BAGAI REMBULA 16
By : Tien Kumalasari
Dayu mendekati tukang koran itu.
“Kakek... boleh korannya satu?”
Kakek tua bertongkat itu menatap Dayu, mengulaskan sebuah senyuman pada bibirnya yang keriput. Lalu dia mengulurkan selembar koran. Dayu mengulurkan uang duapuluh ribu, dan kakek itu sibuk mencari uang kembalian.
“Kakek tidak usah memberikan kembalian. Biar saja.”
Kakek itu menatap Dayu dan Dayu juga menatapnya.
“Bukankah Kakek yang berkali-kali menolong saya?”
Kakek itu hanya tersenyum.
“Terimakasih ya Kakek, Kakek tinggal dimana?”
Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa maksudnya?”
“Rumahku, dibawah langit, diatas bumi..” katanya sedikit cedal karena giginya hampir habis.
“Kakek, saya mengucapkan terimakasih, atas nama saya dan Mas Adit ya.”
Kakek itu tampak melongok kedalam mobil. Seperti berharap, nama yang disebutnya ada didalam sana. Tapi yang kemudian turun adalah laki-laki lain yang karena Dayu agak lama, lalu turun dan mendekati mereka.
“Ada apa?”
“Liando, Kakek ini yang berkali-kali menyelamatkan aku dan Mas Adit.”
“Oh,“ Liando mengulurkan tangannya pada Kakek itu.
“Terimakasih Kakek, mengapa Kakek selalu tergesa pergi setelah menolong?” tanya Dayu.
Kakek itu hanya tersenyum, lalu pergi, menghampiri beberapa tumpuk koran yang terikat di kendaraannya, tartatih dengan tongkat penyangga kakinya.
“Pasti dia terburu-buru pergi lagi,” bisik Dayu pelan.
Liando mengambil dompetnya, menarik beberapa lembar uang ratusan, lalu mendekati Kakek yang sudah naik ke atas sepeda motornya.
“Kakek, terimalah ini,” kata Liando sambil mengulurkan uang itu. Tapi sang Kakek menggoyang-goyangkan tangannya.
“Kakek, tolong jangan menolak,” kata Liando yang memaksa memasukkan beberapa lembar ratusan ribu kedalam saku Kakek tua itu, lalu Liando mengajak Dayu pergi, khawatir sang Kakek mengembalikan uangnya. Mereka masuk ke mobil dan berlalu.
Kakek tua menatap dari kejauhan, dan air matanya menitik, membasahi pipi kering keriput yang menghitam oleh panas setiap hari.
***
“Menurutku Kakek itu aneh, tak banyak bicara, dan seakan menutupi jati dirinya.”
“Aku sering melihat dia.” Kata Liando.
“Sering?”
“Ya, menjajakan koran disetiap traffic light.”
“Oh ya?”
“Seringnya justru diperempatan dekat rumah kamu.”
“Masa sih? Aku kok nggak begitu memperhatikan ya.”
“Aku sering, dan beberapa kali membeli korannya. Tapi aku tidak tahu bahwa dialah Kakek yang beberapa kali menolong kamu dan Adit.”
“O, ya ampun, lain kali aku akan memperhatikannya. Tapi aku jadi ingat akan sebuah cerita silat.”
“Cerita silat?”
“Seorang Kakek seperti tak berdaya, membawa tongkat, tapi dia bisa berada dimana-mana. Ternyata dia seorang sakti yang memiliki ilmu tinggi. Bu Kek Sian Su, atau siapa ya nama tokoh itu, aku lupa. Aku membaca di buku-buku cerita simpanan Bapak. Hebat dia. Tak ada yang bisa mengalahkannya.”
“Ha, itu aku dulu juga sering baca. Iya..iya, kamu benar. Itu cerita silat karangan Kho Ping Hoo kan? Jangan-jangan dialah tokoh sakti itu, bukankah dia bisa berada dimana-mana?”
Tak terasa mereka sudah sampai di kampus.
“Kamu tidak lama bukan? Aku akan menunggu saja disini.”
“Ya ampun, kasihan dong, Liando, apa tidak capek?”
“Nggak apa-apa, nanti kalau capek kamu dong yang mijitin.”
Dayu tertawa dan turun dari mobil.
Tanpa disangka dari arah belakang kampus, mobil Naya keluar. Naya menghentikan mobilnya begitu melihat Dayu.
“Dayu,” sapanya sambil membuka kaca depan mobilnya.
“Lho, Mas Naya kok sudah masuk kuliah? Sudah benar sehat?”
“Sudah, kamu ada kelas sore?”
“Iya, cuma satu jam.”
“Boleh aku tungguin?”
“Terimakasih Mas, Aliando menunggu disana, katanya sambil menunjuk ke arah mobil Liando.
“Oh, ya sudah, hati-hati ya,” kata Naya lalu menutup kaca mobilnya, dan menutupi rasa kecewanya dibalik kaca yang tertutup itu.
“Aku harus bisa menerimanya, sabar Naya, dia bukan jodoh kamu,” desisnya lirih sambil menjalankan mobilnya pelan, lalu memperlambat mobilnya ketika melewati mobil Liando, saling sapa sejenak kemudian Naya berlalu.
***
“Mas Adit mana Bu...” Teriak Dayu begitu memasuki rumah.
“Aduuh, belum juga masuk sudah teriak-teriak.” Tegur Ibunya.
Dayu mencium tangan Ibunya lalu berlari memasuki kamar Kakaknya.
“Iih... jam segini tidur sih...,” kata Dayu sambil menggelitik telinga Kakaknya.
Adit terbangun dan matanya melotot marah.
“Dayu !! Jelek banget ah. Nggangguin orang tidur.”
“Habisnya, jam segini masih tidur. Ayo bangun, aku punya cerita nih,” katanya sambil menarik tangan Kakaknya. Tapi mana kuat tangan kecil Dayu menarik tubuh kekar Kakaknya.
“Maas... aku mau cerita nih.”
“Cerita aja, boleh kan aku mendengarnya sambil tiduran?”
“Tadi aku ketemu Kakek tua itu,” katanya mengalah sambil duduk ditepi pembaringan.
“Kakek yang mana?”
“Kakek bertongkat yang ikut menggebugi Anjas dan kawan-kawannya itu.”
“Dimana?”
“Di jalan, ternyata dia jualan koran.”
“Oh ya, aku kok nggak pernah tahu ya, dimana dia jualnya?”
“Aliando bilang sering melihatnya di traffic light dekat rumah kita.”
“Masa?”
“Aku juga nggak begitu memperhatikan sih, coba besok kalau kamu pas lewat, kamu belum mengucapkan terimakasih sama dia lho.”
“Iya nanti kalau ketemu.”
“Hei... bangun, kok merem lagi sih.”
“Sebentar lagi.. tadi baru mimpi indah, kamu mengganggu saja.”
“Mamangnya kalau kamu tidur lagi mimpinya bisa berlanjut?”
“Siapa tahu bisa.”
Dayu tertawa sambil beranjak keluar.
“Ngaco!!”
“Dayu...” Ibunya menegur dari belakang.
“Ya bu...”
“Kamu itu baru pulang kok nggangguin Kakak kamu sih. Kasihan dia, semalam tidur sampai larut.”
“Iya Bu, Dayu tahu, seperti Mas Naya dia kan juga sedang mempersiapkan tugas akhir.”
“Makanya, jangan diganggu dulu, biarkan dia tidur, nanti malam pasti masih akan terjaga sampai larut.”
“Dayu cuma ingin memberitahu tentang Kakek tua itu.”
“Kakek tua yang mana?”
“Yang sudah dua kali menolong Dayu dan Adit ketika diganggu Anjas.”
“Ooh, kenapa Kakek itu?”
“Tadi ketemu, ternyata dia jualan koran di dekat traffic light-traffic light.”
“Oh ya? Kamu sudah bilang terimakasih?”
“Sudah Bu, Dayu pura-pura membeli koran, tapi Liando memberinya sejumlah uang.”
“Diterima?”
“Tadinya sih ditolak, tapi Liando memaksanya dengan langsung menaruh uangnya di saku bajunya, terus cepat-cepat meninggalkannya agar Kakek itu tidak mengembalikan pemberiannya.”
“Oh, syukurlah, anak muda yang baik adalah yang mengerti artinya kebaikan seseorang, dan tidak segan mengucapkan terimakasih.”
“Iya Bu, besok Mas Adit sudah Dayu suruh untuk mencarinya.”
“Memangnya dia tinggal dimana?”
“Nggak tahu Bu, katanya rumahnya diatas bumi dan dibawah langit.”
“Berarti dia tidak punya tempat tinggal tetap. Kasihan.”
“Iya Bu, sudah tua tapi masih semangat mencari uang. Dia memakai tongkat tapi menaiki sepeda motor.”
“Naik sepeda motor?”
“Iya Bu, sepeda motor butut sih, mungkin untuk mencari tempat berjualan yang baik, jadi mungkin berpindah-pindah.”
“Kalau bertemu jangan segan-segan membantu dia. Berikan dia uang yang cukup supaya tidak kelaparan.”
“Iya Bu.”
“Ya sudah, sana mandi, sebentar lagi bapak datang, Ibu mau menyiapkan teh hangat dan camilan buat Bapak.”
***
Seminggu pertama Susan bekerja dilaluinya dengan penuh semangat. Indra cukup merasa puas dengan tugas yang dikerjakan Susan. Memang dia pintar dan cerdas, cepat bisa menangkap apa yang diperintahkan atasannya.
Ketika meletakkan berkas yang selesai dikerjakannya, Indra memintanya untuk duduk sebentar.
“Ada yang salah Pak Indra?”
“Tidak, ada lagi yang harus kamu kerjakan, tapi minggu depan saja.”
“Oh, baiklah.”
“Ini, soalnya hari Senin aku mau ke luar kota. Hanya sehari sih, tapi aku harap ini sudah selesai begitu aku datang nanti.”
“Baiklah Pak.”
“Kamu bekerja dengan sangat baik, aku senang.”
“Terimakasih Pak.”
“Apakah selama ini ada teguran dari Mama kamu karena kamu bekerja disini?”
“Mama belum tahu kalau saya bekerja.”
“Lho, kamu kalau berangkat bekerja pamit mau kemana?”
“Ketika saya berangkat Mama belum bangun. Ketika saya pulang, Mama sering sudah tidak ada di rumah.”
“Mama kamu bekerja juga?”
“Tidak, Mama punya banyak teman. Saya tidak tahu apa saja yang mereka lakukan. Beberapa hari terakhir ini kami seperti orang asing yang tidak saling kenal.”
“Mengapa?”
“Mama tidak suka saya menentang perjodohan itu, dan tetap memaksa agar saya menjalaninya. Beberapa hari yang lalu Mama ke rumah Bu Diana, bilang mau mendesak Bu Diana agar segera memastikan perjodohan itu.”
“Lalu bagaimana nanti kalau mereka sudah sepakat?”
Susan menundukkan kepala.
“Entahlah, saya tidak tahu.”
“Ya sudah, aku berharap kamu bisa melewati hari-hari kamu dengan baik. Kamu pasti sudah tahu apa yang harus kamu lakukan.”
“Terimakasih banyak pak. Disini saya menemukan ketenangan, dan itu karena Bapak sangat baik kepada saya.”
“Aku melakukannya kepada siapa saja. Belajarlah mensikapi hidup dengan baik, tetap pegang prinsip yang menurut kamu baik.”
“Terimakasih. Saya seperti menemukan Papa saya yang belum pernah saya kenal,” katanya lirih sambil mengusap air matanya yang menitik.
Sesungguhnyalah di rumah dia hanya mendengar hardikan, dengkur Kakaknya yang keras yang selalu didengarnya sepanjang dia ada di rumah, dan suara tak nyaman kalau mendengar Anjas bersitegang dengan Mamanya. Di kantornya dia menemukan seorang Bapak yang dirindukannya, dan sangat melindungi serta memperhatikannya. Baru seminggu dirasakannya dan dia merasa nyaman.
“Kalau kamu mau, datanglah ke rumah, berkenalan dengan keluargaku.”
Susan mengangkat kepalanya.
“Ini adalah undangan, datanglah kapan kamu mau.” Kata Indra ketika melihat kesepian dimata Susan.
“Terimakasih banyak, Bapak,” katanya terharu.
“Atau kalau kamu tidak keberatan, kamu boleh mengantar berkas yang kamu kerjakan ini di rumah, aku ingin segera bisa menyelesaikannya.”
“Baik pak.”
***
“Liando, Mama mau bicara.”
“Ya Mama...”
“Beberapa hari yang lalu Bu Lusi datang kemari, menanyakan kelanjutan pembicaraan kami beberapa bulan yang lalu, tentang rencana perjodohan antara kamu dan Susan.”
Liando menghela nafas berat. Agak berdebar menunggu keputusan Mamanya, Dia sudah berjanji akan menuruti semua kemauannya, dan itu harus ditepatinya, demi kebahagiaan Mamanya. Ia sudah tahu bahwa Mamanya kurang suka pada Bu Lusi, tapi siapa tahu Mamanya berpegang kepada janji yang sudah diucapkan, dan akan tetap menjodohkannya dengan Susan.
“Bagaimana menurut kamu?” tanya Bu Diana karena Liando tak menjawab sepatahpun.
“Mama, Liando kan hanya menurut apa kata Mama? Mana yang membuat Mama bahagia, maka Liando akan lakukan.”
“Bagaimana perasaan kamu sendiri?”
“Kebahagiaan haruslah menjadi milik Mama. Liando sudah berjanji akan selalu membahagiakan Mama.”
“Itu bukan jawaban Nak.”
“Maksud Mama bagaimana?”
“Kalau kamu menikah dengan Susan, apakah kamu akan bahagia?”
“Mama kan sudah tahu bagaimana isi hati Liando? Tapi Liando tetap akan menuruti apa kemauan Mama kok,” kata Liando yang tak ingin membuat Mamanya kecewa.
“Apakah Mama akan batalkan saja perjanjian itu?”
“Mengapa Mama membatalkannya?”
“Aku agak kurang suka pada jeng Lusi. Pintar sekali dia bicara, dan suka berbohong pula.”
“Apakah Mama tahu, bahwa Susan juga tidak suka pada Liando?”
“Masa? Bukankah dia selalu datang menemui Mama bersama Mamanya?”
“Suatu hari Susan melamar pekerjaan di kantor. Begitu tahu bahwa itu kantornya Liando, dia langsung membatalkan lamaran itu.”
“Alasannya?”
“Dia bilang kepada temannya yang kebetulan adalah Umi manager HRD, bahwa dia tidak suka sama Liando, katanya Liando sombong, dan sok ganteng,” kata Liando sambil tersenyum lucu.
“Benarkah?”
“Benar Mama. Bukan karena Liando mempengaruhi Mama. Susan tampaknya akan menentang seandainya perjodohan itu terjadi.”
“Aku akan mengundang Jeng Lusi kemari, besok.”
“Terserah Mama saja. Tapi Mama tidak akan menjadikan itu beban kan? Mama tidak akan menyesal apapun keputusan Mama nanti?”
“Ya, Mama tahu.”
***
Lusi sedang berhenti di sebuah traffic light saat lampu merah, ketika seorang tukang koran menawarkan dagangannya. Lusi mengangguk dan membelinya, dengan uang sepuluhan ribu. Tapi sebelum uang kembalian diberikan, lampu sudah berwarna hijau. Tukang koran tua itu tertatih minggir dengan tongkatnya dan memberi isyarat ke arah mobil agar menunggunya didepan, karena Lusi menunggu kembaliannya.
“Goblog benar dia, mengapa tidak cepat-cepat mengambilkan kembaliannya, malah menyuruh aku kepinggir. Gila.” Umpat Lusi yang tetap saja meminggirkan mobilnya agak kedepan.
Kakek tua itu merogoh kantongnya dan mencari-cari uang lima ribu untuk diberikannya kepada Lusi, namun lima ribuan itu tak ditemukannya. Kakek tua itu tertatih ke arah mobil yang menunggu dan menyiapkan receh sebanyak lima ribu.
Namun ketika receh itu diberikan, Lusi menjadi sangat marah.
“Mengapa kembaliannya receh seperti ini? Aku tidak mau!!” katanya sambil menyebar uang recehan itu, sehingga mengeluarkan denting-denting nyaring.
“Saya tidak punya limaribuan nyonya...” kata si Kakek terbata.
“Kalau begitu nih, aku kembalikan korannya,kembalikan juga uangku!” hardiknya sambil menyebar koran itu di jalan.
“Baiklah,” kata Kakek sambil memunguti koran dan uang receh yang terserak.
“Kembalikan dulu uangku!!” hardik Lusi.
Ketika itu sebuah sepeda motor berhenti disamping mobil itu, pengendaranya turun dan membantu memungut uang receh yang masih ada beberapa butir lagi.
“Mana uangkuu!?” teriakan itu membuat Adit, si pengendara sepeda motor menatap kedalam mobil melalui kaca yang terbuka. Kemarahannya memuncak mendengar suara hardikan itu. Dia mengenalinya. Lusi yang selalu menghina keluarganya.
“Ada apa dia?”
“Saya tidak punya kembalian lima ribu, nyonya itu tidak mau receh,” jawabnya tersendat.
“Lalu receh itu disebar dan korannnya dibuang? Berapa uang yang sudah dibayarkan?”
“Ini,” si kakek mengeluarkan puluhan ribu dan diulungkannya kepada Lusi.
“Orang kaya yang tidak punya belas kasihan. Orang gila!”
Lusi menutup kaca mobilnya dan berlalu.
Adit menuntun kakek bertongkat itu ketepi.
“Dasar orang gila. Kalau bukan perempuan sudah aku hajar dia!” omelnya.
Kakek tua itu tersenyum, lalu menatap Adit dengan mata berkaca-kaca.”
“Kakek, saya beli koran itu ya,” katanya sambil mengulurkan uang ratusan ribu kepada si Kakek. Tapi Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil mengusap air matanya.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment