sabaaar gitu lhoh.”
Sementara itu diseberang meja mereka, duduk dua orang gadis yang juga lagi menikmati dawet. Salah satu dari gadis itu menoleh ketika mendengar nama Anjas disebut.
“Anjas itu kan kakak kamu?” tanya gadis satunya, pelan.
“Kalau Anjas yang suka berantem.. ya itu kakak aku. Siapa ya pasangan itu? Pasti bekas teman sekampus,” jawab gadis satunya yang ternyata Susan. Keduanya Susan dan Umi, yang janjian tentang urusan pekerjaan besok hari Senin depan.
“Ayo kita pergi,” kata Susan sambil menarik tangan Umi lalu membayar dawet yang sudah diminumnya.
***
“Ibu, besok kita ke bu Diana nyamperin keluarganya pak Tikno kan ?” Tanya Yayi sore itu.
“Iya dong, tapi katanya Aliando juga akan kesana.”
“Aliando kan mengambil pesanan bu Diana pada bu Tikno.”
“Iya benar.”
“Mas Naya kok jam segini masih tidur sih bu?”
“Capek ‘kali, biarkan saja.”
“Tapi dia juga belum makan lho bu.”
“Coba ibu lihat kekamarnya.”
Seruni memasuki kamar Naya, tapi Naya tampak tidur dengan berselimut tebal.
“Naya, apa kamu kedinginan?”
Seruni memegang kening Naya.
“Ya ampun, kok badanmu panas sekali.”
Seruni keluar dari kamar, menuju kekotak obat dan membawa segelas teh hangat. Indra menatapnya heran.
“Ada apa bu?” tanya Indra.
“Mas, Naya badannya panas sekali” kata Seruni sambil bergegas masuk kekamar. Indra mengikutinya dengan khawatir.
“Naya, kamu sakit ya, bangun sebentar ya, ini ada teh panas, dan minumlah obatnya dulu ya.”
Tapi badan Naya tampak menggigil.
Seruni merangkulnya.
“Bagaimana ini mas? Bisa memenggil dokter?”
“Dayu... Dayu..” tiba-tiba terdengar rintih dari mulut Naya. Seruni mendekatkan telinganya kemulut Naya, tak percaya apa yang diucapkannya.
“Dayu...”
Itu benar, Naya memanggil-manggil nama Dayu. Apa yang terjadi?”
Bersambung
No comments:
Post a Comment