BAGAI REMBULAN 17
By : Tien Kumalasari
“Kakek, aku mohon jangan menolak, terima saja.”
“Aku tidak menjual koran semahal ini...”
“Bukan, hanya sebagai ungkapan terimakasih...”
“Aku tidak menjual jasa,” katanya sambil mengemasi koran setelah mengulurkan selembar untuk Adit.”
“Kakek, tolonglah, jangan mengecewakan aku dengan menolak pemberian yang tak seberapa ini, tolong Kakek,” kata suara Adit sedikit menghiba.
Kakek itu menghentikan kegiatan menata dagangannya, menatap Adit dengan pandangan sendu. Adit masih mengulurkan uang itu.
“Tolonglah Kakek.”
Kakek itu memandang Adit lekat dengan mata bercahaya.
“Biarkan aku menyentuhmu. Bisiknya bergetar.
Adit mengulurkan tangannya dengan masih menggenggam uang itu. Sang Kakek bukan menerima uangnya, tapi menyentuh tangan kekar itu dengan telapak tangannya yang kasar...kusut dan keriput. Lalu mengelusnya perlahan, dan menggenggam tangannya erat.
“Selalu jadilah orang baik,” bisiknya seperti lelah.
“Tolong terimalah uangku, jangan membuat aku kecewa Kakek.”
Dan Kakek itu menerimanya, kemudian mendekapnya didada, lalu membalikkan tubuhnya, menghampiri tumpukan korannya yang sudah ditata di atas sepeda motornya. Manatanya sejenak, lalu membawanya pergi entah kemana.
Adit terpaku ditempatnya, mengingat sikap Kakek tadi, yang tampak begitu aneh. Tapi Adit lega karena akhirnya uang itu diterimanya.
Adit masih terpaku ditempatnya, ketika Kakek itu sudah menghilang entah kemana. Ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang berteriak kepadanya.
“Adit!!”
Sebuah mobil berhenti dan Adit melihat Naya dan Yayi berada di mobil itu.
“Mau kemana?”
“Baru mau ke kampus, tapi cuma mau cari buku saja ke perpus. Kalian mau kemana?”
“Adit, ini hari Minggu, ya pasti tutuplah perpusnya.
“Aduh, kok aku bisa lupa?” Adit menepuk dahinya.
“Ayo ikut aku saja,” ajak Naya.
“Kemana?”
“Makan lah, Yayi pengin makan selat solo.”
“Ya sudah, aku ngikut aja dibelakang kamu.”
“Nggak dong, titipin sepeda kamu disitu, kita bisa sama-sama naik mobil.”
“Baiklah.”
***
Tapi di rumah makan itu sedikit rame, karena memang waktunya orang makan siang. Mereka bertiga mendapat tempat agak dibelakang.
Yayi asyik memesan makanan, tanpa sadar dua pasang mata menatap mereka bertiga tanpa berkedip.
“Susan, ganteng sekali tuh... dua cowok yang duduk agak kebelakang,” kata Umi yang sedang makan siang bersama Susan.
“Mana?”
“Tuh... ada dua..kamu mau yang mana?”
“Kamu yang mana?”
“Jangan gila, nanti anakku marah-marah kalau Ibunya nggaet laki-laki lain.”
“Kayaknya masih anak-anak...”
“Lama-lama juga gede..”
“Memangnya kambing?”
Lalu keduanya tertawa geli.
Bagi Adit pertemuan itu menyenangkan, karena tak ada jadual untuk bertemu Yayi Minggu itu, tapi ternyata ketemu dengan tak terduga. Maklumlah, Adit sedang sibuk menggarap tugas akhir. Rona bahagia tampak pada kedua remaja yang hatinya saling bertaut itu.
“Kamu tadi ngimpi apa, sampai lupa bahwa ini hari Minggu?” tanya Naya.
“Nggak tahu kenapa, tiba-tiba aku ingin keluar, dan ketika keluar itu aku memutuskan untuk pergi saja ke perpus. Untung kalian mengingatkan, kalau enggak aku bisa kecewa tingkat dewa”
“Mengapa tiba-tiba pengin keluar? Pasti ada sesuatu yang mendorong kamu.”
“Entahlah, aku ketemu Kakek tua itu.”
“Kakek tua, yang menolong kamu waktu dikeroyok Anjas?”
“Ya, dan Lusi, perempuan kaya yang amit-amit sombong dan pelitnya setengah mati.”
“Gimana sih? Kakek tua, sedang bersama Bu Lusi?”
“Bu Lusi membeli koran, harganya limaribu rupiah, uang dia sepuluh ribuan, kembaliannya receh karena nggak punya limaribuan utuh. Ee.. uang itu disebar di jalanan, dan koran yang sudah dibeli dilempar keluar dari mobilnya, dan dia dengan kasar meminta sepuluh ribuannya dikembalikan.”
“Wah.. keterlaluan itu.”
“Ketika itu aku kebetulan lewat, aku bantuin memunguti uang yang disebar. Aku ingin memaki dia, dan kalau nggak ingat bahwa dia perempuan pasti sudah aku hajar dia habis-habisan.”
“Ya ampun, ada orang kaya, punya mobil, hanya karena uang limaribuan marah-marah? Terhadap penjual koran yang penghasilannya tak seberapa pula,” seru Yayi.
“Tapi aku lega ketemu Kakek itu, aku tadinya belum sempat mengucapkan terimakasih. Sekarang aku merasa lega.”
“Syukurlah.”
“Tapi sikapnya aneh, dia minta memegang tanganku, lalu mengelusnya dan meremas tanganku, lalu mengatakan begini, ‘jadilah orang baik’. Kenapa ya sikapnya aneh begitu?”
“Dia suka karena kamu anak muda yang suka menolong,” kata Naya.
“Kebetulan saja itu. Masa sih melihat orangtua teraniaya kita akan diam saja?”
Susan heran, ketiga anak muda menyebut-nyebut nama Lusi, apakah itu Mamanya?
“Mengapa kamu bengong? Ehem.. diam-diam terpesona ya, mau aku carikan jalan untuk kenalan?”
“Idih, nggak lah... ayo pulang saja.”
“Bener nih, nggak ingin kenalan dulu.”
“Umi... reseh deh, ayo pulang,” kata Susan sambil menarik tangan Umi.
***
“Kamu kemana saja sih, ngeluyur terus setiap hari,” omel Lusi ketika Susan sudah sampai di rumah.
“Aku jalan sama teman. Mama juga kemana?”
“Kok ganti nanya sih, Mama itu banyak urusan.”
“Mama tadi membeli koran?”
“Nggak jadi, tukang korannya seenaknya. Kok kamu tahu?”
“Mengapa hanya karena limaribuan Mama marah-marah? Apa ruginya seandainya Mama tidak usah meminta kembalian kepada tukang koran yang sudah tua itu? Apakah dengan itu kita akan menjadi miskin?”
“Apa katamu? Kamu sudah berani menentang Mama ya?”
“Mama itu keterlaluan. Memalukan.”
*“Susan!!”* Hardik Lusi dengan mata mendelik.
“Maaf Mama, Lusi malu dengan kelakuan Mama.”
“Oo.. ya.. ya.. rupanya kamu tadi ketemu sama anak pembantu itu? Dan dia mengatakan semuanya sama kamu? Ya, Mama lihat dia membantu tukang koran itu. Memangnya kenapa?”
Susan terkejut, anak pembantu?
“Apakah tadi anaknya Surti yang Mama bilang bekas pembantu? Ganteng banget, yang mana ya? Pokoknya ganteng semua sih, tapi yang ngomong tentang tukang koran itu yang baju biru,” batin Susan.
“Apa yang perempuan? Kalau itu bukan Dayu, aku sudah pernah melihat Dayu. Jadi salah satu dari laki-laki itu adalah kakaknya Dayu, benar, pasti yang baju biru tadi.. Hm.. mama sungguh memalukan.” Susan masih membatin, diam tak ingin berdebat lagi dengan Mamanya. Tapi ketika dia mau beranjak kebelakang, Mamanya memanggilnya.
“Tunggu Susan.”
Susan berhenti melangkah, membalikkan tubuhnya menghadapi Mamanya.
Barusan Tante Diana menelpon. Ini hal baik untuk kita.”
“Menelpon apa?”
“Mama diminta datang besok, tapi Besok ada arisan, Mama akan datang besoknya saja.”
“Ya sudah, Mama datang saja.”
“Masa cuma Mama? Ini pasti karena hubungan kamu sama Aliando.”
Susan ogah.”
“Apa maksudmu Susan?”
“Susan capek Ma, Susan nggak mau mikir masalah itu lagi.”
“Ini sudah final Susan, pasti akan ada pembicaraan serius mengenai perjodohan itu. Kamu tinggal diam dan menurut, semuanya akan beres.”
“Ya sudah Mama saja yang datang. Susan ada perlu.”
“Ada perlu apa Susan? Apakah ada yang lebih penting dari pada perjodohan itu?”
“Mama, tolong jangan memaksa Susan.”
Lalu Susan meneruskan langkahnya ke dalam kamar dan menguncinya.
“Huh, terserah kamu saja, pokoknya perjodoan ini harus terlaksana, dan mau tidak mau kamu harus menurutinya.” Omel Lusi sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
***
Hari itu Susan mengerjakan tugas yang ditinggalkan Hendra sebelum berangkat ke luar kota. Dengan tekun tugas itu dikerjakannya sehingga ia harus mematikan ponselnya. Ia sudah berjanji bahwa ketika Pak Indra ke kantor maka tugas itu harus sudah selesai. Atau kalau sudah siap boleh diantarkan ke rumah. Sore hari Pak Indra pasti sudah pulang. Tiba-tiba Susan ingin sekali bertandang ke rumah Pak Indra.
“Nanti sore sepulang kantor aku akan kesana sambil mengantarkan berkas ini,” gumam Susan sambil terus bekerja.
Ketika saat istirahat Susan baru membuka ponselnya. Beberapa panggilan tampak dilayar, dari Mamanya, dan dari Umi juga. Susan memutar balik nomor Umi saja. Paling mau ngajakin makan siang bersama.
“Ya Umi, ada apa?”
“Ngapain saja, Ibu sekretaris baru? Sampai telpon aku, WA aku, sama sekali nggak kamu perdulikan.,” jawab Umi dari seberang.
“Lagi mengerjakan tugas dari Bos aku nih. Harus selesai sore ini, jadi ponsel aku matiin. Sekarang lagi istirahat, ngapain?”
“Ngajakin makan lah, mau apa lagi ?”
“Iya oke, ditempat biasa?”
Ya, ditempat biasa.”
“Iya, aku berangkat sendiri? Aku panggil taksi dulu dong.”
“Enggak sayang, duduk manis saja disitu, aku samperin.”
“Baiklah, terimakasih.”
Susan mengemasi barangnya, dan bersiap keluar dari ruangan untuk menunggu Umi, ketika tiba-tiba muncul seseorang. Susan agak terkejut, karena merasa pernah melihat anak muda ganteng yang tiba-tiba masuk itu.
“Selamat siang,” sapa laki-laki ganteng yang ternyata adalah Naya.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Naya, anaknya pak Indra.”
“Oh...”
“Bapak bilang, kunci almari buku yang saya cari tertinggal dilaci, boleh saya mengambilnya?”
“Oh, tentu, silahkan,” kata Susan sambil terus mengingat- ingat.
Tiba-tiba pesan singkat masuk, dari Umi.
“Aku sudah diluar, cepatlah, siapa tahu ketemu cowok ganteng yang kemarin.”
Dan tiba-tiba Susan hampir terpekik, bukankah anak muda yang katanya bernama Naya anaknya pak bos ini yang kemarin dilihatnya bersama Umi?
“Sudah ketemu, ini kuncinya,” kata Naya sambil mengacungkan sebuah kunci.
“Oh, syukurlah.”
“Saya permisi, selamat siang,” kata Naya sambil berlalu.
“Siang, silahkan,” kata Susan gugup.
“Gila, lebih ganteng dari ketika kemarin aku lihat di rumah makan itu. Apa karena pakaiannya yang seksi, ah.. seksi ya, kaos ketat berwarna cream lembut dan celana jean yang semuanya mencetak tegak tegap tubuhnya. Aduhai..
Dering ponsel terdengar. Oh, Umi, rupanya kesal menunggunya, Susan mengangkatnya sambil tertawa.
“Ya.. ya.. aku lagi jalan...”
Dan Umi sambil cemberut menjalankan mobilnya ketika Susan sudah masuk ke mobilnya.
“Lama banget sih,” omelnya.
“Baru ada tamu, tahu.”
“Oh ya, jam istirahat kenapa nggak ditolak?”
“Enak aja, dia itu anak Bosku.”
“Oh, anak Bosmu?”
“Iya, kamu ingat nggak, kemarin, waktu kita makan, ada dua cowok satu cewek yang kamu mengamatinya terus?”
“Kamu ‘kali!”
“Iya deh, aku juga. Itu salah satunya anak bosku. Astaga, gemetaran aku tadi.”
“Ngapain kamu gemetaran?”
“Nggak nyangka, agak lama aku mengingat- ingat, ternyata ketemu kemarin.”
“Katamu masih anak-anak.”
“Kan kamu suruh aku pelihara?”
“Dasar!!”
“Nggak ah, dia begitu santun, dan tampaknya baik. Kalau dia menghormati aku maka aku juga harus menghormati dia, ya kan?”
"Iya, kamu benar.”
***
“Selamat sore...” sapa Susan ketika memasuki rumah Indra.
“Selamat sore,” Yayi yang duduk diteras membalasnya sambil berdiri.
“Bukankah ini gadis yang bersama-sama dua laki-laki ganteng itu? Apa dia juga anaknya Pak Indra?” pikir Susan.
“Ya Mbak, mau ketemu siapa?”
“Oh, saya.. Susan. Pak Indra sudah pulang?”
“Oh, Bapak baru saja pulang, mungkin sudah selesai mandi, akan saya panggilkan.”
“Tidak usah, saya hanya ingin menyerahkan berkas ini.”
“Oh, Mbak Susan sekretarisnya Bapak yang baru ya?”
“Ya.”
“Kenalkan, saya Yayi.”
“Selamat bertemu dik Yayi.”
“Tidak menunggu Bapak dulu?”
“Tidak, saya hanya...”
“Susan? Ayo masuklah...” tiba-tiba Indra sudah keluar dari dalam.
“Ini, saya hanya menyerahkan berkas yang kemarin.”
“Ya, baguslah. Tapi ayo masuk dulu. Di teras saja atau kedalam? Yayi, ini sekretarisnya Bapak yang baru.”
“Iya Pak, tadi sudah kenalan. Silahkan duduk Mbak.”
Susan duduk dengan kikuk.
“Panggil Ibu dan Mas Naya, supaya semua kenal sekretarisnya Bapak.“
Yayi bergegas kebelakang, lalu Seruni keluar, bersama Naya dan menyalami dengan ramah.
Susan sangat kagum. Benar-benar keluarga yang penuh bahagia, ramah, santun. Susan jadi merasa kecil berada diantara mereka.
“Naya kan sudah bertemu kemarin?” tiba-tiba kata Naya.
“Oh iya, waktu kamu mengambl kunci di laci Bapak ya.”
“Gimana Susan? Kerasan nggak berkerja dikantornya Pak Indra?” Tanya Seruni.
“Saya merasa mendapat keluarga baru yang luar biasa Bu.”
“Syukurlah, memang kita semua adalah keluarga. Kalau ada waktu senggang, seringlah main kemari. Ini ada Naya, dia sedang menyelesaikan tugas akhir nya. Ini Yayi, mungkin akan selesai tahun depan, bukan begitu Yayi?”
“Mudah-mudahan Bu.”
“Tadi naik apa ?” tanya Indra.
“Naik taksi Pak.”
“Nanti pulangnya biar diantar Naya. Kamu ada waktu sebentar kan Naya?”
“Ya Bapak. Sekarang saya permisi kebelakang dulu, nanti kalau Mbak Susan mau pulang Bapak panggil saya ya,” kata Naya sambil berdiri.
“Kalau Mas Naya lagi sibuk, biar saya pulang sendiri saja.”
“Yayi antar juga bisa kok.” kata Yayi.
“Oh iya, bagus, daripada mengganggu Kakak kamu, kamu juga nggak apa-apa Yayi,” kata Indra.
“Saya jadi merepotkan.”
“Tidak Susan, bukankah kita adalah keluarga?” kata Seruni ramah.
***
“Susan, kita akan ke rumah Tante Diana pagi ini, jadi kamu jangan pergi kemana-mana,” kata Lusi yang bangun lebih pagi karena bersiap akan pergi ke rumah Bu Diana.
“Susan harus pergi Mama.”
“Tidak bisa, ini hari yang bahagia untuk kamu. Jadi Mama, kamu dan Anjas akan ikut serta.”
“Biar Anjas saja, Susan tidak akan ikut.”
“Apa maksudmu? Ini untuk kamu Susan?”
Susan tak menjawab, dia sudah siap berangkat kerja.
“Awas ya, jangan sampai mengecewakan Mama. Anjaaas, siapkan mobilnya didepan,” teriaknya kepada Anjas yang baru bangun tidur.
Tapi karena memang Susan harus masuk kerja, maka dia tidak mendengar kata-kata Mamanya. Ketika Mamanya masuk ke kamar mandi, Susan sudah melangkah ke luar rumah dan terlihat taksi sudah menunggu.
Anjas melihatnya, dan berteriak kepada Mamanya.
“Mamaa.. Susan nekat pergi Ma..!”
“Ikuti kemana dia pergi, biar Mama samperin nanti!!” teriak Lusi dari dalam kamar mandi.
Anjas menstarter mobilnya dan melesat keluar, mencari-cari kemana taksi yang ditumpangi adiknya pergi.
Bersambung
No comments:
Post a Comment