BAGAI REMBULAN 18
By: Tien Kumalasari
*Anjas* berhasil membuntuti taksi yang ditumpangi Susan. Agak heran ketika taksi itu berhenti disebuah kantor sebuah perusahaan. Namun ketika Susan turun, dia melihat mobil Mamanya dibelakangnya. Susan berdebar. Pasti bakal rame ketika Mamanya mengetahui bahwa dia bekerja disini.
“Semoga Mama tidak melakukan hal-hal yang memalukan disini,” batin Susan sambil terus melangkah ke arah ruang kantornya. Susan duduk di kursinya, berusaha menenangkan batinnya. Melihat perangai Mamanya, kemungkinan besar dia akan datang dan membuat gaduh ditempat ini.
“Apa yang harus aku lakukan? Kalaupun aku bersembunyi pasti tetap saja Mama akan ribut. Aduuh... bagaimana ini, pasti Mama akan membuat malu.”
Susan tidak segera mengeluarkan laptop kerjanya, kedua tangannya memegangi kepalanya, bertumpu di atas meja. Karena resah ia sampai tak melihat ketika Indra masuk ke dalam ruangan.
“Ada apa?” Tanya Indra heran.
Susan terkejut. Dengan terburu-buru memperbaiki sikapnya, lalu mengeluarkan laptopnya.
“Ada apa?” Tanya Indra lagi.
“Maaf pak... maaf.”
“Katakan ada apa?”
“Sss... saa.yya sebenarnya... takut...” Katanya terbata.
“Takut apa?”
“Mama...”
“Takut dimarahi Mama kamu?”
“Takut Mama akan membuat gaduh disini. Dan itu sangat memalukan.”
“Mama kamu mau kemari?”
“Mungkin... tt... tapi sepertinya... iya.”
“Ya sudah, biarkan saja, nanti aku yang akan menghadapi dia.” Kata Indra sambil duduk tenang di kursinya, sementara Susan masih saja was-was. Ia tahu watak Mamanya yang tidak punya malu, dan itu membuatnya resah sendiri.
“Sudahlah Susan, jangan pikirkan.”
Susan mengangguk, mencoba membuka laptop dan mencari data yang diperlukan. Tapi belum lama ia mencari, tiba-tiba seseorang nyelonong masuk. Mamanya. Seorang CS mengikutinya dengan wajah kesal.
“Pak Indra, saya baru akan melaporkan kedatangan Ibu ini, tapi dia nekat nyelonong masuk,” kata CS tersebut dengan wajah takut.
“Ya, tinggalkan saja,” kata Indra.
Customer servis itu keluar dengan wajah lega.
“Ternyata kamu ada disini Susan?” Hardik Lusi tanpa memperdulikan Indra.
“Maaf Mama, aku kan sudah bilang kalau ingin bekerja.”
“Apa kamu sudah gila? Hari ini Tante Diana menunggu, dan tak ada gunanya kamu bekerja!”
“Mama pergilah sendiri.”
“Mana mungkin aku pergi sendiri? Ini adalah pembicaraan tentang kamu. Semua harus ikut. Ayo pergi.”
“Tidak Mama.”
“Kamu mulai berani menentang Mama? Apa dia yang mengajari kamu? Laki-laki sombong ini?” kata Lusi sambil menunjuk ke arah Indra.
“Bukan Mama, ini kemauan aku sendiri. Tolong jangan membuat gaduh disini Mama.”
“Tidak, kalau kamu ikut Mama sekarang juga.”
“Maaf Mama, Susan tidak mau ikut.”
*“Susan!!”* Lusi menghardik semakin keras, sambil mendekat ke arah Susan, lalu menarik tangan Susan.
“Mamaaaa... aku tidak mau.”
“Kamu harus mau, apa jawabku nanti kalau Tante Diana bertanya?”
“Lusi ! Hentikan, dia tidak mau, jadi jangan memaksanya,” tak tahan Indra ikut bicara.
“Dengar Indra, ini bukan urusan kamu, dia anakku.”
“Kalau dirumah dia anakmu, tapi disini dia karyawanku. Aku berhak melindunginya. Jadi hentikan dan tinggalkan tempat ini.”
“Kamu mengusir aku Indra?”
“Ya.” tandas Indra.
“Susan, ikut Mama tidak?”
“Tidak Mama, maaf.”
*“Ikut tidak?!”* Lusi berteriak.
“Tidak Mama.”
“Lusi, segera tinggalkan tempat ini, karena kamu mengganggu pekerjaan kami.”
“Susan!”
“Apa aku harus memanggil satpam untuk menyeret kamu keluar?”
“Kurangajar kamu Indra!!”
“Satpam!” Indra memanggil melalui intercom.
“Biarkan aku pergi sendiri. Awas Susan, biarpun kamu tidak mau ikut sekarang, tapi kamu tidak akan bisa menolak perjodohan itu,” kata Lusi sambil berlalu, kemudian menutupkan pintunya dengan kasar.
Susan terpaku di kursinya. Air matanya menitik turun.
“Susan, Mama kamu sudah pergi. Tenanglah.”
“Maafkan saya...” isaknya.
“Sudah, tak ada yang harus dimaafkan. Tenanglah dan lakukan tugas kamu.”
***
“Sudahlah Ma, nggak usah marah-marah terus, biar saja sekarang Susan nggak ikut, nanti kalau saatnya menikah kita bisa paksa dia. Masa iya akan kabur juga.” Kata Anjas dalam perjalanan mengantarkan Mamanya ke rumah Bu Diana.
“Heran aku sama adikmu. Tadinya sudah bagus nurut, e.. ketika pembicaraan hampir jadi malah menentang seperti itu.”
“Memangnya sejak kapan Susan mulai bekerja?”
“Mama juga nggak tahu, tiap pagi pergi, ternyata bekerja. Bodoh!! Kalau sudah jadi istri Liando, untuk apa dia bekerja?”
“Mama nanti jangan lupa bilang ya, Liando suruh memberi aku pekerjaan dikantornya.”
“Iya itu pasti, yang penting masalah adikmu ini selesai dulu.”
“Iya, maksudnya nanti sekalian ngomong...”
“Aku heran sama adikmu, dulu sudah nurut kok tiba-tiba mogok.”
“Mungkin karena berkali-kali merasa diacuhin sama Liando. Tapi kan Liando harus nurut juga sama Mamanya.”
“Mungkin. Kesel banget aku, masa aku tadi sampai diusir oleh Indra.”
“Coba tadi aku ada, sudah aku hajar Pak Indra.“
“Eh, sembarangan. Mana berani kamu sama dia, badannya kekar biar sudah tua. Dulu dia pacar Mama, tapi direbut sama Seruni.”
“Mengapa Mama biarkan pacar direbut?”
“Mama keburu dinikahkan sama Papa kamu, yang ternyata sakit-sakitan. Akhirnya Mama kan jadi janda.”
Anjas mengangguk-angguk, menelan saja kebohongan yang dikarang Mamanya. Andai Anjas tahu cerita sebenarnya, bahwa Indra juga pernah beberapa kali menghardik Mamanya, pasti dia juga akan merasa malu.
Sebuah dering ponsel Mamanya terdengar.
'Oh, iya maaf Ros, aku tidak bisa hari ini... iya.. agak sibuk, ini lho.. baru mau membicarakan soal pernikahan Susan. Iya.. jangan lupa besok datang ya, kasih tahu ke teman-teman yang lain juga, karena mungkin beberapa hari ini aku akan sibuk mengurus semuanya, maklum, anak perempuanku satu-satunya... iya Ros.. beruntungnya anakku. Ya.. ya.. orang terpandanglah.. waaah.. bahagia dong, pokoknya nanti aku akan minta tolong kamu untuk juga menjadi among tamu. Bener... hahaha..(tertawa ngakak) .. kalau Mamanya nggak usah difikirkan.. anaknya dulu aja... ya udah Ros, nih lagi dijalan, nanti aku telpon. Oke Ros.'
“Dari siapa Ma?”
“Teman Mama, Tante Ros, itu yang pintar buat roti. Aku sudah menyuruh dia untuk mengabari teman-teman Mama yang lain, supaya nanti kalau kelupaan mengundang sudah dikasih tahu dan pasti mereka datang.”
***
Siang itu Susan tampak murung. Ia yakin bahwa nanti sesampai di rumah, Mamanya akan menyemprotnya dengan kata-kata kasar seperti biasanya, atau bahkan lebih kasar karena marah sekali.
Indra yang merasa kasihan mengajaknya makan di rumahnya, tapi Susan merasa sungkan dan menolaknya dengan halus.
“Maaf Bapak, saya makan sendiri saja di warung.”
“Susan, ayolah, sesekali makan siang dengan masakan rumahan. Bu Indra pasti suka.”
“Saya selalu menyusahkan.”
“Tidak, siapa mengatakan begitu? Ayolah, kamu coba sekali ini, kalau tidak enak, lain kali jangan mau. Oke?”
Karena sungkan Susan akhirnya menurutinya. Umi yang mengajaknya makan siang ditolaknya.
_'Hai San? Jangan-jangan bosmu lama-lama suka sama kamu.'_ Umi menelpon ketika Susan mengikuti Indra ketempat parkiran.
'Jangan gila. Dia laki-laki setengah tua... dan orang baik.'
_'Dia laki-laki kan?'_
'Apa maksudmu?'
_'Laki-laki tertarik kepada lawan jenis bukan ketika dia masih muda atau ketika dia lajang.'_
'Jangan macam-macam kamu, ini aku sudah hampir sampai didekat dia.'
_'Susan.'_
'Daaag Umi...' lalu Susan menutup ponselnya, dan membuka pintu mobil bosnya.
“Temanmu mengajak makan diluar?” tanya Indra ketika menjalankan mobilnya menuju rumah.
“Iya Pak, biasanya kami makan bersama.”
“Pacar kamu?”
“Oh, bukan, dia seorang wanita. Manager HRD dikantornya Liando.”
“Oh, yang dulu mengajak kamu bekerja disana?”
“Ya. Kami bersahabat.”
“Dia pasti kecewa kamu menolak makan siang bersamanya.”
“Tidak, dia mengerti .”
***
Seruni melayani Susan dengan sangat ramah. Hari itu Yayi ke kampus, tapi Naya ada di rumah. Ia ikut makan bersama siang itu, seperti kebiasaan keluarga itu setiap hari, yang ada di rumah akan makan siang bersama Ayahnya.
Susan masih tampak kikuk dengan keluarga bahagia itu. Ia selalu merasa minder. Ia tahu Mamanya pernah mempermalukan keluarga Indra saat di rumah sakit, dan Indra mengata-ngatai Mamanya dengan menyakitkan, tapi Mamanya merasa seakan tak bersalah. Sungguh Susan merasa rendah diri, sehingga tak berucap apapun kalau mereka tidak bertanya.
“Susan jauh bedanya dengan Mamanya sih?” kata Seruni.
Susan hanya tertunduk, menatap nasi dan lauk yang sudah terletak di piring tapi baru sekali disuapnya.
“Ayo makanlah Susan, jangan sungkan,” sapa Indra.
“Iya, mungkin malu karena Naya menatapnya terus?” seloroh Seruni.
“Enggak kok Bu...” kata Naya buru-buru. Naya memang sedikit pemalu, sehingga diapun tak banyak bicara.
Indra dan Seruni tertawa.
“Naya ini pemalu, kalau Susan juga diam, kapan mau bisa berbincang? Ayolah, anak-anak muda pastilah lebih seru kalau berbicara,” kata Indra.
“Benar. Kalau sama Ibu dan Bapak pasti sungkan dia.”
Naya hanya tersenyum.”
“Makan yang banyak Mbak,” hanya itu yang diucapkan Naya, itupun tanpa menatap lawan bicaranya.
“Terimakasih.”
Seruni tersenyum.
“Susan, ini pertama kalinya kamu makan disini, kalau kamu suka, boleh kok setiap hari kemari. Kecuali kalau masakan Ibu ini tidak enak,” kata Seruni.
“Oh, enak kok Bu, enak sekali. Mama saya tidak pernah memasak, jadi kami seringnya makan diluar. Ternyata makan rumahan itu enak.”
“Karena semua masakan rumahan dimasak dengan bumbu yang berbeda.”
“Berbeda?”
“Ada tambahan bumbu yang luar biasa hebatnya, yaitu kasih sayang.”
Susan mengangkat kepalanya, menatap Bu Indra dengan kagum. Ada kasih sayang ditambahkan ke bumbu masakan, itu luar biasa. Bahkan Mamanya tak pernah masuk ke dapur, walau untuk menggoreng telur ceplok sekalipun,
Susan menelan ludah, bukan menelan makanan yang belum lagi disuapnya. Matanya terus menatap Bu Indra, lalu air bening tampak mengambang disana.
“Susan...” kata Seruni iba.
“Makanlah Nak, lalu datanglah kemari setiap hari untuk menikmati makanan berbumbu kasih sayang ini.”
Susan mengerjapkan matanya, menahan air matanya agar tak titik lalu membasahi pipinya. Ia mengangguk pelan.
“Mau ya?”
“Kalau tidak merepotkan...”
“Tidak, duuh... senangnya mendapat seorang anak perempuan lagi. Sayang nggak ada Yayi, kalau ada dia, pasti rame, dia itu cerewet bukan main,” kata Seruni lagi dengan gembira.
“Ayo tambah lagi makanannya, Susan, jangan sungkan.”
“Jadi, maukah besok makan siang lagi di rumah ini?” tanya Indra.
Susan tersenyum dan mengangguk.
***
Siang itu Lusi harus menunggu karena ternyata Bu Diana pergi kontrol ke rumah sakit. Simbok yang kesal karena Lusi terus mengomel, memilih meninggalkannya dibelakang. Tapi karena kesal tanpa pelampiasan, Lusi beranjak kebelakang dengan membawa gelas jus yang masih lebih separonya serta menegur Simbok.
“Ini gimana ta mbok, aku ini tamu lho, bukan sembarang tamu, aku ini bakal besannya majikan kamu, kok kamu memberi minum seenaknya begini?”
Simbok menghentikan kegiatannya mencuci piring, menatap Lusi dengan heran.
“Maksud Ibu bagaimana? Kok simbok dibilang seenaknya?”
“Ini... coba rasain, masa jus kok kaya begini rasanya, apa nggak dikasih gula? Apa Bu Diana kehabisan gula sehingga ini tidak kamu kasih gula?”
“Ya ampun Bu, saya minta maaf kalau Ibu suka gula, karena selama ini, Ibu Diana kalau minum jus tidak pernah dikasih gula. Murni buahnya, gitu Bu.”
“Ya nggak enak ta Mbok, jus nggak pake gula.”
“Kata Ibu, jus tanpa gula itu lebih sehat.”
“Omong kosong, ini, tambahin gula, atau kalau ada jangan jambu, aku minta lainnya, apel atau anggur, ada nggak?”
“Ada Bu, tapi sebentar ya Bu, tangan Simbok masih kotor kena sabun. Simbok selesaikan dulu sebentar,” kata Simbok dengan kesal.
“Ya sudah, tapi nggak pake lama, aku tunggu didepan!” kata Lusi sambil beranjak kedepan.
Simbok geleng-geleng kepala.
“Majikan bukan, saudara bukan, kalau memberi perintah seperti yang paling kuasa saja. “
Lusi duduk didepan Anjas yang memejamkan mata, tidur dengan bersandar disandaran sofa. Terdengar dengkurnya memenuhi ruangan itu.
“Ya ampun Njas, kok ya tidur sih kamu. Malu kalau Bu Diana datang, tahu!”
Karena Anjas tak bergeming, Lusi berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Apalagi ia mendengar mobil masuk ke halaman, berarti Bu Diana sudah datang.
“Anjas! Bangun, itu Tante Diana sudah datang. Malu-maluin saja.”
Anjas membuka matanya dan menguceknya perlahan. Mata merahnya menatap kehalaman, lalu mengikuti Mamanya yang berdiri menyambut yang empunya rumah.
“mBakyu, saya sudah dari tadi...” kata Lusi sambil mendekati Bu Diana yang dibantu Karjo duduk di kursi rodanya.
“Biar saya yang mendorongnya kedalam Jo,” kata Lusi meminta kepada Karjo agar dia saja yang mendorong Bu Diana.
“Jeng sudah lama ya?”
“Tidak tahu kalau Mbakyu kontrol ke rumah sakit.”
“Janjinya kan kemarin. Kalau hari ini memang jadual saya kontrol Jeng.”
“Maaf Mbakyu, kemarin saya ada arisan, jadi baru bisa hari ini.”
“Itu Anjas?” tanya Bu Diana ketika sudah santai di ruang tamu.”
“Iya Mbakyu, Anjas, beri salam untuk Tante Diana.”
Anjas berdiri lalu mencium tangan Bu Diana.
“Mengapa matamu merah Nak? Seperti bangun tidur?”
“Iya Tante, ketiduran sebentar,” jawab Anjas tersipu.
“mBoook, mana minuman untuk tamu...?”
Simbok datang dengan membawa nampan berisi dua gelas jus anggur seperti yang diminta Lusi. Dan segelas jus jambu tanpa gula untuk Bu Diana.
“Jambu yang untuk aku bukan? Kamu tidak membubuhkan gula bukan?”
“Untuk Ibu tanpa gula, untuk Bu Lusi dan Mas Anjas pake gula.”
“Oh... padahal lebih sehat kalau tidak pakai gula.”
Simbok menyembunyikan senyumnya, lalu berlalu kebelakang.
“Diminum dulu Jeng, Anjas, silahkan.”
Lusi dan Anjas meminum jusnya.
“Saya menunggu kemarin, untuk berbicara dengan Jeng Lusi soal perjodohan itu,” kata Bu Diana memulai percakapan.
“Iya Mbak, saya juga sudah menunggu, tapi maaf Susan tidak bisa ikut karena ada keperluan. Hanya Anjas, kan dia juga ingin ketemu Aliando sebenarnya.”
“Ketemu Liando?”
“Ingin minta pekerjaan Mbakyu, ya sembaranglah, yang penting ada pekerjaan, daripada bekerja diperusahaan orang lain kan lebih baik ditempat ipar sendiri,” kata Lusi sok yakin.
“Itu wajahmu luka-luka kenapa?”
“Ini...” Anjas ragu menjawab, tapi Lusi segera menyahut.
“Ya ini mbakyu, yang dulu saya bilang, gara-gara membantu temannya yang dikeroyok anak-anak nakal, dia sendiri luka sampai babak belur.”
“O... itu, tapi saya dengar Anjas mau menculik Dayu...?”
Lusi dan Anjas terkejut bukan alang kepalang.
“Ya ampun Mbakyu, banyak orang tidak suka yang memfitnahnya, tapi Anjas mendiamkannya. Itu fitnah mbakyu,” kata Lusi, lupa bahwa Dayu sering ada di rumah itu.
“Baiklah, tidak apa-apa. Saya kan tidak berkepentingan mengurus soal itu. Tapi yang penting dari pembicaraan saya ini Jeng, setelah saya pikir-pikir, saya kok lebih baik membatalkan dulu perjodohan itu.”
“Apa?” kata Lusi dengan nada tinggi, karena kata-kata itu sama sekali tak diduganya. Ia bahkan sampai berdiri dari kursinya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment